PEMBIMBING :
dr. Yahya, Sp.P
DISUSUN OLEH :
I. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Pria
Nomor RM : 826934
Tanggal Lahir : 18-April-1955
Umur : 64 tahun
Alamat : Kramat Jati
Agama : Kristen
Suku Bangsa : Batak
Status Pernikahan : Menikah
Status Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Masuk : 02-Januari-2019
Tanggal Keluar : 08-Januari- 2019
Ruangan : Parkit I
Tanggal Pemeriksaan : 06-Januari-2019
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Batuk berdahak selama 2 minggu
Keluhan Tambahan :
Batuk (+), Sesak Nafas (+), Mengi (+), Pilek (+)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 2 Januari 2019 pukul 2 pagi
dengan keluhan batuk dan sesak napas selama 2 minggu terus menerus
sepanjang hari dan diperberat dengan aktivitas. Pasien mengatakan dahak
berwarna bening dan putih. Pasien juga mengeluh sesak nafas dengan suara
mengi .BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien seorang pedagang di pasar
Jatinegara sering kontak dengan perokok, sehari-hari ia pergi bekerja dengan
menggunakan angkutan umum yang sering terpapar dengan polusi udara.
B. Keluhan Kepala
Pengelihatan di waktu siang : Normal
Pengelihatan di malam hari : Normal
Berkunang-kunang : Tidak ada
Sakit pada mata : Tidak ada
Pendengaran : dbn
Keseimbangan : dbn
Kotoran Telinga : dbn
Hidung berdarah : Tidak ada
Lendir : Tidak ada
Nyeri : Tidak ada
Lidah : Normal
Gigi : Normal
Gangguan Bicara : Tidak ada
Gangguan Menelan : ada
Batuk : Ada
Dahak : Ada
Hemoptoe : Tidak ada
E. Keluhan di perut
Membesar : Tidak ada
Mengecil : Tidak ada
Nyeri spontan : Tidak ada
Nyeri tekan :Tidak ada
Nyeri bila makan : Tidak ada
BAB : Normal
BAK : Normal
Lapar : Normal
Mual : Tidak ada
Muntah : Tidak ada
Obstipasi : Tidak ada
Melena : Tidak ada
Feses : Normal
Urin Warna : Kuning
Frekuensi : 3 Kali sehari
Jumlah : ± 1100cc
Nocturia : Tidak ada
Inkontinensia Urin : Tidak ada
G. Keluhan Lain
Alat Lokomotorik : Tidak ada
Keadaan Pernafasan
Frekuensi : 26x/menit
Irama : Teratur
Inspirasi : Tidak memanjang
Ekspirasi : Memanjang
Nafas Berbunyi : Ada (Wheezing)
Retraksi : Tidak ada
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala
Bentuk : Normocephal
Nyeri Tekan : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
Muka
Otot : Normal
Kel. Kulit : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Oedem : Tidak ada
Kakheksia : Tidak ada
Kel. Parotis : Normal
Hidung
Bentuk : Normal
Lendir : Tidak ada
Darah : Tidak ada
Meatus : Normal
Lidah
Besar : Normal
Bentuk : Normal
Papil : Normal
Frenulum : Normal
Pergerakan : Normal
Mata
Pergerakan : N/N
Ikterus : -/-
Reflex cahaya : +/+
Pupil : Isokor
Kornea : Jernih
Konvergensi : +/+
Konjungtiva : Normal
Telinga
Cairan : -/-
Pendengaran : N/N
Faring
Mukosa : Normal
Tonsil : T1/T1
Dinding : Normal
Uvula : Normal ditengah
Leher
Inspeksi : Normal
Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB, massa (-), nyeri tekan (-)
Axilla
Tidak ada pembesaran KGB
Paru
Inspeksi : Ekspansi dada simetris bilateral statis dinamis, retraksi sela
iga (-)
Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-),
edema (-), krepitasi (-)
Thorax Belakang
Inspeksi : Ekspansi dada seimbang bilateral
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil N/N, fremitus vokal N/N
Perkusi : Batas bawah kanan Th XI, batas bawah kiri Th IX
Auskultasi : Suara nafas vesikuler melemah +/+, Wheezing -/-, Ronki -/-
Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
Auskultasi : Suara usus normal, tidak terdapat suara aliran dalam
pembuluh darah
Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-), ascites (-), massa (-)
Perkusi : Shifting dullness (-)
Saraf
Refleks Patologis : -/-
Perasaan di Tangan : N/N
Perasaan di Kaki : N/N
Tes Sensibilitas : Normal
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 02/01/20 09.50 WIB
Hematologi
Hematokrit 43 37 – 43 %
Hematokrit 39 37-43 %
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 1 1-3 %
Batang 0 2-6 %
Segmen 86 50-70 %
Limfosit 6 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
Pewarnaan Gram
Hasil
Cor membesar
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo :
• Hili kasar
• Corakan paru bertambah
• Infiltrat di perihiler bilateral
Skeletal dan soft tissue dalam batas normal
Kesan:
• Bronchopneumonia
• Kardiomegali ringan
VII. RESUME
Pasien datang dengan keluhan batuk dan sesak napas selama 2 minggu terus
menerus sepanjang hari dan diperberat dengan aktivitas. Pasien mengatakan dahak
berwarna putih bening. Pasien juga mengeluh sesak nafas dengan suara mengi.
Pasien seorang pedagang di pasar Jatinegara sering kontak dengan perokok, sehari-
hari ia pergi bekerja dengan menggunakan angkutan umum yang sering terpapar
dengan polusi udara. Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok 3 bungkus sehari
selama 25 tahun dan memiliki riwayat penyakit asma. Pasien pernah terdiagnosis
TB paru dan sudah mengkonsumsi obat OAT selama 6 bulan secara teratur dan
tuntas minum obat. Dari pemeriksaan fisik pasien, didapatkan hipersonor di seluruh
lapang paru, dan wheezing (+/+).
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHG
Nadi : 90 x/ menit
Respirasi : 26 x/ menit
Suhu Axilla : 370 C
SpO2 : 95%
Status General
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, pupil bulat,isokor
X. PENATALAKSANAAN
Tata Laksana dari IGD
RS Polri Tanggal
02/05/2019
XI. FOLLOW UP
Tanggal 6 Januari 2020
S : Sesak napas, batuk berdahak
O: - TD : 120/80 mmHg
- HR : 90x/menit
- RR: 26x/menit
- S : 37,5˚C
A : PPOK
P:
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidine 2x50 mg
Inhalasi Combivent 3x1
Inj. Furosemide 1x40 mg
Inj. Levofloxaxin 1x500 mg
KSR tab 3x1 mg
N.A.C tab 200 mg 3x1
Paracetamol tab 3x500 mg
Ambroxol tab 3x1
Inj. Ceftriakson 1x2 gr
XI. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap
tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu
penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa
merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya. Pada
PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya
memiliki proses yang berbeda (GOLD, 2018).
2.2. Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan tantangan kesehatan
masyarakat yang penting dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis
di seluruh dunia. PPOK saat ini merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia . Lebih
dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada 2012 yang menyumbang 6% dari semua
kematian secara global. Secara global, beban PPOK diperkirakan meningkat dalam
beberapa dekade mendatang karena kelanjutannya paparan faktor risiko PPOK dan
penuaan populasi. (GOLD, 2018)
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei,
kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan
data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di
Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi
PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan
11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan
8,5% pada perempuan.6 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013,
prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%).
(Soeroto, 2014)
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan salah
satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya
PPOK. Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak
lama telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis
kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan
penurunan volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi
paksa (FEV1) dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang
ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang
dihisap per hari dikalikan dengan jumlah total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab
akibat antara merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi
dari merokok ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan predictor signifikan yang
paling besar pada FEV 1, hanya 15% dari variasi FEV1 yang dapat dijelaskan dalam
hubungan bungkus-tahun. Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan
atau faktor genetik sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan
obstruksi jalan nafas.
Gambar 2.1 Peranan rokok sebagai faktor risiko PPOK
2. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat diakibatkan
oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang khas termasuk
penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai
faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.
3. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang yang
tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah
pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada
wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di dalam
ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan sebagai kontributor
yang potensial.
Iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi adalah faktor pencetus
bronkitis kronik. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada setiap hembusan asap
rokok terdapat radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH ). Sebagian besar radikal bebas ini
akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus
dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran nafas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil.oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan
jaringan interstitial alveolus. Partikulat asap rokok dan udara terpolusi mengendap
5 pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan
yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel mukosa meningkat. Hal ini akan
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia
menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspektorasi. Produk mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi terus berlangsung di saluran
napas maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.selain itu terjadi pula
metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran nafas yang bersifat irreversible
3 (Kasper, 2004).
3
Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural
pada saluran nafas kecil yaitu: infamasi, fibrosis, metaplasia sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan nafas.
Gambar 2.3 Konsep patogenesis PPOK
2.5 Diagnosis
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan
tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK
diantaranya:
• Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat dengan produksi sputum pada
awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.
• Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat paparan zat iritan dalam
jumlah yang cukup banyak dan bermakna.
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa kecil,
misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang, lingkungan
dengan asap rokok dan polusi udara.
• Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat melakukan aktivitas berat
(terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga sesak yang tidak pernah hilang sama sekali
dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner
untuk mengakses keparahan sesak napas (table 2.1).
Tabel 2 Skala Sesak menurut Modified Medical Research Council (MMRC Dyspnea Scale)
Grade Keluhan sesak berdasarkan aktivitas
0 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat
1 Sesak napas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar
atau jika berjalan di tempat yang sedikit landau
2 Jika berjalan bersama teman seusia dijalan yang datar, selalu
lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan yang datar
sering beristirahat untuk mengambil napas
3 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan 100 meter
atau setelah berjalan beberapa menit
4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian
Berdasarkan gejala klinis yang dapat diukur berdasarkan skor mMRC ( Modified Medical
Research Council ) atau CAT (COPD Assessment Test ) yang disajikan pada lampiran dan
berdasarkan riwayat eksaserbasi, PPOK dikelompokkan menjadi 4 kelompok disajikan pada
Tabel 3.
• Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. Terutama
dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
• Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.
• Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan Penunjang
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya
obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume
maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity
(FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada
saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai
fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC
serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:
1. Stage I : Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai
FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
2. Stage II : Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi.
Uji Bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
<20% nilai awal dan <200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan
wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi
dan secara klinis tampak tanda- tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa
gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan
dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah
menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis
kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada
emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya
menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada
emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia
ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
• Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
Pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit,
mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis
pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok,
meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas
dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan
pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikoteroid, antibiotic dan
antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal
atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan denganklasifikasi derajat berat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagaibronkodilator juga mengurangi
sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
b. Golongan β– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnyaeksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakanbentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapatdigunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkanuntuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutanatau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi
lebihsederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat.Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas),bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi mortaliti
dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Ventilasi mekanik noninvasif pada PPOK
eksaserbasi akan memperbaiki asidosis respiratorik, meningkatkan pH, mengurangi kebutuhan
untuk intubasi endotrakeal dan menurunkan PaCO2, menurunkan frekuensi napas, beratnya
sesak, lama rawat dan kematian.
Terapi tambahan
(1) Antibiotik
Studi yang lebih baru menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik macrolide secara teratur dapat
mengurangi tingkat eksaserbasi.
(2) Mucolytic (mucokinetics, mucoregulator) dan agen antioksidan (NAC, carbocysteine)
Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, perawatan teratur dengan
mukolitik seperti karbosistein dan N-asetilsistein dapat mengurangi eksaserbasi dan sedikit
meningkatkan status kesehatan.
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
a. Gagal nafas
• Gagal nafas kronis
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi
oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan
dengan pursed lips breathing.
• Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis,
sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal
ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronis ini imunitas menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan.
2.8 Pencegahan
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktiviti optimal
d. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan
di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti.
Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas
2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
a. Ask (Tanyakan). Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (Nasihati). Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (Nilai). Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (Bimbing). Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling
praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur). Buat jadwal kontak lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease Inc.; 2017.
Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention of COPD – 2018 available at
http://goldcopd.org/global-strategy-diagnosis-management-prevention-copd-2018/
Kasper, D.L., Braunwald,E., Fauci, A., Hauser, A., Longo, D, Harrison Principles of Internal
Medicine, 16th ed, McGraw-Hill Professional, New York; 2004
PDPI. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di Indonesia. Penyakit Paru Obstrukstif Kronik.
2011.
Soeroto, AY. dan Hendarsyah, S. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Indonesian Journal of
Chest and Emergency Medicine (1): 2.
44