Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321488132

PENELITIAN GEOLOGI STRUKTUR UNTUK IDENTIFIKASI KEBOLEHJADIAN


SISTEM PANAS BUMI DI GUNUNG LUMPUR SIDOARJO, JAWA TIMUR

Conference Paper · November 2013

CITATIONS READS

0 1,176

2 authors, including:

Didi Agustawijaya
University of Mataram
23 PUBLICATIONS   75 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Earthquakes in Nusa Tenggara, Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Didi Agustawijaya on 04 December 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


(RT-2013-563)

PENELITIAN GEOLOGI STRUKTUR UNTUK IDENTIFIKASI


KEBOLEHJADIAN SISTEM PANAS BUMI DI GUNUNG LUMPUR
SIDOARJO, JAWA TIMUR

Didi S. Agustawijaya1) dan Bq. Dewi Krisnayanti1)

1
Lembaga Penelitian
Universitas Mataram
Jl. Pendidikan 37 Mataram
Telp: 0370541552 Fax: 0370638265
e- Mail: lemlit_unram@yahoo.com
didiagustawijaya@gmail.com

Jakarta, 7 – 8 November

ABSTRAK

Ada tiga syarat utama untuk terbentuknya sebuah sistem panas bumi, yaitu suhu, air dan struktur
penjebak. Berdasarkan fenomena yang tampak di permukaan, bahwa semburan lumpur panas dan air
dari gunung lumpur Lusi di Sidoarjo memberi indikasi terpenuhinya dua syarat utama, yaitu adanya
sumber suhu dan air. Pengujian geokimia kemudian dilakukan untuk menelusuri jejak panas yang
terjebak dalam lumpur dan air tersebut. Hasil pengujian mendapati unsur-unsur panas dalam lumpur,
serta kandungan isotop oksigen dan hidrogen dalam air yang mengindikasikan air berasal dari formasi
batuan beku panas. Untuk syarat utama ketiga tampaknya akan dipengaruhi oleh terjadinya deformasi
geologi yang intensif. Deformasi geologi ini terjadi di pusat semburan dan juga sekitarnya. Penurunan
permukaan tanah dengan laju yang tinggi telah menyebabkan terbentuknya kaldera semburan yang
cukup besar. Daerah sekitar semburan juga mengalami penurunan. Dengan demikian walaupun indikasi
sistem panas bumi secara signifikan hadir di gunung lumpur Lusi, tapi deformasi geologi akan
mempengaruhi terbentuknya sistem tersebut. Penelitian lebih jauh dan detil terhadap deformasi geologi
harus dilakukan guna meyakinkan sejauh mana deformasi geologi telah mempengaruhi kebolehjadian
sistem panas bumi di gunung lumpur Sidoarjo.

Kata Kunci: geologi struktur, syarat, panas bumi, panas, air, struktur, geokimia, deformasi.

I. PENDAHULUAN
Sejak munculnya semburan Lumpur Sidoarjo pertama kali pada tanggal 29 Mei 2006, suhu semburan
relatif konstan. Semburan adalah lumpur panas dan air. Fakta ini kemudian mengarah kepada sebuah
sistem panas bumi, ketika dugaan awal tentang sistem hidrokarbon ternyata dalam perjalanan waktu
selama lima tahun tidak memberikan bukti kuat tentang adanya sebuah sumber hidrokarbon, tapi sebuah
gunung lumpur.

Jika sebuah sistem panas bumi menjadi pertimbangan, maka harus dipenuhi syarat-syarat terbentuknya
sebuah sistem tersebut: adanya formasi batuan panas sebagai sumber panas, reservoir sebagai penjebak
air, dan air itu sendiri sebagai fluida media penghantar panas. Syarat-syarat ini tampaknya secara visual
terpenuhi oleh fenomena gunung lumpur di Sidoarjo. Terutama dua unsur yang muncul di permukaan,
yaitu air dan lumpur panas yang tersembur di pusat semburan gunung lumpur di Sidoarjo.
Sumber panas dari sistem geotermal biasanya berasosiasi dengan kegiatan volkanisme. Berdasarkan
geologi regional Jawa Timur, di sebelah selatan dari lokasi gunung lumpur di Sidoarjo adalah kompleks
gunungapi yang berjarak hanya sekitar 20 km. Analoginya visual mengindikasikan bahwa sumber panas
seharusnya tidak jauh dari lokasi gunung lumpur Lusi di Sidoarjo. Akan tetapi analogi ini pelu
pembuktian secara laboratorium. Begitu juga keberadaan air di permukaan memerlukan analisis
laboratorium yang mendalam.

