Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Elemen-elemen statemen keuangan adalah makna yang sengaja ditentukan
dalam perekayasaan untuk merepresentasi realilas kegiatan badan usaha sehingga
orang dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang realitas tersebut secara
keuangan tanpa harus menyaksikan sendiri secara fisis realitas tersebut. Salah satu
komponen rerangka konseptual adalah identifikasi dan definisi elemen. FASB
mendefinisi tiga belas elemen statemen keuangan (termasuk tiga elemen aliran
kas).
Bab ini dan beberapa bab berikutnya membahas teori tentang elemen-elemen
tersebut. Teori elemen statemen keuangan tidak terbalas pada penalaran tentang
definisi tetapi meliputi pula penalaran tentang pengukuran, penilaian, pengakuan,
penyajian, dan pengungkapan. Penalaran ini menjadi basis pemilihan kebijakan
baik pada tingkat perekeyasaan maupun penetapan standar. Pada tingkat
penetapan standar, teori tentang elemen statemen keuangan mendasari perlakuan
akuntansi yang ditetapkan dalam standar akuntansi. Oleh karena itu, pembahasan
elemen dalam bab ini dan beberapa hal berikut yang difokuskan pada perlakuan
akuntansi elemen atau pos yaitu definisi/pengertian, pengukuran/penilaian,
pengakuan, dan penyajian/pengungkapan.
Konsep kesatuan usaha menegaskan bahwa perusahaan merupakan entitas yang
berdiri sendiri dan bertindak atas namanya sendiri dan perusahaan menjadi fokus
pelaporan ini berarti bahwa fungsi pengelolaan dan pemilikan terpisah sehingga
hubungan keduanya dipandang sebagai hubungan bisnis. Hubungan bisnis
menghendaki agar manajemen bertanggung jelas kepada kreditor dan investor atas
sumber ekonomik yang dipercayakan kepadanya. Hubungan bisnis dapat
dipertahankan kalau aset yang dikelola manajemen selalu ditunjukkan asal atau
sumbernya (kewajihan dan ekuitas). Setelah badan usaha berdiri dan pemiliknya
menanamkan dana ke badan usaha, upaya badan usaha dalam mendatangkan
pendapatan dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang melibatkan

1
pemerolehan berbagai aset. Pemerolehan aset pada umumnya dilakukan melalui
pertukaran potensi jasa yang telah dimiliki badan usaha atau melalui utang.
Walaupun aset dan kewajiban sangat erat kaitannya dalam rangka pemerolehan
aset, pembahasan kedua elemen tersebut akan dipisahkan.
Ekuitas dibahas paling akhir setelah elemen pendapatan, biaya, dan laba karena
memerlukan pemahaman dasar atas elemen-elemen tersebut. Aset merupakan
elemen neraca yang akan membentuk informasi semantik berupa posisi keuangan
bila dihubungkan dengan elemen yang lain yaitu kewajiban dan ekuitas. Aset
merepresentasi potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan badan usaha
untuk menyediakan barang dan jasa.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Definisi Aset .


2. Bagaimana Pengukuran Dalam Aset.
3. Bagaimana Rugi Dalam Pemerolehan Aset.
4. Bagaimana Penilaian Terhadap Aset.
5. Bagaimana Pengakuan Terhadap Aset.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk Definisi Aset.


2. Untuk Pengukuran Dalam Aset.
3. Untuk Rugi Dalam Pemerolehan Aset.
4. Untuk Penilaian Terhadap Aset.
5. Untuk Pengakuan Terhadap Aset.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.2 Pengertian Aset

FASB mendefinisikan aset dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut


(SFAC No. 6, prg. 25):

Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a


particular entity as a result od past transactions or events.

Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang diperoleh
atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau
kejadian masa lalu.

Dengan makna yang sama, IASC mendefinisikan aset sebagai berikut .

An assets is a resource controlled by the enterprise as a result of past events


and from which future economic benefits are expected to flow to the enterprise.

Sebuah aset adalah sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan sebagi
hasil dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi masa depan
diharapkan mengalir ke perusahaan.

Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting


Standards Board (AASB) mendefinisikan aset sebagai berikut (prg. 12):

Assets are service potential or future economic benefits controlled by the


reporting entity as a result of past transaction or other past events.

Aset adalah potensi layanan atau manfaat ekonomi masa depan yang
dikendalikan oleh entitas pelapor sebagai akibat dari transaksi masa lalu atau
peristiwa masa lalu lainnya.

Definisi yang menggabungkan makna, pengukuran dan pengakuan diajukan


oleh APB dalam APB No.4 sebagai berikut : (prg. 132)

3
Assets economic resources of an enterprise that are recognized and
measured in confornity with generally accepted accounting principles. Assets also
include certain deferred charges that are not resources but that are recognized
and measured in confornity with generally accepted accounting principles.

Aset sumber daya ekonomi dari perusahaan yang diakui dan diukur sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum aset juga termasuk biaya
ditangguhkan tertentu yang bukan sumber daya tetapi yang diakui dan diukur
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Definisi FASB dan AASB cukup luas dibanding definisi yang lain karena aset
disifati sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber
ekonomic (resources) karena manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk atau
jenis sumber ekonomik yang dapat dimasukkan sebagai aset. Definisi tersebut
tidak membedakan antara aset real (real assets) dan aset finansial (financial
assets) dan antara sumber ekonomik (resources) dan nonsumber ekonomic
(nonresources).

APB No. 4 merinci aset yang digolongkan sebagai sumber ekonomic sebagai
berikut (prg. 57):

1. Sumber produktif (productive resources) :


a. Sumber produktif kesatuan usaha yang meliputi bahan baku, gedung,
pabrik, perlengkapan, sumber alam, paten dan semacamnya, jasa dan
sumber lain yang digunakan dalam produksi barang dan jasa.
b. Hak kontraktual atas sumber produktif meliputi semua hak untuk
menggunakan sumber ekonomik pihak lain dan untuk mendapatkan
barang atau jasa dari pihak lain.
2. Produk (products) yang merupakan keluaran kesatuan usaha terdiri atas :
a. Barang jadi yang menunggu penjualan
b. Barang dalam proses

3. Uang (money)

4
4. Klaim untuk menerima uang (claims to receive money)

5. Hak pemilikan atau investasi pada perusahaan lain (ownership interest in


other enterprises)

APB menggolongkan bentuk atau jenis aset selain yang disebut diatas sebagai
non sumber ekonomik meskipun tetap masuk dalam pengertian aset. Nonsumber
ekonomik meliputi beban atau pengurang pendapatan tangguhan (deferred
change) seperti: goodwill, rugi selisih kurs, kos organisasi, dan beberapa pos yang
timbul akibat penyesuaian (sering disebut pos-pos transitoris).

Dengan berbagai perbedaan diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa


terdapat tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek atau pos
dapat disebut aset yaitu:

a) Manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti


b) Dikuasai atau dikendalikan oleh entitas
c) Timbul akibat transaksi masa lalu.

Kriteria (a) merupakan kriteria utama dan lebih memuat aspek semantik
sedangkan kriteria (b) dan (c) lebih memuat aspek pengakuan daripada semantik.

A. Manfaat Ekonomik

Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat
ekonomik dimasa datang yang cukup pasti (probable). Ini mengisyaratkan bahwa
manfaat tersebut terukur dan dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk
mendatangkan pendapatan atau aliran kas dimasa datang. Sejalan dengan APB,
FASB menyatakan bahwa aset adalah sumber ekonomik karena potensi jasa
(service potential) atau utilitas (utility) yang melekat didalamnya yaitu suatu daya
atau kapasitas langka (scarce) yang dapat dimanfaatkan kesatuan usaha dalam
upayanya untuk mendatangkan pendapatan melalui kegiatan ekonomik yaitu
konsumsi produksi dan pertukaran berkaitan dengan manfaat ekonomik ini, FASB
mengajukan dua hal yang harus dipertimbangkan dalam menilai apakah pada saat
tertentu suatu pos atau objek masih dapat disebut aset yaitu :

5
a) Apakah suatu pos yang dikuasai oleh suatu kesatuan usaha pada mulanya
mengandung manfaat ekonomik masa datang.
b) Apakah semua atau sebagian manfaat ekonomik tersebut masih tetap ada
pada saat penilaian.
B. Dikuasai Oleh Entitas

Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh
entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas pemilikan (ownership) mempunyai
makna yuridis atau legal. Artinya, untuk memiliki suatu objek diperlukan proses
yang disebut transfer hak milik (transfer of title). Bila pemilikan menjadi kriteria
asset, akan banyak pos yang tidak masuk sebagai aset sehingga tidak dapat
dilaporkan dalam neraca. Dengan kata lain, kepemilikan sebagai kriteria akan
mengakibatkan banyak pos dilaporkan diluar neraca (off-balance sheet).

Oleh karena itu, konsep penguasaan (kendali) lebih penting daripada konsep
pemilikan. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk
yuridis (substance over form). Substansi atau tujuan dari pemilikan adalah
penguasaan. Penguasaan disini berarti kemampuan entitas untuk mendapatkan,
memelihara/menahan, menukar mengguakan manfaat ekonomik dan mencegah
akses pihak lain terhadap manfaat tersebut. Dengan demikian, pemilikan
(misalnya dengan cara membeli) dan hak secara hukum (legal rights) hanya
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan penguasaan atau kendali. Most
(1982, hlm. 341-342) mengemukakan bahwa penguasaan atau kendali terhadap
suatu objek dapat diperoleh dengan cara:

1. Pembelian (by purchase)


2. Pemberian (by gift)
3. Penemuan (by discovery)
4. Perjanjian (by agreement)
5. Produksi/transformasi (by production/transformation)
6. Penjualan (by sale)

6
7. Lain-lain seperti pertukaran (by barter), peminjaman (by loan),
penjaminan (by bailment), pengkonsignan (by consignment), dan berbagai
transaksi komersial (by commercial transactions) yang diakui hukum atau
kebiasaan bisnis
C. Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu

Telah dibahas dalam rerangka konseptual bahwa kriteria pengakuan elemen


adalah definisi, keterukuran, keberpautan, dan keterandalan. Bahwa aset harus
timbul akibat transaksi atau kejadian masa lalu dalam kriteria memenuhi definisi
tetapi bukan kriteria untuk pengakuan. Jadi, manfaat ekonomi dan penguasaan
atau hak atas manfaat saja tidak cukup untuk memasukan suatu objek sebagai aset
kesatuan usaha untuk dilaporkan via statemen keuangan (neraca). Kriteria
pengakuan yang lain harus dipeuhi (keterandalan, keberpautan, dan keterukuran).

D. Karakteristik Pendukung

Selain karakteristik diatas, FASB menyebut beberapa karakteristik pendukung


yaitu:

1. Melibatkan kos (acquired at a cost)


Bila kos terjadi karena pemerolehan suatu objek terjadi akibat pertukaran atau
pembelian, objek tersebut lebih kuat masuk sebagai aset. Akat tetapi, tiadanya kos
tidak membatalkan suatu objek sebagai aset. Suatu aset bisa diperoleh misalnya
dari hadiah yang tidak melibatkan pengeluaran sumber ekonomik. Walaupun
demikian, kos objek tersebut harus tetap ditentukan atau ditaksir secara layak
sebagai dasar pencatatan pertama kali.
Jadi, meskipun suatu kesatuan usaha umumnya mengeluarkan atau
mengorbankan sumber ekonomik (menjadi kos), kos terjadi tersebut tidak
sendirinya membentuk aset. Esensi aset lebih terletak pada manfaat ekonomik
masa datang daripada terjadinya kos. Walaupun demikian, terjadinya kos
merupakan hal penting untuk mengaplikasikan definisi kos karena dua hal yaitu:
(1) Sebagai bukti pemerolehan suatu aset dan
(2) Sebagai pengukur atribut aset yang cukup objektif.

