Anda di halaman 1dari 25

Nama : Naarah Krisanda Alvina

Kelas/No : MIPA 2.3/23

Jauh dan Sejalan

“Jangan duduk di depan pintu, nanti


jodohmu jauh.”
Selalu saja begitu. Dengan aksen jawanya
yang kental, Adin selalu mengatakan hal yang sama
ketika Ave duduk di depan pintu, menghalangi
jalannya untuk masuk ke dalam rumah.
Sudah beribu kali Adin mengingatkan dan
beribu kali juga Ave menganggapnya angin lalu.
“Kan mang jodohku oppa di Korea Selatan,
ya jauh lah,” jawab Ave seadanya.
Menurut Nadindra Adiningrum itu bukan
hanya mitos atau pamali yang diceritakan oleh
nenek dan ibunya secara turun-temurun, tapi itu
adalah sebuah peringatan yang bisa membawa
malapetaka bagi siapa pun yang melanggar.
Sejak lahir sampai sekarang ia berusia 19
tahun, Adin tidak pernah sedetik pun lupa akan apa
pun peringatan yang dikatakan ibunya. Termasuk
pamali dan mitos-mitos yang pernah dikatakan
ibunya.

1
Oppa : Panggilan untuk kakak laki-laki oleh adik
perempuan dalam bahasa korea
Bahkan ia selalu menegur siapa pun yang
melakukan hal-hal yang akan merugikan diri sendiri
menurut mitos yang ia percayai, dan tetangga yang
tinggal di depan rumahnya adalah orang yang paling
sering ia tegur. Orang itu adalah sahabatnya sendiri,
Avera Jezebel Minerva.
“Yaudah lah, awas aku mau masuk,” kata
Adin sambil mendorongku dari depan pintu. “Awas
aja kalau jodohmu betulan jauh, aku ndak tanggung
jawab.”
Dia mengatakannya tanpa berbalik ke arah
Ave. Ia terus menuju ke dalam rumah dan
menghilang di balik pintu kamar Ave.
Ave sudah terbiasa oleh Adin yang sering
masuk ke rumahnya tanpa ijin. Adin selalu masuk ke
rumah Ave hampir setiap hari, entah hanya untuk
bermain, menumpang mandi, menonton televisi,
atau hanya meminta makanan gratis. Bukannya
Adin tidak bisa melakukan semua itu di rumahnya,
hanya saja ia membutuhkan teman.
Baik Adin mau pun Ave mereka hidup
seorang diri. Tidak ada siapa pun di rumah selain
mereka sendiri. Karenanya Adin berfikir jika
tidaklah buruk jika mereka saling mengunjungi
rumah satu sama lain. Ave juga tidak keberatan
dengan itu.
Ave pun masuk ke kamarnya dan
menemukan Adin sudah berbaring di atas kasur
sambil membaca novel.
Ave membaringkan tubuhnya di sebelah
Adin. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil
bergumam, “Kenapa sih kamu masih percaya sama
mitos-mitos itu? It doesn’t make sense.”
Selama 19 tahun hidup, Ave tidak pernah
percaya pada satu pun mitos dan pamali yang
sahabatnya bicarakan. Menurutnya itu hanya omong
kosong belaka dan tidak masuk akal. Bagaimana
bisa Ave yang duduk di depan pintu menyebabkan
jodohnya jauh?
Apakah jodohnya fobia dengan penunggu
pintu? Lagi pula Ave duduk disitu hanya untuk
mencari angin dan melihat kebun di halamannya, ia
tidak melakukan suatu ritual yang bisa mengusir
jodoh.
“Aku memang ndak pernah bilang kalau itu
masuk akal, tapi aku percaya itu. Ibuku pasti
memberikan informasi yang berguna untuk anaknya,”
jawab Adin dengan nada tenang. “Lagi pula kamu
juga ndak punya alasan untuk duduk di sana. Does it
make any sense?”
Ave membisu. Perkataan Adin berhasil
menyudutkannya. Pernah sekali Adin bertanya
mengapa Ave senang sekali duduk di depan pintu.
Namun entah mengapa, Ave sendiri pun tidak tau
alasannya. Ketika sedih, stres, atau tertekan, ia akan
duduk di sana. Itu seperti sudah menjadi
kebiasaannya.