Berdasarkan data pemboran yang telah dilakukan BPMIGAS untuk Lapindo Brantas Inc., bahwa diduga
pada kedalaman lebih dari 3000 m terdapat formasi batugamping yang merupakan reservoir untuk sumber
air yang muncul di permukaan [1]. Di atas formasi batugamping terdapat formasi batupasir dan formasi
batulumpur [1]. Air menerobos batupasir dan batulumpur, kemudian menjadi semburan lumpur di
permukaan akibat adanya tekanan yang tinggi di bawah permukaan. Lumpur yang muncul di permukaan
mempunyai suhu mendekati 1000 C.

Tentu saja lumpur dan air yang mempunyai suhu tinggi di permukaan menjadi fakta unik dan
kemungkinan menjadi parameter kunci dari sebuah fenomena geologi yang berasosiasi dengan sebuah
sistem panas bumi. Akan tetapi sebuah sistem geotermal tidak hanya karena dua faktor itu saja, banyak
faktor lain yang harus dipertimbangkan. Sistem geologi struktur di sekitar lokasi harus terbentuk untuk
menjebak air dalam reservoir.

Secara geologi daerah Sidoarjo terdapat lapisan-lapisan batuan sedimen yang cukup tebal, terdiri dari
endapan delta dari sistem sedimentasi cekungan busur belakang (backarc basin) [1, 2]. Pada umumnya
terdapatnya sedimen pada sistem sedimentasi ini kaya akan kandungan hidrokarbon, sehingga
mempunyai potensi dan prospek sumber daya minyak dan gas bumi [2]. Batuan di daerah Sidoarjo
disusun oleh lapisan batuan sedimen yang terdiri dari batulanau, batulempung, batuserpih, batulumpur,
batupasir dan batugamping. Umur batuan sedimen tersebut berkisar antara Miosen Awal hingga Resen.
Formasi-formasi batuan sedimen ini telah diendapkan secara cepat (high sedimentation rate) dan tertekan
secara kuat, sehingga membentuk formasi-formasi batuan bertekanan tinggi (over pressured rock
formations) [1].

Secara geologi regional, formasi batuan di daerah Sidoarjo termasuk ke dalam zona depresi Kendeng,
yang memanjang dari bagian tengah Jawa Tengah hingga bagian timur Jawa Timur. Zona depresi ini
terbentuk dari beberapa antiklinorium, dan salah satunya adalah antiklinorium Ngelam – Watudakon,
yang melalui lokasi semburan lumpur [3]. Daerah ini juga telah mengalami deformasi yang kuat sehingga
terbentuk bidang-bidang sesar dan retakan.

Bidang-bidang sesar dan retakan ini terjadi karena dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik,
terutama melibatkan lempeng tektonik Indo-Australia yang bertumbukan dengan lempeng tektonik
Eurasia [4]. Lempeng tektonik Indo-Australia melesak masuk ke bawah lempeng tektonik Eurasia.
Sebagai hasilnya terbentuk zona subduksi (subduction zone), yang juga merupakan pusat gempa, di
bagian selatan Jawa Timur. Pergerakan ini diperkirakan sebesar 7 cm/tahun, yaitu lempeng Australia,
yang berada di selatan, bergerak ke arah utara, sedangkan lempeng Eurasia di utara bergerak ke arah
selatan [4]. Kondisi geologi dan pergerakan lempeng tektonik ini merupakan potensi yang sangat
mendukung terhadap terjadinya erupsi lumpur panas di Sidoarjo [5, 6].

Kaitannya dengan dugaan sistem panas bumi adalah bahwa suhu lumpur yang relatif tinggi (90-1000 C)
dan relatif tetap volumenya di permukaan adalah sebuah kondisi ideal untuk sebuah fenomena panas
bumi. Indikasi yang dicari adalah isotop air, yaitu unsur karbon, dan elemen-elemen langka baik itu yang
dikandung dalam air maupun yang dikandung dalam gas. Unsur geotermometer yang harus diketahui
adalah unsur Na/K, yang akan mengindikasikan suhu sumber panas dari air [7, 8]. Kemudian unsur-unsur
Hg dan CO2, yang akan dilihat dari kedua unsur ini adalah anomali dari sebaran unsur-unsur ini untuk
daerah sekitar telitian [9].

Akan tetapi syarat ketiga, yaitu struktur geologi tampaknya yang akan menentukan kebolehjadian sistem
panas bumi yang terbentuk di sekitar gunung lumpur Sidoarjo, Jawa Timur. Dengan demikian tujuan
utama penelitian dari keseluruhan penelitian adalah menentukan sistem geologi struktur di sekitar gunung
lumpur Sidoarjo untuk menentukan keboleh jadian sistem panas bumi di sekitar gunung lumpur tersebut.
Dalam makalah ini dibahas mengena dua syarat utama, yaitu panas dan air berdasarkan pengujian
geokimia. Kemudian deformasi yang berkaitan dengan pergerakan gunung lumpur dan tanah dsarnya
dilakukan pemodelan. Materi makalah ini disarikan dari hasil penelitian Insetif Riset Sinas 2013.

