Anda di halaman 1dari 35

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi LBP


Low Back Pain adalah sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama nyeri atau
perasaan lain yang tidak enak dan tidak nyaman di daerah punggung bagian bawah. Dalam
masyarakat LBP tidak mengenal perbedaan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial,
tingkat pendidikan, semua bisa terkena LBP. Lebih dari 80% umat manusia dalam hidupnya
pernah mengalami LBP.
3.1.1 Epidemiologi
Prevalensi LBP di Indonesia sebesar 18%. Prevalensi LBP meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia dan paling sering terjadi pada usia dekade tengah dan awal dekade
empat. Penyebab LBP sebagian besar (85%) adalah nonspesifik, akibat kelainan pada jaringan
lunak, berupa cedera otot, ligamen, spasme atau keletihan otot. Penyebab lain yang serius adalah
spesifik antara lain, fraktur vertebra, infeksi dan tumor.
3.1.2 Manifestasi Klinis
Pada umumnya sindroma lumbal adalah nyeri. Sindroma nyeri muskuloskeletal yang
menyebabkan LBP termasuk sindrom nyeri miofasial dan fibromialgia. Nyeri miofasial khas
ditandai nyeri tekan seluruh daerah yang bersangkutan (trigger points), kehilangan ruang gerak
kelompo otot yang tersangkut (loss of range of motion) dan nyeri radikuler yang terbatas pada
saraf tepi. Keluhan nyeri sering hilang bila kelompok otot tersebut diregangkan. Fibromialgia
mengakibatkan nyeri dan nyeri tekan daerah punggung bawah, kekakuan, rasa lelah, dan nyeri
otot
Gejala penyakit punggung yang sering dirasakan adalah nyeri, kaku, deformitas, dan nyeri
serta paraestesia atau rasa lemah pada tungkai. Gejala serangan pertama sangat penting. Dari
awal kejadian serangan perlu diperhatikan, yaitu apakah serangannya dimulai dengan tiba –
tiba, mungkin setelah menggeliat, atau secara berangsur – angsur tanpa kejadian apapun. Dan
yang diperhatikan pula gejala yang ditimbulkan menetap atau kadang – kadang berkurang.
Selain itu juga perlu memperhatikan sikap tubuh, dan gejala yang penting pula yaitu apakah
adanya sekret uretra, retensi urine, dan inkontinensia.
3.1.3 Etiologi
Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelaianan yang terjadi pada tulang
belakang, otot, discus intervertebralis, sendi, maupun struktur lain yang menyokong tulang
belakang. Kelainan tersebut antara lain:
(1) Kelainan kongenital/kelainan perkembangan, seperti spondylosis dan
spondilolistesis, kiposcoliosis, spina bifida, ganggguan korda spinalis,
(2) Trauma minor, seperti regangan, cedera whiplash,
(3) Fraktur, seperti traumatik misalnya jatuh, traumatik misalnya osteoporosis,
infiltrasi neoplastik, steroid eksogen,
(4) Hernia discus intervertebralis,
(5) Degeneratif kompleks diskus misalnya osteofit, gangguan discus internal, stenosis
spinalis dengan klaudikasio neurogenik, gangguan sendi vertebra, gangguan sendi
atlantoaksial misalnya arthritis reumatoid,
(6) Arthritis spondylosis, seperti artropati facet atau sacroiliaka, autoimun misalnya
ankylosing spondilitis, sindrom reiter,
(7) Neoplasma, seperti metastasisi, hematologic, tumor tulang primer,
(8) Infeksi/inflamasi, seperti osteomyelitis vertebral, abses epidural, sepsis discus,
meningitis, arachnoiditis lumbal.
(9) Metabolik osteoporosis – hiperparatiroid,
(10) Vaskuler aneurisma aorta abdominalis, diseksi arteri vertebral,
(11) Lainnya, seperti nyeri alih dari gangguan visceral, sikap tubuh, psikiatrik, sindrom
nyeri kronik.
Spondylosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang. Spondylosis ini disebabkan oleh
proses degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis, yang mengakibatkan makin
menyempitnya jarak antar vertebra sehingga mengakibatkan terjadinya osteofit,
penyempitan kanalis spinalis dan foramen intervertebralis dan iritasi persendian posterior.
Rasa nyeri pada spondylosis ini disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks
oleh kantong durameter yang mengakibatkan iskemik dan radang. Faktor utama yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas,
duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia
menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas.
Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1.
3.1.4 Klasifikasi
1) LBP viserogenik
Disebabkan oleh adanya proses patologik di ginjal atau visera didaerah pelvis, serta
tumor retroperitoneal. Nyeri yang dirasakan tidak bertambah berat dengan aktivitas
tubuh, juga tidak berkurang dengan istirahat. Penderita LBP viserogenik yang mengalami
nyeri hebat akan selalu menggeliat untuk mengurangi nyeri, sedang penderita LBP
spondilogenik akan lebih memilih berbaring diam dalam posisi tertentu untuk menghilangkan
nyerinya.
2) LBP vaskulogenik
Aneurisma atau penyakit vaskuler perifer dapat menimbulkan nyeri punggung atau
nyeri menyerupai iskialgia. Insufisiensi arteria glutealis superior dapat menimbulkan nyeri
di daerah bokong, yang makin memberat saat jalan dan mereda saat berdiri. Nyeri dapat
menjalar ke bawah sehingga sangat mirip dengan iskialgia, tetapi rasa nyeri ini tidak
terpengaruh oleh presipitasi tertentu misalnya: membungkuk, mengangkat benda berat yang
mana dapat menimbulkan tekanan sepanjang columna vertebralis. Klaudikatio intermitten
(nyeri akibat sirkulasi darah tidak lancer) nyerinya menyerupai iskialgia yang disebabkan
oleh iritasi radiks.
3) LBP neurogenic
Keadaan neurogenik pada saraf yang dapat menyebabkan nyeri punggung bawah pada:
a) Neoplasma:
Rasa nyeri timbul lebih awal dibanding gangguan motorik, sensibilitas dan vegetatif. Rasa
nyeri sering timbul pada waktu sedang tidur sehingga membangunkan penderita. Rasa
nyeri berkurang bila penderita berjalan.
b) Araknoiditis:
Pada keadaan ini terjadi perlengketan – perlengketan. Nyeri timbul bila terjadi
penjepitan terhadap radiks oleh perlengketan tersebut
c) Stenosis canalis spinalis:
Penyempitan canalis spinalis disebabkan oleh proses degenerasi discus intervertebralis
dan biasanya disertai ligamentum flavum. Gejala klinis timbulnya gejala claudicatio
intermitten disertai rasa kesemutan dan nyeri tetap ada walaupun penderita istirahat.
4) LBP spondilogenik
Nyeri yang disebabkan oleh berbagai proses patologik di columna vertebralis yang
terdiri dari osteogenik, diskogenik, miogenik dan proses patologik di artikulatio sacro
iliaka.
a) LBP osteogenik, sering disebabkan Radang atau infeksi misalnya osteomielitis vertebral
dan spondilitis tuberculosa. Trauma yang dapat mengakibatkan fraktur maupun
spondilolistesis. Keganasan, kongenital misalnya scoliosis lumbal, nyeri yang timbul
disebabkan oleh iritasi dan peradangan selaput artikulasi posterior satu sisi. Metabolik
misalnya osteoporosis, osteofibrosis, alkaptonuria, hipofosfatemia familial.
b) LBP diskogenik, disebabkan oleh : Spondilosis, disebabkan oleh proses degenerasi
yang progresif pada discus intervertebralis, sehingga jarak antar vertebra menyempit,
menyebabkan timbulnya osteofit, penyempitan canalis spinalis dan foramen
intervertebrale dan iritasi persendian posterior. Rasa nyeri disebabkan oleh terjadinya
osteoarthritis dan tertekannya radiks oleh kantong duramater yang mengakibatkan iskemi
dan radang. Gejala neurologik timbul karena gangguan pada radiks yaitu: gangguan
sensibilitas dan motorik (paresis, fasikulasi dan atrofi otot). Nyeri akan bertambah
apabila tekanan LCS dinaikkan dengan cara penderita disuruh mengejan (percobaan
valsava) atau dengan menekan kedua vena jugularis (percobaan Naffziger).

Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah keadaan dimana nucleus pulposus keluar
menonjol untuk kemudian menekan kearah canalis spinalis melalui annulus fibrosus
yang robek. Dasar terjadinya HNP yaitu degenerasi discus intervertebralis. Pada umumnya
HNP didahului oleh aktivitas yang berlebihan misalnya mengangkat benda berat, mendorong
barang berat. HNP lebih banyak dialami oleh laki – laki dibanding wanita. Gejala pertama
yang timbul yaitu rasa nyeri di punggung bawah disertai nyeri di otot – otot sekitar lesi
dan nyeri tekan ditempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh spasme otot – otot tersebut dan
spasme ini menyebabkan berkurangnya lordosis lumbal dan terjadi scoliosis. HNP sentral
menimbulkan paraparesis flaksid, parestesia dan retensi urin.
HNP lateral kebanyakan terjadi pada Lumbal 5 – Sakral 1 dan Lumbal 4 – Lumbal 5
pada HNP lateral Lumbal 5 – Sakral 1 rasa nyeri terdapat dipunggung bawah, ditengah
– tengah antara kedua bokong dan betis, belakang tumit dan telapak kaki. Kekuatan
ekstensi jari V kaki juga berkurang dan reaksi achilles negative. Pada HNP lateral Lumbal 4
– Lumbal 5 rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral bokong,
tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki
berkurang dan refleks patella negative. Sensibilitas pada dermatom yang sesuai dengan radiks
yang terkena, menurun. Pada tes laseque akan dirasakan nyeri di sepanjang bagian belakang.
Percobaan valsava dan naffziger akan memberikan hasil positif.
Spondilitis ankilosa, proses ini mulai dari sendi sakroiliaka yang kemudian
menjalar keatas, ke daerah leher. Gejala permulaan berupa rasa kaku dipunggung bawah
waktu bangun tidur dan hilang setelah mengadakan gerakan. Pada foto roentgen terlihat
gambaran yang mirip dengan ruas – ruas bamboo sehingga disebut bamboo spine.
5) LBP psikogenik:
Biasanya disebabkan oleh ketegangan jiwa atau kecemasan dan depresi atau campuran
keduanya. Pada anamnesis akan terungkap bahwa penderita mudah tersinggung, sulit tidur
atau mudah terbangun di malam hari tetapi akan sulit untuk tidur kembali, kurang tenang
atau mudah terburu – buru tanpa alasan yang jelas, mudah terkejut dengan suara yang cukup
lirih, selalu merasa cemas atau khawatir, dan sebagainya. Untuk dapat melakukan anamnesis
ke arah psikogenik ini, di perlukan kesebaran dan ketekunan, serta sikap serius diseling
sedikit bercanda, dengan tujuan agar penderita secara tidak disadari akan mau
mengungkapkan segala permasalahan yang sedang dihadapi.
6) LBP miogenik dikarenakan oleh:
a) Ketegangan otot:
Sikap tegang yang berulang – ulang pada posisi yang sama akan memendekkan otot yang
akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul karena iskemia ringan pada
jaringan otot, regangan yang berlebihan pada perlekatan miofasial terhadap tulang, serta
regangan pada kapsula.
b) Spasme otot atau kejang otot:
Disebabkan oleh gerakan yang tiba – tiba dimana jaringan otot sebelumnya dalam
kondisi yang tegang atau kaku atau kurang pemanasan. Gejalanya yaitu adanya
kontraksi otot yang disertai dengan nyeri yang hebat. Setiap gerakan akan memperberat
rasa nyeri sekaligus menambah kontraksi.
c) Defisiensi otot, yang dapat disebabkan oleh kurang latihan sebagai akibat dari
mekanisasi yang berlebihan, tirah baring yang terlalu lama maupun karena imobilisasi.
d) Otot yang hipersensitif dapat menciptakan suatu daerah yang apabila dirangsang
akan menimbulkan rasa nyeri dan menjalar ke daerah tertentu.
3.1.5 Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi Vertebra
Columna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah struktur lentur sejumlah tulang
yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Komposisi columna vetebralis dibentuk
oleh 33 buah os vertebra yang terdiri atas 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra thorakalis,
5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis (yang bersatu membentuk os sacrum), dan empat
vertebra coccygeus.

Gambar 3.1 Anatomi vertebra

2. Diskus intervertebra
Diskus intervertebral adalah cartilago dan struktur articulating antara tubuh vertebra. Diskus
intervertebra memiliki peran ganda, yaitu support primer dari colum tulang vertebra sementara
cukup elastik untuk gerakan spine (fleksi, ekstensi dan rotasi). Setiap diskus terdiri dari cincin
kolagen elastic, annulus fibrosus, yang mengelilingi gelatinous nucleus pulposus. Serat kolagen
dari annulus yang diatur oblique untuk arah alternative di lapisan (lamellae), yang memungkinkan
untuk flexibility sambil mempertahankan strengthening. Lima belas sampai dua puluh lima lamella
dan annulus. Serat kolagen dari annulus dan jaringan disekitarnya, yang mengikat struktur setiap
tepi vertebra, untuk ligament longitudinal posterior dan anterior. Nukleus pulposus berdiri sendiri,
struktur gelatinous terdiri dari 88 % air pada diskus muda yang sehat. Hal ini pada dasarnya
memberikan support dan separates vertebrae, peredam shock, memungkinkan transit kompresi,
dan melakukan gerakan.

Gambar 2 Diskus Vertebralis


3. Ligamen
Ada beberapa ligamentum yang memperkuat collumna vertebralis sehingga membentuk postur
tubuh seseorang, ligamentum-ligamentum itu antara lain:
1) Ligamentum Longitudinal Anterior
Ligamentum ini melekat pada tiap-tiap korpus disebelah ventral mulai dari tulang occipital
turun ke sacrum. Ligamentum ini semakin melebar ke kaudal dan selalu terikat erat dengan korpus
vertebralis, tetapi tidak pada diskus intervertebralis. Ligamentum ini berfungsi untuk mengontrol
gerakan ekstensi tulang belakang.
2) Ligamentum Longitudinal Posterior
Ligamen ini dibagi atas lapisan luar dan dalam, terletak sepanjang permukaan posterior
korpus intervertebralis. Lapisan dalam ligamentum ini melebar seperti jajaran genjang dan melekat
erat setinggi discus intervertebralis dan bagian atas korpus vertebra, sehingga pada daerah ini
terjadi perlekatan yang memperkuat discus intervertebralis, menjadikannya mampu membatasi
gerakan fleksi-ekstensi dan ligamentum ini sangat peka terhadap nyeri karena banyak mengandung
saraf afferent tipe IV.
3) Ligamentum flavum
Ligamentum ini terletak diantara arkus-arkus vertebra pada dorsal columna vertebralis.
Ligamentum ini berwarna kuning, disebabkan oleh deretan serabut serabut elastin yang terputus-
putus hingga membentuk pita, walaupun dalam keadaan istirahat ligamentum ini tetap teregang.
Sewaktu fleksi columna vertebralis kembali pada sikap tegak. Ligamen ini lebih lentur
dibandingkan dengan ligamentum lain. Ligamen ini juga berfungsi melindungi medulla spinalis.
4) Ligamentum Intertransversarium
Ligamentum merupakan ikatan pendek, melekat langsung pada tepi luar permukaan sendi
pada processus tranversus.
5) Ligamentum Interspinosum
Ligamentum ini merupakan ikatan pendek yang melekat diantara processus spinosus yang
satu dengan yang lain.
6) Ligamentum Supraspinale
Ligamentum ini melekat mengelilingi processus spinolus dimana mulai dari processus
spinolus vertebra cervical ke-7 dan terbentang sejauh sacrum serta menghubungkan vertebra dan
sacrum.

Gambar 3 Ligamen
4. Foramen Intervertrevbra
Foramen intervertebralis terletak disebelah dorsal collumna vertebralis antara tulang belakang
atas dan bawahnya. Pada bagian superior dibatasi oleh pendikulus vertebrae bawahnya dan pada
bagian anterior oleh sisi dorso lateral discus serta sebagian korpus dan pada bagian dorsal oleh
processus articularis facetnya dan tepi lateral ligament flavum. Pada foramen intervertebralis
terdapat jaringan yang penting meliputi radiks, saraf sinuvertebra, pembuluh darah, dan jaringan
penyanggah.
5. Sendi Facet
Sendi facet dibentuk oleh articularis inferior pada bagian atas dan facies superior (dari vertebra
bawahnya) pada facies inferior. Sendi facet merupakan sendi datar dengan gerak utama adalah
gerak geser (glide) menekuk (tilt) dan rotasi. Sendi facet dibentuk dari sendi synovial dimana
permukaan sendi dilapisi kartilago, hialin, dan sinovialis yang memproduksi cairan sinovium yang
berfungsi sebagai pelicin dan memberi zat gizi. Selain itu karena bentuk sendi yang datar ini
memungkinkan gerakan pada tiap segmen yang dominan, yaitu: thoraco lumbal yang merupakan
perbatasan antara T12-S1 dengan memiliki arah gerakan fleksi-ekstensi dan ada gerakan rotasi
sedikit pada kedua sisi. Sehingga karena struktur sendi ini memungkinkan sering terjadi cidera
pada daerah tersebut terutama segmen L5-S1. Selain itu, daerah ini sering terjadi penyimpangan
bentuk L5-S1 atau dikenal sacralisasi yaitu penyambungan tulang sacrum dengan lumbal ke-5.
Pengaruh lain juga karena perubahan posisi, seperti lordosis dan posisi flat dari lumbal.

Gambar 4 Sendi
6. Inervasi
Persarafan mengikuti saraf segmental dimana disarafi oleh sinuvertebral nerve segmen yang
bersangkutan dan satu segmen atas, serta satu segmen bawahnya. Saraf persegmen yang terdapat
pada columna vertebralis terdiri dari saraf sensorik, motorik, dan vegetative. Untuk semua sumber
nyeri berhubungan dengan system saraf. Pada lumbal bagian posterior terdapat foramen
intervertebral dan semua persarafan yang percabangannya terletak disana. Setiap dorsal ramus
berjalan menyilang dan dapat bercabang dua hingga tiga percabangan. Sisi lateral percabangan
berjalan hingga ke lateral lumbal dan mensarafi otot erector spine hingga iliocostalis. Percabangan
medial mensarafi otot multifidus dan interspinosus ligament dan facet joint. Bagian anterior
terdapat korpus vertebra dan diskus intervertebralis juga ligament. Persarafan bagian anterior
mensarafi ligament longitudinal anterior, sedangkan bagian posterior mensarafi ligament
longitudinal posterior. Dari kedua bagian itu anterior dan posterior pleksus banyak terdapat
percabangan yang masuk pada korpus dan diskus intervertebralis. Percabangan yang di diskus
hanya mensarafi bagian luar yaitu pada bagian annulus fibrosus dan tidak sampai ke dalam. Untuk
persarafan pada korpus tidak terlalu dalam hanya sampai pada spongiosa.

Gambar 5 Inervasi vertebral


7. Otot
Spasme otot seringkali juga menyebabkan rasa nyeri akibat iskemia oleh karena otot yang
berkontraksi secara berkepanjangan yang dapat mengakibatkan timbulnya sampah metabolik
didalam otot, sedangkan pada saat itu juga dapat terjadi vasokonstriksi, penimbunan sampah
metabolik itu bertindak sebagai iritasi
yang mengakibatkan perasaan sakit yang umumnya dijumpai pada otot tegang sehingga toleransi
jaringan terhadap suatu regangan yang diterima menurun dan lingkup gerak sendipun menurun.
Otot-otot yang terkena pada spondyloarthrosis lumbal seperti M. Obliquus externus abdominis,
M. Obliquus internus, M. Semispinalis, M.Quadratus lumborum, M. Multifidus, M. Erector spine,
M. Psoas Mayor.
Gambar 6 Otot
3.1.6 Patofisiologi
Struktur-struktur jaringan yang sering terlibat dalam nyeri punggung bawah atau Low Back
Pain antara lain otot, tendon, diskus, ligamen dan sendi pada vertebra lumbal sehingga struktur
tersebut sering mengalami inflamasi atau cidera pada kondisi dibawah tekanan mekanik atau
gerakan. Komponen struktural vertebra sangat sensitive dan responsive terhadap stimuli
nociceptive dalam hal ini nyeri seperti pada peregangan ligamen, otot, fascia atau kapsul sendi
secara terus menerus yang dipengaruhi oleh beban mekanik baik secara statis maupun dinamis.
Nyeri terjadi jika saraf sensoris perifer, yang disebut nociseptor terpicu oleh rangsang
mekanik kimiawi maupun thermal maka impuls nyeri akan dihantarkan ke serabut-serabut afferen
cabang spinal, dari medula spinalis impuls diteruskan ke otak melalui traktus spinotalamikus
kolateral. Selanjutnya akan memberikan respon terhadap impuls saraf tersebut. Respon tersebut
berupa upaya untuk menghambat atau mensupresi nyeri dengan pengeluaran substansi peptide
endogen yang mempunyai sifat analgesik yaitu endorphin. Disamping itu impuls nyeri yang
mencapai medulla spinalis, akan memicu respon reflek spinal segmental yang menyebabkan
spasme otot dan vasokonstriksi. Spasme otot yang terjadi disini adalah merupakan suatu
mekanisme proteksi, karena adanya spasme otot akan membatasi gerakan sehingga dapat
mencegah kerusakan lebih berat, namun dengan adanya spasme otot, juga terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah yang menyebabkan ischemia dan sekaligus menjadi titik picu terjadinya nyeri.
Penyebab nyeri lainnya adalah ischemia, dimana ischemia dapat menyebabkan akumulasi
asam laktat dengan jumlah yang besar di dalam jaringan, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari
metabolisme anaerobik. Kemungkinan juga adalah keterlibatan unsur-unsur kimiawi lainnya
seperti bradykinin dan enzim proteolytic yang terbentuk di dalam jaringan karena adanya
kerusakan sel. Keterlibatan ke dua enzim dan akumulasi asam laktat di dalam jaringan dapat
merangsang ujung-ujung saraf nyeri (reseptor nyeri). Di samping itu, muscle spasm juga penyebab
umum dari nyeri. Nyeri dapat berasal dari efek langsung dari muscle spasm yang merangsang
reseptor nyeri mechanosensitive, tetapi dapat juga berasal dari efek tidak langsung dari muscle
spasm yang mengompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan ischemia. Hal ini akan
menciptakan pelepasan substance kimiawi penyebab nyeri. Adanya spasme otot menyebabkan
ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebrae, maka akan membatasi mobilitas lumbal
terutama untuk gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi). Nyeri dan spasme otot
seringkali membuat individu takut menggunakan otot-otot punggungnya untuk melakukan
gerakan lumbal, selanjutnya akan menyebabkan perubahan fisiologi pada otot tersebut yaitu
berkurangnya massa otot dan penurunan kekuatan otot, akhirnya menimbulkan gangguan aktivitas
fungsionalnya.
Penyebab Spasme atau tightness merupakan manifestasi dari reflex muscle guarding sebagai
respon terhadap adanya stimulus nyeri. Muscle spasm juga dapat terjadi sebagai respon terhadap
perubahan sirkulasi dan metabolik lokal yang terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi yang
terus menerus. Nyeri juga merupakan hasil dari adanya perubahan lingkungan sirkulasi dan
metabolik (Kisner and Colby, 2007). Pada kondisi Low Back Pain, jaringan lunak yang sering
mengalami muscle spasm adalah otot paravertebralis lumbal. Nyeri yang berasal dari mechanical
spine disebabkan oleh deformasi mekanikal dari jaringan yang terganggu secara struktural, di
mana sebagian besar disfungsi terjadi pada komponen artikular tetapi keterlibatan struktur
kontraktil tidak dapat diabaikan. Keadaan ini akan menyebabkan muscle tension
(spasme/tightness), scarring, adherence (perlengketan), pemendekan adaptif atau kontraktur otot,
atau perbaikan yang tidak sempurna.

3.1.7 Faktor Resiko


Faktor risiko terjadinya Low Back Pain adalah sebagai berikut :
a) Usia
Secara teori, nyeri pinggang atau LBP dapat dialami oleh siapa saja, pada umur berapa saja.
Namun demikian keluhan ini jarang dijumpai pada kelompok umur 0 10 tahun, hal ini mungkin
berhubungan dengan beberapa faktor etiologik tertentu yang lebih sering dijumpai pada umur yang
lebih tua. Biasanya nyeri ini mulai dirasakan pada mereka yang berumur 20-50 tahun, keluhan
nyeri pinggang ini
semakin lama semakin meningkat hingga umur sekitar 55 tahun.
b) Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan nyeri pinggang sampai
umur 60 tahun, namun pada kenyataannya jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi
timbulnya keluhan nyeri pinggang, karena pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya
pada saat mengalami siklus menstruasi, selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan
kepadatan tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen sehingga memungkinkan
terjadinya nyeri pinggang.
c) Faktor Indeks Massa Tubuh
Pada orang yang memiliki berat badan yang berlebih risiko timbulnya nyeri pinggang lebih
besar, karena beban pada sendi penumpu berat badan akan meningkat, sehingga dapat
memungkinkan terjadinya nyeri pinggang.
d) Pekerjaan
Keluhan nyeri ini juga berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat, sehingga
riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan
ini. Pada pekerjaan tertentu, misalnya seorang kuli pasar yang biasanya memikul beban
dipundaknya setiap hari. Mengangkat beban berat lebih dari 25 kg sehari akan memperbesar resiko
timbulnya keluhan nyeri pinggang.
e) Aktivitas atau Olahraga
Sikap tubuh yang salah merupakan penyebab nyeri pinggang yang sering tidak disadari oleh
penderitanya. Terutama sikap tubuh yang menjadi kebiasaan. Kebiasaan seseorang, seperti duduk,
berdiri, tidur, mengangkat beban pada posisi yang salah dapat menimbulkan nyeri pinggang,
misalnya, pada pekerja kantoran yang terbiasa duduk dengan posisi punggung yang tidak tertopang
pada kursi, atau seorang mahasiswa yang seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu
menulis. Posisi berdiri yang salah yaitu berdiri dengan membungkuk atau menekuk ke muka.
Posisi tidur yang salah seperti tidur pada kasur yang tidak menopang spinal. Kasur yang diletakkan
di atas lantai lebih baik daripada tempat tidur yang bagian tengahnya lentur. Posisi mengangkat
beban dari posisi berdiri langsung membungkuk mengambil beban merupakan posisi yang salah,
seharusnya beban tersebut diangkat setelah jongkok terlebih dahulu.
f) Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok, diduga karena perokok memiliki kecenderungan untuk mengalami
gangguan pada peredaran darahnya, termasuk ke tulang belakang.
g) Abnormalitas struktur
Ketidaknormalan struktur tulang belakang seperti pada skoliosis, lordosis, maupun kifosis,
merupakan faktor resiko untuk terjadinya LBP.
3.1.8 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara terarah dan terbimbing. Ditanyakan hal sebagai berikut:
 Letak atau lokasi nyeri
 Penyebaran nyeri
 Sifat nyeri
 Pengaruh aktifitas
 Pengaruh posisi dan anggota tubuh
 Riwayat trauma
 Onset waktunya
 Riwayat berobat
 Riwayat penyakit keganasan
 Riwayat trauma

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif pada pasien dengan nyeri punggung meliputi evaluasi
sistem neurologi dan muskuloskeltal. Pemeriksaan neurologi meliputi evaluasi sensasi tubuh
bagian bawah, kekuatan dan refleks-refleks.
a) Inspeksi :
o Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi dan bila pasien tetap berdiri dan menolak untuk
duduk, maka sudah harus dicurigai adanya suatu herniasi diskus.
o Gerakan aktif pasien harus dinilai, diperhatikan gerakan mana yang membuat nyeri dan juga
bentuk kolumna vertebralis, berkurangnya lordosis serta adanya skoliosis. Berkurang sampai
hilangnya lordosis lumbal dapat disebabkan oleh spasme otot paravertebral.
o Gerakan-gerakan yang perlu diperhatikan pada penderita:
o Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah.
o Ekstensi ke belakang (back extension) seringkali menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada
stenosis foramen intervertebralis di lumbal dan artritis lumbal, karena gerakan ini akan
menyebabkan penyempitan foramen sehingga menyebabkan suatu kompresi pada saraf spinal.
o Fleksi ke depan (forward flexion) secara khas akan menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada
HNP, karena adanya ketegangan pada saraf yang terinflamasi diatas suatu diskus protusio sehingga
meninggikan tekanan pada saraf spinal tersebut dengan jalan meningkatkan tekanan pada fragmen
yang tertekan di sebelahnya (jackhammer effect).
b) Palpasi :
o Adanya nyeri (tenderness) pada kulit bisa menunjukkan adanya kemungkinan suatu keadaan
psikologis di bawahnya (psychological overlay).
o Kadang-kadang bisa ditentukan letak segmen yang menyebabkan nyeri dengan menekan pada
ruangan intervertebralis.
o Pada spondilolistesis yang berat dapat diraba adanya ketidak-rataan (stepoff) pada palpasi di
tempat/level yang terkena.
o Penekanan dengan jari jempol pada prosesus spinalis dilakukan untuk mencari adanya fraktur
pada vertebra.
o Pemeriksaan fisik yang lain memfokuskan pada kelainan neurologis.
o Harus dicari pula refleks patologis seperti babinski, terutama bila ada hiperefleksia yang
menunjukkan adanya suatu gangguan upper motor neuron (UMN). Dari pemeriksaan refleks ini
dapat membedakan akan kelainan yang berupa UMN atau LMN.
c) Pemeriksaaan Motorik
o Harus dilakukan dengan seksama dan harus dibandingkan kedua sisi untuk menemukan
abnormalitas motoris.
o Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
-Berjalan dengan menggunakan tumit.
- Berjalan dengan menggunakan jari atau berjinjit.
- Jongkok dan gerakan bertahan ( seperti mendorong tembok )
d) Pemeriksaan Sensorik
o Pemeriksaan sensorik akan sangat subjektif karena membutuhkan perhatian dari penderita dan
tak jarang keliru Nyeri dalam otot.
e) Refleks
o Refleks yang harus di periksa adalah refleks di daerah Achilles dan Patella, respon dari
pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui lokasi terjadinya lesi pada saraf spinal.
f) Test khusus
o Tes Lasegue:
Mengangkat tungkai dalam keadaan ekstensi. Positif bila pasien tidak dapat mengangkat tungkai
kurang dari 60° dan nyeri sepanjang nervus ischiadicus. Rasa nyeri dan terbatasnya gerakan sering
menyertai radikulopati, terutama pada herniasi discus lumbalis/ lumbo-sacralis.
o Tes Patrick dan kontra-patrick:
Fleksi-abduksi-eksternal rotation-ekstensi sendi panggul. Positif jika gerakan diluar kemauan
terbatas, sering disertai dengan rasa nyeri. Positif pada penyakit sendi panggul, negatif pada
ischialgia.
o Tes kernig:
Pasien terlentang, paha difleksikan, kemudian meluruskan tungkai bawah sejauh
mungkin anpa timbul rasa nyeri yang berarti. Positif jika terdapat spasme involunter otot
semimembraneus, semitensinous, biceps femoris yang membatasi ekstensi lutut dan timbul nyeri.
o Tes Naffziger:
Dengan menekan kedua vena jugularis, maka tekanan Liquoe Cerebrospinalis (LCS) akan
meningkat, akan menyebabkan tekanan pada radiks bertambah, timbul nyeri radikuler. Positif pada
spondilitis.
o Tes valsava:
Penderita disuruh mengejan kuat maka tekanan LCS akan meningkat, hasilnya sama dengan
percobaan Naffziger.
o Tes Bragard: Modifikasi yang lebih sensitif dari tes laseque. Caranya sama seperti tes laseque
dengan ditambah dorsofleksi kaki.
o Tes Sicard: Sama seperti tes laseque, namun ditambah dorsofleksi ibu jari kaki.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium:
Pada pemeriksaan laboratorium rutin penting untuk melihat; laju endap darah (LED), kadar Hb,
jumlah leukosit dengan hitung jenis, dan fungsi ginjal.
b) Pungsi Lumbal (LP) :
LP akan normal pada fase permulaan prolaps diskus, namun belakangan akan terjadi transudasi
dari low molecular weight albumin sehingga terlihat albumin yang sedikit meninggi sampai dua
kali level normal.
c) Pemeriksaan Radiologis :
- Foto rontgen biasa (plain photos) sering terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai
penyempitan ruangan intervertebral, spondilolistesis, perubahan degeneratif, dan tumor spinal.
Penyempitan ruangan intervertebral kadang-kadang terlihat bersamaan dengan suatu posisi yang
tegang dan melurus dan suatu skoliosis akibat spasme otot paravertebral.
-CT scan adalah sarana diagnostik yang efektif bila vertebra dan level neurologis telah jelas dan
kemungkinan karena kelainan tulang.
-Mielografi berguna untuk melihat kelainan radiks spinal, terutama pada pasien yang sebelumnya
dilakukan operasi vertebra atau dengan alat fiksasi metal. CT mielografi dilakukan dengan suatu
zat kontras berguna untuk melihat dengan lebih jelas ada atau tidaknya kompresi nervus atau
araknoiditis pada pasien yang menjalani operasi vertebra multipel dan bila akan direncanakan
tindakan operasi terhadap stenosis foraminal dan kanal vertebralis.
-MRI (akurasi 73-80%) biasanya sangat sensitif pada HNP dan akan menunjukkan
berbagai prolaps. Namun para ahli bedah saraf dan ahli bedah ortopedi tetap memerlukan suatu
EMG untuk menentukan diskus mana yang paling terkena. MRI sangat berguna bila:
- vertebra dan level neurologis belum jelas
- kecurigaan kelainan patologis pada medula spinal atau jaringan lunak
- untuk menentukan kemungkinan herniasi diskus post operasi
- kecurigaan karena infeksi atau neoplasma
Mielografi atau CT mielografi dan atau MRI adalah alat diagnostik yang sangat berharga pada
diagnosis LBP dan diperlukan oleh ahli bedah saraf atau ortopedi untuk menentukan lokalisasi lesi
pre-operatif dan menentukan adakah adanya sekwester diskus yang lepas dan mengeksklusi
adanya suatu tumor. Mumenthaler (1983) menyebutkan adanya 25% false negative diskus prolaps
pada mielografi dan 10% false positive dengan akurasi 67%.
-Diskografi dapat dilakukan dengan menyuntikkan suatu zat kontras ke dalam nucleus pulposus
untuk menentukan adanya suatu annulus fibrosus yang rusak, dimana kontras hanya bisa
penetrasi/menembus bila ada suatu lesi. Dengan adanya MRI maka pemeriksaan ini sudah tidak
begitu populer lagi karena invasif.
-Elektromiografi (EMG) :
Dalam bidang neurologi, maka pemeriksaan elektrofisiologis/neurofisiologis sangat berguna pada
diagnosis sindroma radiks. Pemeriksaan EMG dilakukan untuk :
- Menentukan level dari iritasi atau kompresi radiks
- Membedakan antara lesi radiks dengan lesi saraf perifer
- Membedakan adanya iritasi atau kompresi radiks
-Elektroneurografi (ENG)
Pada elektroneurografi dilakukan stimulasi listrik pada suatu saraf perifer tertentu
sehingga kecepatan hantar saraf (KHS) motorik dan sensorik (Nerve Conduction Velocity/NCV)
dapat diukur, juga dapat dilakukan pengukuran dari refleks dengan masa laten panjang seperti
Fwave dan H-reflex. Pada gangguan radiks, biasanya NCV normal, namun kadang-kadang bisa
menurun bila telah ada kerusakan akson dan juga bila ada neuropati secara bersamaan.
-Potensial Cetusan Somatosensorik (Somato-Sensory Evoked Potentials/SSEP)
Kadang-kadang pemeriksaan SSEP diperlukan untuk membuat diagnosis lesilesi yang lebih
proksimal sepanjang jaras-jaras somatosensorik. Semua tes mempunyai hasil yang positif palsu
dan negatif palsu serta penggunaan tes diagnostik lebih dari satu akan mempertajam akurasi
diagnostik. Harus diingat bahwa seluruh pemeriksaan tambahan ini dilakukan dalam kerangka
pemeriksaan klinis neurologis dan harus dievaluasi sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh
sehingga sampai pada suatu kesimpulan diagnosis yang akurat sehingga tindakan pembedahan
yang berlebihan dapat dicegah.

3.1.9 DIAGNOSIS BANDING


Penyakit Lokasi Kualitas Faktor Tanda
nyeri nyeri memperberat/
memperingan
Spasme Punggung, Nyeri, Meningkat Nyeri local,
bokong, spasme ketika pergerakan
paha atas aktivitas atau tulang
membungkuk belakang
terbatas
Herniasi Punggung Tajam, rasa Berkurang Laseque +, ↓
diskus sampai terbakar, jika berdiri, reflek patella
tungkai parastesi bertambah (reflek
bawah tungkai jika berjalan, asimetri),
membungkuk kelemahan
dan duduk
Osteoartritis Punggung Nyeri, Bertambah Ekstennsi
Spinal sampai seperti jika berjalan, tulang
stenosis tungkai ditusuk, berkkurang belakang
bawah; sensasi jika duduk berkurang
bilateral peniti/jarum
Spondilothesis Punggun, Nyeri Meningkat Eksagregasi
paha atas jika tulang
beraktivitas belakang
atau membelok,
membungkuk otot
hamstring
tertarik
Spondilitis Sakroiliaka, Nyeri Kaku pada Pergerakan
lumbal pagi hari tulang
belakang
berkurang,
nyeri sendi
sakroiliaka
Infeksi Lumbal, Nyeri tajam Bervariasi Demam,
sakrum nyeri tekan,
berkurangnya
pergerakan
Malignansi Tulang Tumpul, Bertambah Gangguan
berdenyut, jika batuk neurologi,
atau demam, nyeri
progresifitas berbaring
lambat telentang

3.1.10 PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologis:
1) Analgetik dan NSAID ( Non Steroid Anti Inflamation Drug)
Obat ini diberikan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sehingga
mempercepat kesembuhan. Contoh analgetik : paracetamol, Aspirin Tramadol. NSAID :
Ibuprofen, Natrium diklofenak, Etodolak, Selekoksib.
2) Obat pelemas otot (muscle relaxant)
Bermanfaat bila penyebab NPB adalah spasme otot. Efek terapinya tidak sekuat NSAID,
seringkali di kombinasi dengan NSAID.Sekitar 30% memberikan efek samping
mengantuk. Contoh Tinazidin, Esperidone dan Carisoprodol.
3) Opioid
Obat ini terbukti tidak lebih efektif daripada analgetik biasa yang jauh lebih aman.
Pemakaian jangka panjang bisa menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat.
4) Kortikosteroid Oral
Pemakaian kortikosteroid oral masih kontroversi. Dipakai pada kasus HNP yang berat dan
mengurangi inflamasi jaringan.
5) Anelgetik Adjuvan
Terutama dipakai pada HNP kronis karena ada anggapan mekanisme nyeri pada HNP
sesuai dengan neuropatik. Contohnya : amitriptilin, Karbamasepin, Gabapentin.
6) Suntikan Pada Titik Picu
Cara pengobatan ini dengan memberikan suntikan campuran anastesi lokal dan
kortikosteroid ke dalam jaringan lunak/otot pada titik picu disekitar tulang punggung. Cara
ini masih kontroversi. Obat yang dipakai antara lain lidokain, lignokain, deksametason,
metilprednisolon dan triamsinolon.
Terapi Non-farmakologi:
- Mengurangi aktivitas yang dapat mempengaruhi gerakan pada punggung
- penderita harus tetap berbaring ditempat tidur selama beberapa hari dengan tempat tidur
dari papan dan ditutup selembar busa tipis.
- Terapi Operatif :
Indikasi terapi operatif adalah :
- Pasien mengalami kompresi spinal
- Tidak ada perbaikan lebih baik, masih ada gejala nyeri yang tersisa, atau ada gangguan
fungsional setelah terapi konservatif diberikan selama 6 sampai 12 minggu.
- Terjadinya rekurensi yang sering dari gejala yang dialami pasien menyebabkan
keterbatasan fungsional kepada pasien, meskipun terapi konservatif yang diberikan tiap
terjadinya rekurensi dapat menurunkan gejala dan memperbaiki fungsi dari pasien.
- Terapi yang diberikan kurang terarah dan berjalan dalam waktu lama.
- Pilihan terapi operatif yang dapat diberikan adalah:
o Distectomy : Pengambilan sebagian diskus intervertabralis.
o Pengambilan osteofit adalah prosedur untuk menghilangkan tonjolan tulang dari
daerah di mana mereka menyebabkan saraf terjepit.
o Laminotomy/Laminectomy/Foraminotomy/Facetectomy: Melakukan dekompresi
neuronal dengan mengambil beberapa bagian dari vertebra baik parsial maupun
total.
o Spinal Fusion Dan Sacroiliac Joint Fusion: Penggunaan graft pada vertebra
sehingga terbentuk koneksi yang rigid diantara vertebra sehingga terjadi stabilitas.

3.1.11 PROGNOSIS
Prognosis LBP baik pada tipe mekanik. Setelah 1 bulan pengobatan, 35% pasien dilaporkan
membaik, dan 85% pasien membaik setelah 3 bulan. Dilaporkan tingkat kekambuhan LBP
mencapai 62% pada tahun pertama. Setelah 2 tahun, 80% pasien setidaknya mengalami satu kali
kekambuhan

3.2 Spinal Stenosis

3.2.1 Definisi Spinal Stenosis


Lumbal spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis atau
foramen intervertebralis pada daerah lumbar disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut. Semakin tinggi angka harapan hidup seseorang di suatu negara, semakin
meningkat populasi orang dengan usia lanjut dengan aktivitas yang terpelihara secara monoton.
Konsekuensinya adalah keterbatasan fungsional dan nyeri yang timbul sebagai gejala penyakit
degeneratif pada tulang belakang, menjadi lebih sering muncul sebagai masalah kesehatan.
Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang merupakan
penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000
orang diatas usia 50 tahun. Merupakan penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada
tulang belakang pada usia lebih dari 60 tahun. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita.
Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling
banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.
Stenosis adalah penyempitan pada kaliber orifisium tuba, yang menyebabkan penurunan
aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen padatnya (struktur saraf), bila tidak
terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan mengalami penyempitan namun bukan stenosis.
Lumbar spinal stenosis merupakan penyempitan osteoligamentous vertebral canal dan atau
intervertebral foramina yang menghasilkan penekanan pada thecal sac dan atau akar saraf. Pada
level vertebra yang sama penyempitan tersebut bisa mempengaruhi keseluruhan kanal dan
bagian lain dari kanal tersebut. Definisi ini membedakan herniasi diskus dengan stenosis.
Prolaps diskus tidak menyebabkan stenosis, kedua kondisi di atas memiliki perbedaan
pathogenesis, anatomi dan gejala klinis yang membuat keduanya tidak bisa dikatakan memiliki
satu kesatuan patologis. Kanal lumbalis terdiri dari bagian central, dua bagian lateral, dan bagian
posterior yang berhubungan dengan sudut interlaminar. Bagian central disebut central spinal
canal dan masing- masing bagian lateral disebut akar saraf atau radicular canal.
3.2.2 Epidemologi Spinal Stenosis
Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang
merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia lanjut. Prevalensinya
5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di Amerika. Merupakan penyakit terbanyak yang
menyebabkan bedah pada spina pada usia lebih dari 60 tahun. Lebih dari 125.000 prosedur
laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi insidennya
daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh,
pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.

3.2.3 Anatomi Lumbal Spinal Canal Stenosis


Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya, vertebra dalam
satu daerah pun memiliki sedikit perbedaan. Vertebra terdiri dari corpus vertebra dan arkus
vertebra. Corpus vertebra adalah bagian ventral yang memberi kekuatan pada columna
vertebralis dan menanggung berat tubuh. Corpus vertebra, terutama dari vertebra thoracica IV
ke caudal, berangsur bertambah besar supaya dapat memikul beban yang makin berat. Arkus
vertebra adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pediculus arcus vertebra dan lamina
arkus vertebra. Pediculus arcus vertebra adalah taju pendek yang kokoh dan menghubungkan
lengkung pada corpus vertebra, insisura vertebralis merupakan torehan pada pediculus arcus
vertebra. Insisura vertebralis superior dan incisura vertebralis inferior pada vertebra-vertebra
yang bertangga membentuk sebuah foramen intervetebrale. Pediculus arcus vertebrae menjorok
ke arah dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng yakni lamina
arcus vertebrae. Arcus vertebrae dan permukaan dorsal corpus vertebrae membatasi foramen
vertebrale. Foramen vertebrale berurutan pada columna vertebrale yang utuh, membentuk
canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak, akar saraf dan
pembuluh darah.
Vertebrae lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus vertebrae pejal, jika dilihat dari cranial
berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk segitiga, lebih besar dari daerah servical dan
thoracal, prosesus transversus panjang dan ramping, prosesus accesorius pada permukaan dorsal
pangkal setiap prosesus, prosesus articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies
inferior mengarah ke ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap prosesus
articularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh. Struktur lain yang tidak kalah penting dan
menjadi istimewa adalah sendi lengkung vertebra articulation zygapophysealis (facet joint),
letaknya sangat berdekatan dengan foramen intervertebrale yang dilalui saraf spinal untuk
meninggalkan canalis vertebralis. Sendi ini adalah sendi sinovial datar antara prosesus articularis
(zygoapophysis) vertebra berdekatan. Sendi ini memungkinkan gerak luncur antara vertebra.
Jika sendi ini mengalami cidera atau terserang penyakit, saraf spinal dapat ikut terlibat.
Gangguan ini dapat mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan pola susunan dermatom, dan kejang
pada otot-otot yang berasal dari miotom yang sesuai.

3.2.4 Klasifikasi Lumbal Spinal Canal Stenosis


Kalsifikasi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi berdasarkan etiologi dan anatomi.
Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi stenosis primer dan
sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi: defek kongenital dan perkembangan. Defek
kongenital dibagi menjadi (1) Disrapismus spinalis; (2) Segmentasi vertebra yang mengalami
kegagalan; (3) Stenosis intermiten (d’Anquin syndrome). Perkembangan dibagi menjadi:
kegagalan pertumbuhan tulang dan idiopatik. Kegagalan pertumbuhan tulang dibagi menjadi:
(1) Akondroplasia; (2) Morculo disease; (3) Osteopetrosis; (4) Eksostosis herediter multipel.
Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis. Sedangkan stenosis sekunder menurut
sifatnya dibagi menjadi (1) Degeneratif yaitu degeneratif spondilolistesis; (2) Iatrogenik yaitu
post-laminektomi, post-artrodesis, post-disektomi; (3) Akibat kumpulan penyakit yaitu
akromegali, paget diseases, fluorosis, ankylosing spondylitis; (4) Post-fraktur; (5) Penyakit
tulang sisitemik; (7) Tumor baik primer maupun sekunder.(Justin, 2003)
Berdasarkan anatomi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi sentral stenosis,
lateral stenosis, foraminal stenosis dan ekstraforaminal stenosis. Central stenosis biasanya
terjadi pada tingkat diskus sebagai hasil dari pertumbuhan berlebih sendi facet terutama aspek
inferior prosesus articularis vertebra yang lebih ke cranial serta penebalan dan hipertrofi
ligamentum falvum. Lateral stenosis dapat mengenai daerah resesus lateralis dan foramen
intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang terjadi sebagai akibat dari perubahan degeneratif
sama halnya dengan central spinal stenosis, mempengaruhi kanal akar saraf pada tingkat diskus
dan aspek superior pedikel. Foraminal stenosis paling sering terjadi di tingkat diskus, biasanya
dimulai dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis ini menjadi penting secara klinis walaupun
hanya melibatkan aspek superiornya saja pada level intermediet, karena pada level ini akar saraf
keluar dari bagian lateral, sebelah inferior pedikel dimana dia bisa ditekan oleh material diskus
atau tulang yang mengalami hipertrofi yang membentuk osteofit dari aspek inferior vertebra
chepalis atau dari prosesus artikularis superior vertebra caudalis. Ekstraforaminal stenosis
kebanyakan karena akar saraf pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus, prosesus transversus, atau
articulatio sacroilliacal. (Eberhard,2009)

3.2.5 Patoanatomi Lumbal Spinal Canal Stenosis


Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal adalah struktur
tulang meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina, osteofit
pada corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondilolistesis), hipertrofi atau
defek spondilolisis, anomali sendi facet kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi
ligamentum flavum (penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus,
penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari sendi facet. Akibat
kelainan struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang
mendasari terjadinya lumbar spinal canal stenosis yaitu:
a) Degenerasi diskus
Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi pada proses degenerasi
spinal, walaupun artritis pada sendi facet juga bisa mencetuskan suatu keadaan patologis pada
diskus. Pada usia 50 tahun terjadi degenerasi diskus yang paling sering terjadi pada L4-L5, dan
L5-S1. Perubahan biokimia dan biomekanik membuat diskus memendek. Penonjolan annulus,
herniasi diskus, dan pembentukan dini osteofit bisa diamati. Sequela dari perubahan ini
meningkatkan stres biomekanik yang ditransmisikan ke posterior yaitu ke sendi facet. Perubahan
akibat arthritis terutama instabilitas pada sendi facet. Sebagai akibat dari degenerasi diskus,
penyempitan ruang foraminal chepalocaudal, akar saraf bisa terjebak, kemudian menghasilkan
central stenosis maupun lateral stenosis.
b) Instabilitas Segmental
Konfigurasi tripod pada spina dengan diskus, sendi facet dan ligamen yang normal membuat
segmen dapat melakukan gerakan rotasi dan angulasi dengan halus dan simetris tanpa perubahan
ruang dimensi pada kanal dan foramen. Degenerasi sendi facet bisa terjadi sebagai akibat dari
instabilitas segmental, biasanya pada pergerakan segmental yang abnormal misalnya gerakan
translasi atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh kolapsnya ruang diskus, karena
pembentukan osteofit di sepanjang anteromedial apsek dari prosesus articularis superior dan
inferior akan mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan flexi akan membagi
tekanan ke arah anterior. Degenerasi pergerakan segmen dengan penyempitan ruang diskus
menyebabkan pemendekan relatif pada kanal lumbalis, dan penurunan volume ruang yang
sesuai untuk cauda equina. Pengurangan volume diperparah oleh penyempitan segmental yang
disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum flavum.
Pada kaskade degenerative kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi kurang terakomodasi
pada gerakan rotasi karena perubahan pada diskus dan sendi facet sama halnya dengan
penekanan saraf pada gerakan berputar, kondisi ini bisa menimbulkan inflamasi pada elemen
saraf cauda equina kemudian mengahasilkan nyeri.
c) Hiperekstensi segmental

Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan otot-otot abdomen.
Perubahan degeneratif pada annulus dan kelemahan otot abdominal menghasilkan hiperekstensi
lumbar yang menetap. Sendi facet posterior merenggang secara kronis kemudian mengalami
subluksasi ke arah posterior sehingga menghasilkan nyeri pinggang.
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen, dan
proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina, membuat
diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai
komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan mengatur
pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada berat
diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan pada segment tersebut.
Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus pulposus
mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu
robekan pada annulus. Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus
tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang
lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan
deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama,
namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I
meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada sendi
kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang
berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada
di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga
menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang terorganisasi pada
tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus
pulposus.
- Kompresi Saraf
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar saraf spinalis atau
cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nyeri diakibatkan oleh klaudikasi
neurogenik. Harus ada inflamasi dan iritasi pada akar saraf agar gejala muncul pada ekstremitas
bawah. Kompresi pada akaf saraf normal memunculkan gejala paraestesia, defisit sensoris,
penurunan motorik, dan reflex abnormal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan inflamasi
bisa juga terjadi selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa untuk
memanjang dan menyimpang dari posisi istirahatnya.

3.2.6 Manifestasi Klinis Lumbal Spinal Canal Stenosis

Gejala klinis biasanya muncul pada dekade ke-6 atau ke-7, kebanyakan pasien mengeluh
nyeri punggung (95%) selama satu tahun. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa
terbakar hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai atau
kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah, memburuk dengan berdiri lama,
beraktivitas, atau ekstensi lumbar, gejala tersebut membatasi pasien untuk berjalan (neurogenik
klaudikasi 94%, bilateral 69%). (Joseph, 2004). Nyeri pada ektemitas bawah biasanya
berkurang pada saat duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbar. Bedanya gejala sentral stenosis
dengan lateral stenosis adalah, pada sentral stenosis, fleksi pergelangan kaki dan lutut berkurang
atau timbul nyeri, pada lateral stenosis pasien masih bisa berjalan normal dan tidak nyeri hanya
saja nyeri timbul pada saat istirahat dan malam hari. Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda
tergantung pola dan distribusi stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada
satu level. Misalnya akar saraf L5 pada level L4-L5, atau beberapa akar saraf pada beberapa
level dan sering tidak jelas tipenya dan gejalanya kadang tidak sesuai dengan akar saraf yang
terkena. Walaupun nyerinya menyebar ke arah caudal namun tidak semua area merasakan gejala
seperti yang disebut di atas. Gejalanya bisa asimetris, dan tidak konsisten, bervariasi setiap hari
dan tidak sama dari sisi ke sisi. Bisa kram, nyeri tumpul, dan paraestesia difus. Penemuan klinis
yang berkaitan dengan lumbal stenosis adalah gejala bertambah saat spina ekstensi dan
berkurang saat spina fleksi. Karena pada saat ektensi. kanalis spinalis akan berkurang
kapasitasnya. Gaya berjalan pasien dengan lumbar stenosis cenderung stopped forward, mula-
mula pasien bisa berjalan, namun lama kelamaan timbul nyeri dan kelemahan, setelah istirahat
(duduk) pasien bisa berjalan kembali dengan kekuatan normal, namun lama kelamaan timbul
kelemahan lagi. Kekuatan otot pada tungkai bawah akan menurun, gejala ini bisa saja spesifik
bila ada keterlibatan akar saraf pada lumbar dan sakral. Otot-otot yang dipengaruhi antara lain:
gluteus medius, hamstring (semimembraneus, semitendinous, bisep femoris), gastrocnemius,
dan soleus. Sensorisnya bisa berkurang pada tes pinprick dan sentuhan ringan mengikuti pola
dermatom, juga menunjukkan ketrlibatan akar saraf, termasuk saddle anesthesia (kadang
melibatkan gland penis dan klitoris) (Mc.Rae, 2004).

3.2.7 Penatalaksanaan Lumbal Spinal Canal Stenosis

a) Foto polos x-ray Lumbosacral


Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat dalam posisi AP lateral dan
obliq, dengan tampak gambaran kerucut lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi dan
ekstensi, diharapkan untuk mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun deformitas.
Penemuan radiografi yang mengarahkan kecurigaan kepada lumbal stenosis degeneratif adalah
pada keadaan spondilolistesis degeneratif dan skoliosis degeneratif. Untuk pasien dengan
spondilolistesis degeneratif foto polos posisi lateral dibuat dengan pasien dalam posisi berbaring
dan spina dalam keadaan fleksi dan ektensi, bending kanan kiri, bertujuan untuk melihat
pergeseran abnormal pada segmen yang terlibat. Untuk skoliosis degenerative foto polos
AP/lateral dibuat pada plat yang panjang, pasien dalam posisi berdiri, bertujuan untuk
menentukan rentangan kurva S, dan keseimbangan antara bidang coronal dan sagital, karena
ketidakseimbangan di tiap segmen menjadi tujuan terapi operatif.

b) CT Scan
CT Scan sangat bagus untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek resesus lateralis. Selain
itu dia bisa juga membedakan mana diskus dan mana ligamentum flavum dari kantongan tekal
(thecal sac). Memberikan visualisasi abnormalitas facet, abnormalitas diskus lateralis yang
mengarahkan kecurigaan kita kepada lumbar stenosis, serta membedakan stenosis sekunder
akibat fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari L3 sampai sambungan L5-S1. Namun
derajat stenosis sering tidak bisa ditentukan karena tidak bisa melihat jaringan lunak secara
detail.

c) MRI
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis dan perencanaan operasi.
Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada
tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central stenosis
dan lateral stenosis. Bisa mendefinisikan flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas sendi
facet, osteofit, herniasi diskus atau protrusi. Ada atau tidaknya lemak epidural, dan kompresi
teka dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik. Potongan sagital juga menyediakan porsi spina
yang panjang untuk mencari kemungkinan tumor metastase ke spinal. Kombinasi potongan axial
dan sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal dan neural foramen. Namun untuk
mengevaluasi resesus lateralis diperlukan pemeriksaan tambahan myelografi lumbar
dikombinasi dengan CT scan tanpa kontras.

3.2.8 Tatalaksana Lumbal Spinal Canal Stenosis

a) Terapi konservatif
Terapi konservatif dilakukan apabila gejalanya ringan dan durasinya pendek selain itu kondisi
umum pasien tidak mendukung dilakukan terapi operatif (misalnya pasien dengan hipertensi
atau diabetes melitus). Modalitas utama meliputi edukasi, penentraman hati, modifikasi aktivitas
termasuk mengurangi mengangkat beban, membengkokan badan, memelintir badan, latihan
fisioterapi harus menghindari hiperekstensi dan tujuannya adalah untuk menguatkan otot
abdominal fleksor untuk memelihara posisi fleksi, penggunaan lumbar corset-type brace dalam
jangka pendek, analgesik sederhana (misal acetaminofen), NSAIDs, kalsitonin nasal untuk nyeri
sedang, injeksi steroid epidural untuk mengurangi inflamasi, golongan narkotika bila
diperlukan, penggunaan akupuntur dan TENS masih kontroversi. Latihan juga sangat penting
antara lain bersepeda, treadmill, hidroterapi misalnya berenang dapat memicu pengeluaran
endorphin dan meningkatkan suplai darah ke elemen saraf, serta membantu memperbaiki fungsi
kardiorespirasi.

