PENDAHULUAN
1
pemerolehan berbagai aset. Pemerolehan aset pada umumnya dilakukan melalui
pertukaran potensi jasa yang telah dimiliki badan usaha atau melalui utang.
Walaupun aset dan kewajiban sangat erat kaitannya dalam rangka pemerolehan
aset, pembahasan kedua elemen tersebut akan dipisahkan.
Ekuitas dibahas paling akhir setelah elemen pendapatan, biaya, dan laba karena
memerlukan pemahaman dasar atas elemen-elemen tersebut. Aset merupakan
elemen neraca yang akan membentuk informasi semantik berupa posisi keuangan
bila dihubungkan dengan elemen yang lain yaitu kewajiban dan ekuitas. Aset
merepresentasi potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan badan usaha
untuk menyediakan barang dan jasa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang diperoleh
atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau
kejadian masa lalu.
Sebuah aset adalah sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan sebagi
hasil dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi masa depan
diharapkan mengalir ke perusahaan.
Aset adalah potensi layanan atau manfaat ekonomi masa depan yang
dikendalikan oleh entitas pelapor sebagai akibat dari transaksi masa lalu atau
peristiwa masa lalu lainnya.
3
Assets economic resources of an enterprise that are recognized and
measured in confornity with generally accepted accounting principles. Assets also
include certain deferred charges that are not resources but that are recognized
and measured in confornity with generally accepted accounting principles.
Aset sumber daya ekonomi dari perusahaan yang diakui dan diukur sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum aset juga termasuk biaya
ditangguhkan tertentu yang bukan sumber daya tetapi yang diakui dan diukur
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Definisi FASB dan AASB cukup luas dibanding definisi yang lain karena aset
disifati sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber
ekonomic (resources) karena manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk atau
jenis sumber ekonomik yang dapat dimasukkan sebagai aset. Definisi tersebut
tidak membedakan antara aset real (real assets) dan aset finansial (financial
assets) dan antara sumber ekonomik (resources) dan nonsumber ekonomic
(nonresources).
APB No. 4 merinci aset yang digolongkan sebagai sumber ekonomic sebagai
berikut (prg. 57):
3. Uang (money)
4
4. Klaim untuk menerima uang (claims to receive money)
APB menggolongkan bentuk atau jenis aset selain yang disebut diatas sebagai
non sumber ekonomik meskipun tetap masuk dalam pengertian aset. Nonsumber
ekonomik meliputi beban atau pengurang pendapatan tangguhan (deferred
change) seperti: goodwill, rugi selisih kurs, kos organisasi, dan beberapa pos yang
timbul akibat penyesuaian (sering disebut pos-pos transitoris).
Kriteria (a) merupakan kriteria utama dan lebih memuat aspek semantik
sedangkan kriteria (b) dan (c) lebih memuat aspek pengakuan daripada semantik.
A. Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat
ekonomik dimasa datang yang cukup pasti (probable). Ini mengisyaratkan bahwa
manfaat tersebut terukur dan dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk
mendatangkan pendapatan atau aliran kas dimasa datang. Sejalan dengan APB,
FASB menyatakan bahwa aset adalah sumber ekonomik karena potensi jasa
(service potential) atau utilitas (utility) yang melekat didalamnya yaitu suatu daya
atau kapasitas langka (scarce) yang dapat dimanfaatkan kesatuan usaha dalam
upayanya untuk mendatangkan pendapatan melalui kegiatan ekonomik yaitu
konsumsi produksi dan pertukaran berkaitan dengan manfaat ekonomik ini, FASB
mengajukan dua hal yang harus dipertimbangkan dalam menilai apakah pada saat
tertentu suatu pos atau objek masih dapat disebut aset yaitu :
5
a) Apakah suatu pos yang dikuasai oleh suatu kesatuan usaha pada mulanya
mengandung manfaat ekonomik masa datang.
b) Apakah semua atau sebagian manfaat ekonomik tersebut masih tetap ada
pada saat penilaian.
B. Dikuasai Oleh Entitas
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh
entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas pemilikan (ownership) mempunyai
makna yuridis atau legal. Artinya, untuk memiliki suatu objek diperlukan proses
yang disebut transfer hak milik (transfer of title). Bila pemilikan menjadi kriteria
asset, akan banyak pos yang tidak masuk sebagai aset sehingga tidak dapat
dilaporkan dalam neraca. Dengan kata lain, kepemilikan sebagai kriteria akan
mengakibatkan banyak pos dilaporkan diluar neraca (off-balance sheet).
Oleh karena itu, konsep penguasaan (kendali) lebih penting daripada konsep
pemilikan. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk
yuridis (substance over form). Substansi atau tujuan dari pemilikan adalah
penguasaan. Penguasaan disini berarti kemampuan entitas untuk mendapatkan,
memelihara/menahan, menukar mengguakan manfaat ekonomik dan mencegah
akses pihak lain terhadap manfaat tersebut. Dengan demikian, pemilikan
(misalnya dengan cara membeli) dan hak secara hukum (legal rights) hanya
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan penguasaan atau kendali. Most
(1982, hlm. 341-342) mengemukakan bahwa penguasaan atau kendali terhadap
suatu objek dapat diperoleh dengan cara:
6
7. Lain-lain seperti pertukaran (by barter), peminjaman (by loan),
penjaminan (by bailment), pengkonsignan (by consignment), dan berbagai
transaksi komersial (by commercial transactions) yang diakui hukum atau
kebiasaan bisnis
C. Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu
D. Karakteristik Pendukung
7
2. Berwujud (tangible)
Bila suatu sumber ekonomni secara fisis dapat diamati, dia memang lebih kuat
disebut sebagai aset. Objek-objek seperti hak paten, hak cipta, merek dagang, dan
goodwill tetap dapat dimasukkan sebagai aset meskipun tidak berwujud fisis. Pada
umumnya, pos-pos takberwujud yang masuk dalam kategori aset lancar tidak
disebut sebagai aset takberwujud (intangible). Most (1982, hlm. 379) mengajukan
tiga tes (kriteria) untuk memasukkan suatu pos ke dalam aset takberwujud, yaitu:
(1) Apakah pos tersebut diperoleh dari suatu transaksi dengan pihak
independen (arm’s lenght transaction)? Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi penilaian lebih (over-valuation) atas aset takberwujud.
(2) Dapatkah manfaat ekonomik masa datang yang diharapkan
diidentifikasi? Dapat diidentifikasi artinya dapat dikaitkan dengan
kemampuan perrusahaan mendatangkan laba di masa datang. Hal ini
dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa objek takberwujud memenuhi
kriteria utama aset.
(3) Dapatkah kos pos tersebut dipisahkan dengan kos aset lain yang
diperoleh? Misalnya suatu kesatuan usaha membeli sebuah mesin yang
secara khusus dirancang oleh perusahaan lain riset dan pengembangan.
Kos mesin sudah termasuk kos riset dan pengembangan. Kos riset dan
pengembangan dapat menjadi aset takberwujud bagi pembeli mesin
bila rancang bangun (design) menjadi hak ekslusif pembeli dan kosnya
dapat dipisahkan dari kos kontrak pembuatan mesin.
3. Tertukarkan (exchangeble)
Beberapa penulis mengajukan gagasan atau argumen bahwa untuk memenuhi
syarat sehagai aset, suatu sumber ekonomik harus dapat ditukarkan dengan
sumber ekonomik lainnya. Syarat ini diajukan dengan alasan bahwa manfaat
ekonomik akan menjadi cukup pasti dan terukur kalau suatu sumber ekonomik
mempunyai daya atau nilai tukar. Dengan kata lain, manfaat ekonemik diturunkan
dari daya tukar. Syarat dan argumen ini disanggah karena manfaat ekonomik
tidak banya terletak pada daya tukar tetapi juga dari daya guna suatu ebjek untuk
produkas. Mesin, misalnya, mungkin selali tidak mempunyai daya tukar tetapi
8
dapat digunakan untuk menghasilkan produk. Bahkan hampir sebagian besar aset
manfaatnya didapat dari penggunaan daripada dari pertukaran. Sebagaimana
dikutip Kam (1990, hlm. 107-108), Moonitz menyatakan bwaah " exchange does
not make values, it merely reveals them”.
