Anda di halaman 1dari 8

IMAN DAN CINTA

A. Kemampuan Akhir yang Diharapkan


A.1 Mahasiswa dapat memahami cinta kasih dalam persepsi iman Katolik;
A.2 Mahasiswa dapat membangun hubungan yang baik dengan sesamanya atas dasar
cinta kasih menurut iman Katolik;
A.3 Mahasiswa dapat bersikap selektif dan bijak dalam hal membangun hubungan
dengan sesamanya.

B. Pengantar
Indonesia memiliki beragam etnis, budaya, suku, ras dan agama. Di tengah
keberagaman ini, Negara Indonesia memiliki cara untuk menghargai dan menghormati
setiap perbedaan tersebut melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti
walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua. Di tengah keberagaman agama ini,
khususnya dalam hubungan berpacaran beda agama, muncul sebuah pandangan tentang
pluralisme agama.
Pluralisme agama merupakan suatu paham yang menyatakan suatu kondisi hidup
bersama (ko-eksistensi) antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan
tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama (Thoha, 2005).
Siti Musdah Mulia berpendapat bahwa pluralisme berarti setiap pemeluk agama harus
berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif membangun
damai di antara sesama dengan berusaha memahami perbedaan yang ada (Mukhlisin,
2012). Pluralisme agama menuntut tiap pemeluk agama bukan saja mengakui keberadaan
dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan
guna tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan (Muslim, 1998).
Mahasiswa memiliki peran dalam membawa perubahan. Perubahan tersebut dimulai
dengan peduli dan sadar akan keadaan yang terjadi di sekitar. Dengan memahami prinsip
cinta kasih sesuai iman Katolik serta pengamalannya dalam kehidupan pribadinya sehari-
hari, mahasiswa diharapkan dapat membangun hubungan yang baik dengan sesamanya
serta dapat menjadi panutan dalam hal membangun hubungan baik tersebut.

