Anda di halaman 1dari 27

Tinjauan Pustaka

Manfaat MPASI Dini dalam Pencegahan Stunting

Oleh:
Eldha Savitri, S.Ked
1830912320035

Pembimbing:
dr. Arief Budiarto, Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Desember, 2019

0
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI 1

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 5

1. Stunting…………………………………………………. 5

A. Definisi dan Epidemiologi………………………….. 5

B. Faktor Risiko dan Penyebab Stunting………………. 6

C. Dampak Stunting……………………………………. 9

D. Pencegahan Stunting………………………………... 10

2. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)…………. 11

A. Definisi……………………………………………... 11

B. Tujuan Pemberian MPASI…………………………. 12

C. Persyaratan Pemberian MPASI…………………….. 13

3. MPASI Dini dalam Pencegahan Stunting………………. 16

A. Definisi MPASI Dini……………………………….. 16

B. Waktu Memulai MPASI Dini………………………. 17

C. Menilai Kesiapan Pemberian MPASI Dini………… 18

BAB III KESIMPULAN........................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 24

1
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius

terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu masalah kekurangan gizi

yang masih cukup tinggi di Indonesia terutama masalah pendek (stunting) dan kurus

(wasting) pada balita serta masalah anemia dan kurang energi kronik (KEK) pada ibu

hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil ini dapat menyebabkan berat badan

bayi lahir rendah (BBLR) dan kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting.1

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linear yang disebabkan adanya

kekurangan asupan zat gizi kronis dan atau infeksi kronis maupun berulang.2 Kondisi

stunting pada masa balita dapat menyebabkan gangguan perkembangan fungsi kognitif

dan psikomotor serta penurunan produktivitas ketika dewasa.3 Selain itu, stunting pada

masa ini berkaitan erat dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta

terhambatnya perkembangan fisik, kemampuan motorik dan mental.4 Stunting juga

dapat meningkatkan risiko obesitas dan memiliki konsekuensi ekonomi pada tingkat

individu, rumah tangga dan masyarakat.5

Situasi gizi balita di Indonesia, belum bisa terlepas dari masalah gangguan

pertumbuhan. Hasil Riskesdas menunjukan prevalensi balita stunting, secara nasional

tahun 2013 adalah 37,2% (terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek), yang

berarti terjadi peningkatan dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).6,7 Tiga dari 10

balita di Indonesia mengalami stunting atau memiliki tinggi badan lebih rendah dari

2
standar usianya. Tidak hanya bertubuh pendek, efek domino pada balita yang

mengalami stunting lebih kompleks. Selain persoalan fisik dan perkembangan kognitif,

balita stunting juga berpotensi menghadapi persoalan lain di luar itu. Stunting bukan

berarti gizi buruk yang ditandai dengan kondisi tubuh anak yang begitu kurus. Yang

sering kali terjadi, anak yang mengalami stunting tidak terlalu kentara secara fisik.

Anak atau balita stunting umumnya terlihat normal dan sehat.1

Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi stunting pada anak

adalah faktor asupan, antara lain Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping Air

Susu Ibu (MPASI). MPASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi

dan diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi

selain dari ASI.8 Pemberian MPASI berarti memberikan makanan lain sebagai

pendamping ASI yang diberikan pada bayi dan anak mulai usia 6-24 bulan. Pemberian

ASI secara eksklusif selama enam bulan pertama dan MPASI yang tepat merupakan

upaya yang mampu menurunkan angka stunting dan meningkatkan kelangsungan

hidup anak, sedangkan ASI eksklusif yang diberikan terlalu lama akan menunda

pemberian MPASI.9 Akibatnya anak akan menerima asupan zat gizi yang tidak adekuat

untuk menunjang proses pertumbuhan dan perkembangan.

MPASI yang tepat dan baik merupakan makanan yang dapat memenuhi

kebutuhan gizi sehingga bayi dan anak dapat tumbuh kembang dengan optimal.