1. Terpisahkan (severable)
Syarat ini diajukan berkaitan dengan ketertukaran (exhangeability). Untuk
dapat ditukarkan suatu rumber ekonomik harus dapat dipisahkan dengan sumber
ekonomik yang lain atau berdiri diri sendiri. Syarat ini digunakan oleh Chambers
dengan alasan bahwa pesisi keuangan harus ditentukan dengan pengukuran nilai
berbagai aset dan kewajiban secara individual. Kalau syarat ini dimasukkan
sebagal kriteria eset, goodwill tidak akan memenuhi syarat untuk disebut dan
diakui sebagai aset. Chambers dan MacNeal mengajukan syarat ini karena dia
tidak setuju bahwa goodwill dimasukkan sebagai aset.
Alasannya adalah pengukuran goodwill sangat subjektif dan hipotetis. Alasan
lain adalah tujuan penyajian neraca adalah melaporkan nilai bersih aset dan bukan
nilai perusahaan secara keseluruhan. Melaporkan goodwill atau semacamnya akan
menyesatkan.
Pihak yang menentang syarat keterpisahan (severability) berargumen bahwa
ketertukaran dan keterpisahan hanyalah merupakan syarat untuk memperoleh
manfaat suatu eset. Lagi pula, pemasukan goodwill sebagai aset memang tidak
dimaksudkan untuk menilai perusahaan secara keseluruhan tetapi untuk
mengidentifikasi dan menilai manfaat ekonomik masa datang bagi perusahaan.
Dengan argumen-argumen tersebut, FSAB tidak memasukkan keterpisahan
sebagai kriteria untuk mendefinisikan aset (Kam 1990, hlm. 108).
2. Berkekuatan hukum (legally enforcable)
Penguasaan atau hak atas ast tidak harus didukung secara yuridis formal. Klaim
seperti piutang usaha tidak harus didukung oleh dokumen yang mempunyai daya
paksa secara hukum (legaly enforceable) untuk memenuhi definisi aset. Memang
pada umumnya, kemampuan suatu entitas untuk menguasai manfaat ekonomik
timbul akibat hak-hak hukum (legal rights). Meskipun demikian, hak paksa yang
melekat pada hak-hak hukum bukan merupakan syarat mutlak untuk mengakui
9
adanya aset kalau suatu entitas dapat memperoleh dan menguasai manfaat dengan
cara lain sebagaimana dibahas sebelumnya (misalnya dengan cara perjanjian atau
penemuan).
3.2 Pengukuran Dalam Aset
Pengukuran adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu
objek aset pada saat terjadinya yang akan dijadikan data dasar untuk mengikuti
aliran fisis objek tersebut. Sebagai aliran informasi, kos juga mengalami tiga
tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran fisis yaitu:
1. Pengukuran (measurement), pengakuan (recognition) dan klasifikasi
(classification) pertama kali pada saat terjadinya. Untuk selanjutnya
seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut pengukuran.
2. Pencatatan berikutnya dalam rangka mengikuti aliran fisis aset berupa
alokasi, distribusi, dan penggabungan untuk kepentingan
internal/manajerial atau untuk kepentingan pengkosan produk. Untuk
selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut penelusuran
(tracing).
3. Pembebanan kependapatan periode berjalan atau periode-periode yang
akan datang kos yang belum jadi beban pendapatan (biaya) akan tetap
melekan pada objek menjadi aset badan usaha. Untuk selanjutnya
seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut pembebanan ke pendapatan.
Gambar 6.1
Tahap Perlakuan Sumber Ekonomik dan Kos yang Merepresentasinya
Gambar 6.1 diatas melukiskan perlakuan dan objek dan kos sebagai
pengukurannya. Gambar tersebut menunjukkan bahwa secara konseptual suatu
10
sumber ekonomik harus diperlakukan dahulu sebagai aset dan baru kemudian
diperlakukan sebagai biaya pada saat aset tersebut dianggap telah keluar dari
kesatuan usaha dan mendatangkan pendapatan. Walaupun demikian, secara teknis
pembukuan atau karena alasan kepraktisan, dapat saja suatu sumber ekonomik
langsung dicatat sebagai upaya (biaya) sehingga kosnya langsung didebit ke akun
biaya tanpa melalui akun aset. Misalnya, jumlah rupiah (kos) pembayaran sewa
gedung langsung didebit ke akun Biaya Sewa Gedung. Bila suatu pengeluaran
sumber ekonomik yang mengukur kos suatu objek dicatat sebagai aset, tia
dikategori sebagai pengeluaran untuk pengeluaran (capital expenditure)
sedangkan kalau tia dicatat sebagai biaya, tia dikategorikan sebagai pengeluaran
untuk pendapatan (revenue expenditures).
Perlu ditegaskan kembali bahwa kos adalah pengukur sedangkan aset dan biaya
adalah elemen yang diukur. Sebagai pengukur elemen, kos melekat pada aset atau
biaya sehingga kos, aset, dan biaya, ketiganya sering dirancukan. Kerancuan dapat
timbul karena secara teknis pembukuan suatu kos dapat dibebankan atau didebit
ke aset atau biaya pada saat terjadinya.
Gambar 6.2 melukiskan hubungan antara kos, aset, dan biaya serta perlakuan
kos secara teknis dan konseptual. Gambar ini menguraikan lebih lanjut Gambar
6.1 sebelumnya dalam kaitannya dengan pengeluaran untuk modal atau untuk
pendapatan.
Gambar 6.2
11
Bila suatu pengeluaran langsung dicatat sebagai biaya, secara konseptual
dianggap bahwa kos objek bersangkutan dicatat sebagai aset dan kemudian pada
saat yang sama kos tersebut langsung dipindah ke biaya. Dengan kata lain, secara
konseptual kos semua sumber ekonomik yang diperoleh dianggap telah
diperlakukan sebagai aset walaupun hanya sesaat. Akibatnya, pos aset misalnya
sediaan sering dinyatakan dalam pengakurnya sebaga kos sediaan; sediaan sering
diidentikkan dengan kos sediaan.
Sementara itu, kos juga melekat pada biaya sehingga biaya sering disebut
dengan kos saja. Memang biaya selalu dapat disebut kos kareae kos melekat di
dalamnya tetapi kos tidak selalu dapat disebut biaya sebelum kos tersebut
dipindah ke biaya sebagai pengurang/debit/beban pendapatan. Karena kos
merepresentasi manfaat ekonomik, bila kos diperlakukan sebagai aset, kos itu
disebut dengan kos belum habis atau takterhabiskan (unexpired cost) artinya kos
yang belum habis dimanfaatkan dalam menghasilkan pendapat an. Bila manfaat
ekonomik telah digunakan dalam mendatangkan pendapatan, bagian dari kos aset
yang merepresentasi manfaat yang telah dihabiskan disebut dengan kos
terhabiskan (expired cost) dan menjadi pengukur biaya. Atas dasar uraian di atas
dapat dikatakan bahwa penentuan kos suatu objek pada saat permerolehan
merupakan hal yang sangat penting dan kritis karena penentuan ini akan
mempengaruhi pengukuran aset dan biaya selanjutnya.
