Nim : 23117022
Menemukan titik konjugasi dalam dua atau lebih foto yang saling
bertampalan secara otomatis merupakan dasar dalam fotogrametri digital.
Proses ini biasanya disebut dengan pencocokan citra atau yang lebih dikenal
dengan image matching (Schenk, 1999; Aguoris et al, 2000 ). Gruen (1985)
mengkaji bahwa jika pertampalan dinilai cukup, maka pada citra yang sama
dengan nilai tersebut dapat diuraikan dalam suatu transformasi antar objek
dalam kedua citra. Dalam transformasi ini terdapat 8 parameter dan dapat
dilakukan pendekatan dengan menggunakan transformasi affine (6 parameter).
Pendekatan ini untuk menyamakan keakurasian hingga mencapai subpiksel.
Beberapa teknik pencocokan citra (image matching) adalah area-based
matching, feature-based matching, dan symbolic matching (Schenk, 1999; Wolf
dan Dewitt, 2000; Potuckova, 2004; Leica Geosystems, 2006). Hubungan antara
setiap metode dengan entitasnya diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Metode Image Matching
Metode Area-Based
Gambar 3.
Epipolar Plane diproyeksikan dari Pusat O1 dan O2 serta Titik Obyek P
Ukuran dari search window bergantung pada seberapa presisi lokasinya
dan deformasi geometrik serta orientasi dari image. Untuk mengetahui
seberapa akurasi dari titik konjugasi yang diukur, maka berikut akan dikaji
tentang teknik yang digunakan dalam pencococokan citra (image matching)
menggunakan metode area-based, yaitu Normalized Cross Correlation (NCC)
dan Least Squares Matching (LSM).
(1a)
(1b)
(1c)
(1d)
(1e)
(1f)
Keterangan:
n : jumlah data (baris x kolom)
r : koefisien normalized cross correlation
T, S : standar deviasi pada template dan search image
TS : kovarian nilai gray value pada template dan search image
: nilai keabuan template dan search image
: nilai rata-rata dari template dan search image
R,C : baris dan kolom dari image patches