II. METODE
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode survei di lapangan, dan pengujian laboratorium.
Survei lapangan adalah survei geologi untuk mendeskripsi data-data geologi permukaan, dan kondisi
gunung lumpur di permukaan. Pengujian di laboratorium dilakukan terhadap sampel yang diambil dari
lokasi pusat semburan gunung lumpur, dan sampel yang diambil dari lokasi survei di Sidoarjo dan
sekitarnya. Pengujian laboratarium terhadap sampel untuk mengidentifikasi unsur-unsur kimia air dan
lumpur, yang terdiri dari pengujian unsur-unsur jarang tanah (REE), isotop air, dan unsur-unsur fisika dan
kimia air. Pengujian REE dilakukan di laboratorium Batan menggunajan metode LUM-IK-03-01
Elements Analysis by Neutron Activation (NAA). Pengujian isototp air juga dilakukan di laboratorium
Batan menggunajan metode Mass spectrometry.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Geokimia Air dan Sistem Geotermal


Syarat untuk adanya sebuah sistem panas bumi adalah adanya formasi batuan panas sebagai sumber
panas, reservoir sebagai penjebak air, dan air itu sendiri sebagai fluida media penghantar panas. Syarat-
syarat ini tampaknya terpenuhi oleh fenomena gunung lumpur di Sidoarjo. Terutama dua unsur yang
muncul di permukaan, yaitu air dan lumpur panas yang tersembur di pusat semburan gunung lumpur di
Sidoarjo (Gambar 1).

Gambar 1. Semburan uap panas dari gunung lumpur Lusi pada bulan April 2013.

Indikasi panas biasanya dicari dari unsur-unsur isotop air, yaitu unsur karbon, dan elemen-elemen langka
baik itu yang dikandung dalam lumpur. Unsur geotermometer yang dipergunakan adalah unsur Na/K,
yang akan mengindikasikan suhu sumber panas dari air [7, 8]. Kemudian unsur-unsur Hg dan CO2, yang
akan dilihat dari kedua unsur ini adalah anomali dari sebaran unsur-unsur ini untuk daerah sekitar telitian
[9].

Survei di lokasi sekitar gunung lumpur Lusi menunjukan bahwa di sebelah selatan dari lokasi gunung
lumpur di Sidoarjo adalah kompleks gunungapi Arjuno-Welirang yang berjarak hanya sekitar 20 km.
Jarak ini tidak jauh dari lokasi gunung lumpur. Di komplek gunung api tersebut ditemukan banyak
sumber air panas yang keluar sebagai mata air di sungai, diantaranya ada dua sumber air panas yaitu
Pacet dan Cangar. Suhu air permukan di sekitar pemandian air panas Pacet Kabupaten Mojokerto adalah
470 C, sedangkan mata air panas di Cangar Kota Batu adalah sekitar 520 C.

Kedua sumber air panas tersebut adalah merupakan indikasi sistem panas bumi kompleks Welirang-
Arjuno. Indikasi tersebut bisa dianalogikan bahwa Lusipun mempunyai potensi kaitanya dengan sistem
panas bumi tersebut. Data geokimia yang sudah diperoleh dari pengukuran sebelumnya menunjukan
indikasi kuat akan potensi sistem panas bumi, yaitu unsur Na+ yang tinggi (Tabel 1).

Tabel 1. Unsur-unsur kimia terlarut dalam air [1].

Hasil pengujian isotop air dari semburan yang diambil pada bulan April 2013 menunjukan nilai nilai
simpangan isotop, yaitu sekitar +2 sampai +7 untuk isotop oksigen-16 dan simpangan -2 sampai dengan -
20 untuk isotop hidrogen (deuterium) (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa air berasal dari formasi
batuan yang mempunyai suhu yang cukup tinggi, dan biasanya adalah formasi batuan beku panas
(Gambar 3). Nilai-nilai simpangan tersebut sejalan dengan hasil pengunkuran oleh Zainudin dkk [1], yaitu
kandungan isostop air (oksigen dan hidrogen) mempunyaI simpangan -2 per seribu sampai -20 per seribu
untuk isotop hidrogen, dan simpangan +5 per seribu sampai dengan +10 per seribu untuk isotop oksigen.

Tabel 2. Hasil pengujian Isotop untuk air dari semburan.


Oksigen-18 0/00 Deuterium
0
Sampel Vs SMOW /00 Vs SMOW
P43.I 5,13 -16,9
P43.I 3,36 -20,5
P43.I 6,97 -3,1
Reno-1 4,67 -21,5
Reno-2 3,63 -17,1
Reno-3 4,29 -19,7
MC-1 3,33 -15,1
MC-2 2,75 -14,6
MC-3 6,03 -2,9
Batuan beku

Gambar 3. Grafik isotop air.