12
yang diperoleh kesatuan usaha dan akan menjadi bahan olah akuntansi yang
disebut kos. Jadi, kos dalam arti luas mempunyai makna sebagai agregat harga
(price agregate) dalam pemerolehan suatu aset.
Gambar 6.3
Mean atau rata-rata dari berbagai penghargaan sepakatan atau subjektif yang
telah terjadi dapat dianggap sebagai estimator dari nilai sebenarnya (true value).
Seandainya rata-rata tersebut sama dengan nilai sebenarnya, penghargaan
sepakatan 1 yang muncul dalam Panel A lebih terandalkan karena lebih mendekati
13
nilai sebenarnya dibandingkan dengan penghargaan subjektif 1 dalam Panel B1.
Pengukuran selain atas dasar penghargaan sepakatan kemungkinan dapat
menghasilkan rata-rata yang menyimpang dari nilai sebenarnya sebagaimana
dilukiskan dalam distribusi B2. Perbedaan rata-rata yang terjadi disebut bias.
Panel B2 dalam gambar tersebut menunjukkan adanya bias ke arah penghargaan
yang lebih tinggi (over-valuation). Hal ini terjadi misalnya kalau seseorang
mempunyai harang yang tidak ingin dijualnya telapi ada orang yang tertarik sekali
dengan barang tersebut dan bersedia membeli dengan harga mahal, Sebaliknya,
dalam keadaan butuh uang atau di bawah tekanan, orang terpaksa menerima
penghargaan rendah atas barang yang dijualnya.
Dengan kata lain, cukup banyak penjual dan pembeli sehingga tak seorangpun
cukup kuat untuk mempengaruhi harga.
14
dalam suatu transaksi perlu diragukan validitasnya bilamana faktor emosional dan
nonmekanisma pasar lebih dominan menentukan kos.
15
C. Pengukuran Kos
1. Batas Kegiatan
Batas kegiatan berkaitan dengan masalah unsur pengorbanan sumber ekonomik
(kegiatan) apa saja yang membentuk kos suatu aset. Secara teoretis dan sebagai
ketentuan umum, batas akhir kegiatan untuk memasukan unsur kos sebagai bagian
dari kos aset adalah saat dimulainya penggunaan aset. Dengan kata lain, secara
konseptual pembentuk kos sualu aset (baik berwujud atau tidak) adalah semua
pengeluaran (pengorbanan sumber ekonomik) yang terjadi atau yang diperlukan
akibat kegiatan pemerolehan suatu aset sampai dia ditempatkan dalam kondisi
siap dipakai atau berfungsi sesuai dengan tujuan pemerolehannya.
2. Jenis Penghargaan
Agar penghargaan yang telah disetujui dapat dicatat dalam sistem akuntansi,
penghargaan tersebut harus dinyatakan dalam satuan uang. Persyaratan ini akan
mudah dilakukan kalau penghargaan tersebut berwujud uang tunai (kas). Seluruh
jumlah rupiah yang disepakati sebagai penghargaan pada saat transaksi akan
membentuk kos yang paling objektif karena tidak lagi melibatkan interpretasi atau
pertimbangan penilaian. Bila transaksi terjadi dalam mekanisma pasar bebas
antara pihak independen, kos tunai (cash cost) adalah pengukur aset yang paling
valid dan objektif.
Kalau sumber ekonomik nonkas merupakan penghargaan yang digunakan dalam
transaksi, pengukur yang ideal untuk menentukan kos aset yang diperoleh adalah
jumlah rupiah uang tunai yang akan diperoleh seandainya sumber ekonomik
16
tersebut dijual dulu secara tunai kepada umum. Kos barang atau jasa yang
diperoleh secara tunai adalah jelas merupakan jumlah rupiah uang yang
dibayarkan sedangkan kos barang atau jasa yang diperoleh melalui pertukaran
dengan barang atau jasa lain adalah jumlah rupiah tunai yang secara implisit
melekat pada nilai jual barang atau jasa yang diserahkan dalam pertukaran
tersebut. Jumlah rupiah melekat ini disebut Jumlah setara tunai (money or cash
equivalent) atau kos tunai terkandung atau imiplisit (implied cash cost) dari
wujud penghargaan yang diserahkan oleh pemeroleh aset.
Bila aset diperoleh tanpa penghargaan (misalnya hadiah), kos aset ditentukan
atas dasar setara tunai atau kos tunai terkandung aset yang diterima pada saat
transaksi atau kejadian. Berikut ini dibahas berbagai dasar pengukuran kos untuk
transaksi atau kejadian pemerolehan aset dengan instrumen selain kas dan konsep
atau teori yang melandasinya.
a.) Kos Dalam Barter
Barter atau pertukaran aset adalah pemerolehan aset (biasanya aset berwujud
atau nonmoneter) dengan penghargaan berupa aset berwujud atau nonmoneter
lainnya. Bila hal ini terjadi, pengukuran aset yang diperoleh bergantung pada
apakah aset yang dipertukarkan sejenis (similar) atau taksejenis (dissimilar). Aset
sejenis artinya aset yang fungsinya sama dan tidak harus aset yang identik.
Misalnya, truk dan pick-up dianggap sejenis kalau fungsinya sama-sama untuk
pengiriman barang. Dalam barter, dapat pula terlibat kas sebagai tombok (boot)
baik dari pihak kesatuan usaha atau dari lawan barter. Bila dalam barter aset
sejenis tombok diberikan oleh lawan barter, maka barter tersebut tidak murni
sejenis tetapi campuran. Artinya, aset yang diserahkan sebagian ditukar dengan
aset sejenis dan sebagian dengan kas. Bagian yang ditukar dengan kas dianggap
sebagai barter tak sejenis sehingga dianggap melibatkan penjualan tunai. Oleh
karena itu, bagian untung yang timbul dari penjualan tunai dapat diakui sehagai
untung yang masukdalam statemen laba-rugi. Untung yang dapat diakui adalah
proporsional antara tombok dan harga pasar aset yang diterima kesatuan usaha.
Atas dasar penalaran atau teori di atas, berikut ini disarikan prinsip-prinsip
penentuan kos aset yang diterima dalam barter atau pertukaran.
17
1. Pertukaran taksejenis, tanpa pembayaran tombok:
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai wajar/pasar aset yang diserahkan atau
nilai wajar aset yang diterima, mana yang lebih mudah atau jelas ditentukan.
Untung atau rugi yang timbul diakui pada saat pertukaran.
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai pasar aset yang diserahkan ditambah
tombok atau nilai wajar/pasar aset yang diterima. Dalam hal ini, nilai pasar aset
yang diserahkan menunjukkan kas yang akan diterima seandainya aset tersebut
dijual. Untung atau rugi yang timbul diakui pada saat pertukaran.
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku atau nilai pasar aset yang
diserahkan, mana yang lebih rendah. Ini berarti bahwa kalau terjadí untung maka
untung tidak diakui dan sebaliknya kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada
saat transaksi.
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang diserahkan ditambah
tombok atau nilai pasar aset yang diserahkan ditambah tombok, mana yang lebih
rendah. Ini juga berarti bahwa kalau terjadi untung maka untung tidak diakui dan
sebaliknya kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada saat transaksi.
Bila terjadi rugi: Aset yang diterima dicatat sebesar harga pasar aset yang
diserahkan dikurangi kas yang diterima. Ini berarti rugi yang terjadi diakui semua
pada saat terjadinya transaksi.
Bila terjadi untung: Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang
diserahkan dikurangi porsi nilai buku aset yang diserahkan yang dianggap dijual
18
(ditukar dengan kas). Atau, nilai pasar/wajar aset yang diterima dikurangi untung
tangguhan (deferred gain).
