PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI
Gangguan panik dan agoraphobia adalah dua gangguan psikiatri yang
sering terjadi bersamaan. Gangguan panik dikarakteristikan serangan panik
yang berulang-ulang dengan onset cepat dan durasi sangat singkat. Serangan
panik atau respon “fight or flight”, adalah gejala mendadak yang ditandai
dengan gejala anxietas yang berat seperti: berdebar-debar, nyeri dada, sesak
nafas, tremor, pusing, merasa dingin atau panas, ada depersonalisasi atau
derealisasi, gejala mencapai puncaknya dalam 10 menit.
Kadang pasien berfikir mereka akan kehilangan kontrol atau menjadi
gila. Lama-lama pasien akan menghindari tempat-tempat atau situasi serangan
paniknya pernah terjadi terutama tempat kegiatan sosial atau tempat yang
susah untuk menyelamatkan diri, hal ini dianggap sebagai penyebab
terjadinya Agorafobia.
Agoraphobia sering disebut orang yang takut terhadap ‘open space’.
Hal ini sebagian benar. Banyak orang dengan gangguan panik menghindari
beberapa situasi karena rasa takutnya. Penghindaran ini dikenali dengan nama
agarofobia dimana merasa cemas berada di tempat atausituasi dimana dia
mengalami kesulitan untuk keluar. Oleh karena ini, orang dengan agoraphobia
menghindari tempat tempat tertentu seperti kereta, keramain dan antrian atau
hanya memasuki situasi tersebut dengan orang yang dipercayainya atau
saudaranya.
2.2.Epidemiologi
Hampir 5% orang di Amerika Serikat akan mengalami gangguan
panik pada suatu saat dalam hidup mereka, dan itu sekitar dua kali lebih
umum pada wanita. Diperkirakan sekitar seperempat hingga sepertiga dari
populasi akan mengalami gejala seperti panik di beberapa titik dalam hidup
mereka, tetapi gejala-gejala subklinis ini tidak pernah berkembang menjadi
keparahan penuh gangguan panik. Meskipun demikian, gejala panik subklinis
sering dikaitkan dengan derajat tinggi kesulitan. Prevalensi agorafobia mirip
dengan panic gangguan, dengan sekitar 5% orang yang mengalaminya di
beberapa titik di seumur hidup mereka.
2.3.Etiologi
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan
gangguan panik, termasuk genetik dan riwayat keluarga mengalami gangguan
panik atau gangguan kecemasan atau gangguan suasana hati lainnya, faktor
biologis, faktor kepribadian dan psikologis, kehidupan yang penuh tekanan,
peristiwa dan pemicu stres dari lingkungan.
Meskipun banyak yang tidak diketahui tentang peran gen dalam
pengembangan gangguan panik, penelitian genetika pada gangguan panic
menunjukkan bahwa banyak gen kemungkinan terlibat. Panik dan gangguan
kecemasan lainnya cenderung menurun di keluarga. Selain gen, faktor risiko
lain harus ada agar seseorang dapat mengembangkan gangguan panik.
Sebagai contoh, banyak ilmuwan percaya bahwa ada kontribusi biologis pada
pengembangan gangguan panik, seperti ketidakseimbangan bahan kimia otak,
khususnya GABA, serotonin, dan norepinefrin.
Yang lain percaya gangguan panik dikaitkan dengan sensitivitas
terhadap perubahan kadar karbon dioksida tubuh. Kondisi medis tertentu
seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), berhubungan
dengan risiko panik yang lebih tinggi. meskipun banyak orang dengan
gangguan panik tidak memiliki masalah medis yang signifikan. kepribadian
dan faktor risiko psikologis juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan
gangguan panik.
Secara khusus, dua faktor risiko kepribadian yang paling menonjol
untuk gangguan panik adalah kecenderungan untuk mengalami emosi negatif
dan tingkat sensitivitas kecemasan yang tinggi. Individu dengan sensitivitas
kecemasan cenderung salah mengartikan gejala kecemasan sebagai berbahaya
(mis., Menyamakan jantung yang berdetak kencang dengan serangan jantung).
Mereka juga cenderung lebih menyadari sensasi tubuh daripada mereka yang
tidak memiliki sensitivitas kecemasan yang tinggi. Hyperawareness ini,
dikombinasikan dengan salah presepsi dari makna gejalanya, membuat
seseorang rentan terhadap mengalami serangan panik di tempat pertama dan
kemudian diikitu berlangsung serangan dan perubahan perilaku terkait.