Untuk pengujian gas, Zainudin dkk [1] melaporkan bahwa gas yang keluar di banyak retakan yang terjadi
di sekitar gunung lumpur Lusi juga mengindikasi keadaan yang sama. Isostop gas sebagai geotermometer
dilaporkan mempunyai indikasi suhu dalam kisaran 500-6900 C, atau rata-rata 5500 C. hal ini
mengindkasikan gas kering dengan entalphi tinggi.

Berdasarkan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan alat portable [10] diketahui
kandungan gas adalah metan CH4 (LEL 20% atau sekitar 10.000 ppm) dan H2S (35 ppm). Berdasarkan
pengujian laboratorium kendungan gas metan adalah 83%, CO2 adalah 9,9%, dan kandungan CO2 dalam
uap adalah 74,3%. Untuk kandungan radioisotop δ13 untuk CO2 adalah -14,3 0/00 – 18,4 0/00, dan untuk
CH4 adalah 48,6 0/00– 51,8 0/00.

Unsur Jarang Tanah (REE)


Sampel lumpur dibor dari dua titik lokasi, yaitu R1 dan R2, dengan masing-masing kedalaman 200 cm
dan 160 cm, dan dari aliran air yang mengandung lumpur yang keluar dari pusat semburan. Kedua titik
lokasi ini berada di sisi timur dari pusat semburan, dengan koordinat masing-masing E 070 31’ 51.6’’ S
1220 42’ 59.0’’, dan E 070 31’ 50.1’’ S 1120 43’ 01.5’’.

Pemilihan titik-titik lokasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran perbedaan lamparan dari
luapan lumpur yang mengalir dari pusat semburan masuk ke dalam kolam tampungan. Sisi timur dari
pusat semburan relatif tidak terganggu dibandingkan dengan sisi barat dan utara dari pusat semburan.
Sedangkan di sisi selatan ditempatkan kapal keruk untuk mengalirkan lumpur ke Kali Porong [6]. Maka
lamparan lumpur di sisi timur dianggap paling utuh sekuen pengendapannya sejak pertama kali terjadinya
semburan. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kedalaman setiap 20 cm, dengan demikian
diharapkan akan terekam perubahan karakteristik unsur-unsur REE berdasarkan urutan kedalaman.

Semburan lumpur di Sidoarjo bisa dibagi menjadi tiga sekuen besar, yaitu awal, puncak, dan pasca
puncak [6]. Periode semburan ini tidak sama durasinya. Periode awal adalah ketika semburan pertama
kali terjadi pada tanggal 29 Mei 2006, yang diawali dengan semburan uap panas hingga bulan Agustus
2006 ketika semburan lumpur panas muncul. Akselerasi semburan dangat tinggi sehingga periode awal
hanya ditandai dengan uap panas. Kemudian periode awal disusul periode puncak pada bulan Desember
2006 hingga puncaknya pada bulan Juni 2009. Dalam periode puncak ini volume semburan pernah
mencapai 180 000 m3 per hari dengan rata-rata 100 000 m3 per hari [10].

Periode pasca puncak terjadi mulai bulan Juni 2009 hingga saat ini, dimana volume semburan sudah
menurun menjadi kurang dari 60 000 m3 per hari [6]. Periode ini diperkirakan akan sangat lama sampai
batas waktu yang belum bisa diperkirakan. Pada periode ini, semburan lumpur panas tidak lagi dominan,
akan tetapi berupa air dan lumpur dengan proporsi 70:30. Uap panas menandai aktifitas gunung lumpur,
seperti telihat pada Gambar 1 di atas.
Konsekwensi dari tiga periode semburan ini diharapkan akan terekam dalam kandungan unsur-unsur REE
dalam lumpur yang terendapkan di kolam tampungan. Sehingga perubahan kandungan REE bisa
mengindikasikan sejarah semburan. Pengujian laboratorium terhadap unsur jarang tanah (REE) kemudian
dilakukan di laboratorium Batan di Serpong menggunakan metode AAN (Analysis by Neutron
Activation). Pengujian ini khusus dilakukan terhadap material lumpur dan bukan terhadap air seperti
pengujian REE untuk panas bumi pada umumnya. Alasan untuk ini adalah jika pengujian dilakukan
terhadap air maka sekuen semburan akan sulit untuk dianalisis.

Hasil pengujian REE di laboratorium menemukan konsentrasi unsur-unsur jarang tanah cukup tinggi. Ada
dua unsur yang tidak terdeteksi, yaitu Gadolinium (Gd) dan Holmium (Ho). Empat unsur lainnya tidak
bisa dilakukan pengujian karena kendala teknis dari alat, yaitu unsur Pr, Dy, Er dan Tm. Konsentrasi
unsur-unsur tanah jarang ringan (LREE), yaitu La, Ce, Nd dan Sm, lebih dominan dibandingkan dengan
unsur-unsur tanah jarang berat (HREE), seperti Tb, Yb dan Lu. Kandungan unsur-unsur ini kemudian
dinormalisasikan dengan dibagi oleh kandungan unsur-unsur REE dalam chondrite dari Boynton [11].
Unsur-unsur La dan Ce lebih tinggi dari chondrite sebesar 100 kali, sedangkan proporsi unusur-unsur
HREE kira-kira sampai dengan 25 kali dibandingkan dengan chondrite.