7
2. Berwujud (tangible)
Bila suatu sumber ekonomni secara fisis dapat diamati, dia memang lebih kuat
disebut sebagai aset. Objek-objek seperti hak paten, hak cipta, merek dagang, dan
goodwill tetap dapat dimasukkan sebagai aset meskipun tidak berwujud fisis. Pada
umumnya, pos-pos takberwujud yang masuk dalam kategori aset lancar tidak
disebut sebagai aset takberwujud (intangible). Most (1982, hlm. 379) mengajukan
tiga tes (kriteria) untuk memasukkan suatu pos ke dalam aset takberwujud, yaitu:
(1) Apakah pos tersebut diperoleh dari suatu transaksi dengan pihak
independen (arm’s lenght transaction)? Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi penilaian lebih (over-valuation) atas aset takberwujud.
(2) Dapatkah manfaat ekonomik masa datang yang diharapkan
diidentifikasi? Dapat diidentifikasi artinya dapat dikaitkan dengan
kemampuan perrusahaan mendatangkan laba di masa datang. Hal ini
dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa objek takberwujud memenuhi
kriteria utama aset.
(3) Dapatkah kos pos tersebut dipisahkan dengan kos aset lain yang
diperoleh? Misalnya suatu kesatuan usaha membeli sebuah mesin yang
secara khusus dirancang oleh perusahaan lain riset dan pengembangan.
Kos mesin sudah termasuk kos riset dan pengembangan. Kos riset dan
pengembangan dapat menjadi aset takberwujud bagi pembeli mesin
bila rancang bangun (design) menjadi hak ekslusif pembeli dan kosnya
dapat dipisahkan dari kos kontrak pembuatan mesin.
3. Tertukarkan (exchangeble)
Beberapa penulis mengajukan gagasan atau argumen bahwa untuk memenuhi
syarat sehagai aset, suatu sumber ekonomik harus dapat ditukarkan dengan
sumber ekonomik lainnya. Syarat ini diajukan dengan alasan bahwa manfaat
ekonomik akan menjadi cukup pasti dan terukur kalau suatu sumber ekonomik
mempunyai daya atau nilai tukar. Dengan kata lain, manfaat ekonemik diturunkan
dari daya tukar. Syarat dan argumen ini disanggah karena manfaat ekonomik
tidak banya terletak pada daya tukar tetapi juga dari daya guna suatu ebjek untuk
produkas. Mesin, misalnya, mungkin selali tidak mempunyai daya tukar tetapi

8
dapat digunakan untuk menghasilkan produk. Bahkan hampir sebagian besar aset
manfaatnya didapat dari penggunaan daripada dari pertukaran. Sebagaimana
dikutip Kam (1990, hlm. 107-108), Moonitz menyatakan bwaah " exchange does
not make values, it merely reveals them”.
1. Terpisahkan (severable)
Syarat ini diajukan berkaitan dengan ketertukaran (exhangeability). Untuk
dapat ditukarkan suatu rumber ekonomik harus dapat dipisahkan dengan sumber
ekonomik yang lain atau berdiri diri sendiri. Syarat ini digunakan oleh Chambers
dengan alasan bahwa pesisi keuangan harus ditentukan dengan pengukuran nilai
berbagai aset dan kewajiban secara individual. Kalau syarat ini dimasukkan
sebagal kriteria eset, goodwill tidak akan memenuhi syarat untuk disebut dan
diakui sebagai aset. Chambers dan MacNeal mengajukan syarat ini karena dia
tidak setuju bahwa goodwill dimasukkan sebagai aset.
Alasannya adalah pengukuran goodwill sangat subjektif dan hipotetis. Alasan
lain adalah tujuan penyajian neraca adalah melaporkan nilai bersih aset dan bukan
nilai perusahaan secara keseluruhan. Melaporkan goodwill atau semacamnya akan
menyesatkan.
Pihak yang menentang syarat keterpisahan (severability) berargumen bahwa
ketertukaran dan keterpisahan hanyalah merupakan syarat untuk memperoleh
manfaat suatu eset. Lagi pula, pemasukan goodwill sebagai aset memang tidak
dimaksudkan untuk menilai perusahaan secara keseluruhan tetapi untuk
mengidentifikasi dan menilai manfaat ekonomik masa datang bagi perusahaan.
Dengan argumen-argumen tersebut, FSAB tidak memasukkan keterpisahan
sebagai kriteria untuk mendefinisikan aset (Kam 1990, hlm. 108).
2. Berkekuatan hukum (legally enforcable)
Penguasaan atau hak atas ast tidak harus didukung secara yuridis formal. Klaim
seperti piutang usaha tidak harus didukung oleh dokumen yang mempunyai daya
paksa secara hukum (legaly enforceable) untuk memenuhi definisi aset. Memang
pada umumnya, kemampuan suatu entitas untuk menguasai manfaat ekonomik
timbul akibat hak-hak hukum (legal rights). Meskipun demikian, hak paksa yang
melekat pada hak-hak hukum bukan merupakan syarat mutlak untuk mengakui

9
adanya aset kalau suatu entitas dapat memperoleh dan menguasai manfaat dengan
cara lain sebagaimana dibahas sebelumnya (misalnya dengan cara perjanjian atau
penemuan).
3.2 Pengukuran Dalam Aset
Pengukuran adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu
objek aset pada saat terjadinya yang akan dijadikan data dasar untuk mengikuti
aliran fisis objek tersebut. Sebagai aliran informasi, kos juga mengalami tiga
tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran fisis yaitu:
1. Pengukuran (measurement), pengakuan (recognition) dan klasifikasi
(classification) pertama kali pada saat terjadinya. Untuk selanjutnya
seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut pengukuran.
2. Pencatatan berikutnya dalam rangka mengikuti aliran fisis aset berupa
alokasi, distribusi, dan penggabungan untuk kepentingan
internal/manajerial atau untuk kepentingan pengkosan produk. Untuk
selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut penelusuran
(tracing).
3. Pembebanan kependapatan periode berjalan atau periode-periode yang
akan datang kos yang belum jadi beban pendapatan (biaya) akan tetap
melekan pada objek menjadi aset badan usaha. Untuk selanjutnya
seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut pembebanan ke pendapatan.
Gambar 6.1
Tahap Perlakuan Sumber Ekonomik dan Kos yang Merepresentasinya

Gambar 6.1 diatas melukiskan perlakuan dan objek dan kos sebagai
pengukurannya. Gambar tersebut menunjukkan bahwa secara konseptual suatu

10
sumber ekonomik harus diperlakukan dahulu sebagai aset dan baru kemudian
diperlakukan sebagai biaya pada saat aset tersebut dianggap telah keluar dari
kesatuan usaha dan mendatangkan pendapatan. Walaupun demikian, secara teknis
pembukuan atau karena alasan kepraktisan, dapat saja suatu sumber ekonomik
langsung dicatat sebagai upaya (biaya) sehingga kosnya langsung didebit ke akun
biaya tanpa melalui akun aset. Misalnya, jumlah rupiah (kos) pembayaran sewa
gedung langsung didebit ke akun Biaya Sewa Gedung. Bila suatu pengeluaran
sumber ekonomik yang mengukur kos suatu objek dicatat sebagai aset, tia
dikategori sebagai pengeluaran untuk pengeluaran (capital expenditure)
sedangkan kalau tia dicatat sebagai biaya, tia dikategorikan sebagai pengeluaran
untuk pendapatan (revenue expenditures).

Perlu ditegaskan kembali bahwa kos adalah pengukur sedangkan aset dan biaya
adalah elemen yang diukur. Sebagai pengukur elemen, kos melekat pada aset atau
biaya sehingga kos, aset, dan biaya, ketiganya sering dirancukan. Kerancuan dapat
timbul karena secara teknis pembukuan suatu kos dapat dibebankan atau didebit
ke aset atau biaya pada saat terjadinya.

Gambar 6.2 melukiskan hubungan antara kos, aset, dan biaya serta perlakuan
kos secara teknis dan konseptual. Gambar ini menguraikan lebih lanjut Gambar
6.1 sebelumnya dalam kaitannya dengan pengeluaran untuk modal atau untuk
pendapatan.

Gambar 6.2

Hubungan Kos, Aset, dan Biaya

11
Bila suatu pengeluaran langsung dicatat sebagai biaya, secara konseptual
dianggap bahwa kos objek bersangkutan dicatat sebagai aset dan kemudian pada
saat yang sama kos tersebut langsung dipindah ke biaya. Dengan kata lain, secara
konseptual kos semua sumber ekonomik yang diperoleh dianggap telah
diperlakukan sebagai aset walaupun hanya sesaat. Akibatnya, pos aset misalnya
sediaan sering dinyatakan dalam pengakurnya sebaga kos sediaan; sediaan sering
diidentikkan dengan kos sediaan.

Sementara itu, kos juga melekat pada biaya sehingga biaya sering disebut
dengan kos saja. Memang biaya selalu dapat disebut kos kareae kos melekat di
dalamnya tetapi kos tidak selalu dapat disebut biaya sebelum kos tersebut
dipindah ke biaya sebagai pengurang/debit/beban pendapatan. Karena kos
merepresentasi manfaat ekonomik, bila kos diperlakukan sebagai aset, kos itu
disebut dengan kos belum habis atau takterhabiskan (unexpired cost) artinya kos
yang belum habis dimanfaatkan dalam menghasilkan pendapat an. Bila manfaat
ekonomik telah digunakan dalam mendatangkan pendapatan, bagian dari kos aset
yang merepresentasi manfaat yang telah dihabiskan disebut dengan kos
terhabiskan (expired cost) dan menjadi pengukur biaya. Atas dasar uraian di atas
dapat dikatakan bahwa penentuan kos suatu objek pada saat permerolehan
merupakan hal yang sangat penting dan kritis karena penentuan ini akan
mempengaruhi pengukuran aset dan biaya selanjutnya.

Bab ini memfokuskan pembahasan pada pengukuran aset sedangkan tahap


pembebanan diuraikan dalam pembahasan pendapatan dan biaya di Bab 8 dan
Bab 9, Tahap penelusuran biasanya dibahas cukup mendalam dalam mata kuliah
akuntansi kos.

A. Kos Sebagai Pengukur dan Bahan Olah Akuntansi.

Konsep dasar penghargaan sepakatan menegaskan bahwa pengukur aset pada


saat pemerolehan yang paling objektif adalah jumlah rupiah yang terlibat dalam
transaksi pertukaran antara dua pilak independen yang sama-sama berkehendak
(arm's lenght bargaining). Jumlah rupiah tersebut akan menjadi pengukur aset

12
yang diperoleh kesatuan usaha dan akan menjadi bahan olah akuntansi yang
disebut kos. Jadi, kos dalam arti luas mempunyai makna sebagai agregat harga
(price agregate) dalam pemerolehan suatu aset.

Jadi, penghargaan sepakatan (kos) dalam transaksi antar pihak independen


menjadi dasar pengukuran karena jumlah rupiah tersebut dianggap cukup
terandalkan untuk mendekati/mengaproksimasi nilai sebenarnya (true value) atau
nilai wajar (fair value) suatu objek pada saat transaksi. Nilai sebenarnya atau nilai
wajar tidak dapat diamati tetapi dapat diaproksimasi dengan penghargaan
sepakatan Penghargaan sepakatan akan berbeda atau bervariasi antar transaksi
yang sama yang terjadi berkali-kali untuk objek yang sama (baik dari satu entitas
atau pun berhagai entitas). Kos yang didasarkan atas penghargaan sepakatan lebih
terandalkan karena penyebarannya lebih terpusat atau variansi (variance) lebih
kecil atau sempit daripada kos yang disasarkan atas penilaian secara subjektif atau
selain penghargaan sepakatan. Dengan kata lain, kos atas dasar penghargaan sepa
katan lebih akurat (accurate) daripada atas dasar yang lain. Hal ini dapat
dilukiskan dalam Gambar 6.3 berikut.