Utang total = Nilai pasar aset diserahkan – Nilai buku aset diserahkan
Contoh Aplikasi
19
Karena mobil lama dengan nilai buku Rp 76 juta dihargai Rp 95 juta, terjadi
untung sebesar Rp 19 juta. Perhitungan komponen-komponen berikut menentukan
kas aset yang diterima.
Rp 81 juta
Untung tangguhan = 𝑅𝑝 14 𝑗𝑢𝑡𝑎 +𝑅𝑝 81 𝑗𝑢𝑡𝑎 x Rp 19 juta = Rp 16,2 juta
𝑅𝑝 14 𝑗𝑢𝑡𝑎
Porsi nilai buku taksejenis = Rp 14 juta +Rp 81 juta x Rp 76 juta = Pr 11,2 juta
Nilai buku aset diserahkan Rp 76.000.000 Nilai pasar aset diterima Rp 81.000.000
20
perusahaan "baru berdiri" (fresh start). Jadi, dianggap bahwa aset perusahaan
merupakan suatu kesatuan berbagai aset yang baru saja dibeli.
d) Hadiah atau Hibah
Masalah khusus timbul bilamana barang atau jasa yang jelas-jelas mempunyai
manfaat ekonomik yang besar diperoleh perusahaan tanpa kos yang berarti atau
dengan kos yang tidak sebanding dengan nilai ekonomik barang yang diperoleh.
Gedung dan tanahnya yang diperoleh perusahaan melalui sumbangan atau hibah
adalah contoh pemerolehan aset tanpa kos. Walaupun demikian, ada alasan yang
kuat untuk tetap mencatat kekayaan tersebut atas dasar kos tunai implisitnya.
Alasannya adalah bahwa setiap fasilitas atau faktor ekonomik yang digunakan
dalam operasi perusahaan, tanpa memandang asalnya harus diperlakukan dengan
saksama sebagai potensi jasa. Oleh karena itu, pengakuan kos yang wajar
diperlukan untuk menentukan sccara tepat kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba (earning power) yang biasanya ditunjukkan oleh tingkat
kembalian investasi (rate of return on investment).
e) Temuan
Kadangkala terjadi bahwa suatu sumber alam atau sarana ditemukan atau
dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomik yang jauh melebihi pengeluaran
yang sebenarnya untuk memperolehnya. Di bidang eksploitasi sumber alam
misalnya, tambang minyak yang sangat berharga ditemukan dengan pekerjaan
eksplorasi dengan kos nominal (cukup rendah dibandingkan dengan hasilnya).
Demikian juga, suatu peralatan atau teknik pemrosesan yang mempunyai harga
pasar yang cukup tinggi mungkin dikembangkan dan didaftarkan hak patennya
tanpa suatu pengeluaran yang sebanding dengan nilai pasar temuan tersebut.
Dalam kondisi yang khusus seperti ini, diperlukanlah suatu pengukur baru kos
atas dasar jumlah tunai implisit. Jumlah ini adalah jumlah rupiah uang tunai (kas)
yang pasti diperlukan untuk memperoleh sumber alam atau teknik pemrosesan
tersebut seandainya keduanya sudah dalam keadaan siap pakai atau dalam status
siap dipasarkan atau dikomersialkan. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa hal
yang serupa tidak semestinya dilakukan begitu saja semata-mata untuk menaikkan
nilai aset atas dasar harapan dan peramalan atau untuk memulai catatan dengan
21
saldo yang baru. Jadi, harus ada alasan yang kuat atau kondisi yang khusus untuk
dapat melakukan pengukuran seperti di atas. Pemerolehan aset melalui
sumbangan ataupun temuan akan menimbulkan tambahan modal pemegang
saham.
f) Kos Dalam Pembelian Kredit
Dengan sistem kredit, nilai waktu uang menjadi faktor yang sangat penting
dalam mengukur kos yang sebenarnya (true cost). Kos yang sebenarnya dalam
transaksi kredit bukanlah berapa nilai kontrak yang harus dilunasi dalam beberapa
kali angsuran tetapi berapa kos yang sebenarnya pada saat transaksi. Kekeliruan
sering terjadi karena anggapan bahwa nilai nominal atau nilai jatuh tempo utang
menunjukkan kos barang atau jasa yang dibeli dan memang dalam beberapa kasus
hal ini cukup beralasan karena kepraktisan dan materialitas. Meskipun demikian,
kalau barang atau jasa dibeli secara kredit maka kos yang sebenarnya adalah harga
tunai implisit. Harga tunai implisit tersebut ditentukan atas dasar jumlah rupiah
yang diperlukan seandainya utang tersebut dilunasi pada saat transaksi. Dalam hal
pembayaran dilakukan dengan surat wesel, surat obligasi, atau surat tanda utang
lainnya maka jumlah rupiah tunai implisit diukur dengan jumlah rupiah uang tunai
yang akan diterima seandainya surat berharga tersebut diterbitkan atau dijual
secara umum pada saat memper oleh aset.
g) Potongan Tunai dan Keringanan
Kos akan tercatat terlalu tinggi kalau potongan tunai (cash discount) dan
keringanan-keringanan (allowances) lain tidak dikurangkan terhadap harga
kesepakatan. Secara teknis pembukuan, memang dimungkinkan untuk sementara
mendebit harga faktur bruto ke dalam akun aset yang bersangkutan dan nantinya
harus dilakukan penyesuaian untuk mengurangi jumlah yang tercatat tersebut
menjadi jumlah setara tunainya. Potongan yang di manfaatkan oleh pembeli
sering dianggap sebagai laba. Hal ini tidak sejalan dengan konsep yang
mendasarinya yaitu bahwa laba tidak diperoleh melalui proses pembelian atau
pemerolehan potensi jasa. Pembelian semata-mata merupakan Iangkah pertama
dalam upaya (effort) untuk menghasilkan pendapatan (laba). Potongan dan
keringanan lainnya sudah menjadi kebiasaan yang umum dalam setiap kegiatan
22
usaha dan pada umumnya akan selalu dimanfaatkan oleh perusahaan yang
dikelola dengan baik (well-managed).
Dalam perusahaan yang dikelola dengan baik, melewatkan potongan
merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan rugi. Rugi bukan sumber
ekonomik dan karenanya tidak selayaknya kalau dicatat sebagai aset. Oleh karena
itu, sebenarnya setiap perusahaan sudah tahu pasti berapa harga yang
sesungguhnya harus dibayar dalam suatu transaksi. Dengan begitu, harga yang
sesungguhnya mestinya adalah harga tunai neto (net cash price). Pencatatan kos
atas dasar harga tunai neto seríng tidak dilakukan karena kebiasaan mencatat
transaksi dalam jumlah rupiah yang tercantum dalam faktur.
2.3 Rugi Dalam Pemerolehan Aset
23
pusan jumlah rupiah rugi tersebut dengan pengurangan modal. Jadi, rugi
hendaknya tidak dikapitalisasi atau diasetkan karena kriteria manfaat ekonomik
masa datang tidak dipenuhi lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, kecuali karena hal-hal yang tidak normal yang
mengharuskan kos yang terjadi segera diakui sebagai rugi yang dapat terjadi pada
tahapan kegiatan usaha manapun, semua kos yang terjadi merupakan aset atau
merupakan bagian dari jumlah rupiah total aset perusahaan paling tidak dalam
beberapa saat. Berbagai kos tersebut dapat merepresentasi objek fisis maupun
nonfisis. Tiap aset yang direpresentasi dengan kos tersebut berbeda dalam hal
kecepatannya untuk diserap habis sebagai pengurang atau beban pendapatan.
