Anda di halaman 1dari 7

Laboratorium Ilmu Dermatologi & Venereologi Journal Reading

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

Tinea Pedis

Oleh

Faradiba Maulidina

1810029006

Pembimbing

dr. Vera Madonna L, M.Kes, M.Ked (DV) Sp.DV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Tinea Pedis
Alexander K.C. Leung1 dan Benjamin Barankin2

1
Departemen anak, Universitas Calgary, Konsultan anak, Rumah sakit anak Alberta Children, Canada;
2
Dermatologist, Direktus Medis dan Pendiri, Toronto Dermatology Centre, Canada

Abstrak:
Tinea pedis, atau dikenal juga dengan nama "kaki atlet", adalah suatu infeksi jamur
pada kaki yang kebanyakan disebabkan oleh dermatofit. Tinea pedis kebanyakan disebabkan
oleh Trichypton rubrum dan T. interdigitale. Diperkirakan 10-15% dari populasi dunia
mempunyai tinea pedis. Prevalensinya lebih tinggi pada orang dewasa dibanding anak-anak.
Usia yang paling banyak pada 16-45 tahun. Tinea pedis lebih sering terjadi pada lelaki
dibanding perempuan. Manusia bisa terinfeksi melalui kontak dengan orang yang sudah
terinfeksi, hewan, muntahan, atau dari tanah. Transmisi dari tinea pedis dibantu oleh
lingkungan yang hangat dan lembab serta penggunaan sepatu yang sempit dan tertutup. Ada 3
bentuk manifestasi klinis dari tinea pedis, yaitu interdigital, moccasin, dan vesicobullous.
Diagnosisnya biasanya bersifat klinis, terutama bila lesinya terlihat. Jika perlu, diagnosis dapat
dipastikan dengan pemeriksaan pewarnaan kalium hidroksida dengan mengikis kulit pada batas
aktif lesi. Tinea pedis yang superficial dan terlokalisasi biasanya berespons terhadap pemberian
terapi antifungal topikal 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Pengobatan sistemik diindikasikan
bila lesinya banyak, kronis, rekuren, dan resisten terhadap antifungal topikal atau jika
pasiennya memiliki kelainan sistem imun, dan apabila terdapat pada bagian kuku jari.

Kata kunci: Trichphyton rubrum; Trichphyton interdigitale; Interdigital; Moccasin;


Vesiculobullous

Pendahuluan
Tinea pedis, atau dikenal juga dengan nama kaki atlet, adalah infeksi jamur superfisial
pada kaki yang biasanya disebabkan oleh dermatofit. Tinea pedis merupakan infeksi jamur
superfisial yang paling sering terjadi pada kulit [8].

Etiologi
Tinea pedis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan T. Interdigitale
(sebelumnya dikenal dengan nama T. Mentogrophytes), diikuti oleh Epidermophyton
floccosum. Dermatofit lainnya yang dapat menyebabkan tinea pedis yaitu T. Tonsurans dan
Microsporum spp [7]. Jamur nondermarofit seperti Scytalidium hyalinum, S. Dimidiatum, dan
Scopulariopsis brevicaulis dan spesies kandida juga dapat menyebabkan tinea pedis [6,7].

Epidemiologi
Diperkirakan 10-15% dari populasi dunia mengidap tinea pedis [2,6]. Prevalensi lebih
tinggi pada orang dewasa (17%) dibanding anak-anak (4%) [2]. Kondisinya lebih sering terjadi
pada remaja dibanding anak prapubertas [1]. Puncak usia yang paling banyak adalah umur 16-
45 tahun, dimana aktivitas kerja dan rekreasi paling banyak dilakukan [9]. Tinea pedis lebih
sering terjadi pada lelaki dibanding perempuan [6]. Manusia bisa terinfeksi melalui kontak
dengan orang yang sudah terinfeksi, hewan (terutama hewan peliharaan), muntahan, atau dari
tanah [2]. Transmisi antar anggota keluarga merupakan cara penularan yang paling sering;
anak-anak sering terinfeksi oleh spora atau terkena serpihan kulit yang terinfeksi di rumah [2].
Autoinfeksi oleh dermatofit di bagian tubuh lain juga bisa terjadi [2]. Transmisi dari tinea pedis
dibantu oleh lingkungan yang hangat dan lembab dan penggunaan sepatu yang sempit dan
tertutup [1]. Penyakit ini lebih sering pada atlet dan pekerja kasar [4,12]. Imunodefisiensi,
diabetes melitus, dermatitis atopik, hiperhidrosis, kaki yang tidak terawat, dan obesitas
merupakan faktor predisposisi [6,12].