Gambar 6.3

Keterandalan Kos Atas Dasar Penghargaan Sepakatan

Mean atau rata-rata dari berbagai penghargaan sepakatan atau subjektif yang
telah terjadi dapat dianggap sebagai estimator dari nilai sebenarnya (true value).
Seandainya rata-rata tersebut sama dengan nilai sebenarnya, penghargaan
sepakatan 1 yang muncul dalam Panel A lebih terandalkan karena lebih mendekati

13
nilai sebenarnya dibandingkan dengan penghargaan subjektif 1 dalam Panel B1.
Pengukuran selain atas dasar penghargaan sepakatan kemungkinan dapat
menghasilkan rata-rata yang menyimpang dari nilai sebenarnya sebagaimana
dilukiskan dalam distribusi B2. Perbedaan rata-rata yang terjadi disebut bias.
Panel B2 dalam gambar tersebut menunjukkan adanya bias ke arah penghargaan
yang lebih tinggi (over-valuation). Hal ini terjadi misalnya kalau seseorang
mempunyai harang yang tidak ingin dijualnya telapi ada orang yang tertarik sekali
dengan barang tersebut dan bersedia membeli dengan harga mahal, Sebaliknya,
dalam keadaan butuh uang atau di bawah tekanan, orang terpaksa menerima
penghargaan rendah atas barang yang dijualnya.

B. Penghargaan Sepakatan Sebagal Bukti

Transaksi pertukaran (jual-beli) dapat dijadikan landasan untuk menentukan


kos yang terandalkan karena penghargaan sepakatannya didasarkan atas
mekanisma pasar yang bebas sehingga tia menjadi bukti validitas pengukuran kos
lebih-lebih dalam mekanisma pasar sempurna (perfect market). Telah disinggung
di atas bahwa mekanisma pasar bebas menjaminan menghendaki agar:

a) Pihak bertransaksi sama-sama berkehendak dan bebas tanpa tekanan atau


ancaman.
b) Pihak bertransaksi sama-sama berkemampuan memperoleh informasi
secara bebas
c) Barang yang dipertukarkan cukup standar (umum) dan tersedia cukup
banyak di pasar bebas.

Dengan kata lain, cukup banyak penjual dan pembeli sehingga tak seorangpun
cukup kuat untuk mempengaruhi harga.

Kondisi (a) menghindari adanya transaksi sepihak. Transaksi-transksi seperti


merger, likuidasi, dan akuisisi internal sering dilakukan secara sepihak atas
kehendak pihak yang lebih berkuasa. Demikian juga, gaji staf yang ditentukan
oleh perusahaan yang dikuasai dan dimiliki oleh staf itu sendiri mungkin tidak
mencerminkan harga pasar yang berlaku untuk jasa tenaga kerja. Kos yang terlibat

14
dalam suatu transaksi perlu diragukan validitasnya bilamana faktor emosional dan
nonmekanisma pasar lebih dominan menentukan kos.

Kondisi (b) menjamin bahwa penghargaan sepakatan benar-henar merefleksi


nilai wajar atau nilai sebenarnya yaitu nilai yang paling objektif. Bila pihak yang
bertransaksi tidak mempunyai pengetahuan dan informasi sama (terjadi asimetri
informasi), penghargaan sepakatan mungkin tidak lagi merefleksi nilai wajar.
Sebagai contoh, harga yang disepakati dalam jual-beli mobil bekas tidak
menggambarkan nilai wajar kalau pembeli tidak tahu benarkondisi mobil yang
sesungguhnya karena sengaja disembunyikan oleh penjual. Tidak samanya
kemampuan dan informasi antara pembeli dan penjual ini menjadikan jual-beli
tersebut sebagai transaksi sepihak.

Kondisi (c) dimaksudkan untuk meyakinkan keobjektifan kos atas dasar


penghargaan sepakatan karena harga yang disepakati dalam tawar-menawar antara
dua pihak yang bebas biasanya menunjukkan nilai wajar yang berlaku pada saat
transakai. Hal ini benar khususnya untuk barang atau jasa yang bersifat standar
dan relatif mudah diperoleh. Barang atau objek yang bersifat sangat khusus
dengan pemasaran yang sangat terbatas seperti misalnya adibusana, hak
pengelolaan hutan, hak paten, harga transter pemain sepakbola, atau perusahaan
yang sudah berdiri lama mempunyai nilai tunai yang acapkali hanyalah
merupakan hasil pertimbangan (judgment) dan taksiran para pihak yang
melakukan transaksi atas dasar analisis dan pertimbangan subjektif terhadap
kondisi yang ada pada snat transaksi karena tiadanya pasar bebas.

Jadi, bila kondisi-kondisi diatas tidak dipenuhi, penghargaan sepakatan yang


terjadi tidak dapat diterima begitu saja sebagai pengukur kos yang objektif.
Walaupun demikian berdasarkan konsep dasar relativitas bukti (verifiable
objective evidence) dapat dianggap bahwa penghargaan yang akhirnya dicapai
merupakan bukti yang terbaik diperoleh (best obtainable) sebagai dasar penentuan
kos.

15
C. Pengukuran Kos

Dalam praktiknya, pemerolehan aset merupakan proses yang tidak terjadi


begitu saja selesai dalam satu kegiatan tetapi terdiri atas serangkaian kegiatan
misalnya, menempatkan order, menerima barang, meneliti kecocokan,
mengangkut barang, mencoba barang, menyimpan atau menempatkan barang, dan
akhirnya menggunakan barang tersebut. Tiap kegiatan biasanya melibatkan
pengorbanan sumber ekonomik. Oleh karena itu, besar kecilnya kos yang harus
dicatat pertama-kali sebagai pengukur suatu aset pada saat pemerolehan
ditentukan oleh dua hal yaitu:

1. Batas Kegiatan
Batas kegiatan berkaitan dengan masalah unsur pengorbanan sumber ekonomik
(kegiatan) apa saja yang membentuk kos suatu aset. Secara teoretis dan sebagai
ketentuan umum, batas akhir kegiatan untuk memasukan unsur kos sebagai bagian
dari kos aset adalah saat dimulainya penggunaan aset. Dengan kata lain, secara
konseptual pembentuk kos sualu aset (baik berwujud atau tidak) adalah semua
pengeluaran (pengorbanan sumber ekonomik) yang terjadi atau yang diperlukan
akibat kegiatan pemerolehan suatu aset sampai dia ditempatkan dalam kondisi
siap dipakai atau berfungsi sesuai dengan tujuan pemerolehannya.
2. Jenis Penghargaan
Agar penghargaan yang telah disetujui dapat dicatat dalam sistem akuntansi,
penghargaan tersebut harus dinyatakan dalam satuan uang. Persyaratan ini akan
mudah dilakukan kalau penghargaan tersebut berwujud uang tunai (kas). Seluruh
jumlah rupiah yang disepakati sebagai penghargaan pada saat transaksi akan
membentuk kos yang paling objektif karena tidak lagi melibatkan interpretasi atau
pertimbangan penilaian. Bila transaksi terjadi dalam mekanisma pasar bebas
antara pihak independen, kos tunai (cash cost) adalah pengukur aset yang paling
valid dan objektif.
Kalau sumber ekonomik nonkas merupakan penghargaan yang digunakan dalam
transaksi, pengukur yang ideal untuk menentukan kos aset yang diperoleh adalah
jumlah rupiah uang tunai yang akan diperoleh seandainya sumber ekonomik

16
tersebut dijual dulu secara tunai kepada umum. Kos barang atau jasa yang
diperoleh secara tunai adalah jelas merupakan jumlah rupiah uang yang
dibayarkan sedangkan kos barang atau jasa yang diperoleh melalui pertukaran
dengan barang atau jasa lain adalah jumlah rupiah tunai yang secara implisit
melekat pada nilai jual barang atau jasa yang diserahkan dalam pertukaran
tersebut. Jumlah rupiah melekat ini disebut Jumlah setara tunai (money or cash
equivalent) atau kos tunai terkandung atau imiplisit (implied cash cost) dari
wujud penghargaan yang diserahkan oleh pemeroleh aset.
Bila aset diperoleh tanpa penghargaan (misalnya hadiah), kos aset ditentukan
atas dasar setara tunai atau kos tunai terkandung aset yang diterima pada saat
transaksi atau kejadian. Berikut ini dibahas berbagai dasar pengukuran kos untuk
transaksi atau kejadian pemerolehan aset dengan instrumen selain kas dan konsep
atau teori yang melandasinya.
a.) Kos Dalam Barter
Barter atau pertukaran aset adalah pemerolehan aset (biasanya aset berwujud
atau nonmoneter) dengan penghargaan berupa aset berwujud atau nonmoneter
lainnya. Bila hal ini terjadi, pengukuran aset yang diperoleh bergantung pada
apakah aset yang dipertukarkan sejenis (similar) atau taksejenis (dissimilar). Aset
sejenis artinya aset yang fungsinya sama dan tidak harus aset yang identik.
Misalnya, truk dan pick-up dianggap sejenis kalau fungsinya sama-sama untuk
pengiriman barang. Dalam barter, dapat pula terlibat kas sebagai tombok (boot)
baik dari pihak kesatuan usaha atau dari lawan barter. Bila dalam barter aset
sejenis tombok diberikan oleh lawan barter, maka barter tersebut tidak murni
sejenis tetapi campuran. Artinya, aset yang diserahkan sebagian ditukar dengan
aset sejenis dan sebagian dengan kas. Bagian yang ditukar dengan kas dianggap
sebagai barter tak sejenis sehingga dianggap melibatkan penjualan tunai. Oleh
karena itu, bagian untung yang timbul dari penjualan tunai dapat diakui sehagai
untung yang masukdalam statemen laba-rugi. Untung yang dapat diakui adalah
proporsional antara tombok dan harga pasar aset yang diterima kesatuan usaha.
Atas dasar penalaran atau teori di atas, berikut ini disarikan prinsip-prinsip
penentuan kos aset yang diterima dalam barter atau pertukaran.

17
1. Pertukaran taksejenis, tanpa pembayaran tombok:

Aset yang diterima dicatat sebesar nilai wajar/pasar aset yang diserahkan atau
nilai wajar aset yang diterima, mana yang lebih mudah atau jelas ditentukan.
Untung atau rugi yang timbul diakui pada saat pertukaran.

2. Pertukaran taksejenis, dengan pembayaran tombok:

Aset yang diterima dicatat sebesar nilai pasar aset yang diserahkan ditambah
tombok atau nilai wajar/pasar aset yang diterima. Dalam hal ini, nilai pasar aset
yang diserahkan menunjukkan kas yang akan diterima seandainya aset tersebut
dijual. Untung atau rugi yang timbul diakui pada saat pertukaran.

3. Pertukaran sejenis, tanpa pembayaran tombok:

Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku atau nilai pasar aset yang
diserahkan, mana yang lebih rendah. Ini berarti bahwa kalau terjadí untung maka
untung tidak diakui dan sebaliknya kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada
saat transaksi.

4. Pertukaran sejenis, dengan pembayaran tombok:

Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang diserahkan ditambah
tombok atau nilai pasar aset yang diserahkan ditambah tombok, mana yang lebih
rendah. Ini juga berarti bahwa kalau terjadi untung maka untung tidak diakui dan
sebaliknya kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada saat transaksi.

5. Pertukaran sejenis, dengan penerimaan tombok:

Bila terjadi rugi: Aset yang diterima dicatat sebesar harga pasar aset yang
diserahkan dikurangi kas yang diterima. Ini berarti rugi yang terjadi diakui semua
pada saat terjadinya transaksi.

Bila terjadi untung: Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang
diserahkan dikurangi porsi nilai buku aset yang diserahkan yang dianggap dijual

18
(ditukar dengan kas). Atau, nilai pasar/wajar aset yang diterima dikurangi untung
tangguhan (deferred gain).

