Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat

transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura

bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.1

Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang,

salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi

tuberkolosis. Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh

gagal jantung kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi

pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB Paru adalah peyebab utama

efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita.

Efusi pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas

dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan

dan jenis cairan pleura.

Secara geografis penyakit ini terdapat diseluruh dunia bahkan menjadi

masalah utama di negara – negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.

Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan di Indonesia. Penyakit efusi pleura

dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai secara sporadic tetapi lebih

sering bersifat epidemik di suatu daerah.2

Pengetahuan yang dalam tentang efusi pleura dan segalanya merupakan

pedoman dalam menentukan diagnosa serta pemberian terapi yang tepat guna

mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat efusi pleura.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Pleura


Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan.

Membran ini membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis.3:

1. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, yang melekat pada

permukaan paru.

2. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan

dinding dada.

Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel (yang

memproduksi cairan), membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh

darah dan limfe.Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus

menerus merembes keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal.

Cairan ini diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh

limfe dan kembali kedarah. Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai

ukuran tebal 10-20 mm, berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna,

mengandung protein < 1,5 gr/dl dan ± 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura didominasi

oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel. Sel

polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil

2
didalam cairan pleura. Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus

berjalan seimbang agar nilai normal cairan pleura dapat dipertahankan.4

2.2 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan

dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat

berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura

hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml.5

2.3 Etiologi
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura.

Tahap yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura

jenis transudat atau eksudat.

Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.Efusi pleura

eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan

penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif

dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase

(LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi

paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura

transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :

1. Proteincairan pleura / proteinserum> 0,5

2. LDH cairan pleura / cairanserum> 0,6

3. LDH cairan pleura melebihidua per tigadari batas atas nilai LDH yang

normal di dalamserum.5

3
Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

Efusi pleura berupa:


a) Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang

permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan

protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena

adanya peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura

kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah

bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan

konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura

eksudat dapat disebabkan oleh :

1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,

Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-

6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise,

mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan

dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.

4
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli

oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun

anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,

Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-

lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan

metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari

rongga pleura.

3. Pleuritis karena fungi: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll.

Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi

melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat

juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya

cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis

perkejuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga

pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang

disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang

yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris,

penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-

paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral

dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan yang paling banyak

ditemukan adalah sesak dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi

5
cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosintesis berkali-

kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

 Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi

kebocoran kapiler.

 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,

bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan

aliran balik sirkulasi.

 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif

intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi.

6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia

bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai

predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna

purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini

dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada

empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4

indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi

parapneumonik:

 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah

daripada nilai pH bakteri

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik

yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

6
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,

Skleroderma

8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi

parapneumonik.5

b) Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler

hidrostatik dan koloid osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan

pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal

ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler sistemik, (2). Meningkatnya

tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura,

(4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi pleura transudat dapat terjadi pada :

1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab

lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.

Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik

dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada

pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan

menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah

bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura

dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh

rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang

agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi

pada sisi kanan.Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan

jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga

7
segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila

penderita amat sesak.6

2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura

dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan

bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan

diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah

dengan memberikan infus albumin.7

3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui

lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya

di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat.

Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak

ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah

pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)

dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa

dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.7

4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita

dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan

sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor

ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul

karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya

8
terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.

Klinisnya merupakan penyakit kronis.7

5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi

unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal

ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan

samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisa.

Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

9
c) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb

pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah

hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin

karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh

permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah

tersebut berasal dari trauma dinding dada7

2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga

pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis

yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu

terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan

diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan yang

seimbang dengan kecepatan pembentukannya.8

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya

kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan

cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan

dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik pada

sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga

pleura.

10
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh

peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,

sehingga menyebabkan terjadinya empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai

pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.8

11
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain

bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,

dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis

konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial

berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam

rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena

mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa

.Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif.8

2.5 ManifestasiKlinis
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika kerja paru

terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh

dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa

nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab

seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi

(kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.Berat badan

menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi

tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang

signifikan9.

2.6 PenegakkanDiagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan

fisik yang teliti. Dari pemeriksaan fisik didapatkan :

12
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih

cembung

Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau

taktil pada sisi yang sakit

Perkusi. Pekak pada perkusi

Auskultasi. Penurunan bunyi napas

Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi

atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas

bronkus. Nyeri dada pada pleuritis :Simptom yang dominan adalah sakit yang

tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura

visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang mengalami

proses inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya

dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah

lain seperti :

1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.

Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan

abdomen.

2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus

menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,

karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak

dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati

13
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis

melengkung (garis Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi menghasilkan

suara redup - timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Selain itu juga terdapat

Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong

mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah

dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura .10

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat

dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan

permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak

sudut kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral

dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.

14
2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun

terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi

dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan

jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya

tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan

pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-

santrokom). Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma,

infark paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila

kuning kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan empiema. Bila

merah coklat menunjukkan abses karena amuba.

b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat.

Perbedaannya dapat dilihat pada tabel :

15
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-

sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.

 Selneutrofil: pada infeksi akut

 Sellimfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma

maligna).

 Selmesotel: bila meningkat pada infark paru

 Selmesotel maligna: pada mesotelioma

 Sel giant: pada arthritis rheumatoid

 Sel L.E: pada lupus eritematoussistemik

 Selmaligna: padaparu/metastase.

4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung

mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering

Pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.

5. Biopsi Pleura.

16
Dapatmenunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan

tumor pleura. Komplikasi biopsy adalah pneumotoraks, hemotoraks,

penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.10

2.7 Penatalaksanaan
1. Terapipenyakitdasarnya (Antibiotika).

2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).

3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,

aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat

dilakukan sebagai berikut:

a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau

diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat

dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.

17
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di

daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di

bawah batas suara sonor dan redup.

c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan

jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya

disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai

diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum

tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura

parietalis tebal.

Gambar Metode Torakosentesis

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada

setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada

satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock

(hipotensi) atau edema paruakut. Edema paru dapat terjadi karena paru-

paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui

betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi

dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler

yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara

18
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi

yang berat, danhipotensi. Komplikasi torakosintesis adalah: pneumotoraks,

hemotoraks, emboli udara, dan laserasi pleura viseralis.

4. Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara

lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:

a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di selaiga 7, 8, 9

linea aksilaris media atau ruang selaiga 2 atau 3 linea

medioklavikuralis.

b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal

selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.

c. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.

d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai

mendapatkan pleura parietalis.

e. Selang dan trokar dimasukkan kedalam rongga pleura dan kemudian

trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi

selang toraks.

f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat

dengan kasa dan plester.

g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung

selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung

selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar

udara dari luar tidak dapat masuk kedalam rongga pleura.

19
Gambar Pemasanganjarum WSD

h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada

selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru

mengembang. Untuk memastikan dilakukan fototoraks.

i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan

jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi

maksimum.

5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan

penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan

adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil,

adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan

sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang

waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13

hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan

20
rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga

tersebut.

Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang

dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam

3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura

melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan

garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk

mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik

diberikan 11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi

rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita

diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga

pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang

toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali

dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.10

2.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi

(empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah

tindakan torasentesis (empiema sekunder). Empiema primer dan sekunder

harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah reaksi

fibrotik. Antibiotik awal dipilih sesuai gambaran klinik dan pilihan

antibiotik dapat diubah setelah hasil biakan diketahui.

2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan

membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi

sumber infeksi kronis sehingga menyebabkan demam. Dekortikasi-reseksi

21
pleura lewat pembedahan mungkin diperlukan untuk membasmi infeksi

dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik dilakukan

dalam 6 minggu setelah diagnosa empiema ditegakkan, karena selama

jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan baik

(fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah.

2.9 Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang

mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobatan

lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak

mendapatkan pengobatan dini.

Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan

kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari

1 tahun. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti

limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan

berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker

paru-paru atau mesothelioma.

Efusi parapneumonic, ketika akui dan diobati segera, biasanya dapat

disembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonic

yaang tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan

fibrosis konstriktif.11

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar


Lampung.
2. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal
20 Desember 2017
3. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009
4. Guyton & Hall. 2014. buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 9. EGC.
Jakarta.
5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal
Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : New York.
2008
6. Abdurachman N. 1987. Gagal Jantung dalam : Ilmu Penyakit Dalam.
Balai penerbit FKUI. Jakarta. Hal 193 – 204
7. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS.
Jakarta : 2008.
8. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua.
EMS. Jakarta : 2008.
9. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.
10. Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 20
Desember 2017
11. Rachmatullah, P. 1997. Seri Ilmu Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru (Pulmonologi), Semarang, Undip

23
24

Anda mungkin juga menyukai