Patogenesis
Organisme penyebab tinea pedis dapat memproduksi enzim seperti protease yang dapat
menghancurkan keratin dan keratinase yang dapat menembus jaringan berkeratin [11]. Hifa
jamur kemudian dapat menginvasi stratum corneum dan keratin, dan kemudian menyebar dari
tengah menuju keluar. Infeski biasanya hanya terbatas pada jaringan kutan dan hanya terbatas
pada lapisan bertanduk yang telah mati, karena jamurnya tidak dapat menembus jaringan lebih
dalam pada pasien yang imunokompeten [11]. Kemudian akan timbul kulit bersisik karena
meningkatnya pergantian epidermal yang disebabkan inflamasi.

Manifestasi Klinis
Ada tiga bentuk tinea pedis yang dikenali, yaitu interdigital, moccasin, dan
vesicobullous [4,6,12]. Tinea pedis interdigital, bentuk yang paling sering, muncul dengan plak
eritema dan area keputihan yang lembek antara jari kaki, terutama antara jari keempat dan
kelima [6]. Biasanya juga terdapat sisik dan fisura pada bagian perifer. Kondisi ini sering
timbul gatal. Penyakitnya dapat menyebar ke bagian telapak, samping, dan punggung kaki.
Infeksi bakteri sekunder pada daerah antarjari dapat menyebabkan erosi, bau kaki, dan koreng.
Bentuk moccasin ditandai dengan plak halus bersisik berwarna silver dengan berbagai
tingkat eritema pada bagian tumit, telapak kaki, dan aspek lateral kaki [4]. Biasanya tipe ini
asimtomatis dan cukup resisten terhadap pengobatan [4,12].
Tinea pedis vesiculobullous, bentuk yang paling jarang, muncul dengan vesikel
dan/atau bula, biasanya pada punggung kaki [4] Kondisinya sangat gatal [12].
Erupsi sekunder yang terjadi bersamaan dapat muncul pada sisi tubuh yang jauh
mungkin karena reaksi imunologis terhadap jamur [5]. Hal ini disebut sebagai reaksi
dermatofitid [5].

Gambar 1. Tinea pedis pada anak laki-laki berusia 8 tahun yang melibatkan punggung kaki
kanan.

Diagnosis
Diagnosis sering dapat dibuat secara klinis, terutama jika lesinya khas. Namun,
diagnosisnya bisa sulit jika ada penggunaan obat sebelumnya seperti kortikosteroid atau
penghambat kalsineurin. Tinea incognito mengacu pada dermatofitosis yang telah kehilangan
ciri khas morfologisnya karena penggunaan kortikosteroid atau penghambat kalsineurin. Jika
diagnosis sulit dilakukan, pemeriksaan pewarnaan kalium hidroksida dengan mengikis kulit
pada tepi lesi yang aktif atau pada atap vesikel sebaiknya dilakukan [6]. Satu tetes kalium
hidroksida 10-20%, dengan atau tanpa dimetil sulfoksida, diberikan ke kikisan kulit. Spesimen
kemudian dipanaskan dengan perlahan untuk mempercepat penghancuran sel skuamosa jika
tidak ada dimetil sulfoksida yang ditambahkan. Kalium hidroksida melarutkan jaringan epitel,
meninggalkan sekat hifa yang mudah dilihat. Namun, hasil negatif tidak selalu berarti infeksi
dermatofit dihilangkan dari kemungkinan, terutama pada kasus-kasus inflamasi [12].

Walaupun kultur jamur merupakan gold standar untuk diagnosa, kultur biasanya jarang
dilakukan, kecuali jika diagnosisnya meragukan, infeksinya parah, menyebar luas, atau resisten
terhadap pengobatan. Kultur biasanya mahal dan memakan waktu 7-14 hari untuk
mendapatkan hasil. Media kultur yang paling sering digunakan adalah agar Sabouraud’s
peptone-glucose. Super-infeksi dengan bakteri gram negatif bisa berakibat menurunnya
sensitivitas dari kultur. Pemeriksaan lampu wood biasanya tidak terlalu berguna karena lesi
dari tinea tidak berflurosensi dibawah lampu Wood. Biopsi kulit untuk pemeriksaan
histopatologi dapat berguna jika diagnosisnya meragukan.

Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari tinea pedis antara lain dermatitis kontak, dermatitis alergik,
dermatitis atopik, xerosis, dyshidrotic eczema, erythrasma, kandidiasis, psoriasis, dan pityriasis
rubra pilaris [1,6].

Komplikasi
Komplikasinya antara lain yaitu infeksi bakteri sekunder dan penyebaran jamur ke
bagian tubuh lain seperti kuku (onychomycosis), selangkangan (tinea kruris), wajah (tinea
facei), area berjenggot (tinea barbae), dan tangan (tinea manuum).