Pertukaran sejenis dengan penerimaan tombok sebenarnya merupakan


transaksi campuran yaitu aset yang diserahkan sebagian ditukar dengan aset
sejenis dan sebagian yang lain ditukar dengan aset taksejenis (kas). Oleh karena
itu, bila terjadi untung, hanya untung yang berasal dari pertukaran taksejenis (kas)
yang dapat diakui dan sisa untung diperlakukan sebagai untung tangguhan yang
melekat pada (mengurangi kos) aset yang diterima. Untung yang dapat diakui
besarnya proporsional dengan perbandingan antara penerimaan tombok dan nilai
pasar aset yang diterima. Dapat juga dipandang bahwa nilai buku aset yang
diserahkan dipecah secara proporsional menjadi porsi nilai buku yang ditukarkan
dengan aset sejenis dan taksejenis. Pemecahan didasarkan atas perbandingan
antara tombok dan nilai pasar aset yang diterima. Berikut ini adalah formula
unsur-unsur untuk menentukan kos aset yang diterima:

Utang total = Nilai pasar aset diserahkan – Nilai buku aset diserahkan

Tombok (Kas diterima)


Untung diakui = Tombok+Nilai pasar aset diterima x Untung total

Nilai pasar aset diterima


Untung tangguhan = 𝑇𝑜𝑚𝑏𝑜𝑘+𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑠𝑒𝑡 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 x Untung total

Nilai pasar aset diterima


Porsi nilai buku sejenis = Tombok+Nilai aset diterima x Nilai buku aset diserahkan

Tombok (Kas diterima)


Porsi nilai buku taksejenis = Tombok+Nilai pasar aset diterima x Nilai buku aset diterima

Contoh Aplikasi

PT Elang, sebuah perusahhan taksi, menukarkan salah satu mobil armadanya


denganmobil sejenis yang lain. Kos mobil lama (Ford)adalah Rp 150 juta dan
telah didepresiasi sebesar Rp 74 juta yang pada saat ditukarkan mempunyai harga
pasar Rp 95 juta. Mobil lama ditukar dengan mobil tangan kedua (Toyota) yang
bernilai pasar Rp 81 juta ditambah kas Rp 14 juta. Dengan kos berapa harga mobil
Toyota harus dicatat?

19
Karena mobil lama dengan nilai buku Rp 76 juta dihargai Rp 95 juta, terjadi
untung sebesar Rp 19 juta. Perhitungan komponen-komponen berikut menentukan
kas aset yang diterima.

Rp 81 juta
Untung tangguhan = 𝑅𝑝 14 𝑗𝑢𝑡𝑎 +𝑅𝑝 81 𝑗𝑢𝑡𝑎 x Rp 19 juta = Rp 16,2 juta

𝑅𝑝 14 𝑗𝑢𝑡𝑎
Porsi nilai buku taksejenis = Rp 14 juta +Rp 81 juta x Rp 76 juta = Pr 11,2 juta

Kos Toyota akan dicatat sebesar:

Nilai buku aset diserahkan Rp 76.000.000 Nilai pasar aset diterima Rp 81.000.000

Porni nilai buku taksejenis 11.200.000 atau Utang tangguhan 16.200.000

Kos mobil Toyota Rp 64.800.000 Kos mobil Toyota Rp 64.800.000

b.) Saham Sebagai Penghargaan


Saham sebagai penghargaan merupakan salah satu bentuk pemerolehan aset
dengan barter. Dalam beberapa kasus transaksi yang menggunakan saham
perusahaan sebagai penghargaan untuk barang dan jasa yang diperoleh, nilai
nominal ataupun nilai nyataan (stated value) untuk tiap saham tidak dapat
merepresentasi kos yang sebenarnya (true value) pada saat transaksi. Pengukur
yang tepat untuk menentukan kos dalam situasi semacam itu adalah jumlah rupiah
uang tunai yang akan diterima oleh perusahaan sean dainya perusahaan
menerbitkan saham-saham yang digunakan untuk penghargaan di atas.
c) Kos Dalam Reorganisasi
Bila suatu perusahaan sudah berjalan atau beroperasi cukup lama kemudian
mengalami reorganisasi, perusahaan tersebut biasanya tidak mempunyai data kos
yang memadai untuk menentukan kos aset yang dikuasainya. Karena tujuan
reorganisasi biasanya adalah menentukan nilai perusahaan pada saat tersebut,
diperlukanlah taksiran nilai yang wajar seluruh aset perusahaan dengan
mempertimbangkan kondisi aset dan keadaan pasar pada waktu itu. Dalam
keadaan semacam itu, pengukuran kos harus didasarkan atas keadaan seakan-akan

20
perusahaan "baru berdiri" (fresh start). Jadi, dianggap bahwa aset perusahaan
merupakan suatu kesatuan berbagai aset yang baru saja dibeli.
d) Hadiah atau Hibah
Masalah khusus timbul bilamana barang atau jasa yang jelas-jelas mempunyai
manfaat ekonomik yang besar diperoleh perusahaan tanpa kos yang berarti atau
dengan kos yang tidak sebanding dengan nilai ekonomik barang yang diperoleh.
Gedung dan tanahnya yang diperoleh perusahaan melalui sumbangan atau hibah
adalah contoh pemerolehan aset tanpa kos. Walaupun demikian, ada alasan yang
kuat untuk tetap mencatat kekayaan tersebut atas dasar kos tunai implisitnya.
Alasannya adalah bahwa setiap fasilitas atau faktor ekonomik yang digunakan
dalam operasi perusahaan, tanpa memandang asalnya harus diperlakukan dengan
saksama sebagai potensi jasa. Oleh karena itu, pengakuan kos yang wajar
diperlukan untuk menentukan sccara tepat kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba (earning power) yang biasanya ditunjukkan oleh tingkat
kembalian investasi (rate of return on investment).
e) Temuan
Kadangkala terjadi bahwa suatu sumber alam atau sarana ditemukan atau
dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomik yang jauh melebihi pengeluaran
yang sebenarnya untuk memperolehnya. Di bidang eksploitasi sumber alam
misalnya, tambang minyak yang sangat berharga ditemukan dengan pekerjaan
eksplorasi dengan kos nominal (cukup rendah dibandingkan dengan hasilnya).
Demikian juga, suatu peralatan atau teknik pemrosesan yang mempunyai harga
pasar yang cukup tinggi mungkin dikembangkan dan didaftarkan hak patennya
tanpa suatu pengeluaran yang sebanding dengan nilai pasar temuan tersebut.
Dalam kondisi yang khusus seperti ini, diperlukanlah suatu pengukur baru kos
atas dasar jumlah tunai implisit. Jumlah ini adalah jumlah rupiah uang tunai (kas)
yang pasti diperlukan untuk memperoleh sumber alam atau teknik pemrosesan
tersebut seandainya keduanya sudah dalam keadaan siap pakai atau dalam status
siap dipasarkan atau dikomersialkan. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa hal
yang serupa tidak semestinya dilakukan begitu saja semata-mata untuk menaikkan
nilai aset atas dasar harapan dan peramalan atau untuk memulai catatan dengan

21
saldo yang baru. Jadi, harus ada alasan yang kuat atau kondisi yang khusus untuk
dapat melakukan pengukuran seperti di atas. Pemerolehan aset melalui
sumbangan ataupun temuan akan menimbulkan tambahan modal pemegang
saham.
f) Kos Dalam Pembelian Kredit
Dengan sistem kredit, nilai waktu uang menjadi faktor yang sangat penting
dalam mengukur kos yang sebenarnya (true cost). Kos yang sebenarnya dalam
transaksi kredit bukanlah berapa nilai kontrak yang harus dilunasi dalam beberapa
kali angsuran tetapi berapa kos yang sebenarnya pada saat transaksi. Kekeliruan
sering terjadi karena anggapan bahwa nilai nominal atau nilai jatuh tempo utang
menunjukkan kos barang atau jasa yang dibeli dan memang dalam beberapa kasus
hal ini cukup beralasan karena kepraktisan dan materialitas. Meskipun demikian,
kalau barang atau jasa dibeli secara kredit maka kos yang sebenarnya adalah harga
tunai implisit. Harga tunai implisit tersebut ditentukan atas dasar jumlah rupiah
yang diperlukan seandainya utang tersebut dilunasi pada saat transaksi. Dalam hal
pembayaran dilakukan dengan surat wesel, surat obligasi, atau surat tanda utang
lainnya maka jumlah rupiah tunai implisit diukur dengan jumlah rupiah uang tunai
yang akan diterima seandainya surat berharga tersebut diterbitkan atau dijual
secara umum pada saat memper oleh aset.
g) Potongan Tunai dan Keringanan
Kos akan tercatat terlalu tinggi kalau potongan tunai (cash discount) dan
keringanan-keringanan (allowances) lain tidak dikurangkan terhadap harga
kesepakatan. Secara teknis pembukuan, memang dimungkinkan untuk sementara
mendebit harga faktur bruto ke dalam akun aset yang bersangkutan dan nantinya
harus dilakukan penyesuaian untuk mengurangi jumlah yang tercatat tersebut
menjadi jumlah setara tunainya. Potongan yang di manfaatkan oleh pembeli
sering dianggap sebagai laba. Hal ini tidak sejalan dengan konsep yang
mendasarinya yaitu bahwa laba tidak diperoleh melalui proses pembelian atau
pemerolehan potensi jasa. Pembelian semata-mata merupakan Iangkah pertama
dalam upaya (effort) untuk menghasilkan pendapatan (laba). Potongan dan
keringanan lainnya sudah menjadi kebiasaan yang umum dalam setiap kegiatan

22
usaha dan pada umumnya akan selalu dimanfaatkan oleh perusahaan yang
dikelola dengan baik (well-managed).
Dalam perusahaan yang dikelola dengan baik, melewatkan potongan
merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan rugi. Rugi bukan sumber
ekonomik dan karenanya tidak selayaknya kalau dicatat sebagai aset. Oleh karena
itu, sebenarnya setiap perusahaan sudah tahu pasti berapa harga yang
sesungguhnya harus dibayar dalam suatu transaksi. Dengan begitu, harga yang
sesungguhnya mestinya adalah harga tunai neto (net cash price). Pencatatan kos
atas dasar harga tunai neto seríng tidak dilakukan karena kebiasaan mencatat
transaksi dalam jumlah rupiah yang tercantum dalam faktur.
2.3 Rugi Dalam Pemerolehan Aset

Sebelum pendapatan terjadi yang ditimbulkan oleh upaya yang direpresentasi


oleh biaya, kos semata-mata mengalami penghimpunan, penggabungan dan
reklasifikasi. Kos yang terhimpun tersebut tetap merepresentasi aset kalau aset
tersebut belum dikeluarkan sebagai biaya. Akan tetapi, dapat terjadi bahwa karena
sesuatu hal (atau keadaan yang tidak normal) potensi jasa tertentu menjadí tidak
mempunyai lagi kemampuan atau daya dalam menghasilkan pendapatan pada
waktu mendatang. Dalam keadaan semacam itu, dapat dikatakan bahwa manfaat
ekonomik telah hangus atau menguap dan merupakan rugi. Sebelum kos potensi
jasa dinyatakan hangus maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa kos tersebut
statusnya adalah menunggu perlakuan berikutnya (in suspense). Rugi dapat saja
terjadi sebelum penjualan dilakukan atau sebelum perusahaan mulai berproduksi.
Pengikatan atau kontrak yang tidak bijaksana, kecurangan pihak lain atau sekadar
musibah belaka tidak jarang mengakibatkan hangusnya (dissipation) manfaat
ekonomik dalam perioda pendirian badan usaha atau pembangunan pabrik.
Pemogokan yang berkepanjangan, kebakaran besar, banjir bandang atau bencana
lainnya adalah contoh keadaan khusus atau tidak normal yang dapat
mengakibatkan rugi besar. Kalau keadaan memang menunjukkan dengan jelas
bahwa rugi telah diderita, satu-satunya perlakuan yang tepat adalah pemisahan
jumlah rupiah rugi tersebut sebagai defisit atau dalam keadaan tertentu pengha

23
pusan jumlah rupiah rugi tersebut dengan pengurangan modal. Jadi, rugi
hendaknya tidak dikapitalisasi atau diasetkan karena kriteria manfaat ekonomik
masa datang tidak dipenuhi lagi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, kecuali karena hal-hal yang tidak normal yang
mengharuskan kos yang terjadi segera diakui sebagai rugi yang dapat terjadi pada
tahapan kegiatan usaha manapun, semua kos yang terjadi merupakan aset atau
merupakan bagian dari jumlah rupiah total aset perusahaan paling tidak dalam
beberapa saat. Berbagai kos tersebut dapat merepresentasi objek fisis maupun
nonfisis. Tiap aset yang direpresentasi dengan kos tersebut berbeda dalam hal
kecepatannya untuk diserap habis sebagai pengurang atau beban pendapatan.

2.4 Penilaian

Pengukuran (measurent) adalah penentuan angka satuan pengukur terhadap


suatu objek untuk menunjukan makna tertentu objek tersebut. Objek dapat berupa
berupa barang, jasa, binatang, tubuh manusia, dan banda atau konstruk lainnya.
Makna (attribute) dapat berupa nilai, luas, berat, volume, tinggi, umur, indeks
prestasi, dan sebagainya. Kalau unit moneter dijadikan satuan pengukur untuk
menunjukan makna ekonomik sutu objek maka pengukuran disebut dengan
penilaian. Jadi, penilaian adalah proses penentuan jumlah rupiah suatu objek
untuk menentukan makna ekonomiknya di masa lalu, sekarang, atau mendatang.

Di dalam akuntansi, istilah pengukuran dan penilaian sering tidak dibedakan


karena adanya asumsi bahwa akuntansi menggunakan unit moneter untuk
mengukur makna ekonomik suatu objek, pos, atau elemen. Pengukuran biasanya
digunakan dalam akuntansi untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah yang
harus dicatat untuk objek pada saat pemerolehan. Penilaian biasanya digunakan
untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada tiap
elemen atau pos statemen keuangan pada saat penyajian.

Dalam penilaian suatu pos untuk tujuan penyajian, akuntansi dapat


menggunakan berbagai dasar penilaian (bases for valuation) bergantung pada
makna yang ingin direpresentasikan melalui pos statemen keuangan. Penilaian pos

24
aset di maksudkan untuk menentukan berapa jumlah rupiah yang harus dilekatkan
tiap pos aset dan apa dasar penilaiannya. Ada berbagai dasar penilaian yang dapat
digunakan untuk tujuan pelaporan aset dalam rangka menyediakan informasi yang
dapat membantu para pemakai untuk mengevaluasi posisi keuangan dan untuk
memprediksi aliran kas dimasa mendatang.

A. Tujuan Penilaian Aset

Karena aset merupakan elemen pembentuk posisi keuangan sebagai informasi


semantik bagi investor dan kreditor, tujuan penilaian aset harus berpaut dengan
tujuan pelaporan keuangan. Tujuan pelaporan keuangan adalah menyediakan
informasi yang dapat membantu investor dan kreditor dalam menilai jumlah, saat,
dan ketidak pastian aliran kas bersih ke badan usaha. Oleh karena itu, dasar
penilaian aset akan relevan kalau penilaian tersebut dikaitkan dengan aliran kas ke
badan usaha. Aliran kas bersih ke badan usaha dapat diprediksi melalui informasi
semantik berupa: posisi keuangan, profitabilitas, likuiditas, dan solvensi yang
penentuannya melibatkan penilaian aset. Jadi, tujuan penilaian aset adalah
merepresentasi atribut pos-pos aset yang berpaut dengan tujuan pelaporan
keuangan dengan menggunakan basis penilaian yang sesuai.

B. Konsep dan Basis Penilaian

Hendriksen dan Van Breda (1992) membahas konsep dan dasar penilaian aset
untuk tujuan pelaporan keuangan dari dua dimensi yaitu arah aliran aset dan
waktu. Karena aset merupakan komponen penentu posisi keuangan pada saat
tertentu, basis pengukuran untuk menilai aset pada saat tersebut yang valid adalah
harga atau nilai pertukaran (exchange prices atau value). Hal ini sejalan dengan
harga/nilai pertukaran. Nilai pertukaran dijadikan basis karena dianggap objektif
sehingga memenuhi kualitas keterandalan (reliability) informasi. Pertukaran
melibatkan sumber ekonomik masuk dan sumber ekonomik keluar kesatuan
usaha. Oleh karena itu, bila suatu aset telah ada dalam atau dikuasai oleh kesatuan
usaha, pada saat menyajikan masalah penilaiannya adalah dengan dasar apa aset
tersebut harus dilekati nilai pertukaran untuk mempresentasi makna atau atribut

25
secara tepat. Nilai pertukaran tersebut dapat dipandang dari dua sisi yaitu
pertukaran dalam pemerolehan dan pertukaran dalam pemanfaatan aset
(dikonsumsi atau dijual). Nilai yang diperoleh atas dasar pertukaran pemerolehan
disebut dengan nilai masukan (inputlentry values atau exchange input values)
sedangkan yang diperoleh dari pertukaran pemanfaatan disebut nilai keluaran
(outputlexit values atau exchange output values).

Walaupun penyajian aset adalah untuk saat tertentu yang dalam dimensi waktu
dapat diletakan sebagai titik sekarang (current), nilai pertukaran yang dapat
dijadikan basis penilaian dapat nilai pertukaran masa lalu (past) atau masa
mendatang (future). Dimensi waktu dan arah (pemerolehan atau pemakaian)
menghasilkan enam basis pengukuran sebagaimana dikemukakan hendriksen dan
van breda (1992, hlm. 489) yaitu: kos historis, kos pengganti, kos harapan, harga
jual sekarang, dan nilai terealisasi harapan.

Dasar diatas lebih diarahkan untuk mencapai keterandalan penilaian atau nilai
pertukaran. Pos-pos tertentu lebih objektif atau terandalkan penilaian kalau
didasarkan atas nilai masukan sedangkankan pos-pos lainnya lebih terapan kalau
didasarkan atas nilai keluaran.

Jadi, konsep nilai masukan dan keluaran sebenernya berkaitan dengan konsep
kesatuan usaha yang dianggap menguasai sumber ekonomik (aset) dan harus
mempertanggung jelaskan aset tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksud masukan
tidak lain adalah transaksi pertukaran (exchange) dalam rangka “menjual” suatu
pos aset atau objek jasa tertentu. Dasar penilaian yang akan dipilih sebenernya
menggambarkan nilai pertukaran tersebut.

C. Nilai Masukan

Nilai masukan didasarkan atas jumlah rupiah yang harus dikeluarkan atau
dikorbankan untuk memperoleh aset atau objek jasa tertentu yang masuk dalam
unit usaha. Kalau tujuan menyajikan makna aset ini adalah untuk menunjukan
aliran kas yang akan keluar dari unit usaha (seandainya unit usaha harus
memperoleh objek jasa yang sama) maka nilai masukan merupakan alternatif nilai

26
keluaran untuk objek jasa bila memang tidak ada pasar objek tersebut sehingga
nilai keluaran tidak dapat diukur dengan cukup pasti dan andal.

D. Kos Historis

Salah satu keunggulan kos historis dari sudut konsep penilaian adalah dapat
diujinya hasil penilaian tersebut (verifiable) karena kos historis terjadi dari hasil
kesepakatan dua pihak yang independen. Karena dapat diuji validitas
penilaiannya, kos historis dapat diandalkan sebagai informasi (reliable).

Kos historis merupakan nilai kesepakatan terendah bagi pembeli karena


dianggap pembeli tidak dapat memperoleh barang/jasa yang sama ditempat lain
dengan nilai lebih rendah. Lebih dari itu, mekanisme pasar menjamin bahwa nilai
kesepakatan terendah ini mempresentasi nilai sebener nya atau aktual (true value)
objek pada saat transaksi. Beberapa konsep kos masukan historis diajukan sebagai
jawaban atas masalah ini yaitu kos bijaksana (prudent costs), kos standar
(standard costs) dan kos asal (original costs).

Kos bijaksana adalah kos selayaknya yang manajemen bijaksana, atau hati-
hati bersedia membayarnya untuk suatu objek. Kos ini tidak termasuk ko yang
mempresentasi ketidaknormalan atau ketidakbijaksanaan seperti pemborosan
(waste), manipulasi, salah urus (mismanagement), atau kurang kompetennya
manajemen (incompetence). Kos bijaksana banyak digunakan dalam penentuan
tarif tinggi dari kos bijaksana.

Kos standar adalah kos yang seharusnya terjadi dalam kondisi proses produksi
tertentu yang diasumsi. Seperti kos bijaksana, kos ketidakefisienan dan kapasitas
menganggur dikeluarkan dari kos yang terjadi dalam proses produksi. Walaupun
kos standar lebih banyak diterapkan untuk tujuan internal manajemen (untuk
pengendalian), kos standar dapat dipertimbangkan sebagai pengukur aset
(khususnya sediaan barang) untuk merefleksi kos produksi dalam kondisi
perusahaan beroperasi pada tingkat efisiensi dan kapasitas normal. Sebagai nilai
masukan, kelemahan kos historis melekat juga pada kos standar. Kos standar juga
tidak selalu merefleksi nilai aktual karena kos standar yang didasarkan pada

27
kondisi ideal yang biasanya tidak memperhitungkan ketidakefisienan ang
dianggap normal dalam suatu proses produksi.

Kos asli merupakan kos suatu aset bagi perusahaan yang pertama kali
menempatkannya untuk digunakan dalam layanan publik. Seperti kos bijaksana,
kos asli di kenal dalam konteks layanan publik khususnya bila perusahaan
membeli aset bekas dari perusahaan layanan publik lain. Sebagai basis penentuan
tarif, kos yang diperhitungkan adalah kos asli dikurangi dengan depresiasi
akumulasian yang telah dilakukan oleh perusahaan yang sebelumnya
menggunakan. Dengan kata lain, tarif layanan publik harus ditentukan atas dasar
nilai buku percatatan perusahaan sebelumnya meskipun perusahaan pembeli
memperolehnya atas dasar harga pasar yang berlaku. Penalaran dibalik hal ini
adalah bahwa pelanggan tidak selayaknya membayar tarif lebih yang merefleksi
laba yang dinikmati perusahaan sebelumnya.

E. Kos Pengganti

Kos pengganti atau kos masukan sekarang (current input cost) atau kos
sekarang (current cost) menunjukan jumlah rupiah harga pertukaran atau
kesepakatn yang diperlukan sekarang oleh unit usaha untuk memperoleh aset yag
sama jenis dan kondisinya atau penggantinya yang setara (ekuivalennya).

Kos pengganti hampir sama konsepnya dengan kos standar sekarang (current
standard costs). Kos standar sekarang adalah berapa kos yang seharusnya untuk
menghasilkan suatu produk dengan kondisi harga, teknologi, dan efisiensi
sekarang. Kos pengganti berbeda dengan kos standar sekarang karena kos
pengganti hanya didasarkan pada harga sekarang tetapi masih tetap didasarkan
pada teknologi dan efisiensi masa lau.

Beberapa alternatif penilaian lain yang masuk dalam kategori nilai pengganti
adalah nilai penaksiran (appraisal value), nilai wajar (fair value) dan nilai
terrealisasi neto dikurangi laba normal (net realizable value less normal markup).
Berikut di uraikan konsep-konsep tersebut.

28
Nilai Penaksiran adalah nilai taksiran kos sekarang atau nilai sekarang yang
ditentukan dengan prosedur dan analisis sistematik oleh pihak independen yang
kompeten. Nilai penaksiran biasanya ditunjukan untuk aset tetap perusahaan yang
berjalan terus guna menetapkan “nilai buku sekarang” yaitu kos pengganti atau
reproduksi sekarang dikurangi depresiasi sampai tanggap penaksiran. Bila hal ini
yang menjadi tujuan, “nilai buku sekarang” akan mempresentasikan nilai masukan
sekarang aset tetap bersangkutan. Kalau tujuan penaksiran adalah untuk
menentukan nilai jual aset tetap dalam likuidasi, nilai penaksiran akakn
mempresentasi nilai keluaran sekarang aset tetap bersangkutan.

Nilai wajar secara umum berarti jumlah rupiah yang dapat diterima untuk
suatu objek dalam suatu transaksi antara pihak-pihak yang berkehendak bebas
tanpa tekanan atau keterpaksaan. Secara khusus nilai wajar dimaksudkan untuk
menunjuk jumlah rupiah aset untuk menentukan agar laba yang diperoleh
merepresentasi tingkat kembalian wajar (fair return) bagi investor. Dengan kata
lain, nilai wajar adalah nilai aset yang menghasilkan imbalan atau tingkat
kembalian (return on assets) yang wajar kalau laba yang wajar telah ditetapkan.