MPASI diberikan secara bertahap sesuai dengan usia anak, mulai dari MPASI bentuk

lumat, lembik sampai anak menjadi terbiasa dengan makanan keluarga. Di samping

3
MPASI, pemberian ASI terus dilanjutkan sebagai zat gizi dan faktor pelindung

penyakit hingga anak mencapai usia dua tahun.10 MPASI yang baik adalah memenuhi

persyaratan tepat waktu, bergizi lengkap, cukup dan seimbang, aman, dan diberikan

dengan cara yang benar.11

Stunting juga dapat terjadi sebagai akibat kekurangan gizi terutama pada saat

1000 hari pertama. Pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan pada ibu hamil perlu

mendapat perhatian untuk mencegah terjadinya stunting. Stunting akan berpengaruh

terhadap tingkat kecerdasan anak dan status kesehatan pada saat dewasa. Akibat

kekurangan gizi pada 1000 hari bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki. Karena

stunting dalam jangka panjang berdampak buruk tidak hanya terhadap tumbuh

kembang anak tetapi juga terhadap perkembangan emosi yang berakibat pada kerugian

ekonomi. Mulai dari pemenuhan gizi yang baik selama 1000 hari pertama kehidupan

anak hingga menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat.1

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Stunting

A. Definisi dan Epidemiologi

Stunting adalah bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan yang diakibatkan karena

adanya malnutrisi kronik. Stunting mencerminkan pertumbuhan linear yang buruk dan

terakumulasi selama periode pra dan pasca melahirkan, dikarenakan asupan gizi yang

kurang serta adanya infeksi kronis maupun berulang. Status gizi stunting ditunjukkan

dengan nilai Z-Score panjang atau tinggi badan menurut usia kurang dari -2 standar

deviasi (SD) berdasarkan standar World Health Organization (WHO).2

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat

akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai

usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak teimbanginya kejar tumbuh (catch

up growth) yang memadai. Periode 0-24 bulan merupakan periode yang menentukan

kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini merupakan

periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan

bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu diperlukan pemenuhan gizi

yang adekuat pada usia ini.12

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu

masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau

sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah

5
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu

32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia

(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita

stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi

paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting yang

dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara

ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional

(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah

36,4%. Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi

Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,

pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti

gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari

tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di

Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010,

terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali

meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek dari hasil

Riskesdas tahun 2018 mengalami penurunan dari tahun 2013 yaitu menjadi 30,8%.13

B. Faktor Risiko dan Penyebab Stunting

Anak stunting penyebab utamanya ialah asupan gizi. Tidak ada penelitian yang

mengatakan keturunan memegang faktor yang lebih penting daripada gizi dalam hal

6
pertumbuhan fisik anak. Masyarakat, umumnya menganggap pertumbuhan fisik

sepenuhnya dipengaruhi faktor keturunan. Pemahaman keliru itu kerap menghambat

sosialisasi pencegahan stunting yang semestinya dilakukan dengan upaya mencukupi

kebutuhan gizi sejak anak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Stunting

disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor yang berkembang dalam jangka panjang,

di antaranya yaitu kekurangan gizi kronis dalam jangka panjang, retardasi pertumbuhan

intrauterin, kebutuhan protein tidak tercukupi sesuai proporsi total kalori, adanya

perubahan hormon akibat stress, dan sering mengalami infeksi pada awal kehidupan

anak.1

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat

IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat

inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat

IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua

(15%). Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan

sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth

faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di

Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk

kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami

defisit ringan. Untuk memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program

pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal

maupun PMT pabrikan yaitu biskuit MT balita. Jika berat badan telah sesuai dengan

7
perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan

dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang.13

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh

faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang

paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu

dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor

yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut :14

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu

mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu

melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari

anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2

dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu

(MPASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6

bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI

juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong

oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis

anak terhadapmakanan maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care

(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan

pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi

Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu

semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat

8
akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil

belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya

akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6

tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).

3. Masih kurangnya akses rumah tangga / keluarga ke makanan bergizi. Penyebabnya

karena harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan

menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar

(BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air

minum bersih.