Pengobatan
Tinea pedis yang muncul di permukaan atau terlokalisir biasanya berespons terhadap
antifungal topikal, 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Antifungal topikal yang sering digunakan
antara lain ciclopirox, econazole, clotrimazole, ketoconazole, butenafine, naftifine dan
terbinafine [12]. Dalam uji banding pengobatan campuran (uji coba head-to-head dan uji coba
dengan pembanding umum) meta-analisis yang melibatkan 14 obat antifungal topikal, tidak
ada perbedaan yang signifikan antara obat-obat antifungal [10]. Terbinafin mungkin bisa
menjadi strategi terbaik untuk mempertahankan keadaan sembuh [10]. Nystatin tidak efektif
terhadap pengobatan tinea pedis [5]. Antifungal topikal biasanya bereaksi baik dan jarang
menimbulkan efek samping, kecuali untuk beberapa kasus langka bisa menyebabkan dermatitis
kontak. Kebanyakan kekambuhan terjadi karena ketidakpatuhan pasien. Dalam kasus ini,
antifungal topikal seperti terbinafine, sertaconazole, dan econazole dapat digunakan sekali
sehari untuk meningkatkan kepatuhan [4,12]. Karena jamur berkembang paling baik di
lingkungan yang hangat dan lembab, pasien harus disarankan untuk memakai kaus kaki dan
sepatu yang tidak sempit, bersih, dan mengeringkan kaki setelah mandi [6]. Bedak antijamur
dapat ditempatkan di sepatu setiap hari [6]. Sepatu juga dapat disterilkan dengan perangkat
berbasis ultraviolet-C (UVC).
Pengobatan sistemik diindikasikan jika lesinya luas, kronis, berulang, resisten, atau
tidak sembuh dengan pengobatan antijamur topikal, jika pasien memiliki kelainan imun, atau
jika adanya tanda infeksi pada kuku [3]. Obat antifungal oral yang digunakan untuk pengobatan
tinea pedis antara lain itrakonazol, flukonazol, ketoconazole, terbinafine, dan butenafine [2].
Pada meta-analisis dari 15 uji coba terkontrol secara acak (n = 1438) antifungal oral, tidak ada
perbedaan signifikan yang terdeteksi antara terbinafine dan itrakonazol, flukonazol dan
itrakonazol, dan flukonazol dan ketokonazol [2]. Ditemukan bahwa terbinafine lebih efektif
daripada griseofulvin, yang sekarang jarang digunakan. Terapi kombinasi antara antifungal
topikal dan oral dapat meningkatkan angka kesembuhan.

Prognosis
Prognosisnya baik dengan pengobatan yang tepat. Jika tidak diobati, lesi akan bertahan
dan berkembang [5].

Daftar Pustaka

1. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician 2008;
77:1415-1420
2. Bell--Syer SE, Khan SM, Torgerson DJ. Oral treatments for fungal infections of the skin of
the foot. Cochrane Database Syst Rev 2012;Oct 17;10:CD003584.
3. Ely JW, Rosenfeld S, Stone MS. Diagnosis and management of tinea infections. Am Fam
Physician 2014;90: 702-710.
4. Field LA, Adams BB. Tinea pedis in athletes. Int J Dermatol 2008; 47:486-492.
5. Goldstein AO, Goldstein BG. Tinea pedis. In: Post TW, ed. UpToDate. Waltham, MA.
(Accessed on February 18, 2015)
6. Gupta AK, Chow M, Daniel CR, et al. Treatments of tinea pedis. Dermatol Clin 2003;
21:431-462.
7. Mistik S, Ferahbas A, Koc A, et al. What defines the quality of patient care in tinea pedis? J
Eur Acad Dermatol Venereol 2006;20:158-165.
8. Parish LC, Parish JL, Routh HB, et al. A randomized, double-blind, vehicle-controlled
efficacy and safety study of naftifine 2% cream in the treatment of tinea pedis. J Drugs
Dermatol. 2011; 10: 1282-1288.
9. Pau M, Atzori L, Aste N, et al. Epidemiology of tinea pedis in Cagliari, Italy. G Ital Dermatol
Venereol 2010; 145:1-5.
10. Rotta I, Ziegelmann PK, Otuki MF, et al. Efficacy of topical antifungals in the treatment of
dermatophytosis: a mixed-treatment comparison meta-analysis involving 14 treatments.
JAMA Dermatol 2013; 149(3):341-349.
11. Surendran KA, Bhat RM, Boloor R, et al. A clinical and mycological study of
dermatophytic infections. Indian J Dermatol 2014; 59(3):262-267.
12. Weinberg JM, Koestenblatt EK. Treatment of interdigital tinea pedis: once-daily therapy
with sertaconazole nitrate. J Drugs Dermatol 2011; 10(10):1135-1140.

Anda mungkin juga menyukai