b) Terapi operatif
Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit neurologis yang
progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan penurunan
kualitas hidup, serta terapi konservatif yang gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan
adalah laminektomi dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi akar saraf
dengan berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa mengurangi gejala pada tungkai bawah dan
bukan untuk mengurangi LBP (low back pain), walaupun pasca operasi gejala LBP akan
berkurang secara tidak signifikan (Anthony, 1997)
Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi dekompresi. Standar
laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan ligamentum flavum dari tepi lateral satu
resesus lateralis sampai melibatkan level transversal spina. Semua resesus lateralis yang
membuat akar saraf terperangkap harus didekompresi. Pasien diposisikan dalam posisi pronasi
dengan abdomen bebas, melalui garis tengah tentukan prosesus spinosus. Untuk
mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah benar setengah cranial dari spinosus caudal dan
setengah caudal dari cranial prosesus spinosus dipotong dengan pemotong ganda. Kanal
dimasukkan ke dalam garis tengah dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal
ke cranial menggunakan Kerrison rongeurs. Bila tulang terlalu tebal gunakan osteotome atau
drill berkecepatan tinggi. Dekompresi dibawa lebih ke lateral dari pedicle. Facetotomy
dilakukan dengan osteotome untuk dekompresi akar saraf di resesus lateralis. Dekompresi
komplit saat pulsasi dural sac kembali dan venous refilling akar saraf terlihat di foramen dan
akar saraf kembali mobile. Ruang pada jalan keluar kanal bisa juga diakses menggunakan kanula
tumpul atau bila ada lebih baik menggunakan umbilical catheter. Laser kanula Doppler berguna
untuk menilai kembalinya aliran darah ke akar saraf. Diskus harus dibiarkan intak walaupun
bisa menyebabkan penekanan pada akar saraf yang menetap yang diikuti juga penekanan oleh
tulang dan jaringan lunak, karena resiko terjadinya instabilitas pasca operasi dan pengambilan
diskus juga lebih sulit dikerjakan.
Tekhnik alternatif lain yang bisa dikerjakan adalah laminektomi sudut dengan reseksi
sudut hanya pada porsi anterior aspek lateral lamina, laminektomi selektif single atau multiple
unilateral atau bilateral, dan laminoplasti lumbar. Multiple laminotomi dikerjakan pada level
sendi facet dengan memotong lebih sedikit pada seperempat sampai setengah facet dilanjutkan
dengan membuang porsi lateral ligementum flavum.
Dengan kemajuan perencanaan preopertif menggunakan MRI, laminectomy di Negara-
negara maju menjadi semakin jarang dilakukan dan para dokter bedah spine lebih senang
mengerjakan selective spinal decompression dengan mempertahankan struktur garis tengah.
Kebanyakan kasus spinal stenosis melibatkan segmen pergerakan seperti diksus dan sendi facet
dan bukan segmen yang kokoh (corpus vertebrae, pedicle dan lamina). Hal ini membuat
kemungkinan melakukan dekompresi segmen yang mengalami stenosis dengan tetap
mempertahankan struktur arkus vertebrae. Keuntungannya adalah proses penyembuhan menjadi
lebih singkat, mempertahankan ketinggian canal dan mengurangi insiden back pain post
operatif, mengurangi imobilisasi terlalu lama dan tidak membutuhklan fusi.
Tujuan dilakukan fusi adalan untuk mengkoreksi instabilitas pada segmen yang
dilakukan dekompresi, mengurangi nyeri pada segmen yang bergerak dan mencegah
spondylolisthesis dan scoliosis kedepannya. Indikasi fusi tergantung pada keadaan pada keadaan
spina sebelum dan setelah dilakukan operasi, bila dekompresi mengakibatkan segmen tersebut
menjadi tidak stabil maka diperlukan fusi dengan intrumentasi, misalnya pada pengambilan 50%
kedua sendi facet atau 100% pada satu sendi facet saja (facetectomy) dan ligamen longitudinal
posterior atau diskus mengalami kerusakan (discectomy), maka fusi harus dipertimbangkan
untuk dikerjakan. Namun pada prosedur laminectomy yang deformitasnya stabil dan pada
pasien yang memiliki penyakit komorbid yang bila dilakukan fusi akan meningkatkan resiko
komplikasi, maka fusi tidak dikerjakan.

3.2.9 Komplikasi Lumbal Spinal Canal Stenosis


Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka kemungkinan
terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang lebih muda, selain itu juga
lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut usia yang akan mempengaruhi proses
pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi menjadi empat grup, infeksi, vaskuler,
kardiorespirasi, dan kematian. Kematian berkorelasi dengan usia dan penyakit komorbid.
Peningkatan resiko komplikasi yang berkaitan dengan fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep
vein thrombosis) atau emboli paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada
instrumen. Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar, spondilolistesis
postoperatif.

3.2.10 Prognosis Lumbal Spinal Canal Stenosis


Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga, pembedahan lebih
awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca operasi. Prognosis buruk bila terjadi dominan
back pain, segmen yang terkena multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapat tanda defisit
neurologis, wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Kesimpulan

Nyeri punggung bawah (Low Back Pain/LBP) merupakan rasa nyeri yang dirasakan pada
punggung bawah yang sumbernya adalah tulang belakang daerah spinal (punggung bawah) yaitu
daerah di bawah costa terakhir dan di atas garis inferior gluteal. Selain itu dapat juga bersumber
dari otot, saraf, atau struktur lain di sekitar daerah tersebut. Nyeri yang dirasakan dapat menyebar
sampai ke ekstremitas inferior.

Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelaianan yang terjadi pada tulang belakang,
otot, discus intervertebralis, sendi, maupun struktur lain yang menyokong tulang belakang.
Struktur-struktur jaringan yang sering terlibat dalam nyeri punggung bawah atau Low Back Pain
antara lain otot, tendon, diskus, ligamen dan sendi pada vertebra lumbal sehingga struktur tersebut
sering mengalami inflamasi atau cidera pada kondisi dibawah tekanan mekanik atau gerakan.
Lumbal spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis atau
foramen intervertebralis pada daerah lumbar disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut. Kanal lumbalis terdiri dari bagian central, dua bagian lateral, dan bagian
posterior yang berhubungan dengan sudut interlaminar. Bagian central disebut central spinal
canal dan masing- masing bagian lateral disebut akar saraf atau radicular canal.

Gejala klinis biasanya muncul pada dekade ke-6 atau ke-7, kebanyakan pasien mengeluh
nyeri punggung (95%) selama satu tahun. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa
terbakar hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai atau
kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah, memburuk dengan berdiri lama,
beraktivitas, atau ekstensi lumbar, gejala tersebut membatasi pasien untuk berjalan (neurogenik
klaudikasi 94%, bilateral 69%).

Penatalaksanaan lumbal spinal canal stenosis bias dilakukan terapi konservatif meliputi
edukasi, penentraman hati, modifikasi aktivitas termasuk mengurangi mengangkat beban,
membengkokan badan, memelintir badan, latihan fisioterapi harus menghindari hiperekstensi dan
tujuannya adalah untuk menguatkan otot abdominal fleksor untuk memelihara posisi fleksi,
penggunaan lumbar corset-type brace dalam jangka pendek, analgesik sederhana (misal
acetaminofen), NSAIDs, kalsitonin nasal untuk nyeri sedang, injeksi steroid epidural untuk
mengurangi inflamasi, golongan narkotika bila diperlukan, penggunaan akupuntur dan TENS
masih kontroversi. Dan dilakukan terapi operatif dengan indikasi operasi adalah gejala neurologis
yang bertambah berat, defisit neurologis yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas
sehari-hari dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang gagal.
Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi dekompresi. Tindakan operasi
bertujuan untuk dekompresi akar saraf dengan berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa
mengurangi gejala pada tungkai bawah dan bukan untuk mengurangi LBP (low back pain),
walaupun pasca operasi gejala LBP akan berkurang secara tidak signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

1) Jefferey M. Spivak. Current Concepts Review - Degenerative Lumbar Spinal Stenosis.

Journal Bone Joint Surg Am. 1998; 80:1053-66.

2) Franco Postacchini. Management of Lumbar stenosis. Vol. 78-B, No. 1, January.

1996

3) D. Fahy and J. E. Nixon Harcourt Publishers Ltd. Lumbar spinal stenosis Current

Orthopaedics. 2001. 15, 91-100.

4) Steven R. Garfin, Harry N. Herkowitz and Srdjan Mirkovic. Spinal Stenosis.

Journal Bone Joint Surg Am. 1999; 81:572-86.

5) Keith L. Moore, Anne M R. Agur. Anatomi Klinis Dasar. 2002. Jakarta:Hipokrates.

6) Justin F. Fraser, B.A., Russel C. Huang, M.D. Pathogenesis, presentation, and treatment of

lumbar spinal stenosis associated with coronal or sagittal spinal deformities. Neurosurg.

Focus. 2003.Volume 14: article 6.

7) Eberhard Siebert, Harald Prüss, Randolf Klingebiel, et al. Lumbar spinal stenosis:

syndrome, diagnostics and treatment Nat. Rev. Neurol. 5, 392–403. 2009.

8) Joseph D. Fortin, DO, and Michael T. Wheeler. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis

Pain Physician. 2004;7:133-139, ISSN 1533-3159.

9) McRae, Ronald. Clinical Orthopaedic examination. 2004. Fifth Edition: 151-152.

10) Anthony J. Caputy, M.D., Caple A. Spence. The role of spinal fusion in surgery for

lumbar spinal stenosis: a review. Neurosurg Focus 3 (2):Article 3, 1997.

Anda mungkin juga menyukai