C. Dampak Stunting

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka

pendek dan jangka panjang.13

1. Dampak Jangka Pendek.

a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;

b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal;

c. Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang.

a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada

umumnya);

b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;

c. Menurunnya kesehatan reproduksi;

9
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah;

e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

D. Pencegahan Stunting

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang

termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan

dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target

yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.13

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah

satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun

2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan

Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya

sebagai berikut:13

1. Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;

d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan

mikronutrien (TKPM);

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);

f. Pemberantasan kecacingan;

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA;

h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif;

10
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita;

b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita;

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak;

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

2. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)

A. Definisi

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) adalah makanan atau minuman

yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna

memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. MPASI merupakan makanan peralihan dari ASI

ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara

bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi. Pemberian

MPASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan

perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat

diperlukan higienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut. Selama kurun waktu 4-6

bulan pertama ASI masih mampu memberikan kebutuhan gizi bayi, setelah 6 bulan

produksi ASI menurun sehingga kebutuhan gizi tidak lagi dipenuhi dari ASI saja.

Peranan makanan tambahan menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi

bayi tersebut. Makanan pendamping ASI dapat disiapkan secara khusus untuk bayi atau

11
makanannya sama dengan makanan keluarga, namun tekturnya disesuaikan dengan

usia bayi dan kemampuan bayi dalam menerima makanan.

B. Tujuan Pemberian MPASI

Pada umur 0-6 bulan pertama dilahirkan, ASI merupakan makanan yang terbaik

bagi bayi, namun setelah usia tersebut bayi mulai membutuhkan makanan tambahan

selain ASI yang disebut makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping

ASI mempunyai tujuan memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan bayi atau

balita guna pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik yang optimal,

selain itu untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan yang baik. Tujuan

tersebut dapat tercapai dengan baik jika dalam pemberian MPASI sesuai pertambahan

umur, kualitas dan kuantitas makanan baik serta jenis makanan yang beraneka ragam.

MPASI diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar

makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik.15

C. Persyaratan Pemberian MPASI

WHO Global Strategy for Feeding Infant and Young Children pada tahun 2003

merekomendasikan agar pemberian MPASI memenuhi 4 syarat, yaitu:

1. Tepat waktu (timely)

Sejak usia 6 bulan ASI saja sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan energi,

protein, zat besi, vitamin D, seng, vitamin A sehingga diperlukan Makanan

Pendamping ASI yang dapat melengkapi kekurangan zat gizi makro dan mikro

tersebut. Meskipun sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi secara lengkap,

12
pemberian ASI tetap dianjurkan karena dibandingkan dengan susu formula bayi, ASI

mengandung zat fungsional seperti imunoglobulin, hormon, oligosakarida, dan lain-

lain yang tidak ada pada susu formula bayi.17

2. Adekuat

ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi

sampai usia 6 bulan, setelah itu seorang bayi harus mendapat MPASI untuk mencukupi

kebutuhannya. Dalam upaya pemenuhan zat gizi terdapat tahapan yang harus dilakukan

secara berurutan.17

Tahap pertama adalah memberikan bahan makanan yang tinggi zat gizi yang

dibutuhkan. Makanan Pendamping ASI pertama yang umum diberikan pada bayi di

Indonesia adalah pisang dan tepung beras yang dicampur ASI. Kedua bahan makanan

tersebut dapat memenuhi kekurangan energi, karena sebuah pisang berukuran 15 cm

dengan berat 80 gram dapat menyumbang 90 kkal dan 28 g tepung beras menyumbang

102 kkal, Jika mengacu pada kebutuhan energi bayi lelaki 6 bulan dengan berat badan

7 kg dan panjang badan 66 cm, maka kebutuhan energi dari ASI dan MPASI per hari

sekitar 770 kkal, dengan perbandingan sekitar 200 kkal dipenuhi oleh MPASI dan

sisanya oleh ASI. Artinya, konsumsi 770-800 ml ASI ditambah 1 porsi tepung beras

@28 gram ditambah 1 buah pisang memenuhi kebutuhan energi bayi tersebut, tetapi

tidak untuk zat besi, protein, dan seng (Zn). Hal ini ditunjukkan oleh analisis berikut.

