Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


(PPOK)

PEMBIMBING :
dr. Yahya, Sp.P

DISUSUN OLEH :

Abdi Ridha 1102012002


Tiara Meutia Putri 1102012295
Luthfi Mubarak 1102015121

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT


DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI RUMAH SAKIT
BHAYANGKARA

TK. I R. SAID SUKANTO


PERIODE 11 NOVEMBER 2019 – 18 JANUARI 2020
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Pria
Nomor RM : 826934
Tanggal Lahir : 18-April-1955
Umur : 64 tahun
Alamat : Kramat Jati
Agama : Kristen
Suku Bangsa : Batak
Status Pernikahan : Menikah
Status Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Masuk : 02-Januari-2019
Tanggal Keluar : 08-Januari- 2019
Ruangan : Parkit I
Tanggal Pemeriksaan : 06-Januari-2019

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Batuk berdahak selama 2 minggu

Keluhan Tambahan :
Batuk (+), Sesak Nafas (+), Mengi (+), Pilek (+)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 2 Januari 2019 pukul 2 pagi
dengan keluhan batuk dan sesak napas selama 2 minggu terus menerus
sepanjang hari dan diperberat dengan aktivitas. Pasien mengatakan dahak
berwarna bening dan putih. Pasien juga mengeluh sesak nafas dengan suara
mengi .BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien seorang pedagang di pasar
Jatinegara sering kontak dengan perokok, sehari-hari ia pergi bekerja dengan
menggunakan angkutan umum yang sering terpapar dengan polusi udara.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah terdiagnosis TB paru dan sudah mengkonsumsi obat OAT selama
6 bulan secara teratur dan tuntas berobat TB.
Pasien memiliki riwayat asma dan sudah memiliki obat rutin salbutamol.
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus

Riwayat Penyakit Keluarga


Kakak pasien memiliki riwayat penyakit asma dan sudah meninggal

Riwayat Kebiasaan, Sosial, Ekonomi, Pernikahan dan Pekerjaan


Pasien sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Pasien merupakan seorang
pedagang dan sering kontak dengan perokok, sehari-hari ia pergi bekerja dengan
menggunakan angkutan umum yang sering terpapar dengan polusi udara. Pasien
termasuk dalam ekonomi menengah kebawah, yang tinggal di kawasan padat
penduduk. Pasien memiliki riwayat merokok tiga bungkus sehari dalam 25
tahun.

III. ANAMNESIS UMUM


A. Keluhan Umum
Perasaan nyeri : Tidak ada
Rasa Lelah : Lelah (+)
Berat badan : 70 kg
Panas Badan : 37 oC
Bengkak : Tidak ada
Ikterus : Sklera ikterik -/-
Nafsu makan : Nafsu makan menurun (+)
Rasa Lemas : Lemas (+)
Rasa haus : Normal
Tidur : Sulit tidur (+)

B. Keluhan Kepala
Pengelihatan di waktu siang : Normal
Pengelihatan di malam hari : Normal
Berkunang-kunang : Tidak ada
Sakit pada mata : Tidak ada
Pendengaran : dbn
Keseimbangan : dbn
Kotoran Telinga : dbn
Hidung berdarah : Tidak ada
Lendir : Tidak ada
Nyeri : Tidak ada
Lidah : Normal
Gigi : Normal
Gangguan Bicara : Tidak ada
Gangguan Menelan : ada

C. Keluhan alat di leher


Kaku kuduk : Tidak ada
Pembesaran/nyeri kelenjar limfe : Tidak ada
Pembesaran/nyeri kelenjar tyroid : Tidak ada
Pembengkakan leher : Tidak ada
D. Keluhan alat di dada
Sesak nafas : Ada
Sesak nafas malam hari : Ada
Ortopneu : Ada
Nyeri waktu bernafas : Tidak ada
Bunyi waktu bernafas : Ada
Nafas berbunyi : Ada
Nyeri daerah jantung : Tidak ada
Berdebar-debar : Tidak ada
Nyeri retrosternal : Tidak ada

Batuk : Ada
Dahak : Ada
Hemoptoe : Tidak ada

E. Keluhan di perut
Membesar : Tidak ada
Mengecil : Tidak ada
Nyeri spontan : Tidak ada
Nyeri tekan :Tidak ada
Nyeri bila makan : Tidak ada
BAB : Normal
BAK : Normal
Lapar : Normal
Mual : Tidak ada
Muntah : Tidak ada
Obstipasi : Tidak ada
Melena : Tidak ada
Feses : Normal
Urin Warna : Kuning
Frekuensi : 3 Kali sehari
Jumlah : ± 1100cc
Nocturia : Tidak ada
Inkontinensia Urin : Tidak ada

F. Keluhan Lengan dan Kaki


Gerakan tangan terganggu : Tidak ada
Gerakan kaki terganggu : Tidak ada
Nyeri spontan : Tidak ada
Gangguan sendi : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada
Kesemutan : Tidak ada
Luka-luka : Tidak ada
Gangrene : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Nekrosis : Tidak ada
Kelaninan kuku : Tidak ada
Kelainan Kulit : Tidak ada

G. Keluhan Lain
Alat Lokomotorik : Tidak ada

Tulang : Tidak ada


Otot : Tidak ada
Kelenjar Limfe : Tidak ada
Hipertyroid : Tidak ada
Hipotyroid : Tidak ada
Endokrin : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
IV. PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum
Kesadaran : Compos Mentis GCS (E4V5M6)
Keadaan Gizi : Cukup
Anemia : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Afonia : Tidak ada
Afasia : Tidak ada

Keadaan Peredaran Darah


Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Irama Nadi : Reguler

Keadaan Pernafasan
Frekuensi : 26x/menit
Irama : Teratur
Inspirasi : Tidak memanjang
Ekspirasi : Memanjang
Nafas Berbunyi : Ada (Wheezing)
Retraksi : Tidak ada
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala
Bentuk : Normocephal
Nyeri Tekan : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
Muka
Otot : Normal
Kel. Kulit : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Oedem : Tidak ada
Kakheksia : Tidak ada
Kel. Parotis : Normal
Hidung
Bentuk : Normal
Lendir : Tidak ada
Darah : Tidak ada
Meatus : Normal
Lidah
Besar : Normal
Bentuk : Normal
Papil : Normal
Frenulum : Normal
Pergerakan : Normal
Mata
Pergerakan : N/N
Ikterus : -/-
Reflex cahaya : +/+
Pupil : Isokor
Kornea : Jernih
Konvergensi : +/+
Konjungtiva : Normal
Telinga
Cairan : -/-
Pendengaran : N/N
Faring
Mukosa : Normal
Tonsil : T1/T1
Dinding : Normal
Uvula : Normal ditengah
Leher
Inspeksi : Normal
Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB, massa (-), nyeri tekan (-)
Axilla
Tidak ada pembesaran KGB

Thorax Depan Jantung


Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V, linea medioclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan: ICS V linea parasternalis dextra. Batas
pinggang jantung: ICS III linea midclavicularis sinistra.
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : BJ I – BJ II tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru
Inspeksi : Ekspansi dada simetris bilateral statis dinamis, retraksi sela
iga (-)

Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-),
edema (-), krepitasi (-)

Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikular melemah (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+)

Thorax Belakang
Inspeksi : Ekspansi dada seimbang bilateral
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil N/N, fremitus vokal N/N
Perkusi : Batas bawah kanan Th XI, batas bawah kiri Th IX
Auskultasi : Suara nafas vesikuler melemah +/+, Wheezing -/-, Ronki -/-
Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
Auskultasi : Suara usus normal, tidak terdapat suara aliran dalam
pembuluh darah
Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-), ascites (-), massa (-)
Perkusi : Shifting dullness (-)

Regio Inguinal dan Genital


Tidak Diperiksa

Ekstremitas Atas dan Bawah


Kulit : Normal
Otot : Normal
Tulang : Normal
Nyeri tekan : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Tremor : Normal

Saraf
Refleks Patologis : -/-
Perasaan di Tangan : N/N
Perasaan di Kaki : N/N
Tes Sensibilitas : Normal
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 02/01/20 09.50 WIB
Hematologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 13.4 12.0-14.0 g/dL

Hematokrit 43 37 – 43 %

Leukosit 16.0 5-10 103/ L

Trombosit 274 150 – 400 103/ L

Tanggal 03/01/20 16:32 WIB


Kimia Klinik

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

SGOT/AST 13.5 < 31 U/L

SGPT/ALT 29.0 < 31 U/L

Ureum 38 10-50 mg/dL

Kreatinin 1.3 0.5-1.3 mg/dL

Estimasi GFR 58 >= 90 mL/min/1.73 m2


(CKD-EPI)
GDS 163 <200 mg/dL
Tanggal 03/01/20 16:32WIB
Hematologi III Rutin

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 13.6 12.0-14.0 g/dL

Leukosit 13.1 5-10 103/ L

Hematokrit 39 37-43 %

Trombosit 266 150-400 103/ L

Hitung Jenis Leukosit

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 1 1-3 %

Batang 0 2-6 %

Segmen 86 50-70 %

Limfosit 6 20-40 %

Monosit 8 2-8 %

Tanggal 03/01/20 17:57 WIB


Mikrobiologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

BTA Sewaktu Negative Negative

BTA Pagi Negative Negative

BTA sewaktu Negative Negative

Pewarnaan Gram

Sel Leukosit Banyak/LPI* Negative


Sel Epitel Jarang (0-1/LPI)
Kuman Batang
Gram Positif Tidak ditemukan
Gram Negatif 1-2/LPI
Kuman Coccus
Gram Positif Tidak ditemukan
Gram Negatif Tidak ditemukan
Kuman Tetracoccus Tidak ditemukan
Kuman Kokobasil
Gram Negatif Tidak ditemukan
Radiologi

Hasil
 Cor membesar
 Sinuses dan diafragma normal
 Pulmo :
• Hili kasar
• Corakan paru bertambah
• Infiltrat di perihiler bilateral
 Skeletal dan soft tissue dalam batas normal
 Kesan:
• Bronchopneumonia
• Kardiomegali ringan
VII. RESUME
Pasien datang dengan keluhan batuk dan sesak napas selama 2 minggu terus
menerus sepanjang hari dan diperberat dengan aktivitas. Pasien mengatakan dahak
berwarna putih bening. Pasien juga mengeluh sesak nafas dengan suara mengi.
Pasien seorang pedagang di pasar Jatinegara sering kontak dengan perokok, sehari-
hari ia pergi bekerja dengan menggunakan angkutan umum yang sering terpapar
dengan polusi udara. Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok 3 bungkus sehari
selama 25 tahun dan memiliki riwayat penyakit asma. Pasien pernah terdiagnosis
TB paru dan sudah mengkonsumsi obat OAT selama 6 bulan secara teratur dan
tuntas minum obat. Dari pemeriksaan fisik pasien, didapatkan hipersonor di seluruh
lapang paru, dan wheezing (+/+).

VIII. PEMERIKSAAN SPESIFIK

Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHG
Nadi : 90 x/ menit
Respirasi : 26 x/ menit
Suhu Axilla : 370 C
SpO2 : 95%

Status General
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, pupil bulat,isokor

THT : Dalam batas normal


Leher : Pembesaran kelenjar Lymph (-)
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal

IX. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis Kerja : PPOK eksaserbasi
Diagnosis Banding : SOPT

X. PENATALAKSANAAN
Tata Laksana dari IGD
RS Polri Tanggal
02/05/2019

 Inj. Ranitidine 2x50 mg


 Inhalasi Combivent 3x1
 KSR tab 3x1 mg
 N.A.C 3x1 mg
 Paracetamol tab 3x500 mg
 Inj. Ceftriakson 1x2 gr

XI. FOLLOW UP
Tanggal 6 Januari 2020
S : Sesak napas, batuk berdahak

O: - TD : 120/80 mmHg
- HR : 90x/menit
- RR: 26x/menit
- S : 37,5˚C

A : PPOK
P:
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ranitidine 2x50 mg
 Inhalasi Combivent 3x1
 Inj. Furosemide 1x40 mg
 Inj. Levofloxaxin 1x500 mg
 KSR tab 3x1 mg
 N.A.C tab 200 mg 3x1
 Paracetamol tab 3x500 mg
 Ambroxol tab 3x1
 Inj. Ceftriakson 1x2 gr

XI. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia ad malam
 Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap
tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu
penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa
merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya. Pada
PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya
memiliki proses yang berbeda (GOLD, 2018).

2.2. Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan tantangan kesehatan
masyarakat yang penting dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis
di seluruh dunia. PPOK saat ini merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia . Lebih
dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada 2012 yang menyumbang 6% dari semua
kematian secara global. Secara global, beban PPOK diperkirakan meningkat dalam
beberapa dekade mendatang karena kelanjutannya paparan faktor risiko PPOK dan
penuaan populasi. (GOLD, 2018)
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei,
kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan
data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di
Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi
PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan
11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan
8,5% pada perempuan.6 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013,
prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%).
(Soeroto, 2014)

2.3 Faktor risiko

1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan salah
satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya
PPOK. Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak
lama telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis
kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan
penurunan volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi
paksa (FEV1) dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang
ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang
dihisap per hari dikalikan dengan jumlah total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab
akibat antara merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi
dari merokok ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan predictor signifikan yang
paling besar pada FEV 1, hanya 15% dari variasi FEV1 yang dapat dijelaskan dalam
hubungan bungkus-tahun. Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan
atau faktor genetik sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan
obstruksi jalan nafas.
Gambar 2.1 Peranan rokok sebagai faktor risiko PPOK

2. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat diakibatkan
oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang khas termasuk
penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai
faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.

3. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang yang
tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah
pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada
wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di dalam
ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan sebagai kontributor
yang potensial.

4. Infeksi Berulang Saluran Respirasi


Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran nafas
bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan
sebagai factor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.

5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK


Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai
stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciri- ciri dari asma.
Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciri- ciri jalan nafas yang
hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK
dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan
kepada perumusan hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan
emfisema merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor
lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata.

6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)


Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPO K.
Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-
pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan
untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri,
leukosit PMN, dan monosit.

Tabel 1 Faktor risiko PPOK


2.4 Patofisiologi

Iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi adalah faktor pencetus
bronkitis kronik. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada setiap hembusan asap
rokok terdapat radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH ). Sebagian besar radikal bebas ini
akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus
dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran nafas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil.oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan
jaringan interstitial alveolus. Partikulat asap rokok dan udara terpolusi mengendap
5 pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan
yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel mukosa meningkat. Hal ini akan
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia
menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspektorasi. Produk mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi terus berlangsung di saluran
napas maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.selain itu terjadi pula
metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran nafas yang bersifat irreversible
3 (Kasper, 2004).

Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang permanen


disertai destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan terhadap PPOK adalah
emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar relative
difus dan dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan
ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran nafas. Pada
jenis sentry-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan aderah perifer asinar, kelainan ini sangat
erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran nafas perifer.

3
Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

 Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,


terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
 Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
 Emfisema asinar distal (parasetal), lebih banyak mengenai salran nafas distal, duktus dan
sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural
pada saluran nafas kecil yaitu: infamasi, fibrosis, metaplasia sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan nafas.
Gambar 2.3 Konsep patogenesis PPOK

2.5 Diagnosis
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan
tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK
diantaranya:

• Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat dengan produksi sputum pada
awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.
• Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat paparan zat iritan dalam
jumlah yang cukup banyak dan bermakna.

• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa kecil,
misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang, lingkungan
dengan asap rokok dan polusi udara.

• Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat melakukan aktivitas berat
(terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga sesak yang tidak pernah hilang sama sekali
dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner
untuk mengakses keparahan sesak napas (table 2.1).

Tabel 2 Skala Sesak menurut Modified Medical Research Council (MMRC Dyspnea Scale)
Grade Keluhan sesak berdasarkan aktivitas
0 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat
1 Sesak napas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar
atau jika berjalan di tempat yang sedikit landau
2 Jika berjalan bersama teman seusia dijalan yang datar, selalu
lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan yang datar
sering beristirahat untuk mengambil napas
3 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan 100 meter
atau setelah berjalan beberapa menit
4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian

Berdasarkan gejala klinis yang dapat diukur berdasarkan skor mMRC ( Modified Medical
Research Council ) atau CAT (COPD Assessment Test ) yang disajikan pada lampiran dan
berdasarkan riwayat eksaserbasi, PPOK dikelompokkan menjadi 4 kelompok disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3 Penilaian Kelompok Pasien PPOK


Populasi A: Populasi B:
+Risiko rendah, gejala sedikit +Risiko rendah, gejala banyak
+Kelompok PPOK stadium I dan II +Kelompok PPOK stadium I dan II,
+Ekseserbasi pertahunnya 0-1 kali +Ekseserbasi pertahunnya 0-1 kali
+Skor mMRC 0-1 / skor CAT < 10 +Skor mMRC ≥ 2 dan skor CAT ≥
Populasi C: Populasi D:
10
Risiko tinggi, gejala sedikit Risiko tinggi, gejala banyak,
+Kelompok PPOK stadium III dan +Kelompok PPOK stadium III dan
IV +Ekseserbasi pertahunnya > 2 IV +Ekseserbasi pertahunnya > 2
kali kali
(ataufisik
Pemeriksaan 1 kali MRS) (atau 1 kali MRS)
+Skor mMRC 0-1 / skor CAT < 10 +Skor mMRC ≥ 2 / skor CAT ≥ 10
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan sampai kelainan
jelas dan tanda inflasi paru.
• Inspeksi

1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)


Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam
paru akibat gagal nafas kronis.
2. Penggunaan alat bantu napas
Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada, hipertropi otot bantu
nafas, serta pelebaran sela iga
3. Barrel chest
Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan
transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal
jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
4. Pink puffer
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit kemerahan pasien
kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
5. Blue bloater
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien tampak sianosis
sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru.

• Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. Terutama
dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.

• Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.

• Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.

Pemeriksaan Penunjang

• Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)

Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya
obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume
maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity
(FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada
saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai
fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC
serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:

1. Stage I : Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai
FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

2. Stage II : Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi.

3. Stage III : Berat


Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai prediksi.

4. Stage IV : Sangat Berat


Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50%
dengan kegagalan respirasi kronik.

(a) Faal Paru


 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
- Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75%
- VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Langkah pemeriksaan spirometri antara lain sebagai berikut.
Persiapan
- Spirometer perlu di kalibrasi secara teratur.
- Spirometer harus menghasilkan hard copy /rekaman secara otomatis untuk
mendeteksi kesalahan teknis atau untuk mengidentifikasi apakah uji sudah
memenuhi syarat.
- Petugas yang melakukan uji spirometri perlu pelatihan untuk mendapatkan hasil
yang efektif.
- Usaha maksimal dari pasien diperlukan dalam melaksanakan uji ini guna
menghindari kesalahan diagnosis maupun manajemen.
Kinerja
- Spirometri harus dilakukan menggunakan teknik yang memenuhi standar
- Volume ekspirasi dilakukan dengan benar
- Rekaman harus dilakukan cukup waktu untuk mencatat suatu kurva volume/waktu
yang dicapai, mungkin memerlukan waktu lebih dari 15 detik pada penyakit berat.
- Baik KVP maupun VEP1 harus merupakan nilai terbesar yang diperoleh dari
salah satu 3 kurva dengan teknis yang benar, nilai KVP dan nilai VEP1 dalam tiga
kurva harus bervariasi dengan perbedaan tidak lebih dari 5% atau 100 ml.
- Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara teknis dapat diterima
dengan nilai terbesar dari KVP maupun VEP1.
Evaluasi
- Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran
terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan
ras
- Nilai VEP1 pasca bronkodilator < 80% prediksi serta nilai VEP1/KVP <0,70
memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel

 Uji Bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
<20% nilai awal dan <200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

Langkah pemeriksaan spirometri antara lain sebagai berikut.


Persiapan
- Uji harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi
pernapasan.
- Pasien sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator inhalasi kerja cepat enam jam
sebelum uji, bronkodilator kerja lama 12 jam sebelum uji, atau teofilin lepas
lambat 24 jam sebelum uji.
Spirometri
- VEP1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator
- Bronkodilator harus diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui perangkat
spacer atau nebulizer untuk meyakinkan telah dihirup
- Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk mendapatkan kurva tertinggi pada
dosis tertentu
- Protokol dosis yang memungkinkan adalah 400 µg β2-agonis, hingga 160 µg
antikolinergik, atau gabungan keduanya. VEP1 harus diukur lagi 10-15 menit
setelah diberikan bronkodilator kerja singkat atau 30-45 menit setelah diberikan
bronkodilator kombinasi.
Kesimpulan:
Peningkatan VEP1 yang baik dan dianggap bermakna bila lebih besar dari 200 ml atau 12% di
atas VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini sangat membantu untuk melihat perubahan
serta perbaikan klinis.
(b) Laboratorium darah. Hb, Ht, Tr, Lekosit, Analisis Gas Darah
(c) Radiologi.
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

• Foto Torak PA dan Lateral


Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada
penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata,
hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis
dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan
bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.

• Analisa Gas Darah (AGD)

Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan
wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi
dan secara klinis tampak tanda- tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa
gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan
dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah
menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis
kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada
emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya
menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada
emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia
ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.

• Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

• Pemeriksaan Darah rutin


Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti leukositosis
akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


1. Faal paru lengkap
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KRT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan
Diagnosis Banding
Asma dan SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) merupakan penyakit paru
obstruktif yang sering dijumpai selain PPOK. Selain itu penyakit gagal jantung, bronkiektasis,
dan TB aktif juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding PPOK.

Tabel 4 Diagnosis Banding PPOK (Kemenkes RI 2015)


Diagnosis Gambaran klinis
PPOK Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat
Riwayat merokok
Sesak saat aktivitas
Hambatan aliran udara umumnya ireversibel
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
Dapat ditemukan alergi, rinitis dan atau eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara umumnya reversible
Gagal jantung Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Kongestif
Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan edema
paru
Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi
Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak
Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar
Gambaran foto toraks tampak honeycombappearence
Penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis Onset semua usia
Gambaran Infiltrat pada foto thoraks
Konfrmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA)
Sindrom Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat
Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotik dan
Obstruksi Pasca
kalsifikasi minimal
TB (SOPT ) Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang
irreversible

2.6 Penatalaksanaan PPOK

Pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit,
mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis
pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian.

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok,
meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas
dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan
pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikoteroid, antibiotic dan
antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal
atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan denganklasifikasi derajat berat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).

Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagaibronkodilator juga mengurangi
sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
b. Golongan β– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnyaeksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakanbentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapatdigunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkanuntuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutanatau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi
lebihsederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat.Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas),bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

Tabel 5 Rekomendasi Pengobatan sesuai derajat PPOK


PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan tidak sepenuhnya reversibel, sehingga
penalataksaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
A. Penatalaksanaan pada Keadaan Stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
a. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gafal napas kronik
b. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah
menunjukkan PH normal pCO2 > 60 mmHg dan pO2 < 60 mmHg
c. Dahak tidak berwarna atau jernih
d. Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
e. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
f. Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

B. Penatalaksanaan pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
a. Sesak bertambah
b. Produksi sputum meningkat
c. Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline
Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi trakeobronkial dan polusi
udara, 1/3 penyebab dari eksaserbasi berat tidak dapat diidentifikasi (Bukti B). Peran infeksi
bakteri masih kontroversial, tetapi baru-baru ini penelitian menggunakan teknik baru telah
memberikan informasi penting, yaitu penelitian dengan bronkoskopi yang menunjukkan
bahwa sekitar 50% dari pasien eksaserbasi terdapat bakteri dalam konsentrasi tinggi pada
saluran napas bawah, hal ini menunjukkan bukti kolonisasi bakteri.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang
ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan di rumah oleh penderita yang telah
diedukasi dengan cara :
d. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler, oral menjadi bentuk nebuliser.
e. Menggunakan oksigen bila aktiviti dan selama tidur
f. Menambahkan mukolitik
g. Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter. Penatalaksanaan
eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan
dilakukan di :
a. Poliklinik rawat jalan
b. Unit gawat darurat
c. Ruang rawat
d. Ruang ICU
Penatalaksanaan rawat inap
Indikasi rawat :
1) Eksaserbasi sedang dan berat
2) Terdapat komplikasi
3) Infeksi saluran napas berat
4) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
5) Gagal jantung kanan
Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :
a. Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara evaluasi klinis
yang ketat dan terapi adekuat
b. Terapi oksigen dengan cara yang tepat
c. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan dril, intravena dan nebuliser
d. Perhatikan keseimbangan asam basa
e. Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
f. Rehabilitasi awal
g. Edukasi untuk pasca rawat

Penanganan di gawat darurat


a. Tentukan masalah yang menonjol misalnya :
1) Infeksi saluran napas
2) Gangguan keseimbangan asam basa
3) Gawat napas
4) Triase untuk ke ruang rawat atau ICU
Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum memerlukan
ventilasi mekanik) :
1) Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
2) Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan venture mask
3) Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
4) Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik
Indikasi perawatan ICU
1) Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat
2) Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot Respirasi
3) Setelah pemberian oksigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan
4) Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah terjadi gagal napas
segera atasi untuk mencegah kematian.
b. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa.
Dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan
PaO2 > 60 mmHg atau Saturasi O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup
dengan kadar yang sudah ditentukan (venturi masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatian apakah
sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila tetapi
oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Nonivansive Positive
Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan
intubasi.

Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi mortaliti
dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Ventilasi mekanik noninvasif pada PPOK
eksaserbasi akan memperbaiki asidosis respiratorik, meningkatkan pH, mengurangi kebutuhan
untuk intubasi endotrakeal dan menurunkan PaCO2, menurunkan frekuensi napas, beratnya
sesak, lama rawat dan kematian.

Terapi tambahan
(1) Antibiotik
Studi yang lebih baru menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik macrolide secara teratur dapat
mengurangi tingkat eksaserbasi.
(2) Mucolytic (mucokinetics, mucoregulator) dan agen antioksidan (NAC, carbocysteine)
Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, perawatan teratur dengan
mukolitik seperti karbosistein dan N-asetilsistein dapat mengurangi eksaserbasi dan sedikit
meningkatkan status kesehatan.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
a. Gagal nafas
• Gagal nafas kronis
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi
oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan
dengan pursed lips breathing.
• Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis,
sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal
ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronis ini imunitas menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan.
2.8 Pencegahan
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktiviti optimal
d. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan
di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti.
Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas

2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
a. Ask (Tanyakan). Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (Nasihati). Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (Nilai). Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (Bimbing). Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling
praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur). Buat jadwal kontak lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease Inc.; 2017.

Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention of COPD – 2018 available at
http://goldcopd.org/global-strategy-diagnosis-management-prevention-copd-2018/

Kasper, D.L., Braunwald,E., Fauci, A., Hauser, A., Longo, D, Harrison Principles of Internal
Medicine, 16th ed, McGraw-Hill Professional, New York; 2004

Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penerapan pendekatan praktis kesehatan


paru di Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan;
2015.

PDPI. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di Indonesia. Penyakit Paru Obstrukstif Kronik.
2011.

Soeroto, AY. dan Hendarsyah, S. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Indonesian Journal of
Chest and Emergency Medicine (1): 2.
44

Anda mungkin juga menyukai