Dalam grafik unsur REE terhadap rasio sample/chondrite terlihat bahwa secara umum unsur-unsur REE
mempunyai kemiringan negatif menurun dari La menuju Lu (Gambar 4 dan 5). Pola ini serupa untuk
kedua set sampel R1 dan R2, dan ditandai dengan sedikit anomali negatif dari unsur Eu. Walaupun tidak
semua unsur REE tersedia, pola REE tampaknya konsisten untuk semua sample yang diuji dari R1 dan
R2.

Gambar 4. Grafik unsur-unsur REE terhadap chondirite untuk R1.

Gambar 5. Grafik unsur-unsur REE terhadap chondirite untuk R2.


Tabel 5. Daftar unsur-unsur REE pada Gambar 8 dan 9.
No REE
1 La
2 ce
3 Pr
4 Nd
5 Sm
6 Eu
7 Gd
8 Tb
9 Dy
10 Ho
11 Er
12 Tm
13 Yb
14 Lu

Sebaran unsur-unsur REE berdasarkan kedalaman sampel tampak bahwa ada perubahan konsentrasi dari
unsur-unsur REE tersebut, walaupun perubahan ini tidak terlalu signifikan. Dari semua unsur tampaknya
unsur La tidak terlalu berubah secara kedalaman. Perubahan ini bisa dikaitkan dengan sekuen semburan
lumpur gunung lumpur Sidoarjo. Endapan teratas adalah endapan lumpur yang terbaru, artinya sekuen
semburannya adalah pasca-puncak. Di lapangan lumpur di permukaan relatif kering hingga kedalaman 60
cm. Pada kedalaman ini konsentrasi unsur-unsur REE relatif seragam. Akan tetapi setelah kedalaman 80
cm, dimana lumpur relatif basah hingga becek diperoleh unsur-unsur REE yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan unsur-unsur REE pada kedalaman kurang dari 60 cm. Berdasarkan data ini dapat
diindikasikan bahwa sekuen semburan juga mempengaruhi kandungan unsur-unsur REE.

Untuk kondisi asal dari REE ini masih harus dipastikan dan terutama indikasi dari unsur-unsur tersebut
terhadap sistem geotermal. Akan tetapi yang pasti adalah REE adalah unsur-unsur yang tidak mudah
berpindah (immobile) kecuali ada kondisi ekstrim yang memaksa REE untuk bergerak hingga ke
permukaan. REE biasanya ditemukan pada kerak benua bagian atas (upper crust), dan akan berpindah
karena volkanisme atau proses metasomatik.

Jika dibandingkan dengan proses tersedianya unsur-unsur REE dalam air, ada beberapa kemungkinan
sumber asal REE, yaitu hidrotermal atau batuan asalnya [12]. untuk hidrotermal, konsentrasi REE sangat
tergantung pada kondisi lingkungan terbentuknya, yaitu lingkungan pH rendah ketika H2S dominan,
klorid netral dari lingkungan magmatik dalam, dan lingkungan bikarbonat-karbonat untuk interaksi CO2
dengan batuan reservoir [13].

Jika dilihat data pH lumpur dan air tampaknya kondisi lingkungan REE yang terjadi di gunung lumpur
Lusi di Sidoarjo adalah netral cenderung basa, dengan pH >7.0. Hal ini mengindikasikan lingkungan
magmatik dalam. Akan tetapi untuk keperluan analisis lebih jauh dari sebuah sitem panas bumi, indikasi
geokimia ini harus dipastikan berasal dari sebuah sistem panas bumi yang stabil secara geologi struktur.
Faktor geologi struktur inilah yang kemudian akan menjamin kebolehjadian sistem panas bumi, yaitu
terjaminnya ketersedian dan kebaharuan energi panas bumi. Dengan demikian, pola retakan dan
deformasi harus terpetakan dengan baik. Untuk gunung lumpur Lusi yang paling penting adalah
deformasi geologi termonitor dan terukur dengan baik.

Deformasi
Berdasarkan pengukuran menggunakan GPS, pergerakan horizontal dari formasi batuan adalah
maksimum sebesar 60 cm. Pergerakan ini terutama terjadi di sekitar jembatan tol lama, atau sekitar 800 m
arah utara – barat dari pusat semburan. Sedangkan pergerakan vertikal yang terjadi di titik yang sama dan
pada durasi yang sama adalah sekitar 70 cm.