Nilai terealisasi bersih dikurangi laba normal adalah nilai yang diharapkan
merepresentasi kos pengganti bila data untuk menentukan kos pengganti tidak
tersedia. Jadi, nilai terealisasi bersih/neto di kurangi laba normal merupakan cara
untuk menaksir kos pengganti atau kos sekarang.

F. Kos harapan

Secara semantik, kos harapan suatu aset adalah nilai pengorbanan ekonomik di
masa datang seandainya potensi jasa aset tersebut diperoleh secara bagian demi
bagian (piecemeal) dan bukan sekaligus. Untuk penilaian sekarang, kos harapan
harus didikusikan menjadi kos harapan sekarang atau kos masukan masa
datang diskunan.

29
G. Nilai keluaran

Nilai keluaran didasarkan atas jumlah rupiah kas atau penghargaan lainnya
(nonkas) yang diterima suatu unit usaha apabila suatu aset atau potensi jasa
akhirnya keluar dari kesatuan usaha melalui pertukaran atau konversi. Secara
umum, penilaian ini lebih berpaut dengan aset yang tujuannya adalah dijual atau
dikonversi menjadi kas dan bukan digunakan untuk kegiatan produksi.

H. Harga jual masa lalu

Harga jual masa lalu merupakan salah satu bentuk khusus penilaian yang
disebut nilai terealisasi neto (net realizable values). Nilai terealisasi neto dapat
diterapkan tidak hanya untuk piutang tetapi juga untuk sediaan barang. Nilai
terealisasi neto adalah seluruh kas yang akhirnya berhasil diperoleh (collected)
atas konversi piutang atau penjualan barang dagangan sampai tuntas transaksinya.
Disebut neto atau bersih karena rugi piutang tak tertagih (macet) atau kos kegiatan
penjualan tambahan untuk mendapatkan nilai sekarang pos-pos aset tersebut
dikeluarkan (dikurangkan) dari nilai keluaran.

I. Harga jual sekarang

Harga jual sekarang didasarkan pada anggapan bahwa perusahaan akan


berlangsung terus dan transaksi dilaksanakan dalam pasar yang normal. Bila tidak
ada pasar reguler, penilaian dapat ditentukan atas dasar nilai likuidasi. Nilai
likuidasi hanya dapat digunakan apabila kondisi berikut dipenuhi: (1) bila produk
atau potensi jasa lainnya telah berkurang manfaat normalnya lantaran menjadi
usang atau tidak laku lagi dipasarkan, dan (2) bila unit usaha merencanakan untuk
menutup usaha dalam waktu dekat sehingga perusahaan ada dalam posisi tawar-
menawar yang lemah.

Nilai jual sekarang sebenarnya didasari oleh konsep setara tunai sekarang.
Nilai ini menunjukan jumlah rupiah kas atau daya beli yang dapat direalisasi
dengan cara menjual setiap jenis aset dipasar bebas dalam kondisi perusahaan
melikuidasi (menjual) asetnya secara normal.

30
J. Nilai terealisasi harapan

Secara sistematik, nilai terealisasi harapan suatu aset adalah penerimaan kas
atau potensi jasa masa datang yang jumlah dan waktunya cukup pasti. Pos yang
dapat menggunakan dasar penilaian ini adalah misalnya: investasi dalam obligasi,
piutang wesel jangka panjang, dan deposito berjangka.

K. Kos atau pasar yang lebih rendah

Penilaian atas dasar kos atau pasar yang lebih rendah (KAPYLR, baca: kapiler)
ini merupakan kombinasi nilai masukan dan keluaran karena pengertian pasar
dalam hal ini dapat berarti pasar barang masukan atau keluaran (input atau output
market) penggunaan konsep penilaian ini didasari oleh konsep dasar
konservatisme.

L. Penilaian menurut FASB

Dasar penilaian menurut FASB dapat disarikan berikut ini:

a. Historical cost. Tanah, gedung, perlengkapan, perlengkapan pabrik, dan


kebanyakan sediaan dilaporkan atas dasar kos historisnya yaitu jumlah
rupiah kas atau setaranya yang dikorbankan untuk memperolehnya.
b. Current (replacement) cost. Beberapa sediaan disajikan sebesar nilai
sekarang atau penggantinya yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang
harus dikorbankan kalau aset tertentu yang sejenis diperoleh sekarang.
c. Current market value. Beberapa jenis investasi dalam surat berharga
disajikan atas dasar nilai pasar sekarang yaitu jumlah rupiah kas atau
setaranya yang dapat diperoleh kesatuan usaha dengan menjual aset
tersebut dalam kondisi perusahaan yang normal (tidak akan dilikuidasi).
d. Net realizable value. Beberapa jenis piutang jangka pendek dan seddiaan
barang disajikan sebesar nilai terrealisasi bersih yaitu jumlah rupiah kas
atau setaranya yang akan diterima (tanpa didiskun) dari aset tersebut
dikurangi dengan pengorbanan (kos) yang diperlukan untuk mengkonversi
aset tersebut menjadi kas atau setaranya.

31
e. Present (or discounted) value of future cash flows. Piutang dan investasi
jangka panjang disajikan sebesar nilai sekarang penerimaan kas di masa
mendatang sampai piutang terlunasi (dengan tarif diskun implisit)
dikurangi dengan tambahan kos yang mungkin diperlukan untuk
mendapatkan penerimaan tersebut.

2.5 Pengakuan Terhadap Aset

Dengan mengutip sterling, Belkaoui (1993, hlm. 194-195) menunjukan kondisi


perlu (necessary) dan kondisi cukup (sufficinet) yang merupakan penguji
(tests) yang cukup rinci untuk mengakui aset yaitu:

1. Deteksi adanya aset


2. Sumber ekonomik dan kewajiban
3. Berkaitan dengan entitas
4. Mengandung nilai.

Gambar 6.7

Konsep Penilaian Aset dan Keterangannya

5. Berkaitan dengan waktru pelaporan (temporal association test). Unruk


mengakui aset, semua penguji diatas harus dipenuhi pada tanggal pelaporan
(tanggal neraca).

6. Verifikasi (verification test). Untuk mengakui aset, harus ada bukti pendukung
untuk meyakinkan bahwa kelima penguji diatas dipenuhi.

Apa yang dikemukakan Belkaoui diatas sebenarnya adalah apa yang disebut
dengan kaidah pengakuan (recognition rules) yang merupakan petunjuk teknis

32
atas prosedur untuk menerapkan empat kriteria pengakuan (recognition criteria)
FASB yaitu definisi, keterukuran, keberpautan, dan keterandalan. Kaidah tersebut
diperlukan karena kriteria pengakuan sifatnya konseptual dan umum. Penerapan
kaidah pengakuan diatas sebenarnya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos
dikapitalisasi (capitalized) atau dibiayakan (expensed). Bila kaidah pengakuan
diatas tidak dipenuhi, kos harus diperlukan menjadi beban pendapatan sebagai
biaya atau rugi.

A. Beban Tangguhan

untuk beberapa kasus, pelaksanaan kaidah diatas menjadi pelik karena


karakteristik unik kos yang terlibat menyebabkan keraguan. Diperlukan sebagai
aset meragukan karena manfaat ekonomim masa depan tidak cukup pasti
sementara kalau diperlukan sebagai biaya atau dibebankan ke pendapatan tahun
terjadinya juga tidak pas karena asosiasi dengan pendapatan sulit untuk
ditentukan. Diperlakukan sebagai rugi juga tidak tepat karena kos merepresentasi
upaya yang sah dan wajar. Kesulitan semacam ini menimbulkan praktik bahwa
kos-kos semacam itu (kos organisasi, riset dan pengembangan, dan semacamnya)
ditampung dalam sat pos yang disebut beban tangguhan (deferred charges). Paton
dan Littleton (1970) sangat mengkritik penggunaan istilah beban tangguhan ini
karena secra konseptual semua aset (yang dipresentasi dengan kos) merupakan
beban tangguhan. Lebih baik kalau pos tersebut diberi nama yang jelas sesuai
dengan sifatnya dan disajikan secara terpisah dengan pos-pos aset lainnya. Kaidah
untuk menetapkan apakah suatu kos memenuhi syarat untuk ditangguhkan
pembebanannya ke pendapatan disajikan dama Gambar 6.8. Kaidah ini
merupakan penyederhanaan dari enam kaidah yang dijelaskan diatas.

33
Gambar 6.8

Kaidah Penangguhan Pembebanan Kos ke Pendapatan

Kost yang mempunyai karakteristik unik sehingga menimbulkan masalah


penangguhan pembebanan misalnya adalah kos yang terlibat dalam transaksi,
kejadian, atau keadaan berikut:

a. Sewaguna
b. Bunga selama masa konstruksi aset tetap
c. Riset dan pengembangan
d. Eksplorasi minyak dan gas bumi
e. Rugi selisih kurs valuta asing atau penjabaran valuta asing
f. Sumber daya manusia
g. Kos organisasi
B. Sewaguna

Sewaguna (lease) menimbulkan masalah pelik dalam pengakuan aset karena di


Amerika pada mulanya sewaguna digunakan sebagai sarana pemerolehan aset
tetap atau fasilitas fisis tanpa harus menunjukkan utang yang timbul dari
perolehan tersebut. Dengan kata lain, sewaguna diperlakukan sebagai sewa
menyewa biasa sehingga jumlah rupiah sewa yang dibayarkan diperlakukan
sebagai biaya sewa. Praktik semacam ini, disebut dengan pendanaan lepas-neraca
(off-balance-sheet financing), dipandang tidak sehat dari segi pelaporan keuangan
karena terdapat utang yang cukup besar yang tidak dilaporkan dlam neraca.

Oleh karena itu, dengan konsep dasae substansi diatas dibentuk (substance
over form), FASB mewajibkan untuk mengakui dan melaporkan kewajiban yang
timbul dari sewaguna dan mengakui (mengkapitalisasi) fasilitas yang disewaguna

34
sebagai aset perusahaan kalau secara substantif perjanjian sewaguna tersebut
sebenarnya merupakan pembelian angsuran. Yang menjadi masalah adalah apa
kriteria yang harus dipenuhi agar suatu sewaguna dapat dinyatakan sebagai
pembelian angsuran. FASB mengajukan empat kriteria berikut ini (SFAS No. 13,
prg. 7):

a. Kontrak sewaguna menyebutkan adanya transfer baik milik barang atau


properitas (property) kepada tersewaguna (lessee) pada akhir jangka
sewaguna.
b. Kontrak sewaguna memuat pasal bahwa tersewaguna boleh pilih untuk
membeli pada tanggal yang ditetapkan dalam jangka sewaguna dengan
harga yang ditetapkan dan harga tersebut cukup murah sehingga dapat
dipastikan di muka bahwa tersewaguna akan memilih pembeli properitas
bersangkutan. Pasal semacam ini disebut bargain puchase option.
c. Jangka sewaguna adalah 75% atau lebih dari sisa umur ekonomik taksiran
properitas sewagunaan sejak penandatanganan kontrak. Bila sisa umur
ekonomik mulai dari penandatanganan kontrak kurang dari 25% umur
ekonomik total, kriteria ini tidak berlaku.
d. Pada saat penandatanganan kontrak sewaguna, nilau sekarang semua
pembayaran sewaguna minimum selama jangka sewaguna adalah sama
atau lebih besar dari 90% nilai wajar bersih bagi pesewaguna (lessor).
Nilai wajar bersih bagi pesewaguna adalah nilai wajar dipandang dari
sudut pesewaguna setelah dikurangi dengan kredit pajak investasi
(investment tax credi), kalau ada, yang menjadi hak pesewaguna.