C. Materi
C.1 Pemahaman tentang Cinta Kasih dalam Iman Katolik
Di dalam magisterium, iman berasal dari kata pistis (Yunani), fides (Latin) secara
umum artinya adalah persetujuan pikiran kepada kebenaran akan sesuatu hal berdasarkan
perkataan orang lain, entah dari Tuhan atau dari manusia. Persetujuan ini berbeda dengan
persetujuan dalam hal ilmu pengetahuan, sebab dalam hal pengetahuan, maka persetujuan
diberikan atas dasar bukti nyata, bahkan dapat diukur dan diraba, namun perihal iman,
maka persetujuan diberikan atas dasar perkataan orang lain. Maka iman yang ilahi (Divine
Faith), adalah berpegang pada suatu kebenaran sebagai sesuatu yang pasti, sebab Allah,
yang tidak mungkin berbohong dan tidak bisa dibohongi, telah mengatakannya. Dan jika
seseorang telah menerima atau setuju akan kebenaran yang dinyatakan Allah ini, maka
selayaknya ia menaatinya.
Cinta kasih merupakan hukum yang utama dalam kehidupan iman Katolik. Telah
disebutkan di dalam Kitab Suci tentang hukum-hukum cinta, di antaranya :
1. Yohanes 3 : 16
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal.”
2. 1 Korintus 13 : 4-5
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan
tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri
sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.”
3. Kolose 3 : 14
“Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan
dan menyempurnakan.”
4. Yohanes 15 : 12
“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi
kamu.”
Dalam kehidupan sehari-hari, cinta adalah emosi yang berasal dari kasih sayang
yang kuat dan rasa tertarik terhadap suatu objek (dapat berupa apa saja seperti manusia,
hewan, tumbuhan, alat-alat dan lain sebagainya) dengan cenderung ingin berkorban,
memiliki rasa empati, perhatian, kasih sayang, ingin membantu dan mau mengikuti apapun
yang di inginkan oleh objek yang dicintainya.
Sebenarnya cinta itu sulit untuk didefinisikan karena sifatnya subjektif jadi setiap
individu dapat memiliki pemahaman yang berbeda mengenai cinta, tergantung bagaimana
ia menghayati dan pengalaman yang dialaminya.
C.2 Cinta dalam Hubungan Khusus Laki-laki dan Perempuan
Dalam kehidupan sosial, pria dan wanita diciptakan untuk hidup berpasangan untuk
mendapatkan keturunan. Untuk mendapat keturunan pria dan wanita tersebut biasanya
melalui proses berpacaran terlebih dahulu hingga menuju jenjang ke lembaga perkawinan.
Proses berpacaran dilakukan bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain sebelum
menuju ke tahap yang lebih serius (Karlina, 2016).
Secara umum, alasan bagi seseorang untuk berpacaran adalah untuk menikmati
kebersamaan dengan orang yang dikasihi. Dalam proses berpacaran tentunya pasangan
kekasih akan rentan mengalami masalah yang timbul baik dari diri sendiri maupun dari luar
diri mereka. Biasanya masalah yang muncul adalah adanya perbedaan dalam prinsip hidup
yang mendasar seperti perbedaan keyakinan (Nisa, 2012).
Pemilihan dan menemukan calon pasangan hidup adalah salah satu tugas
perkembangan pada dewasa awal. Pemilihan akan menikah ataupun hanya sekedar
hubungan pranikah atau biasanya disebut pacaran atau yang lainnya adalah wajar bagi
dewasa awal karena mengingat tugas perkembangan tersebut (Hurlock, 1980). Pemilihan
pasangan pranikah maupun menikah pada seseorang memiliki kriteria masing-masing
dalam menyukai maupun mencintai, Myers (2012) mengungkapkan beberapa faktor yang
memunculkan menyukai dan mencintai yaitu kedekataan, fisik yang menarik,
persamaanperbedaan, dan imbalan dalam hubungan.
Ketertarikan pribadi itu sendiri adalah kesukaan pada orang yang membentuk atau
menimbulkan rasa suka pada seseorang. Ketertarikan pribadi memiliki arti bahwa
seseorang mempunyai ketertarikan tersendiri kepada orang lain, pada umumnya orang
menilai seseorang memiliki daya tarik atau tidak tergantung pada daya tarik pribadi yang
dimilikinya. Penilaian daya tarik pribadi adalah penilaian utama sebelum memutuskan
mencintai. Daya tarik pribadi terdiri dari daya tarik fisik, kepribadian, kecerdasan, prestasi,
dan daya tarik sosial (Faturochman, 2006).
Daya tarik utama dalam ketertarikan terhadap lawan jenis adalah kesamaan atau
kemiripan. Sarwono (2009) mengungkapkan bahwa sangat menyenangkan ketika seseorang
menemukan orang yang mirip dengannya dan saling berbagi asal-usul, minat, dan
pengalaman yang sama. Semakin banyak persamaan maka akan semakin merasa saling
menyukai. Seseorang cenderung menyukai orang yang mirip dalam hal sikap, nilai, latar
belakang, dan personality (Taylor, 2009).
C.3 Cinta Berbeda Agama
Kemiripan begitu penting bagi daya tarik interpersonal. Taylor (2009)
mengungkapkan bahwa salah satu kemungkinannya adalah masing-masing memiliki
pandangan religius yang kuat dan menggunakannya untuk menyaring calon pasangan atau
pacar. Kemungkinan lainnya adalah partner (pasangan) itu mungkin pada awalnya berbeda
sikap tetapi kemudian perlahan-lahan saling membujuk satu sama lain untuk mengubah
pandangan. Kemungkinan ketiga adalah hubungan itu dipengaruhi oleh faktor lingkunngan
yang menyebabkan orang dengan sikap yang sama akan saling bertemu.
Akan tetapi, perbedaan juga tidak kalah menyenangkan daripada persamaan. Jones
menjelaskan bahwa seseorang merasa senang saat menemukan terdapat hal yang mirip
dengan orang yang disukai, tetapi ternyata lebih menyenangkan saat seseorang mengetahui
bahwa orang yang disukai memiliki pandangan berbeda dengan yang dimiliki (Sarwono,
2009). Hal ini terjadi karena perbedaan bukan merupakan salah satu sikap yang salah akan
tetapi sebaliknya yaitu opini apa adanya orang tersebut tanpa adanya paksaan, selain itu