Sebuah pisang berukuran 15 cm dengan berat 81 g mengandung zat besi 0,3 mg

sedangkan 28 g tepung beras mengandung hanya 0,1 mg zat besi.17

13
Tahap kedua adalah makanan yang difortifikasi dalam upaya pemenuhan

kebutuhan zat gizi, diberikan bila konsumsi makanan sumber zat gizi tidak cukup atau

tidak memungkinkan. Di negara maju penggunaan MPASI fortifikasi buatan pabrik

merupakan alternatif untuk mengatasi risiko defisiensi zat gizi mikro.17

Gambar 1. Usulan fortifikasi MPASI per 100 g.17

Tahap ketiga untuk mengatasi defisiensi mikronutrien adalah pemberian suplemen

zat gizi dalam bentuk obat. Suplemen sebaiknya hanya diberikan bila terdapat gejala

klinis defisiensi mikronutrien atau defisiensi mikronutrien terbukti berdasarkan

14
pemeriksaan laboratorium karena pemberian suplementasi pada populasi yang tidak

membutuhkan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan, hal ini terbukti pada

program suplementasi besi rutin.17

3. Aman

Untuk menjamin kebersihan dan keamanan makanan yang dikonsumsi oleh

anak laksanakan beberapa hal sebagai berikut: biasakan mencuci tangan sebelum

makan, pergunakan alat-alat makan yang bersih dan steril, masaklah makanan dengan

benar, hindari mencampur makanan mentah dengan makanan yang sudah matang,

cucilah sayur dan buah sebelum dimakan, pergunakanlah sumber air bersih, dan

simpanlah makanan pada tempat yang aman.8

Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai keamanan pangan adalah nitrat pada

makanan bayi. Nitrat adalah konstituen alamiah beberapa tanaman tertentu, misalnya

wortel, bayam, dan bit. Makanan yang mengandung nitrat harus dihindari pada bayi

berusia kurang dari 3 bulan karena berisiko menyebabkan methemoglobinemia,

walaupun demikian memang pemberian MPASI tidak disarankan lebih dini dari usia 4

bulan.21

4. Pemberian MPASI dengan cara yang benar (responsive feeding)

Pada akhirnya akan terjadi proses penyapihan ASI menjadi makanan keluarga

yang mulus tanpa masalah. Sikap ibu/ pengasuh yang tanggap terhadap tanda ini

disebut responsive feeding. Responsive feeding menurut WHO mencakup :11

1. Pemberian makan langsung kepada bayi oleh pengasuh dan pendampingan untuk

anak yang lebih tua yang makan sendiri

15
2. Peka terhadap tanda lapar dan kenyang yang ditunjukkan bayi / batita

3. Berikan makanan secara perlahan dan sabar

4. Dorong anak untuk makan tanpa adanya paksaan

5. Mencoba berbagai kombinasi makanan, rasa, tekstur serta cara agar anak mau bila

anak menolak banyak macam makanan

6. Sesedikit mungkin distraktor selama makan bila anak mudah kehillangan perhatian

sewaktu makan

7. Waktu makan merupakan periode pembelajaran, pemberian kasih sayang termasuk

berbicara kepada anak disertai kontak mata.

3. MPASI Dini dalam Pencegahan Stunting

A. Definisi

MPASI dini yaitu pemberian makanan pendamping ASI sejak umur 4 bulan.

American Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan agar bayi diberikan ASI

secara eksklusif untuk beberapa bulan kehidupan dan harus berlanjut sampai tahun

pertama kehidupan bayi. Komite AAP merekomendasikan agar bayi mulai

mengonsumsi makanan selain ASI atau susu formula setelah usia 4 bulan. Makanan

awal harus termasuk sumber zat besi, baik fortifikasi sereal bayi atau daging, tetapi

makanan yang tinggi lemak atau gula (misalnya minuman yang dimaniskan dengan

gula) tidak boleh diberikan kepada anak, dan juga makanan padat tidak boleh diberikan

sebelum usia 4 bulan. Beberapa faktor dari MPASI yang memengaruhi status gizi bayi,

16
seperti kualitas, kuantitas, higiene, dan jadwal/waktu pemberian MPASI. Apabila

faktor tersebut baik, maka status gizi bayi akan baik. 23

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi

menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses

penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari

sisi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah

kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 melaporkan bahwa 54%

kematian balita di seluruh dunia disebabkan secara langsung maupun tidak langsung

oleh gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini belum banyak berubah pada data WHO

tahun 2011, yang melaporkan bahwa 45% kematian balita di seluruh dunia terkait

dengan malnutrisi. Selanjutnya, data-data WHO memperlihatkan bahwa penurunan

berat badan mulai terjadi pada usia 4-6 bulan yang dikenal sebagai periode penyapihan.