Kejadian-kejadian kehidupan yang penuh tekanan dan faktor-faktor
lingkungan seringkali juga berkontribusi terhadap perkembangan gangguan
panik. Faktor-faktor ini dapat mencakup kehilangan orang tersayang, trauma,
riwayat penyakit yang luas selama masa kecil, atau peristiwa kehidupan yang
penuh tekanan sebagai orang dewasa. Ini bisa menjadi peristiwa negatif
seperti kematian orang yang dicintai, perceraian, tekanan finansial, atau
kehilangan pekerjaan.
2.4.Manifestasi Klinis
Gangguan panik dan agorafobia tidak bisa didiagnosa dengan test
darah, CT scan atau tes laboratorium lainnya. satu-satunya cara mendiagnosa
adalah dengan interview. Evaluasi medisjuga penting unuk melihat apakah
ada penyebab meds yang mempengaruhi gejala
Panic Disoerder
AGORAPHOBIA
2.5.Diagnosis
Diagnosis Gangguan Panik Menurut DSM IV Adalah :
A. Harus ada 1 dan 2 kriteria dibawah ini :
1. Adanya Serangan Panik yang tidak diharapkan secara berulang-ulang.
2. Paling sedikit satu Serangan Panik diikuti dalam jangka waktu 1 bulan
(atau lebih) oleh satu (atau lebih) keadaan-keadaan berikut :
a) Kekhawatiran yang terus menerus tentang kemungkinan akan mendapat
serangan panik.
b) Khawatir tentang implykasi daripada serangan panik atau akibatnya (misal:
hilang kendali diri, mendapat serangan jantung atau menjadi gila).
c) Adanya perubahan yang bermakna dalam perilaku sehubungan dengan
adanya serangan panik.
B. Ada atau tidak adanya agoraphobia
C. Serangan Panik tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari satu
zat (misal: penyalahgunaan zat atau obatobatan) atau kondisi medis umum
(hipertiroid).
D. Serangan Panik tidak bisa dimasukkan pada gangguan mental emosional
lain.
Diagnosis Agorafobia menurut DMS IV Adalah :
A. Cemas berlebihan apabila bera-da ditempat-tempat atau situasi-situasi
yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri (atau akan mengalami rasa
malu hebat) atau pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan dalam
keadaan yang tidak diharapkan atau situasi yang menjadi predis-posisi
serangan panik atau gejala-gejala menyerupai panik. Ketakutan pada
Agorafobia ciri khasnya adalah takut pada situasi-situasi terbuka
(misal: diluar rumah sendirian, berada dalam keramaian atau berdiri
dalam satu antrian, berada diatas jembatan, dalam perjalanan dengan
bus, kereat api atau mobil).
B. Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi perjalanan) atau bila
dikerjakan akan ditandai dengan adanya distress atau kecemasan akan
kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau gejala-gejala
menyerupai panik, atau sering minta ditemani ditemani kalau keluar
rumah.
C. Kecemasannya atau penghindaran terhadap situasi yang ditakuti
(fobia) tidak bisa digolongkan kedalam gangguan mental lainnya
2.6. Tatalaksana
Non Psikofarmakologik
1) Terapi Kognitif Perilaku.
2) Terapi Keluarga.
3) Psikoterapi Berorientasi Insight
4) Psikoterapi Kombinasi.
Psikofarmakologik Pemberian Psikofarmaka perlu dipertimbangkan bila telah
terjadi Agorafobia, Depresi, ide atau percobaan bunuh diri, dan gejala sudah
cukup berat. Pemakaian Trisiklik Antidepresan (Imipramine, Clomipramine,
Maprotiline, Amitriptiline) harus hati-hati karena efek samping yang kurang
menyenangkan seperti : mulut kering, konstipasi, somnolent, disfungsi
seksual, anxietas, hipotensi orthostatistik). Selective Serotonin ReUptake
Inhibitor (SSRI) seperti: Pemakaian Paroxetine, Sertraline dan Fluoxetine
cukup efektif untuk Gangguan Panik. Pemberian golongan Benzodiazepine
(Alprazolam, Clonazepam, Lorazepam) punya kemampuan spesifik sebagai
anti panik, tapi pemakaian jangka lama harus sangat hati-hati karena akan
mudah menimbulkan toleransi serta penurunan atau penghentian pengobatan
bisa menimbulkan efek “ classical withdrawal” sepeti terjadinya rebound
fenomen dari gejala panik. Meskipun Farmakoterapi cukup efektif mengatasi
gejala-gejala awal Gangguan panik, kombinasi Psikoterapi dan Farmakoterapi
memberikan hasil yang lebih baik pada beberapa kasus
2.7. Prognosis
Prevalensi pasien sembuh sempurna 30% – 40%, 50% yang masih
mempunyai gejala yang ringan tapi tidak mengganggu aktifitas kehidupan
seharihari. Sekitar 10% – 20% masih terus mengalami gejala yang signifikan
BAB III
KESIMPULAN