Dampak dari pergerakan-pergerakan diantaranya adalah turunnya muka jalan arteri Porong, bengkoknya
rel kereta api, pecahnya pipa PADM, pecahnya pipa Pertamina, dan putusnya jembatan jalan tol [14].
Dampak lainyanya adalah amblesnya tanggul penahan lumpur yang berada di sekitar pusat semburan,
yang disebut dengan tanggul cincin, juga tanggul yang dibangun di pusat semburan luar untuk menahan
luapan lumpur di sekitar area terdampak [15].

Deformasi geologi ini juga telah menyebabkan perubahan diameter lubang pusat semburan. Saat ini
lubang pusat semburan telah mencapai diameter 200 m, sedangkan saat pertama kali semburan muncul
hanya berdiameter beberapa sentimeter saja. Tercatat amblesan di sekitar pusat semburan pernah
mencapai 25-40 cm/hari pada tahun 2008-2009. Pada bulan Juni-Juli 2009, tanggul cincin yang dibangun
untuk membatasi luapan lumpur di sekitar pusat semburan agar tidak mengalir ke arah utara, telah
ambles, sehingga luapan lumpur telah menggenangi luasan Peta Area Terdampak sekitar 641 Ha.

Mazzini, dkk. [16] melaporkan bahwa telah terjadi pembentukan kaldera dan keruntuhan di sekitar pusat
semburan yang sesuai dengan fenomena khas mud volcano craters. Walaupun bentuknya menyerupai
bentuk elip yang mengarah SW – NE, orientasi pusat semburan sejajar dengan orientasi sesar Watukosek.
Manzzini, dkk. [16] menghitung bahwa area yang dipengaruhi oleh amblesan adalah sekitar 22 km2
dengan laju rata-rata 1-4 cm/hari. Fukushima, dkk. [17] membuat model amblesan dengan pendekatan
konsep pembebanan dengan bantuan citra satelit SAR. Mereka memberikan model amblesan dengan tiga
model, yaitu pembebanan oleh berat lumpur yang sudah tererupsi di permukaan, penurunan kaldera
semburan akibat kompresi horizontal, dan kehilangan volume pada kedalaman tertentu akibat pelepasan
tekanan pori dan pengurangan material. Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Fukushima, dkk.
[17] bahwa pusat penurunan berada lebih dangkal daripada kedalaman sumber lumpur. Maka jika sumber
lumpur berada pada kedalaman 1.800 m, penurunan material berada pada kedalaman 1.000 – 1.250 m,
maka titik pusat amblesan (source of deformation) berada pada kedalaman sekitar 600 m.

Data deformasi geologi terakhir yang dikumpulkan tentang pergerakan horizontal menunjukkan adanya
tiga pola pergerakan, yaitu melingkar di seputaran pusat semburan, berarah timur laut – barat daya, dan
berarah barat laut – tenggara. Pola-pola ini mengindikasikan adanya pergerakan yang mengarah ke pusat
semburan, dan indikasi dengan asosiasi sistem sesar jurus yang ada di sekitar Porong. Pengukuran di
sekitar Siring Barat menunjukkan pergerakan sebesar 64 cm menuju pusat semburan selama 17 bulan
terakhir. Begitu juga pergerakan vertikal di lokasi yang sama memberikan angka sekitar 120 cm selama
periode yang sama. Kedua set data ini memberikan gambaran kuantitatif atas deformasi geologi yang
aktif di sekitar pusat semburan.

Data permukaan yang diukur dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) tersebut di atas
kemudian dikonfirmasi dengan pemantauan bawah permukaan. Hal ini didasarkan atas pemahaman
bahwa pergerakan di permukaan adalah refleksi atas perubahan di bawah permukaan. Data pemantauan
bawah permukaan menggambarkan telah terjadi retakan dan amblesan di sekitar pusat semburan dan luar
Peta Area Terdampak, khususnya di Siring Barat [14]. Data pengukuran geofisika ini juga ternyata
mempunyai pola yang konsisten dengan data pengukuran di permukaan.

Dengan data terkini yang dikumpulkan tersebut di atas semakin meyakinkan bahwa fenomena deformasi
geologi berupa pergerakan horizontal dan vertikal memang nyata terjadi di sekitar pusat semburan. Hal
ini berarti fenomena gunung lumpur yang unik dan diiringi dengan fenomena deformasi geologi adalah
sebuah kenyataan yang sedang dihadapi.

Deformasi juga telah mempengaruhi kestabilan tanggul penahan luapan lumpur, sehingga tanggul
mengalami beberapa kali keruntuhan [15]. Deformasi yang terbesar terjadi di pusat semburan dan makin
luar makin kecil. Berdasarkan pemodelan terhadap tanggul dan dibandingkan dengan pengukuran data
gps, tampak bahwa pengukuran GPS konsisten dengan model, sehingga deformasi vertikal paling tidak
telah mencapai sekitar 1,4 m dari titik semula [15]. Deformasi juga telah mempengaruhi sistem kapal
keruk yang diterapkan untuk mengalirkan lumpur dari kolam penampungan ke Kali Porong, sehingga
sistem tersebut mengalami kegagalan secara statistik untuk periode tahun 2012 [6].