Kalau suatu kontrak sewaguna memuat pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan


yang memenuhi salah satu atau lebih kriteria di atas maka sewaguna tersebut
harus diperlakukan sebagai kontrak pembelian angsuran dan properitas yang
terlibat harus dikapitalisasi. Mengapa demikian ? karena kalau salah satu pasal
diatas dipenuhi, secara substantif kontrka tersebut jelas merupakan pembelian
angsuran walaupun bentuk yuridisnya tampak sebagai sewa-menyewa biasa atau
sewaguna operasi (operating-lease). Bahwa hanya salah satu kriteria yang harus

35
dipenuhi menunjukkan bahwa FASB sangat menekankan kapitalisasi. Lebih dari
itu, tiap kriteria cukup ketat bagi perusahaan untuk menghindari kapitalisasi.

IAI juga mengeluarkan standar untuk mengkapitalisasi sewagun. Kriteria yang


diajukan adalah (PSAK No. 30, Bab II, prg. 3).

a. Penyewa sewaguna usaha mempunyai hak opsi untuk membeli aset


yang disewagunausahakan pada akhir masa sewa guna usaha dengan
harga yang disetujui bersama pada saat dimulainya perjanjian sewa
guna usaha.
b. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha
ditambah dengan nilai sisa mencakup pengembalian harga perolehan
barang modal yang disewagunausahakan serta bunganya, sebagai
keuntungan perusahaan sewa guna usaha (full payout lease).
c. Masa sewa guna usaha minimum 2 (dua) tahun.

Untuk mengkapitalisasi sewaguna, IAI menetapkan bahwa ketiga kriteria di


atas harus dipenhi. Kalau salah satu saja kriteria diatas tidak terpenuhi maka
sewaguna diperlakukan sebagai sewaguna operasi. Bila dianalisis secara terpisah,
tidak satupun kriteria diatas menjadikan suatu sewaguna secara substantif
merupakan pembelian angsuran padahal inilah yang seharusnya merupakan esensi
dari tiap kriteria.

Kriteria a hanya menyebutkan adanya hak opsi membeli. Ini berarti bahwa
tersewaguna dapat memilih untuk tidak membeli dengan demikian sewaguna
tersebut automatis menjadi sewaguna operasi. Dengan kata lain, adanya hak opsi
membeli tidak menjadikan sewaguna secara substantif merupakan pembelian
angsuran. Hal ini sangat berbeda dengan kriteria b FASB yang disebut bargain
purchase opion yang berarti bahwa harga yang disepakati harus cukup murah
sehingga tersewaguna pasti akan membelinya. Harga opsi yang sangat murah
inilah yang menjadi indikasi bahwa sewaguna yang bersangkutan sebenarnya
merupaka pembelian secara kredit. Selain itu, opsi tidak harus ditawarkan pada

36
akhir tahun tetapi pada saat atau tanggal kapanpun (exercisable date) selama
jangka sewaguna.

Kriteria b tidak menegaskan apakah ”mencakup” berarti jumlah total


pembayaran sewa ditambah nilai sisa harus sama atau lebih besar dari kos
pemerolehan bagi pesewaguna ditambah bunga ysng diperhitungkannya. Apakah
kalau jumlah rupiah pertama lebih kecil dari jumlah rupiah kedua lalu sewaguna
tersebut secara substantif tidak dapat dikatakan sebagai pembelian angsuran?
Dengan kata lain, kriteria ini secara konseptual tidak valid dan secara intuitif tidak
jelas sebagai penentu kesubstantifan sewaguna sebagai pembelian karena tidak
dibandingkan dengan alternatif bagi tersewaguna untuk membeli tunai.
Penggunaan nilai nominal bukannya nilai sekarang (present value) mengabaikan
pembelian tunai sebagai alternatif atau pembanding untuk menentukan
kesubstantifan transaksi sewaguna sebagai pembelian. Hal ini sangat berbeda
dengan apa yang digunakan oleh FASB dalam kriteria d. Penalaran dibalik kriteria
ini adalah bahwa kalau nilai sekarang total pembayaran lebih besar dari 90% nilai
wajar barang yang disewaguna., maka secara teoretis, praktis, atau bahkan intuitif
transaksi sewaguna tersebut jelas merupakan pembelian sehingga tersewaguna
tidak dapat menyembunyikan hal tersebut sebagai sewaguna operasi. Jadi, dapat
dipandang bahwa tersewaguna seakan-akan meminjam uang untuk membeli
barang tersebut secara tunai. Hal ini terkandung dalam kriteria IAI.

Kriteria c sama sekali tidak mengandung makna kesubstantifan transaksi


sewaguna sebagai transaksi pembelian. Tanpa dikaitkan dengan umur ekonomik
properitas yang disewaguna, angka 2 (tahun) sama sekali tidak dapat dipakai
untuk menentukan apakah suatu transaksi adalah sewa –menyewa atau pembelian.
Dengan kriteria ini berarti bahwa sewa-guna yang berjangka kurang dari dua
tahun secara substantif dan teoretis tidak dapat dikatakan sebagai pembelian
kredit. Konsep yang melandasi penetapan dua tahun yang dapat diterima adalah
semata-mata alasan kepraktisan bukan substantif. Secara teoretis, kalau suatu
perusahaan menyewaguna komputer selama kurang dari dua tahun tetapi pada
akhir jangka sewaguna komputer tersebut tidak mempunyai nilai lagi karena

37
keausan teknologi, perusahaan tersebut sebenarnya dapat dikatakan membeli
komputer tersebut apalagi kalau nilai sekarang pembayaran sewaguna mendekati
nilai pasar komputer pada saat penandatanganan kontrak. Kriteria c ini praktis
tidak mempunyai daya klasifikasi karenaa pada umumnya kontrak sewaguna
berjangka lebih dari dua tahun sehingga selalu dapat dipenuhi.

Jadi, kriteria kapitalisasi menurut PSAK No. 30 adalah lemah bahkan kosong
dengan makna kesubstantifan transaksi sebagai pembelian sehingga kalau suatu
sewaguna memenuhi ketiga kriteria kapitalisasi tersebut maka klasifikasi
tersewaguna akan bersifat arbitrer. Sewaguna yang memenuhi kriteria tersebut
sebagai sewaguna kapital mungkin secara substantif adalah sewaguna biasa atau
sebaliknya yang diklasifikasikan sewaguna biasa sebenarnya sewaguna kapital.

Karena ketiga kriteria harus dipenuhi, sementara kriteria c tidak relevan, maka
hanya kriteria a dan b yang potensial membedakan sewaguna. Kalau kriteria b
dipenuhi tetapi kriteria a tidak dipenuhi atau tidak temuat dalam kontrak, praktis
sewaguna akan masuk sebagai sewa-menyewa biasa. Jadi, dapat dikatakan bahwa
IAI sangat cenderung untuk memperlakukan sewaguna sebagai sewaguna biasa
yang berarti mendorong adanya off-balance-sheet financing.

C. Kos Bunga

Telah disebutkan bahwa kos suatu aset adalah semua pengeluaran (menjadi
unsur kos) yang diperlukan untuk menyiapkan aset tersebut sampai siap dipakai
atau dikonsumsi sebagaimana direncanakan (intented use). Masalah yang
berkaitan dengan hal ini adalah perlakuan kos bunga sebagai unsur kos fasilitas
fisis (gedung atau pabrik) yang dibangun sendiri. Bila kesatuan usaha membangun
sendiri fasilitas fisis dengan dana pinjaman dan pembangunannya memakan
waktu yang cukup lama, masalahnya adalah apakah kos bunga selama masa
pembangunan/konstruksi dapat dikapitalisasi.

FASB menyebutkan bahwa tujuan mengkapitalisasi kos bunga adalah untuk


mendapatkan angka kos pemerolehan yang paling merefleksi investasi total
kesatuan usaha dalam aset dan untuk membebankan suatu kos yang berkaitan

38
dengan pemerolehan suatu sumber ekonomik yang akan memberi manfaat di masa
datang untuk ditandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan oleh manfaat
tersebut. Tujuan terakhir dimaksudkan agar terjadi penandingan yang tepat
terutama bila wkatu pembangunan atau perioda pemerolehan (acquisition period)
cukup lama. Akan tetapi, kapitalisasi kos bunga hanya dilakukan apabila manfaat
informasi melebihi kos penyediaan informasi (kos administrasi dalam
mengkapitalisasi bunga).

D. Argumen Pendukung

Beberapa argumen diajukan untuk mendukung kapitalisasi kos bunga.


Argumen-argumen tersebut adalah:

1. Dengan kesiapan pemakaian atau penggunaan (readyness for


intendeduse)_sebagai batas kegiatan pengukuran kos aset, kos bunga jelas
merupakan unsur kos aset. Hal ini sejalan dengan argumen yang
ditunjukkan FASB (SFAS No. 34, prg. 40).
2. Bila kesatuan usaha tidak membangun sendiri fasilitas fisis bersangkutan,
penghargaaan sepakatan sebagai kos pemerolehan pada umumnya
termasuk pula bunga yang harus dibayar oleh kontraktor selama
penggunaannya.
3. Pembebanan kos bunga langsung pendapatan selama masa konstruksi
(periode pemerolehan) akan mendistorsi laba terutama kalau konstruksi
didanai dari pinjaman khusus untuk keperluan tersebut. Denan kata lain,
pembebanan langsung menyimpang dari konsep penandingan yang teapt
(proper matching concept).
4. Kos bunga selama masa pembangunan bukan merupakan kos pendanaan
(financing cost) karena kalau pendanaan didanai dari penerbitan ekuitas
baru, kos pendanaan secara konseptual tetap terjadi dan digeser ke
pemegang saham dalam bentuk dividen yang pembayarannya mungkin
ditunda sampai pembangunan selesai.

39
E. Argumen Penolak
1. Bunga lebih merupakan kos pendanaan daripada unsur kos aset karena
perusahaan sebenarnya dapat menghindari bungan tersebut dengan
memilih alternatif pendanaan dengan ekuitas. Hal ini dibantah dengan
argumen pendukung 4 diatas.
2. Dengan konsep nilai setara tunai (cash equivalent) atau nilai sekarang
aliran kas diskunan (dicounted future cash outflows) dalam mengukur kos
suatu aset, kos pemerolehan suatu fasilitas fisis seharusnya tidak
dipengaruhi oleh kebijakan pemilihan cara pendanaan pembangunannya.
Jadi, secara teoretis, kos suatu fasilitas fisis yang dibangun sendiri oleh
suatu kesatuan usaha yang mendanainya dengan ekuitas seharusnya tidak
akan berbeda dengan fasilitas yang sama yang dibangun perusahaan lain
yang mendanainya dengan utang.
3. Dengan konsep kesatuan usaha, bunga lebih bermakna sebagai pembagian
laba (setara dengan dividen) daripada sebagai upaya (effort) untuk
memperoleh pendapatan. Mengakui bunga sebagai kos fasilitas fisis sama
saja dengan penyangkalan konsep kesatuan usaha itu dan sama saja
dengan pengakuan kos hipotesis karena mengkapitalisasi bunga (setara
dividen) seperti itu sama saja dengan mengkapitalisasi dividen yang telah
dibayarkan sebagai aset.
4. Karena merupakan kos pendanaan yang terpisah dengan kos pemerolehan
aset, alokasi kos bunga ke semua aset nonmoneter hanya akan kecil
pengaruhnya terhadap laba periode karena jumlah yang dikapitalisasi
dalam suatu perioda akan dikompensasi dengan amortisasi bunga yang
dikapitalisasi pada perioda-perioda sbelumnya. Dengan demikian, manfaat
informasional tambahan (incremental informational benefit) tidak sepadan
dengan kos akuntansi dan administratif tambahan sehingga tidak
memenuhi kriteria manfaat > kos dalam karakteristik kualitatif informasi.
F. Alternatif Perlakuan
1. Bunga tidak dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai biaya pendek.

40
2. Bunga dikapitalisasi dan dimasukkan sebagai bagian dari kos fasilitas fisis
yang dibangun sendiri, jumlah yang dikapitalisasi dapat sebesar:
a. Jumlah rupiah bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi untuk
dana yang khusus dipinjam untuk pembangunan.
b. Jumlah rupiah semua bunga yang sesungguhnya dibayar atau
terjadi untuk semua dana pinjaman yang ada. Ini dilakukan apabila
tidak ada ada khusus yang disediakan untuk pembangunan aset
bersangkutan.
c. Bunga dikapitalisasi sebesar jumlah rupiah bunga implisit dana
yang tertanam dalam perusahaan tanpa memperhatikan sumbernya.
3. Bunga dikapitalisasi tetapi tidak dimasukkan sebagai elemen kos fasilitas
fisis yang dibangun sendiri. Besarnya bunga yang dikapitalisasi dapat
didasarkan pada perhitungan seperti alternatif 2 diatas.
G. Jumlah rupiah kapitalisasian

Tiap alternatif jumlah rupiah bunga yang harus dikapitalisasi didasarkan atas
argumen atau dasar pikiran yang dibahas dibawah ini.

Alternatif (2a) didasarkan pada argumen bahwa bunga merupakan elemen kos
konstruksi tetapi hanya bunga yang memang benar-benar dibayar untuk dana
khusus tersebut yang menunjukkan unsur kos pemerolehan aset.

Alternatif (2b) berusaha untuk mengatasi kesulitan dalam usulan pertam. Dasar
pikirannya adalah bahwa semua utang dianggap digunakan untuk investasi dalam
pembangunan fasilitas fisis.

Alternatif (2c) mendasarkan diri pada asumsi bahwa bunga seluruh dana yang
tertanam dalam perusahaan merupakan kos ekonomik. Kos aset disini diartikan
sebagai “nilai” barang dan jasa yang dikorbankan dalam rangka memperoleh aset
tersebut.

41
H. Standar Yang Mengatur

Adanya berbagai alternatif perlakuan kos bunga menuntut adanya standar


akuntansi yang menjadi acuan praktik agar perbandingan statemen menjadi
mudah dilakukan dan bermakna.

Secara konseptual memang layaklah kalau kos bunga selama konstruksi


dikapitalisasi tetapi perlu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang berkaitan
dengan jenis aset yang dapat dilekati kos bunga, besarnya kos bunga yang
dikapitalisasi, dan perioda kapitalisasi.

I. Aset Memenuhi Syarat


a. Aset yang dibangun atau diproduksi untuk perusahaan (termasuk aset yang
dibangun atau diproduksi oleh pihak lain atas pesanan perusahaan untuk
digunakan sendiri oleh perusahaan dan untuk pesanan/kontrak tersebut
perusahaan melakukan pembayaran uang muka atau pembayaran bertahap
atas dasar kemajuan pekerjaan pembangunan aset bersangkutan).
b. Aset dibangun atau diproduksi dengan tujuan untuk dijual sebagai suatu
unit atau proyek yang berdiri sendiri terpisah dari projek atau kegiatan
operasi lainnya (misalnya kapal, kawasan industri, real estat, jembatan,
atau semacamnya).
c. Investasi janka panjang (ekuitas, pinjaman, dan penanaman kas) yang
diperlakukan sengan metoda ekuitas sementara terinvestasi (investee)
sedang melaksanakan kegiatan pembangunan fasilitas fisis asalkan
kegiatan tersebut menggunakan dana investasi itu untuk memperoleh
fasilitas fisis tersebut.

Karakteristik lain suatu aset yang tidak dapat menjadi objek kapitalisasi:

a. Aset yang sudah digunakan atau yang sudah siap digunakan sesuai dengan
tujuan penggunaan dalam operasi menghasilkan pendapatan.
b. Aset yang belum digunakan dalam kegiatan menghasilkan pendapatan
perusahaan dan juga tidak mengalami penyelesaian/perbaikan atau
kegiatan lain yang diperlukan untuk menjadikan aset tersebut siap

42
digunakan dalam operasi. Jadi, kalau kegiatan konstruksi berhenti, bunga
selama berhentinya kegiatan tidak dapat dikapitalisasi.
c. Aset yang tidak dimasukkan dalam neraca konsolidasian perusahaan induk
dan perusahaan-perusahaan anaknya.
d. Investasi yang diperlakukan dengan metoda ekuitas setelah kegiatan
operasi utama yang direncanakan oleh terinvestasi dimulai.
e. Investasi dalam perusahaan regulasian (regulated investees) yang
mengkapitalisasi baik kos utang maupun ekuitas (cost of debt and equity
capital).
f. Aset yang diperoleh denga dana hadiah atau hibah yang dibatasi
pengginaannya oleh penghadiah atau penghibah semata-mata untuk
pemerolehan aset tersebut.
J. Besarnya Kapitalisasi Bunga

Secara teknis, jumlah rupiah bunga yang dikapitalisasi dalam suatu perioda
akuntansi selama perioda pemerolehan adalah tingkat bunga atau tarif kapitalisasi
(capitalization rate) dikalikan dengan rata-rata pengeluaran dana untuk konstruksi
selama perioda akuntansi tersebut. Jumlah rupiah bunga total yang dikapitalisasi
tentu saja tidak boleh melebihi jumlah rupiah bunga total yang terjadi dalam
perioda tersebut.

Tingkat bunga pinjaman yang khusus digunakan untuk pembangunan aset


dapat digunakan sebagai tarif kapitalisasi kalau dana rata-rata yang tertanam
dalam konstruksi tidak melebihi dana pinjaman khusus tersebut. Kalau dana rata-
rata yang tertanam dalam konstruksi melebihi jumlah dana pinjaman khusus untuk
konstruksi, kapitalisasi untuk kelebihan dana yang tertanam tersebut adalah rata-
rata berbobot (weighted average) tingkat bunga sumber dana lainnya.

K. Perioda Kapitalisasi
a. Pengeluaran untuk pembangunan aset telah dilakukan atau terjadi.
b. Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan
sampai siap dipakai masih berlangsung.

43
c. Kos bunga telah terhimpun (accrued) atau terjadi bersamaan dengan
berjalannya pembangunan aset.
L. Pengungkapan
a. Bila tidak ada kos bunga yang dikapitalisasi, total bunga yang terjadi
selam perioda dan dibebankan sebagai biaya perioda tersebut.
b. Bila sebagian kos bunga dikapitalisas, bunga total yang terjadi dan bagian
yang dikapitalisasi.

M. Penyajian
a. Aset disajikan disisi debit atau kiri dalam neraca berformay akun atau
dibagian atas dalam neraca berformat laporan.
b. Aset diklasifikasi aset lancar dan tetap.
c. Aset diurutkan peyajian atas dasar likuiditas atau kelancarannya, yang
paling lancar dicantumkan pada urutan pertama.
d. Kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos tertentu harus
diungkapkan (misalnya metoda depresiasi aset tetap dasar penilaian
persediaan barang).

44
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aset merupakan elemen neraca pembentuk informasi semantik berupa posisi
keuangan dan merepresentasi potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan
badan usaha untuk menyediakan barang dan jasa. Secara resmi aset didefinisi
sebagai manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang dikuasasi oleh
suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Manfaat ekonomik aset ditunjukkan oleh potensi jasa (service potential) atau
utilitas (utility) yang melekat padanya yaitu suatu daya atau kapasitas langka
(scarce) yang dapat dimanfaatkan kesatuan usaha dalam upayanya untuk
mendatangkan pendapatan melalui kegiatan ekonomik yaitu konsumsi, produksi,
dan pertukaran atas dasar konsep substansi daripada bentuk, suatu objek cukup
dikuasasi dan tidak perlu dimiliki oleh kesatuan usaha untuk dapat disebut sebagai
aset ke satuan usaha.
Penguasaan dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian, penemuan,
perjanjian, produksi, penjualan, pertukaran, peminjaman, penjaminan,
pengkonsignaan, dan berbagai transaksi komersial lainnya. Penguasaan harus
didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. Bahwa aset harus timbul akibat
transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi tetapi
bukan kriteria untuk pengakuan. Beberapa karakteristik merupakan pendukung
yang menyakinkan adanya aset. Karakteristik tersebut adalah melibatkan kos
(acquired at a cost), berwujud (tangible), tertukarkan (exchangeable), terpisahkan
(severable), dan penegasan atau kekuatan secara legal (legally enforceable).
Dengan konsep kontinuitas usaha pos atau sumber ekonomik akan mengalami
tiga tahap perlakuan sejalan dengan aliran fisis kegiatan usaha yaitu tahap
pemerolehan (acquisition), pongolahan (processing), dan penjualan/penyerahan
(sales/delivery). Secara aliran informasi, aliran fisis suatu sumberlekonomik, atau
objek harus direpresentasi dalam kos tehingga hubungan antarobjek. Bermakna
sebagai informasi. Kos merupakan representasi kuantitatif suatu objek. Oleh

45
karena itu, kos juga mengalami tiga tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran
fisis yaitu: pengukuran (measurement), penelusuran (trecing), dan pembebanan
(charging). Penentuan kos suatu objek pada saat pemerolehan merupakan bal
yang sangat kritis karena penentuan ini akan mempengaruhi pengukuran aset dan
biaya selanjutnya khususnya pada tahap pembebanan. Pengukur aset pada saat
pemerolehan yang paling objektif adalah penghargaan sepakatan.
Bila transaksi terjadi dalam mekanisma pasar bebas antara pihak independen,
kos tunai (cash cost) adalah pengukur aset yang paling valid dan objektif. Bila kos
barang atau jasa yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang atau jasa lain
(nonkas), kos merupakan jumlah rupiah tunai yang secara implisit melekat pada
nilai jual barang atau jasa yang diserahkan dalam pertukaran tersebut. Jumlah
rupiah melekat ini disebut jumlah setara tunai (money or cash equivalent) atau kos
tunai terkandung atau implisit (implied cash cost) dari wujud penghargaan yang
diserahkan oleh pemeroleh aset. Bila aset diperoleh tanpa penghargaan (misalnya
hadiah), kos aset ditentukan atas dasar setara tunai atau kos tunai terkandung asat
yang diterima pada saat transaksi atau kejadian. Cara penentuan kos adalah unik
untuk berbagai jenis transaksi: barter, saham sebagai pengbargaan, reorganisasi,
hadiah/hibah, temuan, dan pembelian kredit.
Potongan tunai secara teoretis tidak dapat diperlakukan sebagai pendapatan
tetapi lebih merupakan penghematan kos. Lebih jauh, kalau potongan tunai
memang ditawarkan, ketidakmampuan memanfaatkan potongan merupakan suatu
salah kelola (missmanagement) sehingga jumlah itu harus diakui sebagai rugi.
Kos yang merepresentasi rugi tidak dapat menjadi bagian dari aset karena
hilangnya atau tiadanya manfaat ekonomik masa datang.
Penilaian adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu
pos aset pada sant akan dilaporkan atau disajikan dalam statemen keuangan pada
tanggal tertentu. Tujuan penilaian aset adalah merepresentasi atribut pos-pos aset
yang berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan dengan menggunakan basis
penilaian yang sesuai. Penilaian dapat didasarkan pada nilai masukan atau
keluaran bergantung pada tujuan merepresentasi aset. Secara umum nilai masukan
terdiri atas kos historis, kos pengganti, dan kos harapan sedangkan nilai keluaran

46
terdiri atas harga jual masa lalu, harga jual sekarang, dan nilai terrealisasi harapan.
Nilai aset secara umum didasarkan pada nilai pertukaran dengan
mempertimbangkan objektivitas penilaian dan relevansi terhadap aliran kas. Oleh
karena itu, tiap dasar penilaian mempunyai keunggulan dan kelemahan serta
kondisi keterterapannya.
Pengakuan dan penyajian aset biasanya ditentukan dalam standar akuntansi
yang mengatur tiap pos aset. Masalah akuntansi yang menyangkut pengakuan bi-
asanya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos atau jumlah rupiah yang
terlibat dalam (transaksi, kejadian, atau keadaan tertentu dapat diasetkan). Hal ini
biasanya berkaitan dengan antara lain sewaguna, bunga selama masa konstruksi
aset tetap, riset dan pengembangan, eksplorasi minyak dan gas bumi, rugi selisih
kurs valuta asing, dan sumber daya manusia.

47
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Suardjono. 2014. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan Edisi


Ketiga. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

48

Anda mungkin juga menyukai