perbedaan juga dapat membuat seseorang belajar hal yang baru dan bernilai darinya.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu
terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Pada prakteknya, banyak pasangan yang yang
ingin hidup bersama namun tidak ada perkawinan karena didasari dengan agama atau
kepercayaan yang berbeda. Ada juga pasangan yang sudah hidup bersama atau “kumpul
kebo” karena adanya suatu alasan yang berpengaruh dalam ikatan hubungan mereka yaitu
berbeda agama. Dalam konteks ini mereka hanya berpegang dalam komitmen yang sudah
di buat oleh kedua belah pihak. Namun persoalannya adalah ketika komitmennya tidak
berjalan dengan baik, maka hubungan tersebut akan menjadi rumit, dan timbul akibat
hukum yang berakibat pada terganggunya kerukunan hidup berumah tangga karena tidak
ada peran agama dalam tujuan ikatan perkawinan.
C.4 Penyebab Cinta Berbeda Agama
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan beda agama :
a. Pergaulan hidup sehari – hari dalam kehidupan bermasyarakat.
Indonesia memang merupakan masyarakat yang heterogen atau terdiri atas beraneka
ragam suku, dan agama. Dalam pergaulan hidup sehari–hari, kita tidak pernah dibatasi
dalam masalah bergaul. Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat
yang ada di Indonesia yang sudah terlalu erat dalam bergaul tanpa melihat perbedaan
agama yang satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan perasaan cinta yang
tidak dapat dihindari.
b. Pendidikan tentang agama yang minim.
Banyak orangtua yang jarang maupun tidak pernah mengajarkan anak–anaknya sedini
mungkin tentang agama. Dalam pertumbuhannya menjadi dewasa, ia tidak
mempersoalkan agama yang diyakininya, sehingga dalam kehidupannya sehari–hari
tidak mempermasalahkan apabila memiliki pasangan yang berbeda agama hingga
sampai kejenjang perkawinan atau menikah.
c. Latar Belakang Orangtua.
Faktor ini juga sangat penting. Karena pasangan yang menikah beda agama tentu tidak
lepas dari adanya latar belakang orangtua. Banyak pasangan yang menikah dengan
pasangan yang berbeda agama karena melihat orangtuanya juga adalah pasangan yang
berbeda agama. Mungkin bagi mereka tidak menjadi masalah apabila menikah dengan
pasangan yang berbeda keyakinan karena berdasarkan riwayat orangtua. Tentu jika
kehidupan orangtua tersebut berjalan harmonis, maka akan menjadi contoh bagi anak–
anaknya kelak dalam perkawinan berbeda agama.
d. Kebebasan memilih pasangan.
Tentu sekarang adalah zaman yang modern, tidak seperti dulu yang dinamakan zaman
Siti Nurbaya, yang pada zaman tersebut orangtua masih saja mencarikan jodoh untuk
anak–anaknya. Sekarang adalah zaman modern, para laki–laki dan perempuan dengan
bebasnya memilih pasangan sesuai dengan keinginannya. Dengan adanya kebebasan
memilih pasangan ini, tidak bisa dipungkiri jika banyak yang memilih pasangan beda
agama karena didasari dengan cinta. Jika cinta telah mendasarinya dalam hubungan
seorang laki - laki dan seorang perempuan, tidak jarang pertimbangan secara matang
dalam suatu hubungan juga termasuk menyangkut agama kurang dapat berperan.
e. Meningkatnya hubungan sosial anak–anak muda Indonesia dengan anak–anak muda
dari mancanegara.
Akibat globalisasi dengan berbagai macam bangsa, kebudayaan, agama serta latar
belakang yang berbeda hal tersebut sedikit atau banyak ikut menjadi pendorong atau
melatar belakangi terjadinya perkawinan beda agama. Dan gengsi untuk mencari
pasangan “bule” juga sangat mempengaruhi, sehingga bagi anak– anak muda kawin
dengan pasangan luar negeri maupun agama yang berbeda seakan–akan sudah tidak
menjadi masalah lagi.
Dengan demikian, apabila akan melangsungkan suatu perkawinan, kedua belah
pihak tetap mempertahankan agamanya masing–masing maka perkawinan tersebut akan
berakibat dalam memiliki keturunan, jika memiliki anak maka anak tersebut akan bingung
dalam memiliki keyakinan. Perkawinan ini juga tidak ada kepastian hukum. Karena pada
dasarnya Hukum Perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai
perkawinan beda Agama.
C.5 Pandangan Gereja Terhadap Perkawinan Beda Agama
Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang bersifat sakramen, berarti di antara
dua orang yang dibaptis, terlebih yang dibaptis atau diterima dalam Gereja Katolik. Yang
ideal ini tidak serta-merta satu-satunya kemungkinan. Meski tidak ideal, Gereja memberi
kemungkinan adanya pernikahan campur, dengan segala persyaratannya. Meski dispensasi
untuk pernikahan campur beda agama ini sudah cukup lama dipraktekkan, kemungkinan itu
makin bisa dipertanggungjawabkan secara teologis terutama sejak Konsili Vatikan II dan
juga mengingat situasi sosiologis masyarakat.
Dalam pandangan teologis, Gereja Katolik tidak lagi mau memonopoli kebenaran
iman dan keselamatan seperti terungkap dalam jargon lama yang berbunyi ”Extra
ecclesiam nulla salus” yang berarti di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan. Sejak
Konsili Vatikan II ada pandangan yang berubah dari Gereja Katolik terhadap gereja-gereja
Kristen lain. Mereka dipandang sebagai saudara, eukomenisme. Sementara itu, Gereja
Katolik juga mengakui bahwa ada juga keselamatan dalam agama lain. Kemudian, secara
sosiologis, Gereja Katolik juga makin realistis bahwa dalam masyarakat ada pluralitas
agama. Artinya, kemungkinan seorang Katolik jatuh cinta dan mau menikah dengan orang
yang tidak Katolik tidak bisa dihindari seratus persen. Hal ini makin sulit dicegah ketika
sarana komunikasi modern makin mempermudah perjumpaan manusia yang berbeda jenis
kelamin.