Ave mendengus, dan berkata “Okay, aku
nyerah. Nadindra Adiningrum memang yang paling
benar.”
Adin pun terkekeh mendengarnya. “Eh Ra,
kamu ndak kangen sama ibu bapakmu apa?” Adin
mengatakannya dengan berhati-hati, takut jika Ave
marah.
Ave memang agak sensitif jika ditanya
tentang keluarganya. Dulu sebelum ia pindah dan
hidup sendiri, Ave tinggal bersama keluarganya,
ayah, ibu, dan dirinya. Ya, ia adalah anak satu-
satunya. Ayah dan ibunya tidak pernah tinggal di
rumah untuk waktu yang lama, mereka selalu
bekerja di luar kota maupun luar negeri. Terkadang
jika ayahnya pulang, ibunya tidak di rumah atau
sebaliknya. Namun, ayah dan ibunya selalu
mengawasi nilai dan teman-teman Ave. Ia harus
mendapat ranking yang tinggi dan tidak boleh
berteman dengan orang-orang bodoh maupun orang
miskin. Ave muak dengan keadaan seperti itu. Ia
berfikir untuk apa dia tetap tinggal di sana jika ayah
dan ibunya tidak pernah merawatnya tapi terus
menekannya.
Setelah lulus SMA akhirnya ia memutuskan
untuk merantau kuliah di ibu kota. Tujuan seseorang
merantau sejauh itu bisa berbeda-beda. Ada yang
ingin punya challenge dalam hidupnya, ada yang
sekedar penasaran, ada juga yang ingin
memperbaiki hidup, dan ada juga yang ingin hidup
di perantauan sebagai orang baru dan melupakan
masa lalu.
Tujuan Ave adalah yang terakhir. Ia ingin
hidup sebagai orang baru. Bahagia tanpa beban,
tidak kesepian, dan bebas berteman dengan siapa
pun.
“Enggak,” jawab Ave. Ia jelas-jelas
berbohong, sudah 2 tahun ia tidak berjumpa dengan
mereka. Ia sangat merindukan ayah dan ibunya.
Namun mau bagimana lagi, ia tidak ingin melukai
hatinya sendiri.
“Yang bener, Ra?”
“Udah lah, laper nih Din.” Ave beranjak dari
tempatnya keluar dari kamar.
Ave sempat berfikir untuk menghubungi
ayah atau ibunya. Namun, ini belum saatnya. Ia
berjanji kepada dirinya sendiri akan kembali kepada
mereka, jika ia sudah bisa membuat ayah dan ibunya
puas dan berhenti bekerja. Ia harus sukses jika ingin
merasakan kasih sayang orang tua dan hidup seperti
keluarga pada umumnya.
Perjalanannya masih panjang. Panjang sekali
sampai-sampai tidak ada yang bisa memprediksi
dimana ujungnya dan bagaimana hasilnya. Ave
hanya akan berjalan terus tanpa melihat ke kanan
dan ke kiri, dan hanya berhenti jika ia sudah sampai
pada tujuannya.
***
“Muhammad Azriel Ranara,” gumam Ave
saat melihat daftar nama anggota divisinya.
Kali ini Ave menjadi penanggung jawab
divisi acara dalam suatu acara himpunannya. Sudah
dua tahun ia menjadi anggota himpunan ini, tapi ia
merasa tidak pernah melihat nama itu dalam daftar
anggota himpunan.
“Kenapa, Ve?” tanya Alvaro, atau yang
akrab dipanggil Varo, yang baru saja masuk ke
ruang sekretariat.
“Tau orang ini gak?” tanya Ave sambil
menunjukkan satu nama yang di daftar anggota
divisinya.
Alvaro mendekat ke Ave dan berdiri di
sebelahnya.
“Ya Tuhan! Avera, ini temen sehimpunan
sendiri padahal!”
Ave menggeleng, ia tidak pernah ingat
pernah tahu nama itu. “Sumpah Va, gatau”
“Azriel tuh yang biasanya jadi penanggung
jawab divisi logistik. Anaknya emang pendiem gitu,
Ve.”
Ave menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Ia memang tidak begitu tertarik dengan orang-orang
di sekitarnya, hanya berbicara dengan orang-orang
tertentu saja.
“Nah itu orangnya! Iel, sini deh!” panggil
Varo kepada orang yang baru saja masuk ke ruang
sekretariat.
“Ve, kenalin ini Azriel,” ucap Varo sambil
menunjuk Azriel. “Iel, kenalin dia Avera.”
Ave sangat kesal dengan Varo yang terlalu
blak-blakan. Ave heran bagaimana seseorang seperti
Darren Alvaro Killian bisa menjabat sebagai Ketua
I Himpunan. Ya, setidaknya bukan ketua umum,
pikir Ave.
Walaupun Varo anak yang baik, sabar, dan
terbuka, tapi ketika marah kata-katanya terlalu pedas
dan menusuk. Pernah suatu ketika, himpunannya
sedang mengadakan evaluasi setelah
menyelenggarakan suatu acara. Varo tanpa sengaja
meluapkan emosinya kepada salah satu anggota
divisi acara karena acaranya terlambat hingga satu
jam. Akhirnya, Varo menjadi salah satu orang yang
‘disegani’ di himpunannya. Tetapi di luar itu Alvaro
adalah orang yang baik dan itu cukup untuk
menjadikannya orang-orang tertentu bagi Ave.
Ave dan Iel saling berpandangan. Senyuman
kikuk terpasang di wajah masing-masing.
“Yaudah ya, ada kelas nih.” Varo berjalan ke
luar, sebelum membuka pintu ia berhenti sejenak
dan berkata, “Good luck, Ave and Iel.”
Sekarang ruangan ini benar-benar hening.
Hanya terdengar detakan jarum jam dinding di sana.
Ave dan Iel, keduanya saling membisu sibuk
dengan urusan masing-masing.
Sampai akhirnya Iel tersenyum ke arah Ave
dan mengulurkan tangannya sambil berucap,
“Azriel,”
“Avera,” Ave menyambut uluran tangan Iel
dengan senyuman yang sama cerahnya.
“Eh, kayanya acara besok kita satu divisi ya?”
ujarnya memastikan sambil melihat daftar
kepanitiaan acara.
“Iya, divisi acara. Saya penangung jawabnya,
padahal lihat nama saya di list anak acara aja udah
pusing duluan.”
“Santai aja kali, saya bisa jamin kamu gak
akan kerja sendiri. Saya gak akan bikin pusing deh.”
Ave sedikit terkejut dengan perkataan Iel.
Mereka baru saja saling mengenal beberapa menit
yang lalu tetapi, Iel bersikap seolah sudah mengenal
Ave sejak lama.
“I hope so. Makasih ya, Azriel,” ujar Ave
sambil berkutat dengan tugasnya.
“Panjang amat, Iel aja kali”
“Masih kepanjangan, El aja ya.” ucap Ave
sambil menutup bukunya. “Anyway, kamu anak
jurusan apa sih, kok gapernah lihat ya?”
Iel terkekeh mendengarnya, “Saya teknik
geologi, Ave teknik geofisika, kan?”
Iel memang sudah tahu mengenai Ave sejak
berada di himpunan yang sama. Hanya sekedar tahu
karena mereka berada di himpunan yang sama.
“Hah, seriusan? Saya kok gak pernah lihat
Iel ya?”
“Padahal saya sering banget lihat kamu di
halte nunggu bus kalo mau ngampus.”
Ave tertegun mendengar perkataan Iel. Ave
tersadar betapa apatisnya dia, sampai-sampai teman
satu himpunannya sendiri saja tidak tahu.
“Oh God, I feel so sorry for that.”
Iel memakluminya. Orang-orang berkata
bahwa Iel terlalu pendiam dan pasif. Iel juga setuju.
Karena memang begitu kenyataannya. Ia terlalu
pendiam dan tertutup sampai-sampai temannya
dapat dihitung dengan jari.
Iel tersenyum, “It’s okay, Ra.” Iel
mengambil sebuah buku di rak lalu membacanya.
“Eh, tadi kamu bilang sering lihat tiap pagi
di halte, kan, kamu tinggal dimana emang?” tanya
Ave penasaran.
“Ya, deket situ sih. Di perumahan Selene.”
“Wah, deket rumah saya tuh! Kapan-kapan
saya mampir bisa kali El,” ujar Ave antusias
Iel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,
“Eh, tapi bawa temen ya. Masa cuma berduaan di
rumah.”
“Pada kemana memang?”
Iel menoleh ke arah Ave sebentar lalu
kembali ke bukunya lagi. “Ayah sama bunda kerja.
Gak tau pulang kapan, mungkin tahun depan atau
dua tahun lagi.”
Selama ini Ave tidak pernah bertemu dengan
anak yang bisa dibilang bernasib sama dengannya.
Ia sempat berpikir bahwa semua anak seumurannya
bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua.
Namun Ave ternyata terlalu mengkotak-kotakan
semua orang, ia terlalu apatis untuk sekedar ingin
tahu akan hal itu. Padahal banyak yang bernasib
lebih buruk darinya.
Menyadari perubahan ekspresi Ave, Iel pun
berkata, “Gimana kalau saya yang main ke rumah
kamu aja?”
“Boleh sih, tapi nanti kamu ga nyaman Cuma
kalau berdua aja,” jawab Ave sambil mengikat
rambut panjangnya yang bergelombang.
“Orang rumah kerja?” Iel sebenarnya sedikit
ragu untuk menanyakannya. Namun percakapan
mereka memang sudah terlalu jauh.
“Enggak, saya emang tinggal sendiri.”
“Okay, saya gak akan tanya kenapa.”
Ave tersenyum ke arah Iel.
“Ya udah, saya ke kelas dulu. Bye El,” ucap
Ave sambil berjalan ke luar ruangan.
Iel sebetulnya penasaran mengapa Ave
tinggal seorang diri. Namun itu bukan sesuatu yang
bisa ditanyakan dengan seseorang yang baru saja
kenal. Iel juga menyadari bahwa ia menjadi sangat
terbuka saat berbincang dengan Ave. Entah mantra
apa yang menyihirnya, tapi ia sangat nyaman saat
berbincang dengan Ave.
Iel mengharapkan bahwa pertemuan mereka
berdua akan berlangsung sebentar lagi. Semoga saja.
***
“Jangan duduk di depan pintu, nanti
jodohmu jauh.”
Ave sudah sangat hafal dengan suara dan
nada ini. Sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah
Adin.
“Kalau jauh masih bisa video call.”
“Halah! Terserah kamu lah, Ra,” kata Adin
sambil menuju ke sofa di ruang tamu.
“Tapi Ra, kayanya emang jodohmu ini jauh
beneran deh. Kamu suka sama si Iel Iel Azriel itu
kan?”
Ave terkejut, tapi ia berusaha untuk
menjawab setenang mungkin, “Suka apanya, Din
orang barusan kenal juga. Lagian dia juga rumahnya
cuma 10 menit dari sini.”
“Barusan kenal jidatmu, Ra. Udah setengah
tahun kamu main sama dia terus sampe-sampe aku
ditinggalin.”
Belum sempat Ave membalas perkataan
Adin, bel rumahnya berbunyi.
Ave mengerutkan keningnya. Seingatnya ia
tidak memesan apa-apa dari online shop atau ojek
online. Ia juga tidak berjanji akan main dengan siapa
pun.
“Siapa, Ra?”
Ave hanya mengangkat bahunya dan menuju
ke luar rumahnya.
Ave terkejut melihat seseorang yang
mukanya tertutup helm, berjaket hitam dengan kaus
putih di dalamya, dan bercelana hitam duduk di atas
motor yang terparkir di depan rumahnya. Ave masih
belum memiliki gambaran siapa itu.
Orang itu akhirnya membuka helmnya lalu
berkata, “Belum siap-siap juga ni anak.” Ternyata
orang itu adalah Iel, Azriel.
“Loh ngapain kesini?” tanya Ave terkejut.
Iel menghela nafas lalu berkata, “Punya
handphone tuh dipake. Ada rapat mendadak hari ini,
Varo bilang urgent.”
Ave langsung membuka handphone
miliknya dan panik seketika. “Aduh yaudah siap-
siap dulu nih. Masuk sini,” ucap Ave sambil
melebarkan gerbang rumahnya.
Adin sudah menghilang dari tempatnya. Ave
juga tidak ambil pusing dengan itu. Ia sudah panik
jika Varo akan mengomel di group chat.
Iel pun masuk ke rumah Ave. Dari halaman
rumahnya bisa di lihat bahawa Ave suka sekali
dengan pohon mawar, banyak sekali bunga mawar
di sana. Semakin Iel masuk ke dalamnya, semakin
terasa bagaimana sepinya rumah ini. Seperti
rumahnya.
Namun setelah Iel mengamati baik baik, ada
foto-foto yang tergantung di dinding ruang tamu
rumah Ave dan sebuah jam dinding yang di atasnya
tergantung patung salib. Semuanya terlihat begitu
rapi dan tidak ada sisa serpihan kaca yang
disembunyikan. Tidak seperti rumahnya.
Iel mendengar suara pintu kamar terbuka dan
tak lama kemudian Ave muncul di depan Iel. Ave
yang sudah rapi dengan kaus abu-abu panjang serta
celana putih panjang dan tas slempang hitam kecil.
Ia membiarkan rambutnya terurai kali ini.
“Ayo, El!”
Mereka berdua akhirnya bergegas ke luar,
menaiki motor Iel dan menuju ke kampus.
Sepanjang perjalanan mereka tidak mengeluarkan
sepatah kata pun. Mereka terlalu khawatir Varo akan
marah jika mereka terlambat.
Sesampainya di kampus, mereka berlari
menuju ruangan untuk rapat. Dan benar saja, semua
sudah berkumpul di sana. Varo menatap tajam ke
arah Ave dan Iel.
“Mampus aja kita, El,” bisik Ave ke Iel.
Mereka akhirnya duduk di salah satu kursi
dan mengikuti rapat itu. Selama rapat Ave sangat
tidak nyaman karena Varo terus melihat ke arahnya
dengan tatapan yang menakutkan. Ave tidak pernah
tau kalau Varo bisa menjadi orang yang sangat
menakutkan ketika ada yang terlambat rapat. Selama
ini Varo terlihat biasa saja ketika ada anggota yang
terlambat.
“Nanti kalo udah kelar langsung temenin
cabut ya El, kemana aja deh,” bisik Ave. Iel hanya
meresponnya dengan anggukan kepala.
Selepas rapat, sama seperti yang
direncanakan tadi, Iel dan Ave langsung keluar
ruangan. Iel membawa Ave menuju kantin. Mereka
duduk di salah satu kursi tanpa berniat memesan apa
pun.
“Untung tadi kita langsung cabut, kalau
engga mungkin bakal diomelin Varo,” ucap Iel
sambil membuka jaketnya.
Ave meletakkan tasnya di atas meja sambil
berkata, “Iya weh. Tapi ngerasa ga sih, Varo tadi
nyeremin banget.”
“Engga ah, biasa aja. Dia kan emang suka
sok galak gitu kalau ada yang telat.”
Namun Ave merasa kalau hari ini Varo
marah padanya. Itu bukan seperti responnya yang
biasa ketika melihat ada anggota yang telat rapat.
Tetapi Ave memilih untuk tidak terlalu
memikirkannya.
“Eh, kok bisa tau rumah Ave?” tanya Ave
yang baru saja teringat.
“Ya masa udah satu semester temenan gatau
rumah temennya sendiri. Mana sering main bareng
pula,” ujar Iel sambil memainkan kunci motornya.
Sebenarnya Iel tahu rumah Ave dari kartu
tanda penduduknya. Beberapa minggu yang lalu Iel
tidak sengaja menemukan dompet Ave. Sebelum Iel
kembalikan, ia memfoto kartu tanda penduduk Ave
karena muka Ave sangat konyol di foto itu. Namun,
ternyata itu bisa digunakan dalam hal mendadak
seperti ini.
Ave hanya memutar bola matanya sebagai
respon. Iel memang menyebalkan terkadang.
Mendengar perkataan Iel tadi ternyata
mereka sudah berteman cukup lama. Padahal Ave
rasa baru beberapa minggu yang lalu ia tahu ada
orang yang bernama Muhammad Azriel Ranara di
universitas ini.
Hal yang semula terasa asing menjadi sangat
familiar. Yang awalnya canggung sekarang menjadi
sangat akrab. Panggilan ‘Saya-Kamu’ yang berubah
menjadi ‘Aku-Kamu’. Semuanya berjalan dengan
sangat cepat sampai-sampai Ave tidak sempat untuk
menyadarinya.
“Aku mau sukses dengan nama sendiri tau,”
ucap Ave tiba-tiba. Ia sangat ingin mengatakannya
sejak lama. Ia ingin menceritakan kepada setidaknya
satu orang bahwa ia memiliki tujuan, dan ia pasti
bisa menggapainya.
“Bukan karena relasi mama dan papa. Ya
walau itu berarti memulai semuanya dari awal, tapi
aku percaya kalau aku pasti bisa. Aku percaya kalau
Tuhan pasti denger doaku. Masa iya, tiap pagi saat
teduh, tiap Minggu ke gereja, tapi Tuhan ga ngelirik
doaku sama sekali? Cukup mama sama papa aja
yang ga dengerin permintaan, tapi aku percaya
Tuhan pasti kasih apa yang diminta.”
Iel tersenyum sambil meliriknya, “Aku juga
Ra. Aku sukses dengan cara sendiri, supaya ayah
sama bunda puas dan akhirnya balik ke rumah
bareng-bareng. Kalau gak bisa ya setidaknya mereka
bahagia walau mungkin gak bareng-bareng.”
“Kamu gak mau makan?” Iel menawarkan
sebuah daftar menu ke Ave. Iel mengecek
handphone miliknya, adzan sholat dzuhur masih 20
menit lagi.
“Enggak deh. Kamu kan puasa, masa iya
makan di depan orang puasa.”
Biasanya ketika para mahasiswa Islam
menunaikan sholat dzuhur di Masjid Agung yang
terletak di gedung tengah, mahasiswa Katholik
biasanya akan berdoa di gedung sebelah kantin
sambil menunggu kelas mereka mulai.
“Makan aja gih,” seingat Iel, Ave punya
penyakit maag karena sering tidak makan. Ave
bilang untuk menghemat pengeluaran.
“Gak apa-apa, El. Biar latihan puasa juga,”
Ave terkekeh. “Kayanya kamu rutin banget puasa
Senin Kamis, ya, El?”
“Iya, soalnya itu sunnah.”
“Sunnah?” tanya Ave sambil mengerutkan
keningnya.
“Sunnah itu kebiasaan yang dulu sering
dikerjakan Rasulullah saw. Contohnya kaya puasa
sunnah, sholat sunnah, dan masih banyak lagi,” Iel
menjelaskannya kepada Ave walau mungkin Ave
tidak mengerti, “Ya intinya kalau dilakuin dapet
pahala, kalau enggak juga gak apa-apa. Tapi apa
salahnya nambah pahala kan.”
“Hebat sekali pak bos Iel ini. Salut salut,”
Ave tepuk tangat dan Iel tertawa.
Ave memang terlihat seperti perempuan
yang dingin. Namun jika sudah terlarut dalam
pembicaraan, ia akan mudah sekali bereaksi
terhadap hal-hal yang sangat sederhana.
Ave tidak begitu tahu tentang apa yang
disebut dengan ‘perbedaan’, ‘jauh’, dan ‘dekat’
menurutnya itu hanyalah sebuah frasa yang tidak
akan pernah mengganggunya karena Ave tidak
pernah mempermasalahkannya.
Sama seperti ketika Iel mengantarkan Ave ke
Gereja setiap hari Minggu, atau Ave yang selalu
mengingatkan Iel untuk sholat lima waktu.
Jauh berbeda memang.
Ave membaca Alkitab, dan yang Iel baca Al-
Qur’an.
Ave memakai kalung salibnya setiap hari,
sedangkan di tas Iel selalu tersimpan tasbih.
Bahkan sebelum makan disaat Ave berkata
Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Iel
terdengar mengucap Bismillah
Tetapi Ave percaya bahwa mereka, Ave dan
Iel, sedang berjalan berdekatan pada arah dan tujuan
yang sama.
Ave dan Iel memang jauh berbeda, tetapi
cara mereka mengambil keputusan, melihat suatu
permasalahan, dan cara berpikir mereka sama.
Azriel adalah tempat paling nyaman bagi
Avera untuk berbagi cerita. Begitu pula sebaliknya,
Avera adalah tempat paling nyaman bagi Azriel
untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Karena
pasti akan terasa dekat jika kita bercerita kepada
orang yang benar-benar tahu dan merasakan
bagaimana keadaan kita. Mereka berdua yang sama-
sama jauh dari kedua orang tuanya.
“Ra, apa pun yang akan terjadi kita
pokoknya harus sukses. Harus kerja keras gaboleh
kendor. Gak ada orang yang bilang ‘mau ini’ dan itu
akan didapet secara instan. Kita harus kerja keras
untuk mendapatkan apa pun itu, bahkan
kebahagiaan. Iya kan?”
Azriel yang muak dengan orang tuanya yang
terus bertengkar jika pulang. Avera yang muak
dengan kekangan dan tekanan orang tuanya yang
berlebihan. Mereka berdua tahu rasanya dan saling
menguatkan.
Mereka berdua ingin sukses dan membuat
orang tua mereka berhenti. Mereka berdua sejalan.
Azriel dan Avera jauh, tapi keinginan
mereka sejalan. Mereka hanya ingin bebas dan kasih
sayang kedua orang tua serta memiliki keluarga
seperti keluarga pada umumnya.
Mereka sangat dekat.
Karena mereka beriringan menempuh jalan
yang sama.
Sampai pada suatu ketika, Ave dan Iel pergi
bersama pada hari Minggu dan adzan sholat dzuhur
telah berkumandang.
“Aku mau sholat dulu ya, Ra,” ujar Iel ketika
mereka sudah sampai di persimpangan.
Ave mengangguk. Ia berpikir sambil melihat
ke arah lain lalu berucap, “El, aku ke kanan, ya. Mau
doa rosario sebentar di gereja.”
Iel pergi ke kiri dan Ave pergi ke kanan.
Saat itu juga Ave menyesali perbuatannya
yang sering duduk di pintu. Mengapa dia tidak
pernah menggubris Adin.
Mungkin ini adalah sebuah karma bagi Ave
karena secara tidak langsung Ave tidak percaya pada
nenek dan ibu Adin.
Karena Ave baru tersadar, bahwa ‘jauh’
yang dimaksud Adin bukanlah tentang jarak, waktu,
maupun dimensi.
Seiring menjauhnya bahu Iel berjalan ke
seberang, Ave mengerti. Mereka memang sejalan,
tetapi tidak akan pernah dekat. Sedekat apa pun
mereka, itu tetaplah jauh karena mereka tetap akan
selalu berseberangan.
***
Handphone Ave bergetar, layarnya
menunjukkan jika ibunya menelefon. Kini mereka
duduk di sebuah kafe dekat kampus mereka.
Ave sempat ragu untuk mengangkatnya, tapi
Iel memaksa Ave untuk mengangkatnya.
Ave pun mengangkatnya, “Halo, Mah?” Iel
dapat mendengar suara Ave yang bergetar, Iel pun
menggenggam tangan kiri Ave berusaha
menenangkannya. Iel tahu betul jika sebenarnya
Ave sangat merindukan ibu dan ayahnya.
“Vera baik-baik saja,” jawab Ave kepada
ibunya di telefon.
“Senin dan Rabu Vera kosong terus, mah.”
“Mama mau kesini?! Baiklah Vera tunggu ya
mah,” ucap Vera seraya menutup telefonnya.
Ave senang karena ayah dan ibunya akan
datang ke rumahnya bersama-sama. Itu berarti untuk
pertama kali dalam satu dekade ini mereka bersama
lagi. Ave harap ia tidak lagi ditekan dan dibatasi
pergaulannya karena ia sudah dewasa.
Iel juga bercerita bahwa ia mendapatkan
surat dari pengadilan agama yang berisi undangan
sidang perceraian ayah dan bundanya. Dia tidak
terlalu memikirkannya karena menurutnya itu lebih
baik daripada mereka terus bertengkar ketika
bertemu.
Dan Iel juga tidak mempermasalahkan
apakah ia akan tinggal bersama ayahnya atau
bundanya. Itu sama saja, asal dia bebas dan melihat
ayah dan bundanya bahagia.
Tapi mereka berdua, Iel dan Ave, akan tetap
berjuang agar ayah maupun ibu mereka berhenti
sepenuhnya dan fokus dengan keluarganya.
Ave dan Iel tersenyum. Mereka sama-sama
bahagia untuk satu sama lain. Akhirnya mereka
dapat menemukan kebahagiaan mereka sendiri.
Ave menatap mata Iel, dalam dan lekat. Ave
melihatnya sambil berpikir sejenak sebelum berucap,
“Menurut kamu kalau ada orang yang pindah agama
demi orang yang mereka suka itu bener apa salah,
El?”
“Salah,” katanya. “Tuhan aja ditinggalin,
gimana kita yang cuma manusia biasa ini? Besar
sekali kemungkinan kita akan ditinggalkan untuk
urusan lain yang lebih besar, bukan?”
Ave memang setuju dengan apa yang
dikatakan oleh Iel, karena memang benar, pola pikir
mereka sama. Ave selalu punya pemikiran yang
sama, tentang suatu hal, seperti Iel, begitupun
sebaliknya. Iel juga memiliki pandangan yang sama
seperti Ave.
“Kalau ada dua orang yang bisa jalan
barengan, tapi mereka beda jauh gimana?”
Ave memang tidak langsung
menanyakannya secara harfiah. Namun Iel pasti
mengerti maksudnya.
“Apa semesta berjalan seperti itu?” Iel malah
balik bertanya.
Iel menatap Ave dalam, “Apakah jarak kita
terlalu jauh untuk didekatkan, bahkan oleh semesta?”
Banyak sekali cara untuk mengungkapkan
kepada orang lain bahwa kita nyaman dengannya,
atau suka dengannya. Tidak harus dengan kata-kata.
Ada orang yang langsung mengerti akan
keadaan mereka dan memilih untuk terus
menjalaninya, berjalan bersama sampai menemukan
apa yang mereka rasakan.
Sama seperti ketika Ave yang gugup dan Iel
yang menggenggam tangan Ave lalu Ave yang
menggenggamnya juga sebagai ucapan terima kasih.
Seperti Ave yang merasa dilindungi dan
didukung ketika Iel merangkulnya.
Seperti Ave yang menunggu Iel sholat jumat
di halaman masjid sampai selesai.
Atau Iel yang rela menunggu Ave berjam-
jam di parkiran gereja ketika misa dimulai.
Mereka sama-sama tahu siapa diri mereka.
Ave tahu siapa dirinya bagi Iel. Iel pun tahu siapa
dirinya bagi Ave. Walau mereka tidak pernah
mengatakannya.
“Apakah kita terlalu jauh?” Ave mengulangi
pertanyaan Iel. Sangat retoris untuk dijawab. Namun
ia juga bahkan tidak tahu apa jawabannya.
Ave melihat ke luar sebentar lalu berkata,
“Di depan altar tadi aku tadi minta maaf sama
Tuhanku.”
“Aku sempat berpikir kalau aku bisa terus
tetep jalan bareng di sebelah kamu,” Ave berhenti
sejenak lalu melanjutkan, “Dan aku minta kamu,
Azriel, buat minta maaf ke Tuhanmu juga kalau
sempat berpikiran kaya aku.”
Iel menghela nafas panjang.
“Ra, tau ga? Aku setiap hari selalu minta
maaf ke Allah setelah sholat.”
Pandangan Iel sangat kosong saat
mengatakannya.
“Karena aku juga berpikiran begitu, bahkan
setiap harinya.”
Keduanya berpikiran bahwa bisa saja
semesta mendekatkan mereka. Namun mereka juga
mengerti jika mereka tidak memiliki harapan apapun.
Mereka sangat mengerti hal itu.
Avera dan Azriel memang sejalan. Mereka
memang dekat, berjalan bersama dan beriringan.
Namun ketika sampai di persimpangan, Ave
akan mengambil jalan sebelah kanan untuk
memejamkan mata dan berdoa di depan altar.
Sedangkan Iel akan ke kiri untuk bersujud di
atas sajadah.
Memang benar kata Adin. Jalan Ave dalam
menemukan pasangannya akan jauh.
Karena mereka memang sangat jauh.
Ave disini.
Sedangkan Iel di seberang.

Anda mungkin juga menyukai