Model Perilaku Deformasi Tanah Dasar


Pemodelan deformasi di gunung lumpur Lusi di Sidoarjo tidak terlepas dari pemodelan pembentukan
gunung, yaitu keluarnya semburan lumpur ke permukaan sebagai sebuah fenomena geologi akibat adanya
tekanan berlebih pada suatu formasi batuan lunak. Model yang diadopsi disini adalah model gunung
lumpur dari Kopf [18], yaitu erupsi lumpur breksiasi dari formasi lumpur lunak yang memotong formasi
batuan di atasnya (Gambar 10). Adanya erupsi lumpur menimbukan deformasi akibat terjadinya
pengurangan rapat massa batuan di bawah permukaan, sehingga deformasi akan terjadi pada formasi
batuan di atasnya.
 

Gambar 10. Model subsidence untuk gunung lumpur [18].

Berdasarkan model Kopf [18], analisis numerik dilakukan untuk memperoleh gambaran pergerakan
deformasi dari tanah dasar gunung lumpur Lusi. Kemudian tanah dasar dibagi menjadi enam lapisan.
Kedalaman model lapisan dibatasi hanya sampai dengan 100 m, seperti pada Gambar 11.

Masing-masing lapisan tanah dasar dibagi lagi menjadi potongan-potongan untuk melihat efek anisotropic
pada lapisan tanah dasar, dan untuk melihat deformasi secara vertikal dan horizontal pada lapisan tanah
dasar (Gambar 12). Sifat-sifat geoteknik masing-masing lapisan diberikan pada Tabel 6 [19].

Hasil pemodelan perpindahan vertikal dan horizontal menunjukan adanya konsentrasi perpindahan di
sekitar lubang kepundan. Perpindahan vertikal terjadi dari lapisan pertama hingga ke enam pada potongan
pertama. Hal ini berarti bahwa perpindahan vertikal secara aktif terjadi dari permukaan hingga jauh ke
bawah permukaan. Perpindahan vertikal bisa positif, artinya adanya perubahan ke arah permukaan, dan
perubahan negatif, artinya perubahan ke arah bawah permukaan (Gambar 13).

Gambar 13. Perpindahan vertikal tanah dasar.

Begitu juga perpindahan negatif terjadi ke arah luar dari pusat semburan, dan nilai perpindahan mengecil
ke arah menjauh dari pusat seburan. Sedangkan perpindahan positif terjadi di sekitar pusat semburan.
Perpindahan horizontal terjadi di sekitar pusat semburan ke arah luar dari pusat semburan, dan kaki
tanggul menjadi titik terlemah dari pergerakan horizontal (Gambar 14). Pergerakan ini megingindikasikan
terjadinya pegerakan horizontal yang mengecil ke arah bawah dan ke arah luar dari pusat semburan.

Gambar 14. Perpindahan horizontal tanah dasar.

Jika dilihat dari perpindahan keseluruhan (total displacement), terjadi konsentrasi pergerakan di sekitar
pusat semburan yang mengarah ke permukaan. Hal ini mengindikasikan terjadinya gerakan vertikal di
sekitar pusat semburan, dan sebagai konsekwensi gerakan ini terjadi gerakan horizontal dari arah pusat
semburan ke arah luar pusat semburan (Gambar 15). Pergerakan horizontal mengecil ke arah luar dari
pusat semburan.

Analogi dari pemodelan ini adalah fenomena erupsi lumpur mengakibatkan terjadinya pergerakan vertikal
dan horizontal dari formasi batuan di sekitar erupsi, sehingga terjadilah deformasi pada formasi-formasi
batuan tersebut. Secara khusus formasi-formasi batuan adalah formasi batuan lunak sehingga deformasi
dengan mudah akan terjadi. Pergerakan horizontal terjadi di sekitar pusat semburan, dan pergerakan
mengecil ke arah jauh dari pusat semburan.

IV. KESIMPULAN

Semburan lumpur panas di Sidoarjo adalah sebuah fenomena unik dari fenomena geologi. Fenomena unik
ini terutama adalah didapatinya lumpur panas yang meluap di permukaan. Fenomena ini belum pernah
terjadi di daerah lain yang serupa, terutama karena suhu tinggi yang relatif konstan pada lumpur dan air
yang keluar dari pusat semburan. Suhu yang relatif tinggi mengindikasikan asal suhu dari sebuah sistem
panas bumi. Fakta ini didukung oleh analisis geokimia. Data isotop air dan gas memberikan indikasi
adanya jejak panas dari formasi batuan yang mungkin mempunyai entalphy tinggi.