Hal ini juga diperkuat dengan temuan bahwa dua per tiga balita yang meninggal

tersebut mempunyai pola makan bayi yang salah antara lain tidak mendapatkan air susu

ibu (ASI) eksklusif serta mendapat makanan pendamping ASI (MPASI) yang terlalu

dini atau terlambat disertai komposisi zat gizi yang tidak lengkap, tidak seimbang dan

tidak higienis.17

17
B. Waktu Memulai MPASI Dini

Makanan Pendamping ASI mulai diberikan pada usia 6 bulan, namun bila ASI

tidak mencukupi maka MPASI dapat diberikan paling dini pada usia 4 bulan (17

minggu) dengan menilai kesiapan oromotor seorang bayi untuk menerima makanan

padat. Makanan Pendamping ASI tidak boleh diberikan lebih lambat dari usia 6 bulan

(27 minggu) karena setelah usia 6 bulan ASI eksklusif sudah tidak dapat mencukupi

kebutuhan nutrisi bayi. Makanan Pendamping ASI secara kualitas dan kuantitas harus

memenuhi kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi sesuai usia. Penyiapan,

penyajian, dan pemberian MPASI harus dilakukan dengan cara higienis.17 Tujuan

pemberian MPASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan

bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus, dengan

demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan

nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI.16

C. Penilaian Kesiapan Memulai MPASI Dini

Sebelum memulai pemberian MPASI, harus menilai kesiapan bayi untuk

menerima MPASI berdasarkan perkembangan oromotor, yaitu sudah dapat duduk

dengan kepala tegak, bisa mengkoordinasikan mata, tangan dan mulut untuk menerima

makanan, dan mampu menelan makanan padat. Secara alamiah, kemampuan ini

dicapai pada usia 4-6 bulan.18 European Society for Pediatric Gastrohepatology and

Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan bahwa MPASI boleh diperkenalkan antara

usia 17 minggu – 26 minggu, tetapi tidak lebih lambat dari 27 minggu.19

18
Usia 6-9 bulan adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat secara

bertahap sebagai stimulasi keterampilan oromotor. Jika pada usia di atas 9 bulan belum

pernah dikenalkan makanan padat, maka kemungkinan untuk mengalami masalah

makan di usia batita meningkat.20 Oleh karena itu konsistensi makanan yang diberikan

sebaiknya ditingkatkan seiring bertambahnya usia. Mula-mula diberikan makanan

padat berupa bubur halus pada usia 6 bulan. Makanan keluarga dengan tekstur yang

lebih lunak (modified family food) dapat diperkenalkan sebelum usia 12 bulan. Pada

usia 12 bulan anak dapat diberikan makanan yang sama dengan makanan yang dimakan

anggota keluarga lain (family food).19

Bayi akan menunjukkan tanda lapar dan kenyang dengan bahasa tubuhnya

(feeding cue). Jika ibu memperhatikan feeding cue dari bayinya dan memberikan ASI

sesuai dengan tanda-tanda tersebut maka akan tercipta suatu jadwal makan yang paling

sesuai untuk bayi tersebut yang berbeda dengan bayi lain.17 Hal ini memudahkan jika

sampai saatnya memberikan MPASI, maka jadwal MPASI tersebut menggantikan

beberapa jadwal ASI sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih. Mengingat kapasitas

lambung bayi masih relatif kecil maka frekuensi pemberian MPASI ditingkatkan

secara bertahap. Peningkatan ini sekaligus untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat

gizi lainnya yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia anak. Pada

usia 6-8 bulan diberikan 2-3 kali per hari, ditingkatkan menjadi 3-4 kali per hari pada

usia 9-24 bulan. Di antara waktu makan apabila diperlukan bisa diberikan tambahan

makanan selingan 1-2 kali sesuai dengan kemampuan si anak.8

19
Tabel. 2.1 Jumlah pemberian MPASI pada bayi dan balita17

Umur Energi dari MPASI per Makanan utama Makanan selingan


hari (snacks)
6-8 bulan 200 kkal (30%) 2-3 X 1-2 X
9-11 bulan 350 kkal (50%) 3-4 X 1-2 X
12-24 bulan 550 kkal (70%) 3-4 X 1-2 X

Tabel. 2.2 Contoh jadwal makan pada bayi dan balita17

Jadwal Usia
6-8 bulan 9-11 bulan 12-23 bulan
06.00 ASI ASI ASI
08.00 Makan Pagi Makan Pagi Makan Pagi
10.00 ASI/Makanan ASI/Makanan Makanan Selingan
Selingan Selingan
12.00 Makan Siang Makan Siang Makan Siang
14.00 ASI ASI
16.00 Makanan Selingan Makanan Selingan Makanan Selingan
18.00 Makan Malam Makan Malam Makan Malam
20.00 ASI ASI ASI
24.00 ASI* ASI* ASI*
03.00 ASI* ASI* ASI*
* Bila bayi/anak masih menghendaki

Keterangan :

Umur 6-8 bulan : MPASI berupa makanan saring atau lumat

Umur 9-11 bulan : MPASI berupa makanan kasar/makanan keluarga yang

dimodifikasi

Umur 12-23 bulan : MPASI berupa makanan keluarga

Makanan selingan dapat berupa buah atau lainnya. Anak yang tidak mendapat ASI atau

ASI donor diberikan susu formula bayi (0-12 bulan) atau susu formula pertumbuhan

(1-3 tahun).

20
Pengenalan makanan padat, semi padat atau makanan lunak efektif dalam

pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak. Pengenalan makanan yang

tidak tepat berhubungan dengan anak yang tidak sehat dan berefek pada kehidupannya,

salah satunya ialah stunting. Kejadian stunting berhubungan dengan banyak faktor

yaitu keterlambatannya pemberian ASI, kekurangan kolostrum, keterlambatan

pengenalan pemberian MPASI, jenis kelamin perempuan, bayi berat lahir rendah,

kurangnya kunjungan antenatal pada saat kehamilan, status sosial ekonomi yang

rendah, rendahnya pendidikan ibu, kurangnya air minum dan higienitas yang buruk.

Berdasarkan penelitian di India bahwa ada hubungan keterlambatan pemberian MPASI

terhadap kejadian stunting di India.24

Makanan merupakan salah satu hal yang diperlukan manusia untuk bertahan

hidup. Ketahanan makanan mengacu pada kemampuan individu atau kelompok dalam

pemenuhan akses makanan yang cukup baik dari segi ekonomi maupun fisik, aman,

dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan agar dapat hidup dengan sehat dan baik.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengalami kerawanan

makanan lebih cenderung memiliki balita dengan keadaan stunting.25 Penyakit pada

anak tetap menjadi masalah yang berpengaruh terhadap status gizi di Indonesia.

Asupan energi dan zat gizi yang tidak memadai, serta penyakit infeksi merupakan

faktor yang sangat berperan terhadap masalah stunting. Stunting merupakan masalah

kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup

lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting

terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua

21
tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak,

menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat

dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan

kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.26

22
BAB III

KESIMPULAN

Anak sebaiknya diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan karena usia

tersebut tidak ada makanan lain sebaik ASI namun jika kondisi tertentu, seperti

produksi ASI tidak mencukupi kebutuhan nutrisi pada anak atau alasan medis yang

lain, maka pada usia 4 bulan sudah bisa diberikan MPASI (Makanan Pendamping ASI).

Menginjak 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi lagi

kebutuhan gizi yang terus berkembang, sehingga anak perlu diberikan MPASI. Anak

dilahirkan dengan kemampuan refleks makan, seperti menghisap, menelan dan

akhirnya mengunyah. Pemberian MPASI harus disesuaikan dengan perkembangan

sistem alat pencernaan, mulai dari makanan bertekstur cair, kental, semi padat hingga

akhirnya makanan padat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Cegah stunting itu penting.


Jakarta: Warta KESMAS; 2018.

2. Nutrition Landscape Information Syistem (NLIS) Country Profile Indicators.


In: Interpretation Guide. Geneva, Switzerland: Department of Nutrition for
Health and Development World Health Organization; 2012.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.

4. Direktorat Gizi Masyarakat. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan Indikator
Kinerja Gizi Tahun 2015. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,
Kementerian Kesehatan RI. 2015.

5. Olofin I, McDonald CM, Ezzati M, Flaxman S, Black RE, Fawzi WW, et al.
Associations of Suboptimal Growth with All-Cause and Cause-Specific
Mortality in Children under Five Years: A Pooled Analysis of Ten Prospective
Studies. PLoS One. 2013;8(5).

6. Balitbangkes. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Aceh. Pertama.


Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian
Kesehatan RI; 2013.

7. Al Rahmad AH. Malnutrisi pada Balita Pedesaan dengan Perkotaan


berdasarkan Karakteristik Keluarga: Data PSG 2015. Idea Nurs J.
2016;7(3):43–52.

8. World Health Organization. Global strategy for infant and young child feeding.
Report. 2003.

9. Frongillo EA, Nguyen PH, Saha KK, Sanghvi T, Afsana K, Haque R, et al.
Large-Scale Behavior-Change Initiative for Infant and Young Child Feeding
Advanced Language and Motor Development in a Cluster-Randomized
Program Evaluation in Bangladesh. J Nutr. 2017;147(2):256–63.

10. Black, C. G. Victora, S. P. Walker, Z. A. Bhutta, P. Christian, and others. 2013.


“Maternal and Child Undernutrition and Overweight in Low-Income and
Middle-Income Countries.” The Lancet 382 (9890): 427–51.

24
11. Galetti V, Mitchikpe CES, Kujinga P, Tossou F, Hounhouigan DJ,
Zimmermann MB, et al. Rural Beninese Children Are at Risk of Zinc
Deficiency According to Stunting Prevalence and Plasma Zinc Concentration
but Not Dietary Zinc Intakes. J Nutr [Internet]. 2016;146(1):114–23.

12. Mitra. Permasalahan anak pendek (stunting) dan intervensi untuk mencegah
terjadinya stunting. Jurnal Kesehatan Komunitas. 2015; 2(6): 254-261.

13. Kementerian Kesehatan RI. Situasi balita pendek (stunting) di Indonesia.


Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI; 2018.

14. Sutarto, Diana M, dan Reni I. Stunting, faktor resiko dan pencegahannya. J
Agromedicine. 2018; 5(1): 540-545.

15. Utami, Karina Dewi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MP-
ASI dini pada bayi kurang dari 6 Bulan di desa Sutopati. Ciputat: FKIK UIN;
2011.

16. World Health Organization. Indicators for assessing infant and young child
feeding practices Part 1 Definitions. In: Dept. of Child and Adolescent Health
and Development. Washington DC: World Health Organization; 2007.

17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi praktik pemberian makan


berbasis bukti pada bayi dan batita di Indonesia untuk mencegah malnutrisi.
Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Nutri dan Penyakit Metabolik IDAI; 2015.

18. World Health Organization – Pan American Health Organization. Guiding


Principles for Complementary Feeding of the Breastfed Child. Geneva; WHO-
PAHO; 2003.

19. Agostoni C, Decsi T, Fewtrell M, Goulet O, Kolacek S, Koletzko B, dkk.


Complementary feeding: a commentary by the ESPGHAN Committee on
Nutrition. J Ped Gastroenterol Nutr. 2008;46:99–110.

20. Northstone K, Emmett P, Nethersole F, and the ALSPAC Study Team. The
effect of age of introduction to lumpy solids on foods eaten and reported feeding
difficulties at 6 and 15 months. J Hum Nutr Diet. 2008; 14:43-54.

25
21. Greer FR, Shannon M. Infant Methemoglobinemia: The role of dietary nitrate
in food and water. Pediatrics 2005;116;784.

22. Laurence M, Grummer S, Kelley SS, Sara BF. Instant feeding and feeding
transitions during the first year of life. Pediatrics. 2019; 122:36-42.

23. Mansi VD, Felix AO, Uchechukwu LO, Zino U, and Kingsley EA. Stunting
and severe stunting among infants in India: the role of delayed introduction of
complementary food and community and household factors. Global Health
Action. 2019; 12: 1-10.

24. Safitri CA, Nindya TS. Hubungan ketahanan pangan dan penyakit diare dengan
stunting pada balita 13-48 bulan di Kelurahan Manyar Sabrangan, Surabaya.J
Amerta Nutr. 2017; 1(2): 52– 61.

25. Sari EM, Juffrie M, Nurani N, Sitaresmi MN. Asupan protein, kalsium dan
fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan.J Gizi Klin
Indones. 2016; 12(4): 152–159.

26

Anda mungkin juga menyukai