D. Rangkuman
Cinta kasih merupakan hukum yang utama dalam kehidupan iman Katolik. Cinta adalah
emosi yang berasal dari kasih sayang yang kuat dan rasa tertarik dengan cenderung ingin
membantu dan mau mengikuti apapun yang di inginkan oleh objek yang dicintainya. Pria dan
wanita tersebut biasanya melalui proses berpacaran terlebih dahulu hingga menuju jenjang ke
lembaga perkawinan.
Dalam proses berpacaran tentunya pasangan kekasih akan rentan mengalami masalah yang
timbul baik dari diri sendiri maupun dari luar diri mereka. Biasanya masalah yang muncul
adalah adanya perbedaan dalam prinsip hidup yang mendasar seperti perbedaan keyakinan atau
agama. Banyak pasangan yang yang ingin hidup bersama namun tidak ada perkawinan karena
didasari dengan agama atau kepercayaan yang berbeda.

E. Pertanyaan:
1. Apakah hubungan berbeda agama dapat berpengaruh pada masa depan seseorang yang
beriman Katolik?
2. Menurut Anda, bagaimana cinta berbeda agama dapat terjadi?
3. Bagaimana cara Anda dalam mengubah sikap teman Anda yang mempertahankan
hubungan berbeda agama?
E. Kepustakaan
 Taylor, Shelley E, Sears, D.O dan Peplau. L.A. 2009. Psikologi Sosial Edisi XII. Jakarta :
Kencana Perdana Media Group.
 Thoha, A.M. 2005. Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis. Jakarta : Perspektif.
 Sarwono, S & Meinarno, EA. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai