Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

ABSES HATI

Disusun Oleh:

Abram Lordkhetsa Tarigan 04084821719223


Vita Arya Utami 04054821719019

Pembimbing :
dr. Harun Hudari, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR MOHAMMAD HOSEIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Abses Hepar” sebagai salah satu tugas yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Harun
Hudari, Sp.PD selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan dan
memberi masukan sehingga laporan kasus ini dapat selesai. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini bermanfaat dan menambah
wawasan bagi siapa saja yang membacanya.

Palembang, April 2017

Tim Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:

ABSES HATI

Oleh:

Abram Lordkhetsa Tarigan 04084821618223


Vita Arya Utami 04054821618173

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 10 April-6 Juni 2017.

Palembang, Mei 2017


Pembimbing,

dr. Harun Hudari, Sp.PD

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................iii

DAFTAR ISI ..............................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1

BAB II STATUS PASIEN...........................................................................3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................19

3.1 Definisi ...................................................................................19

3.2 Epidemiologi............................................................................19

3.3 Etiologi ................................................................................19

3.4 Diagnosis dan Gambaran Klinis..............................................21

3.5 Diagnosis Banding...................................................................26

3.6 Tatalaksana..............................................................................26

3.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis .........................................28

BAB IV ANALISIS KASUS ....................................................................30

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Abses hati adalah infeksi yang terjadi di hati yang disebabkan oleh adanya
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam
parenkim hati.
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses
hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.
Hampir 10% penduduk dunia terutama penduduk dunia berkembang pernah
terinfeksi Entamoeba histolytica tetapi 10% saja dari yang terinfeksi menunjukkan
gejala. Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Individu yang mudah terinfeksi
adalah penduduk di daerah endemik ataupun wisatawan yang ke daerah endemik.
Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir
ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi,
cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. Laki-laki lebih
sering terkena dibanding perempuan dengan rasio 3:1 hingga 22:1 dan umur
tersering pada dekade empat.
Gejala tersering yang dikeluhkan oleh pasien dengan amebiasis hati adalah
berupa nyeri perut kanan atas, demam, hepatomegali dengan nyeri tekan atau nyeri
spontan atau disertai dengan gejala komplikasi. Gejala yang menyertai adalah
anoreksia, mual muntah, berat badan menurun, batuk, ikterus ringan sampai sedang
dan berak darah.

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. LM
b. Umur : 62 tahun
c. Tanggal Lahir : 10 Juli 1954
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Petani
g. Alamat : Banyuasin
h. No. Med Rec/ Reg : 1003084 / RI 17011737
i. Tanggal masuk RS : 25 April 2017

II. ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan ibu pasien
pada 26 April 2017, pukul 09.00 WIB)

KeluhanUtama
Nyeri di perut kanan atas yang semakin hebat sejak ± 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


+ 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri perut
kanan atas. Nyeri dirasakan terus menerus, rasa tajam seperti tertusuk tusuk
dan panas, nyeri tidak menjalar. Demam ada tidak menggigil, mual ada,
muntah tidak ada, batuk tidak ada, sesak napas tidak ada. BAK seperti teh,
sedikit keluar. BAB warna dempul tidak ada. Nafsu makan menurun, berat

2
badan menurun ±5 kg dalam waktu 2 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh
badannya lemas, warna kulitnya menjadi kuning pada telapak tangan.
± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri perut
kanan atas yang semakin hebat yang menyebabkan pasien jalan membungkuk.
Nyeri dirasakan terus menerus, rasa tajam seperti tertusuk-tusuk, nyeri tidak
menjalar. Demam ada, mual ada, muntah tidak ada, batuk ada tetapi jarang (±3
kali dalam 2 minggu terakhir), tidak ada dahak, sesak napas tidak ada. BAK
seperti teh, BAB warna dempul tidak ada. Nafsu makan menurun. Pasien
mengeluh warna kulitnya menjadi kuning pada seluruh tubuh. Pasien
menyangkal menderita sakit kuning sebelumnya, tidak ada keluarga yang
menderita sakit kuning, tidak pernah trauma sebelumnya. Pasien dibawa ke
IGD RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat kencing manis tidak ada
- Riwayat darah tinggi tidak ada
- Riwayat stroke tidak ada

Riwayat Pengobatan
- Riwayat pengobatan disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat hipertensi disangkal.
- Riwayat diabetes melitus disangkal.
- Riwayat penyakit jantung disangkal.

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Ibu :
Pekerjaan : Petani karet
Pendapatan : Rp. 200.000,-

3
Ayah:
Pekerjaan : Kuli bangunan
Pendapatan : Rp. 300.000,-
Kesan: ekonomi keluarga pasien menengah kebawah

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 26 April 2017)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Tekanan darah : 120/80 mmHg
4. Nadi : 84 x/menit, irama reguler, isi cukup, dan tegangan
cukup.
5. Pernapasan : 20 x/menit, regular, abdominotorakal
6. Suhu aksila : 36,7 oC
7. VAS Score :6
8. Berat badan : 40 kg
9. Tinggi badan : 150cm
10. IMT : 17,78 kg/m2
11. Status gizi : underweight

b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia tidak ada.
2. Mata
Edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera
ikterik (+/+), pupil bulat isokor, Refleks Cahaya (+/+).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-)

4
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil normal, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
 Inspeksi : Statis dan dinamis, simetris kanan = kiri
 Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Batas paru hepar ICS VI, peranjakan 1 jari
 Auskultasi : vesikuler (+) Normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior ICS V
sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra ICS
VI
 Auskultasi : HR = 84 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : cembung, venektasi (-), caput medusae (-), striae
(), umbilicus tidak menonjol, hiperpigmentasi,
ikterik pada kulit abdomen.

5
 Palpasi : nyeri tekan ada di perut kanan atas, hepar teraba 5
jari dibawah arcus costae permukaan licin tepi rata
konsistensi lunak, lien dan ginjal tidak teraba
 Perkusi : redup di perut kanan atas, shifting dullness pada
perut bagian kiri
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar ikterik (+), edema pada
dorsum pedis (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (25 April 2017)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,2 g/dL 13-18
Leukosit 15,4 103/µL 4.8-10.8
Eritrosit 3,43 106/µL 4.7-6.1
Hematokrit 27 % 42-52
Trombosit 216 103/µL 150-450
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 Normal
Eosinofil 0 1-6 Menurun
Neutrofil 89 50-70 Meningkat
Limfosit 6 20-40 Menurun
Monosit 5 2-8 Normal
FAAL HEMOSTATIS
Waktu Protrombim
Kontrol 14.00 detik
Pasien 34,2 detik Meningkat
INR 3,28

6
KIMIA KLINIK HATI
Bilirubin total 24,97 g/dL Meningkat
Bilirubin Direk 21,62 g/dL Meningkat
Bil. indirek 3,35 g/dL Meningkat
ALP 1409 mg/dL Meningkat
SGOT 89 mg/dL Meningkat
SGPT 92 mg/dL Meningkat
Protein total 4,4 mg/dL Menurun
Albumin 1,9 mg/dL Menurun
Globulin 2,5 mg/dL Menurun
GINJAL
Ureum 75 mmHg Meningkat
Kreatinin 1,19 mmHg Meningkat
ELEKTROLIT
Kalsium 8,7 mg/dL Normal
Natrium 126 mEq/L Menurun
Kalium 2,7 mEq/L Menurun
IMUNOSEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Non
reactive
Anti HCV Non
reactive

b. USG Abdomen (dilakukan pada tanggal 27 April 2017)


Dilakukan pemeriksaan USG abdomen dengan hasil didapatkan
kelainan berupa pembesaran hepar (terukur 15,92 cm) dengan lesi
anechoic di lobus kanan hepar, batas tegas , bentuk bulat, dinding
licin, internal echo (+), ukuran 10,04 cm x 12,53 cm x 9,85 cm
(volume 639,88 ml), posterior enhancement (+). Sistema bilier dan

7
vakuler intra hepatal tak prominent. Pemeriksaan USG tersebut
dikesankan sebagai suatu gambaran abses hepar.

V. Diagnosis
Ikterus Obstruktif ec Abses Hepar

VI. Diagnosis Banding


Kolesistitis
Hepatoma
Tumor Caput Pankreas

VII. Anjuran Pemeriksaan


Serologis terhadap amuba
Kultur dan resistensi tes

VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
 Istirahat
 Edukasi
Farmakologis
 IVFD NaCl 0,9% : D5% 2:1 gtt
 Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam IV
 Inj. Metronidazole 500g/8jam IV
 Asam Folat 1g/8 jam oral

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

8
X. Follow Up
Tanggal 26 April 2017
S Nyeri perut kanan atas, mual (+), lemas (+)
O:
Keadaan umum Tampak sakit berat
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 92x/menit irama irreguler, isi kurang, dan tegangan
lemah.
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,5 oC
VAS Score 6 (Nyeri yang menganggu)

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (+)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)


Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing
(-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kanan ICS IV parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR= 126x/menit, irreguler, murmur (-),
gallop (-)

9
Inspeksi: cembung, venektasi (-), caput medusae (-),
Abdomen striae (-), umbilicus tidak menonjol, hiperpigmentasi,
ikterik pada kulit abdomen.
Palpasi: nyeri tekan ada di perut kanan atas, hepar teraba
5 jari dibawah arcus costae permukaan licin tepi rata
konsistensi lunak, lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi: redup di perut kanan atas, shifting dullness pada
perut bagian kiri
Auskultasi : Bising usus (+)
normal

Tidak diperiksa
Akral ikterik (+), palmar ikterik (+), edema dorsum pedis
Genitalia (+)
Ekstremitas
A Ileus Obstruktif ec Abses Hepar
P Non Farmakologis
 Istirahat
 Edukasi
Farmakologis
 IVFD NaCl 0,9% : D5% 2:1 gtt
 Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam IV
 Inj. Metronidazole 500g/8jam IV
 Asam Folat 1g/8 jam oral

Tanggal 27 April 2017


S Nyeri perut kanan atas, mual (+), lemas (+)
O:
Keadaan umum Tampak sakit berat
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/80 mmHg

10
Nadi 96x/menit irama irreguler, isi kurang, dan tegangan
lemah.
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 38,5 oC
VAS Score 6 (Nyeri yang mengganggu)

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (+)

JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Leher Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)


Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Thorax: Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Paru Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing
(-)

Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
sinistra
Jantung Batas jantung kanan ICS IV parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR= 126x/menit, irreguler, murmur (-),
gallop (-)

Inspeksi: cembung, venektasi (-), caput medusae (-),


striae (-), umbilicus tidak menonjol, hiperpigmentasi,
ikterik pada kulit abdomen.

Abdomen

11
Palpasi: nyeri tekan ada di perut kanan atas, hepar teraba
5 jari dibawah arcus costae permukaan licin tepi rata
konsistensi lunak, lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi: redup di perut kanan atas, shifting dullness pada
perut bagian kiri
Auskultasi : Bising usus (+)
normal

Genitalia Tidak diperiksa


Ekstremitas Akral ikterik (+), palmar ikterik (+), edema dorsum pedis
(+)
A Ileus Obstruktif ec Abses Hepar
P Non Farmakologis
 Istirahat
 Edukasi
Farmakologis
 IVFD NaCl 0,9% : D5% 2:1 gtt
 Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam IV
 Inj. Metronidazole 500g/8jam IV
 Asam Folat 1g/8 jam oral

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau
2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati
memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi
segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi
seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang
disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ
yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana di antaranya terdapat sinusoid.
Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer
yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis
bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai
darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta
melalui arteria hepatika. Hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1) Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam
empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak serta vitamin larut-lemak
di dalam usus.

13
2) Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat: menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak: oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein: deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta
interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam
amino.
3) Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan
dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B12 juga
disimpan secara normal.
a. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin,
yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun
banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka
besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan
dalam bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam
sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan
melepaskan besi.
b. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan

14
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
4) Hati mengeluarkan obat-obatan, hormon, dan zat lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa
hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara
kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti
estrogen, kortisol, dan aldosteron.
5) Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu
menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati
merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung
kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.

3.2 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin merupakan suatu senyawa tetrapirol yang dapat larut dalam lemak
maupun air yang berasal dari pemecahan enzimatik gugus heme dari berbagai heme
protein seluruh tubuh. Sebagian besar terbentuk dari proses katabolik hemoglobin,
dalam proses penghancuran eritrosit oleh RES di limpa, dan sumsum tulang. Selain
itu bilirubin berasal dari sumber lain yaitu non heme porfirin, prekusor pirol dan
lisis eritrosit muda. Dalam keadaan fisiologis pada manusia dewasa, eritrosit
dihancurkan setiap jam. Dengan demikian bila hemoglobin dihancurkan dalam
tubuh, bagian protein globin dapat dipakai kembali baik sebagai protein globin
maupun dalam bentuk asam-asam aminonya. Metabolisme bilirubin diawali dengan
reaksi proses pemecahan heme oleh enzim hemoksigenase menjadi biliverdin yang
kemudian berubah menjadi bilirubin oleh enzim bilirubin reduksitase. Sel
retikuloendotel membuat bilirubin tak larut air, bilirubin yang sekresikan ke dalam
darah diikat albumin untuk diangkut dalam plasma. Hepatosit adalah sel yang dapat
melepaskan ikatan, dan mengkonjugasikannya dengan asam glukoronat menjadi

15
bersifat larut dalam air. Bilirubin yang larut dalam air masuk ke dalam saluran
empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Didalam usus oleh flora usus bilirubin
diubah menjadi urobilinogen yang tak berwarna dan larut air, urobilinogen mudah
dioksidasi menjadi urobilirubin yang berwarna. Sebagian terbesar dari urobilinogen
keluar tubuh bersama tinja, tetapi sebagian kecil diserap kembali oleh darah vena
porta dikembalikan ke hati. Urobilinogen yang demikian mengalami daur ulang,
keluar lagi melalui empedu. Ada sebagian kecil yang masuk dalam sirkulasi
sistemik, kemudian urobilinogen masuk ke ginjal dan diekskresi bersama urin.

3.3 Abses Hati


3.3.1. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi
atau sel darah didalam parenkim hati.
3.3.2. Etiologi
Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba
hystolitica yang tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang
asimptomatis mengeluarkan tropozoit dan kista bersama kotoran mereka.
Infeksi biasanya terjadi setelah meminum air atau memakan makanan yang
terkontaminasi kotoran yang mengandung tropozoit atau kista tersebut.
Dinding kista akan dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur.
Tropozoit dewasa tinggal di usus besar terutama sekum. Strain Entamoeba
hystolitica tertentu dapat menginvasi dinding kolon. Strain ini berbentuk
tropozoit besar yang mana di bawah mikroskop tampak menelan sel darah
merah dan sel PMN. Pertahanan tubuh penderita juga berperan dalam
terjadinya amubiasis invasif.
Abses piogenik disebabkan oleh Enterobactericeae, Microaerophilic
streptococci, Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae, Bacteriodes,
Fusobacterium, Staphilococcus aereus, Staphilococcus milleri, Candida

16
albicans, Aspergillus, Eikenella corrodens, Yersinis enterolitica, Salmonella
thypii, Brucella melitensis dan fungal.
Abses hati dapat disebabkan infeksi dapat berasal dari sistem porta dan
hematogen melalui arteri hepatika. Infeksi yang berasal dari abdomen dapat
mencapai hati melalui embolisasi melalui vena porta. Infeksi intraabdomen
ini biasanya berasal dari appendisitis, divertikulitis, inflammatory bowel
disease dan pylephlebitis. Sementara itu infeksi secara hematogen biasanya
disebabkan oleh bakteremia dari endokarditis, sepsis urinarius, dan
intravenous drug abuse.Amubiasis invasif dapat disebabkan perdarahan usus
besar, perforasi, dan pembentukan fistula. Bila terjadi perforasi biasanya dari
daerah sekum infeksi amuba invasif pada tempat-tempat yang jauh meliputi
paru, otak dan terutama hepar. Abses pada hepar diduga berasal dari invasi
sistem vena porta, pembuluh limfe mesenterium, atau penjalaran melalui
intraperitoneal. Dalam parenkim hepar terbentuk tempat-tempat mikroskopis
terutama terjadi trombosis, sitolisis, dan pencairan, suatu proses yang disebut
hepatitis amuba. Bila tempat-tempat tersebut bergabung maka terjadilah
abses amuba.
Dilaporkan 21-30% dari abses hepar berasal dari penyakit biliaris yaitu
obstruksi ekstrahepatik, kolangitis, koledolitiasis, tumor jinak atau ganas
biliaris. Anastomosis anterobiliaris (choledochoduodenostomy atau
choledochojejunostomy) juga dilaporkan sebagai penyebab abses hepar di
samping komplikasi biliaris dan transplantasi hati.
Trauma tumpul dan nekrosis hati yang berasal dari vascular injury
selama laparaskopi cholecystectomy juga merupakan penyebab abses hepar.

3.3.3. Epidoemiologi
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di
seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi
yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8–15 per 100.000 kasus AHP
yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat,

17
didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29–1,47% sedangkan
prevalensi di RS antara 0,008-0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,
dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,
CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita.
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.

3.3.4. Patogenesis
1. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung
pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah
penularan melalui seks oral ataupun anal.
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada
lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya

18
akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan
melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus.
Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine
protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar
keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang
masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah
melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik
yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus
akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi
granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan
nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan
lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.
Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara
klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat
kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna.
2. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses
hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya
infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik
maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya
hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel
Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati
oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati
dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui
vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga
terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi
bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-

19
cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen
sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan
menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP.
Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan
intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi
kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya
bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering
terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus
kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan
aliran limfatik.

3.3.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi sistemik abses hati piogenik lebih berat dari pada abses hati
amebik. Dicurigai adanya abses hati piogenik apabila ditemukan sindrom
klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan
jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya.
Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi
atelektesis, rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi
penurunan berat badan yang unintentional.
Demam atau panas tinggi merupakan manifestasi klinis yang paling
utama, anoreksia, malaise, batuk disertai rasa sakit pada diafragma, anemia,
hepatomegali teraba sebesar 3 jari sampai 6 jari di bawah arcus-costa, ikterus
terdapat pada 25 % kasus dan biasanya berhubungan dengan penyebabnya
yaitu penyakit traktus biliaris, abses biasanya multipel, massa di
hipokondrium atau epigastrium, efusi pleura, atelektasis, fluktuasi pada
hepar, dan tanda-tanda peritonitis.

20
3.3.6. Diagnosis Banding
1. Hepatoma
Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia,
malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik: hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit
hati kronik.
Laboratorium: peningkatan AFP, PIVKA II, alkali fosatase
USG: lesi lokal/ difus di hati
2. Kolesistitis Akut
Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut
yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan panas
badan.
Anamnesis: nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar
ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik: teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai
tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy sign (+), ikterik biasanya
menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG: penebalan dinding kandung empedu, sering ditemukan pula sludge
atau batu.

3.3.7. Penegakan Diagnosis


Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang juga ada nyeri tekan. Selain itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase
alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan
dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis
abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria
Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.

21
a. Kriteria Sherlock (1969)
1) Hepatomegali yang nyeri tekan
2) Respon baik terhadap obat amebisid
3) Leukositosis
4) Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5) Aspirasi pus
6) Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7) Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1) Hepatomegali yang nyeri
2) Riwayat disentri
3) Leukositosis
4) Kelainan radiologis
5) Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1) Hepatomegali yang nyeri
2) Kelainan hematologis
3) Kelainan radiologis
4) Pus amebik
5) Tes serologi positif
6) Kelainan sidikan hati
7) Respons terhadap terapi amebisid

Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis


dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang
sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis
dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP,
demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif

22
menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini
menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis.

3.3.8. Diagnosis Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75
g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT
27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada
amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar
15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang.
Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang
spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang
banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk
mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar.
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan
fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim
transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan
waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan
fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi
standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.
Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman.
Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus
vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan
kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp.

23
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian
kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura
kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu
banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara
bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk
mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI.
Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada
gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT
scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras
tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses
berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses
yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik
pada fase porta.
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang
didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan,
efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto
thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah
avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma
kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan
lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan
bedah. Gambaran CT scan: apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-
kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada
mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10
mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka
prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan
rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat.

24
Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang
juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta
penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar
dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar
abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan
menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya
pada infeksi oleh kuman Klebsiella.
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan
penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak
tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2)
Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah
sampai cairan (anekoik) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di
dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal.

3.3.9. Penatalaksanaan
Abses hati amebik
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah
3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah
35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat
nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole
dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan
60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.

25
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg
perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max.
99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena
ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan,
ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan
dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis
untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3
minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis

26
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

Abses hati piogenik


1. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan
endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
2. Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3
gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan.
Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.

27
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
3. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
4. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.

3.3.10. Komplikasi
Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi
atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling
umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa
simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat
menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi
infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk
produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula
bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya
dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat
menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ
peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah
dilaporkan terjadi sebagai komplikasi.

28
Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia,
empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau
retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi
rekurensi atau reaktifasi abses.

3.3.11. Prognosis
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau
emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas
di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang
memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan
operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat
mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum
yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis
atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga
dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta
jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan
perikardium.
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi
yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti
kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau
drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain
umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan
gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi
yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau

29
subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru,
kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit
penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit
polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati
dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase
adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun,
abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan
atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis
dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus,
hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.

30
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini dapat ditegakan diagnosis dari identifikasi pasien,


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Keterlambatan
penegakkan diagnosa dapat mengakibatkan prognosis menjadi buruk.
Identifikasi pasien, memegang peranan penting dalam menegakkan
diagnosis. Pasien perempuan usia 62 tahun dengan gejala klinis nyeri di perut kanan
atas sangat hebat yang menyebabkan pasien jalan sambil membungkuk, nyeri terasa
seperti ditusuk-tusuk dan terus menerus. Pada perut kanan atas terdapat organ hati
dan caput pankreas, sehingga jika dihubungkan dengan nyerinya, maka organ yang
terlibat adalah hati dan pankreas. Selain nyeri, pasien juga mengeluh demam, mual
muntah ada, sesak napas tidak ada, batuk tidak ada. keluhan sistemik yang
dirasakan pasien bisa diakibatkan proses inflamasi yang dapat diakibatkan oleh
bakteri. Keluhan BAK seperti teh dapat terjadi karena tingginya kadar bilirubin
indirek di plasma darah. Pasien mengeluh seluruh badannya menjadi kuning, hal
ini dapat diakibatkan oleh ileus obstruktif. Ileus obstruktif pada pasien ini
diakibatkan oleh proliferasi bakteri yang menyumbat aliran empedu.
Pada pemeriksaan fisik spesifik didapatkan pemeriksaan abdomen teraba
hepar 5 jari dibawah arcus costae, permukaan licin, konsistensi lunak dan tepi rata.
Massa hepar dengan permukaan licin biasanya ditemukan pada abses hepar,
sedangkan permukaan yang berdungkul-dungkul sering ditemukan pada pasien
hepatoma.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, PT memanjang,
hiperbilirubinemia, peningkatan enzim hati seperti SGOT, SGPT, dan ALP serta
terjadinya hipoalbumin. Pada pemeriksaan USG Abdomen, didapatkan masa
hipoechoic yang mengarah ke abses hepar.
Jadi berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, pasien pada kasus ini didiagnosis dengan Ileus obstruktif
ec Abses hepar.

31
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2010. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun diet
edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 120-122.
Brailita, D. 2011. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
Crawford, J. M. 2007. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins.
Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. Hal 684.
Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal medicine 17th
edition. USA. 2008. Chapter 202.
Friedman, L. S. 2008. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, biliary tract
and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine A.
McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and
treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho Industri Pharmasi.
Page 596, 1304-1306.
Guyton, A. C. Hall, J. E. 2008. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi
kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. Hal 902-906.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%20a
muba%20(dr%20arini).pdf.
Iljas, Mohammad. 2008. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 469.
Junita, A. Widita, H. Soemohardjo, S. 2006. Beberapa kasus abses hati amuba. Dalam
: Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2.
Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a glance.
United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-28.
Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson textbook of
pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In : Beckingham, I.J.
ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain : GraphyCems,Navarra. 2001.
Chapter 40-42

32
Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam : Price,
Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st, 2011.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya.
Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan
pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-324.
Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem
edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul. Anatomi
hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic resonance
imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam : Sulaiman, Ali.
Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku ajar ilmu
penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 93-94, 487-
491, 513-514.
Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy,
Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI.
2008. Hal 551-554.
Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo,Aru W.
Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-
461.

33

Anda mungkin juga menyukai