2.4 Penilaian
24
aset di maksudkan untuk menentukan berapa jumlah rupiah yang harus dilekatkan
tiap pos aset dan apa dasar penilaiannya. Ada berbagai dasar penilaian yang dapat
digunakan untuk tujuan pelaporan aset dalam rangka menyediakan informasi yang
dapat membantu para pemakai untuk mengevaluasi posisi keuangan dan untuk
memprediksi aliran kas dimasa mendatang.
Hendriksen dan Van Breda (1992) membahas konsep dan dasar penilaian aset
untuk tujuan pelaporan keuangan dari dua dimensi yaitu arah aliran aset dan
waktu. Karena aset merupakan komponen penentu posisi keuangan pada saat
tertentu, basis pengukuran untuk menilai aset pada saat tersebut yang valid adalah
harga atau nilai pertukaran (exchange prices atau value). Hal ini sejalan dengan
harga/nilai pertukaran. Nilai pertukaran dijadikan basis karena dianggap objektif
sehingga memenuhi kualitas keterandalan (reliability) informasi. Pertukaran
melibatkan sumber ekonomik masuk dan sumber ekonomik keluar kesatuan
usaha. Oleh karena itu, bila suatu aset telah ada dalam atau dikuasai oleh kesatuan
usaha, pada saat menyajikan masalah penilaiannya adalah dengan dasar apa aset
tersebut harus dilekati nilai pertukaran untuk mempresentasi makna atau atribut
25
secara tepat. Nilai pertukaran tersebut dapat dipandang dari dua sisi yaitu
pertukaran dalam pemerolehan dan pertukaran dalam pemanfaatan aset
(dikonsumsi atau dijual). Nilai yang diperoleh atas dasar pertukaran pemerolehan
disebut dengan nilai masukan (inputlentry values atau exchange input values)
sedangkan yang diperoleh dari pertukaran pemanfaatan disebut nilai keluaran
(outputlexit values atau exchange output values).
Walaupun penyajian aset adalah untuk saat tertentu yang dalam dimensi waktu
dapat diletakan sebagai titik sekarang (current), nilai pertukaran yang dapat
dijadikan basis penilaian dapat nilai pertukaran masa lalu (past) atau masa
mendatang (future). Dimensi waktu dan arah (pemerolehan atau pemakaian)
menghasilkan enam basis pengukuran sebagaimana dikemukakan hendriksen dan
van breda (1992, hlm. 489) yaitu: kos historis, kos pengganti, kos harapan, harga
jual sekarang, dan nilai terealisasi harapan.
Dasar diatas lebih diarahkan untuk mencapai keterandalan penilaian atau nilai
pertukaran. Pos-pos tertentu lebih objektif atau terandalkan penilaian kalau
didasarkan atas nilai masukan sedangkankan pos-pos lainnya lebih terapan kalau
didasarkan atas nilai keluaran.
Jadi, konsep nilai masukan dan keluaran sebenernya berkaitan dengan konsep
kesatuan usaha yang dianggap menguasai sumber ekonomik (aset) dan harus
mempertanggung jelaskan aset tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksud masukan
tidak lain adalah transaksi pertukaran (exchange) dalam rangka “menjual” suatu
pos aset atau objek jasa tertentu. Dasar penilaian yang akan dipilih sebenernya
menggambarkan nilai pertukaran tersebut.
C. Nilai Masukan
Nilai masukan didasarkan atas jumlah rupiah yang harus dikeluarkan atau
dikorbankan untuk memperoleh aset atau objek jasa tertentu yang masuk dalam
unit usaha. Kalau tujuan menyajikan makna aset ini adalah untuk menunjukan
aliran kas yang akan keluar dari unit usaha (seandainya unit usaha harus
memperoleh objek jasa yang sama) maka nilai masukan merupakan alternatif nilai
26
keluaran untuk objek jasa bila memang tidak ada pasar objek tersebut sehingga
nilai keluaran tidak dapat diukur dengan cukup pasti dan andal.
D. Kos Historis
Salah satu keunggulan kos historis dari sudut konsep penilaian adalah dapat
diujinya hasil penilaian tersebut (verifiable) karena kos historis terjadi dari hasil
kesepakatan dua pihak yang independen. Karena dapat diuji validitas
penilaiannya, kos historis dapat diandalkan sebagai informasi (reliable).
Kos bijaksana adalah kos selayaknya yang manajemen bijaksana, atau hati-
hati bersedia membayarnya untuk suatu objek. Kos ini tidak termasuk ko yang
mempresentasi ketidaknormalan atau ketidakbijaksanaan seperti pemborosan
(waste), manipulasi, salah urus (mismanagement), atau kurang kompetennya
manajemen (incompetence). Kos bijaksana banyak digunakan dalam penentuan
tarif tinggi dari kos bijaksana.
Kos standar adalah kos yang seharusnya terjadi dalam kondisi proses produksi
tertentu yang diasumsi. Seperti kos bijaksana, kos ketidakefisienan dan kapasitas
menganggur dikeluarkan dari kos yang terjadi dalam proses produksi. Walaupun
kos standar lebih banyak diterapkan untuk tujuan internal manajemen (untuk
pengendalian), kos standar dapat dipertimbangkan sebagai pengukur aset
(khususnya sediaan barang) untuk merefleksi kos produksi dalam kondisi
perusahaan beroperasi pada tingkat efisiensi dan kapasitas normal. Sebagai nilai
masukan, kelemahan kos historis melekat juga pada kos standar. Kos standar juga
tidak selalu merefleksi nilai aktual karena kos standar yang didasarkan pada
27
kondisi ideal yang biasanya tidak memperhitungkan ketidakefisienan ang
dianggap normal dalam suatu proses produksi.
Kos asli merupakan kos suatu aset bagi perusahaan yang pertama kali
menempatkannya untuk digunakan dalam layanan publik. Seperti kos bijaksana,
kos asli di kenal dalam konteks layanan publik khususnya bila perusahaan
membeli aset bekas dari perusahaan layanan publik lain. Sebagai basis penentuan
tarif, kos yang diperhitungkan adalah kos asli dikurangi dengan depresiasi
akumulasian yang telah dilakukan oleh perusahaan yang sebelumnya
menggunakan. Dengan kata lain, tarif layanan publik harus ditentukan atas dasar
nilai buku percatatan perusahaan sebelumnya meskipun perusahaan pembeli
memperolehnya atas dasar harga pasar yang berlaku. Penalaran dibalik hal ini
adalah bahwa pelanggan tidak selayaknya membayar tarif lebih yang merefleksi
laba yang dinikmati perusahaan sebelumnya.
E. Kos Pengganti
Kos pengganti atau kos masukan sekarang (current input cost) atau kos
sekarang (current cost) menunjukan jumlah rupiah harga pertukaran atau
kesepakatn yang diperlukan sekarang oleh unit usaha untuk memperoleh aset yag
sama jenis dan kondisinya atau penggantinya yang setara (ekuivalennya).
Kos pengganti hampir sama konsepnya dengan kos standar sekarang (current
standard costs). Kos standar sekarang adalah berapa kos yang seharusnya untuk
menghasilkan suatu produk dengan kondisi harga, teknologi, dan efisiensi
sekarang. Kos pengganti berbeda dengan kos standar sekarang karena kos
pengganti hanya didasarkan pada harga sekarang tetapi masih tetap didasarkan
pada teknologi dan efisiensi masa lau.
Beberapa alternatif penilaian lain yang masuk dalam kategori nilai pengganti
adalah nilai penaksiran (appraisal value), nilai wajar (fair value) dan nilai
terrealisasi neto dikurangi laba normal (net realizable value less normal markup).
Berikut di uraikan konsep-konsep tersebut.
28
Nilai Penaksiran adalah nilai taksiran kos sekarang atau nilai sekarang yang
ditentukan dengan prosedur dan analisis sistematik oleh pihak independen yang
kompeten. Nilai penaksiran biasanya ditunjukan untuk aset tetap perusahaan yang
berjalan terus guna menetapkan “nilai buku sekarang” yaitu kos pengganti atau
reproduksi sekarang dikurangi depresiasi sampai tanggap penaksiran. Bila hal ini
yang menjadi tujuan, “nilai buku sekarang” akan mempresentasikan nilai masukan
sekarang aset tetap bersangkutan. Kalau tujuan penaksiran adalah untuk
menentukan nilai jual aset tetap dalam likuidasi, nilai penaksiran akakn
mempresentasi nilai keluaran sekarang aset tetap bersangkutan.
Nilai wajar secara umum berarti jumlah rupiah yang dapat diterima untuk
suatu objek dalam suatu transaksi antara pihak-pihak yang berkehendak bebas
tanpa tekanan atau keterpaksaan. Secara khusus nilai wajar dimaksudkan untuk
menunjuk jumlah rupiah aset untuk menentukan agar laba yang diperoleh
merepresentasi tingkat kembalian wajar (fair return) bagi investor. Dengan kata
lain, nilai wajar adalah nilai aset yang menghasilkan imbalan atau tingkat
kembalian (return on assets) yang wajar kalau laba yang wajar telah ditetapkan.
Nilai terealisasi bersih dikurangi laba normal adalah nilai yang diharapkan
merepresentasi kos pengganti bila data untuk menentukan kos pengganti tidak
tersedia. Jadi, nilai terealisasi bersih/neto di kurangi laba normal merupakan cara
untuk menaksir kos pengganti atau kos sekarang.
F. Kos harapan
Secara semantik, kos harapan suatu aset adalah nilai pengorbanan ekonomik di
masa datang seandainya potensi jasa aset tersebut diperoleh secara bagian demi
bagian (piecemeal) dan bukan sekaligus. Untuk penilaian sekarang, kos harapan
harus didikusikan menjadi kos harapan sekarang atau kos masukan masa
datang diskunan.
29
G. Nilai keluaran
Nilai keluaran didasarkan atas jumlah rupiah kas atau penghargaan lainnya
(nonkas) yang diterima suatu unit usaha apabila suatu aset atau potensi jasa
akhirnya keluar dari kesatuan usaha melalui pertukaran atau konversi. Secara
umum, penilaian ini lebih berpaut dengan aset yang tujuannya adalah dijual atau
dikonversi menjadi kas dan bukan digunakan untuk kegiatan produksi.
Harga jual masa lalu merupakan salah satu bentuk khusus penilaian yang
disebut nilai terealisasi neto (net realizable values). Nilai terealisasi neto dapat
diterapkan tidak hanya untuk piutang tetapi juga untuk sediaan barang. Nilai
terealisasi neto adalah seluruh kas yang akhirnya berhasil diperoleh (collected)
atas konversi piutang atau penjualan barang dagangan sampai tuntas transaksinya.
Disebut neto atau bersih karena rugi piutang tak tertagih (macet) atau kos kegiatan
penjualan tambahan untuk mendapatkan nilai sekarang pos-pos aset tersebut
dikeluarkan (dikurangkan) dari nilai keluaran.
Nilai jual sekarang sebenarnya didasari oleh konsep setara tunai sekarang.
Nilai ini menunjukan jumlah rupiah kas atau daya beli yang dapat direalisasi
dengan cara menjual setiap jenis aset dipasar bebas dalam kondisi perusahaan
melikuidasi (menjual) asetnya secara normal.
30
J. Nilai terealisasi harapan
Secara sistematik, nilai terealisasi harapan suatu aset adalah penerimaan kas
atau potensi jasa masa datang yang jumlah dan waktunya cukup pasti. Pos yang
dapat menggunakan dasar penilaian ini adalah misalnya: investasi dalam obligasi,
piutang wesel jangka panjang, dan deposito berjangka.
Penilaian atas dasar kos atau pasar yang lebih rendah (KAPYLR, baca: kapiler)
ini merupakan kombinasi nilai masukan dan keluaran karena pengertian pasar
dalam hal ini dapat berarti pasar barang masukan atau keluaran (input atau output
market) penggunaan konsep penilaian ini didasari oleh konsep dasar
konservatisme.
31
e. Present (or discounted) value of future cash flows. Piutang dan investasi
jangka panjang disajikan sebesar nilai sekarang penerimaan kas di masa
mendatang sampai piutang terlunasi (dengan tarif diskun implisit)
dikurangi dengan tambahan kos yang mungkin diperlukan untuk
mendapatkan penerimaan tersebut.
Gambar 6.7
6. Verifikasi (verification test). Untuk mengakui aset, harus ada bukti pendukung
untuk meyakinkan bahwa kelima penguji diatas dipenuhi.
Apa yang dikemukakan Belkaoui diatas sebenarnya adalah apa yang disebut
dengan kaidah pengakuan (recognition rules) yang merupakan petunjuk teknis
32
atas prosedur untuk menerapkan empat kriteria pengakuan (recognition criteria)
FASB yaitu definisi, keterukuran, keberpautan, dan keterandalan. Kaidah tersebut
diperlukan karena kriteria pengakuan sifatnya konseptual dan umum. Penerapan
kaidah pengakuan diatas sebenarnya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos
dikapitalisasi (capitalized) atau dibiayakan (expensed). Bila kaidah pengakuan
diatas tidak dipenuhi, kos harus diperlukan menjadi beban pendapatan sebagai
biaya atau rugi.
A. Beban Tangguhan
33
Gambar 6.8
a. Sewaguna
b. Bunga selama masa konstruksi aset tetap
c. Riset dan pengembangan
d. Eksplorasi minyak dan gas bumi
e. Rugi selisih kurs valuta asing atau penjabaran valuta asing
f. Sumber daya manusia
g. Kos organisasi
B. Sewaguna
Oleh karena itu, dengan konsep dasae substansi diatas dibentuk (substance
over form), FASB mewajibkan untuk mengakui dan melaporkan kewajiban yang
timbul dari sewaguna dan mengakui (mengkapitalisasi) fasilitas yang disewaguna
34
sebagai aset perusahaan kalau secara substantif perjanjian sewaguna tersebut
sebenarnya merupakan pembelian angsuran. Yang menjadi masalah adalah apa
kriteria yang harus dipenuhi agar suatu sewaguna dapat dinyatakan sebagai
pembelian angsuran. FASB mengajukan empat kriteria berikut ini (SFAS No. 13,
prg. 7):
35
dipenuhi menunjukkan bahwa FASB sangat menekankan kapitalisasi. Lebih dari
itu, tiap kriteria cukup ketat bagi perusahaan untuk menghindari kapitalisasi.
Kriteria a hanya menyebutkan adanya hak opsi membeli. Ini berarti bahwa
tersewaguna dapat memilih untuk tidak membeli dengan demikian sewaguna
tersebut automatis menjadi sewaguna operasi. Dengan kata lain, adanya hak opsi
membeli tidak menjadikan sewaguna secara substantif merupakan pembelian
angsuran. Hal ini sangat berbeda dengan kriteria b FASB yang disebut bargain
purchase opion yang berarti bahwa harga yang disepakati harus cukup murah
sehingga tersewaguna pasti akan membelinya. Harga opsi yang sangat murah
inilah yang menjadi indikasi bahwa sewaguna yang bersangkutan sebenarnya
merupaka pembelian secara kredit. Selain itu, opsi tidak harus ditawarkan pada
36
akhir tahun tetapi pada saat atau tanggal kapanpun (exercisable date) selama
jangka sewaguna.
37
keausan teknologi, perusahaan tersebut sebenarnya dapat dikatakan membeli
komputer tersebut apalagi kalau nilai sekarang pembayaran sewaguna mendekati
nilai pasar komputer pada saat penandatanganan kontrak. Kriteria c ini praktis
tidak mempunyai daya klasifikasi karenaa pada umumnya kontrak sewaguna
berjangka lebih dari dua tahun sehingga selalu dapat dipenuhi.
Jadi, kriteria kapitalisasi menurut PSAK No. 30 adalah lemah bahkan kosong
dengan makna kesubstantifan transaksi sebagai pembelian sehingga kalau suatu
sewaguna memenuhi ketiga kriteria kapitalisasi tersebut maka klasifikasi
tersewaguna akan bersifat arbitrer. Sewaguna yang memenuhi kriteria tersebut
sebagai sewaguna kapital mungkin secara substantif adalah sewaguna biasa atau
sebaliknya yang diklasifikasikan sewaguna biasa sebenarnya sewaguna kapital.
Karena ketiga kriteria harus dipenuhi, sementara kriteria c tidak relevan, maka
hanya kriteria a dan b yang potensial membedakan sewaguna. Kalau kriteria b
dipenuhi tetapi kriteria a tidak dipenuhi atau tidak temuat dalam kontrak, praktis
sewaguna akan masuk sebagai sewa-menyewa biasa. Jadi, dapat dikatakan bahwa
IAI sangat cenderung untuk memperlakukan sewaguna sebagai sewaguna biasa
yang berarti mendorong adanya off-balance-sheet financing.
C. Kos Bunga
Telah disebutkan bahwa kos suatu aset adalah semua pengeluaran (menjadi
unsur kos) yang diperlukan untuk menyiapkan aset tersebut sampai siap dipakai
atau dikonsumsi sebagaimana direncanakan (intented use). Masalah yang
berkaitan dengan hal ini adalah perlakuan kos bunga sebagai unsur kos fasilitas
fisis (gedung atau pabrik) yang dibangun sendiri. Bila kesatuan usaha membangun
sendiri fasilitas fisis dengan dana pinjaman dan pembangunannya memakan
waktu yang cukup lama, masalahnya adalah apakah kos bunga selama masa
pembangunan/konstruksi dapat dikapitalisasi.
38
dengan pemerolehan suatu sumber ekonomik yang akan memberi manfaat di masa
datang untuk ditandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan oleh manfaat
tersebut. Tujuan terakhir dimaksudkan agar terjadi penandingan yang tepat
terutama bila wkatu pembangunan atau perioda pemerolehan (acquisition period)
cukup lama. Akan tetapi, kapitalisasi kos bunga hanya dilakukan apabila manfaat
informasi melebihi kos penyediaan informasi (kos administrasi dalam
mengkapitalisasi bunga).
D. Argumen Pendukung
39
E. Argumen Penolak
1. Bunga lebih merupakan kos pendanaan daripada unsur kos aset karena
perusahaan sebenarnya dapat menghindari bungan tersebut dengan
memilih alternatif pendanaan dengan ekuitas. Hal ini dibantah dengan
argumen pendukung 4 diatas.
2. Dengan konsep nilai setara tunai (cash equivalent) atau nilai sekarang
aliran kas diskunan (dicounted future cash outflows) dalam mengukur kos
suatu aset, kos pemerolehan suatu fasilitas fisis seharusnya tidak
dipengaruhi oleh kebijakan pemilihan cara pendanaan pembangunannya.
Jadi, secara teoretis, kos suatu fasilitas fisis yang dibangun sendiri oleh
suatu kesatuan usaha yang mendanainya dengan ekuitas seharusnya tidak
akan berbeda dengan fasilitas yang sama yang dibangun perusahaan lain
yang mendanainya dengan utang.
3. Dengan konsep kesatuan usaha, bunga lebih bermakna sebagai pembagian
laba (setara dengan dividen) daripada sebagai upaya (effort) untuk
memperoleh pendapatan. Mengakui bunga sebagai kos fasilitas fisis sama
saja dengan penyangkalan konsep kesatuan usaha itu dan sama saja
dengan pengakuan kos hipotesis karena mengkapitalisasi bunga (setara
dividen) seperti itu sama saja dengan mengkapitalisasi dividen yang telah
dibayarkan sebagai aset.
4. Karena merupakan kos pendanaan yang terpisah dengan kos pemerolehan
aset, alokasi kos bunga ke semua aset nonmoneter hanya akan kecil
pengaruhnya terhadap laba periode karena jumlah yang dikapitalisasi
dalam suatu perioda akan dikompensasi dengan amortisasi bunga yang
dikapitalisasi pada perioda-perioda sbelumnya. Dengan demikian, manfaat
informasional tambahan (incremental informational benefit) tidak sepadan
dengan kos akuntansi dan administratif tambahan sehingga tidak
memenuhi kriteria manfaat > kos dalam karakteristik kualitatif informasi.
F. Alternatif Perlakuan
1. Bunga tidak dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai biaya pendek.
40
2. Bunga dikapitalisasi dan dimasukkan sebagai bagian dari kos fasilitas fisis
yang dibangun sendiri, jumlah yang dikapitalisasi dapat sebesar:
a. Jumlah rupiah bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi untuk
dana yang khusus dipinjam untuk pembangunan.
b. Jumlah rupiah semua bunga yang sesungguhnya dibayar atau
terjadi untuk semua dana pinjaman yang ada. Ini dilakukan apabila
tidak ada ada khusus yang disediakan untuk pembangunan aset
bersangkutan.
c. Bunga dikapitalisasi sebesar jumlah rupiah bunga implisit dana
yang tertanam dalam perusahaan tanpa memperhatikan sumbernya.
3. Bunga dikapitalisasi tetapi tidak dimasukkan sebagai elemen kos fasilitas
fisis yang dibangun sendiri. Besarnya bunga yang dikapitalisasi dapat
didasarkan pada perhitungan seperti alternatif 2 diatas.
G. Jumlah rupiah kapitalisasian
Tiap alternatif jumlah rupiah bunga yang harus dikapitalisasi didasarkan atas
argumen atau dasar pikiran yang dibahas dibawah ini.
Alternatif (2a) didasarkan pada argumen bahwa bunga merupakan elemen kos
konstruksi tetapi hanya bunga yang memang benar-benar dibayar untuk dana
khusus tersebut yang menunjukkan unsur kos pemerolehan aset.
Alternatif (2b) berusaha untuk mengatasi kesulitan dalam usulan pertam. Dasar
pikirannya adalah bahwa semua utang dianggap digunakan untuk investasi dalam
pembangunan fasilitas fisis.
Alternatif (2c) mendasarkan diri pada asumsi bahwa bunga seluruh dana yang
tertanam dalam perusahaan merupakan kos ekonomik. Kos aset disini diartikan
sebagai “nilai” barang dan jasa yang dikorbankan dalam rangka memperoleh aset
tersebut.
41
H. Standar Yang Mengatur
Karakteristik lain suatu aset yang tidak dapat menjadi objek kapitalisasi:
a. Aset yang sudah digunakan atau yang sudah siap digunakan sesuai dengan
tujuan penggunaan dalam operasi menghasilkan pendapatan.
b. Aset yang belum digunakan dalam kegiatan menghasilkan pendapatan
perusahaan dan juga tidak mengalami penyelesaian/perbaikan atau
kegiatan lain yang diperlukan untuk menjadikan aset tersebut siap
42
digunakan dalam operasi. Jadi, kalau kegiatan konstruksi berhenti, bunga
selama berhentinya kegiatan tidak dapat dikapitalisasi.
c. Aset yang tidak dimasukkan dalam neraca konsolidasian perusahaan induk
dan perusahaan-perusahaan anaknya.
d. Investasi yang diperlakukan dengan metoda ekuitas setelah kegiatan
operasi utama yang direncanakan oleh terinvestasi dimulai.
e. Investasi dalam perusahaan regulasian (regulated investees) yang
mengkapitalisasi baik kos utang maupun ekuitas (cost of debt and equity
capital).
f. Aset yang diperoleh denga dana hadiah atau hibah yang dibatasi
pengginaannya oleh penghadiah atau penghibah semata-mata untuk
pemerolehan aset tersebut.
J. Besarnya Kapitalisasi Bunga
Secara teknis, jumlah rupiah bunga yang dikapitalisasi dalam suatu perioda
akuntansi selama perioda pemerolehan adalah tingkat bunga atau tarif kapitalisasi
(capitalization rate) dikalikan dengan rata-rata pengeluaran dana untuk konstruksi
selama perioda akuntansi tersebut. Jumlah rupiah bunga total yang dikapitalisasi
tentu saja tidak boleh melebihi jumlah rupiah bunga total yang terjadi dalam
perioda tersebut.
K. Perioda Kapitalisasi
a. Pengeluaran untuk pembangunan aset telah dilakukan atau terjadi.
b. Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan
sampai siap dipakai masih berlangsung.
43
c. Kos bunga telah terhimpun (accrued) atau terjadi bersamaan dengan
berjalannya pembangunan aset.
L. Pengungkapan
a. Bila tidak ada kos bunga yang dikapitalisasi, total bunga yang terjadi
selam perioda dan dibebankan sebagai biaya perioda tersebut.
b. Bila sebagian kos bunga dikapitalisas, bunga total yang terjadi dan bagian
yang dikapitalisasi.
M. Penyajian
a. Aset disajikan disisi debit atau kiri dalam neraca berformay akun atau
dibagian atas dalam neraca berformat laporan.
b. Aset diklasifikasi aset lancar dan tetap.
c. Aset diurutkan peyajian atas dasar likuiditas atau kelancarannya, yang
paling lancar dicantumkan pada urutan pertama.
d. Kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos tertentu harus
diungkapkan (misalnya metoda depresiasi aset tetap dasar penilaian
persediaan barang).
44
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aset merupakan elemen neraca pembentuk informasi semantik berupa posisi
keuangan dan merepresentasi potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan
badan usaha untuk menyediakan barang dan jasa. Secara resmi aset didefinisi
sebagai manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang dikuasasi oleh
suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Manfaat ekonomik aset ditunjukkan oleh potensi jasa (service potential) atau
utilitas (utility) yang melekat padanya yaitu suatu daya atau kapasitas langka
(scarce) yang dapat dimanfaatkan kesatuan usaha dalam upayanya untuk
mendatangkan pendapatan melalui kegiatan ekonomik yaitu konsumsi, produksi,
dan pertukaran atas dasar konsep substansi daripada bentuk, suatu objek cukup
dikuasasi dan tidak perlu dimiliki oleh kesatuan usaha untuk dapat disebut sebagai
aset ke satuan usaha.
Penguasaan dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian, penemuan,
perjanjian, produksi, penjualan, pertukaran, peminjaman, penjaminan,
pengkonsignaan, dan berbagai transaksi komersial lainnya. Penguasaan harus
didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. Bahwa aset harus timbul akibat
transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi tetapi
bukan kriteria untuk pengakuan. Beberapa karakteristik merupakan pendukung
yang menyakinkan adanya aset. Karakteristik tersebut adalah melibatkan kos
(acquired at a cost), berwujud (tangible), tertukarkan (exchangeable), terpisahkan
(severable), dan penegasan atau kekuatan secara legal (legally enforceable).
Dengan konsep kontinuitas usaha pos atau sumber ekonomik akan mengalami
tiga tahap perlakuan sejalan dengan aliran fisis kegiatan usaha yaitu tahap
pemerolehan (acquisition), pongolahan (processing), dan penjualan/penyerahan
(sales/delivery). Secara aliran informasi, aliran fisis suatu sumberlekonomik, atau
objek harus direpresentasi dalam kos tehingga hubungan antarobjek. Bermakna
sebagai informasi. Kos merupakan representasi kuantitatif suatu objek. Oleh
45
karena itu, kos juga mengalami tiga tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran
fisis yaitu: pengukuran (measurement), penelusuran (trecing), dan pembebanan
(charging). Penentuan kos suatu objek pada saat pemerolehan merupakan bal
yang sangat kritis karena penentuan ini akan mempengaruhi pengukuran aset dan
biaya selanjutnya khususnya pada tahap pembebanan. Pengukur aset pada saat
pemerolehan yang paling objektif adalah penghargaan sepakatan.
Bila transaksi terjadi dalam mekanisma pasar bebas antara pihak independen,
kos tunai (cash cost) adalah pengukur aset yang paling valid dan objektif. Bila kos
barang atau jasa yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang atau jasa lain
(nonkas), kos merupakan jumlah rupiah tunai yang secara implisit melekat pada
nilai jual barang atau jasa yang diserahkan dalam pertukaran tersebut. Jumlah
rupiah melekat ini disebut jumlah setara tunai (money or cash equivalent) atau kos
tunai terkandung atau implisit (implied cash cost) dari wujud penghargaan yang
diserahkan oleh pemeroleh aset. Bila aset diperoleh tanpa penghargaan (misalnya
hadiah), kos aset ditentukan atas dasar setara tunai atau kos tunai terkandung asat
yang diterima pada saat transaksi atau kejadian. Cara penentuan kos adalah unik
untuk berbagai jenis transaksi: barter, saham sebagai pengbargaan, reorganisasi,
hadiah/hibah, temuan, dan pembelian kredit.
Potongan tunai secara teoretis tidak dapat diperlakukan sebagai pendapatan
tetapi lebih merupakan penghematan kos. Lebih jauh, kalau potongan tunai
memang ditawarkan, ketidakmampuan memanfaatkan potongan merupakan suatu
salah kelola (missmanagement) sehingga jumlah itu harus diakui sebagai rugi.
Kos yang merepresentasi rugi tidak dapat menjadi bagian dari aset karena
hilangnya atau tiadanya manfaat ekonomik masa datang.
Penilaian adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu
pos aset pada sant akan dilaporkan atau disajikan dalam statemen keuangan pada
tanggal tertentu. Tujuan penilaian aset adalah merepresentasi atribut pos-pos aset
yang berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan dengan menggunakan basis
penilaian yang sesuai. Penilaian dapat didasarkan pada nilai masukan atau
keluaran bergantung pada tujuan merepresentasi aset. Secara umum nilai masukan
terdiri atas kos historis, kos pengganti, dan kos harapan sedangkan nilai keluaran
46
terdiri atas harga jual masa lalu, harga jual sekarang, dan nilai terrealisasi harapan.
Nilai aset secara umum didasarkan pada nilai pertukaran dengan
mempertimbangkan objektivitas penilaian dan relevansi terhadap aliran kas. Oleh
karena itu, tiap dasar penilaian mempunyai keunggulan dan kelemahan serta
kondisi keterterapannya.
Pengakuan dan penyajian aset biasanya ditentukan dalam standar akuntansi
yang mengatur tiap pos aset. Masalah akuntansi yang menyangkut pengakuan bi-
asanya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos atau jumlah rupiah yang
terlibat dalam (transaksi, kejadian, atau keadaan tertentu dapat diasetkan). Hal ini
biasanya berkaitan dengan antara lain sewaguna, bunga selama masa konstruksi
aset tetap, riset dan pengembangan, eksplorasi minyak dan gas bumi, rugi selisih
kurs valuta asing, dan sumber daya manusia.
47
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
48