Fenomena unik lainnya yang dijumpai di gunung lumpur Lusi adalah adanya deformasi geologi yang
intensif di sekitar pusat semburan. Deformasi ini bisa diyakini berasal dari formasi batuan yang cukup
dalam. Jika ini terjadi bisa menyebabkan berubahnya pola geologi struktur setempat, sehingga
kobelehjadian sebuah sistem panas bumi di Porong, Kabupaten Sidoarjo harus betul-betul diteliti secara
mendalam. Deformasi geologi akan menyebabkan terkendalanya kebolehjadian sistem panas bumi di
gunung lumpur Lusi di Sidoarjo.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010), Fenomena
Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber daya
Mineral, Bandung.
[2] Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth and
potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and Petroleum Geology,
Vol. 26, pp. 1724-1739.
[3] Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano triggering
controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology, 26, pp. 1766-1784.
[4] Agustawijaya, D.S., (2010), Penanggulangan semburan dan penanganan luapan lumpur Sidoarjo:
Peranan ilmu dan rekayasa kebumian dalam pengelolaan bencana (in Indonesian), Proceeding of
National Seminar of Indonesian Geographer Association, Surabaya, pp 16-28.
[5] Satyana, A.H., (2007), Geological Disaster on the Falls of Jenggala and Majapahit Empires : A
Hypothesis of Historical Mud Volcanoes Eruptions Based On Historical Chronicles of Kitab
Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; Folklore of Timun Mas; Analogue to the Present LUSI
Eruption; and Geological Analysis of the Kendeng Depression – Brantas Delta, JOINT
CONVENTION BALI, The 36th IAGI, The 32nd HAGI, and the 29th IATMI, Annual Convention
and Exhibition, Bali, 13-16 November 2007.
[6] Agustawijaya, D. S., (2013), International Journal of Civil & Environmental Engineering Vol. 13
No. 02, pp.12-16.
[7] Wahyudi, (2006), Kajian Potensi panas Bumi dan Rekomendasi Pemanfaatannya pada Daerah
Prospek Gunungapi Ungaran Jawa Tengah, Berkala MIPA, 16(1).
[8] Herman, D. Z., (2009), Tinjauan Kemungkinan Sebaran Unsur Tanah Jarang (REE) di Lingkungan
Panas Bumi (Contoh kasus lapangan panas bumi Dieng, Jawa Tengah), Jurnal Geologi Indonesia,
Vol. 4 No. 1, pp. 1-8.
[9] Nugraha, S. I., Harmoko, U., Indriana, R. D., (2008), Penelitian Temperatur Permukaan dan Emisi
Gas Karbondioksida (CO2) untuk Mengkaji Kebolehjadian adanya Panas Bumi di Sisi Lereng Utara
Gunung Merbabu Jawa Tengah, Laporan Penelitian, MIPA- Fisika Universitas Diponegoro.
[10] Mazzini, A.; Svensen, H.; Akhmanov, G.G.; Aloisi, G.; Planke, S.; Malthe-Sorenssen, A.; Istadi, B.,
(2007), Triggering and dynamic evolution of LUSI mud volcano, Indonesia, Earth and Planetary
Science Letters 261, pp. 375-388.
[11] Boynton, W. V. (19885), Cosmochemistry of the rare earth elements: Meteorite studies, in Rare
Earth Element Geochemistry (P. Henderson, Ed.), Elsevier, Amsterdam.
[12] Morton-Bermea, O., Amienta, M. A. and Ramos, S., (2010), Rare-earth element distribution in water
from El Chicon volcano crater lake, Chiapan Mexico, Geofisica International, Vol. 49, No. 1, pp. 43-
54.
[13] Shannon, W. M. and Wod, S. A. (2001), REE contents and specification in geothermal fluids from
New Zealand, Water-Rock Interaction, (Cidu ed.), Swets & Zeitlinger, Lisse.
[14] Anonym, Final Annual Report of BPLS, (2011), (in Indonesian), BPLS, Surabaya.
[15] Agustawijaya, D. S. and Sukandi, (2012), The stability of the Lusi mud volcano embankment dams
using FEM with a special reference to the dam point P10.D, Civil Engineering Dimension, Vol. 14,
No. 2, pp. 100-109.
[16] Mazzini, A., (2009), Mud volcanism: Processes and implications, Marine and Petroleum Geology,
Vol. 26, pp. 1677-1680.
[17] Fukushima, Y.; Mori, J., Hashimoto, M., Kano, Y., (2009), Subsidence associated with the Lusi mud
eruption, East Java, investigated by SAR interferometry, Marine and Petroleum Geology, 26, pp.
1740-1750.
[18] Kopf, A. J. (2002),Siginificance of mudvolcanism, Reviews of Geophysics, Vol. 40, No 2, pp. 2-1-2-
52.
[19] Sukandi, (2013), Evaluasi Pergerakan Tanggul Lumpur Sidoarjo, Thesis Magister Teknik Sipil,
Universitas Gadjah Mada.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai