PENDAHULUAN
2.2 Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang tergolong
kedalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus. HIV-1 dan HIV -2 memiliki
struktur yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen
vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai gen vpx.5
2.2.1 Struktur HIV
HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom RNA
diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen
kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari- minggu sebelum terjadi serokonversi
sintesis antibody terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid,
sehingga membentuk struktur nukleokapsid. Antigen P17 merupakan bagian dalam
sampul HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas
molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini
yang mengikat reseptor sel CD4 pada sel T dan makrofag.6
Gambar: Struktur virus HIV
a. Fase Pertama
Dimulai dari melekatnya HIV pada sel host melalui interaksi antara molekul gp120
dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) (imunologi dasar).
Kemudian diikuti dengan fusi membrane sel HIV dengan membrane sel host. Di
dalam sel host terjadilah transkripsi DNA HIV dari RNA HIV oleh enzim RT. DNA
HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan DNA sel host dengan bantuan
enzim integrase. DNA yang terintegrasi disebut provirus.6
b. Fase Kedua
Transkrip DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan mRNA
kemudian ditransport kedalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi protein virus
dengan bantuan enzim protease. Genom RNA dan protein yang terbentuk di rakit
pada permukaan membrane sel host. Terjadilah partikel HIV melalui proses budding
dengan membrane sel host sebagai bagian lipid sampul HIV. 6
2-3minggu 2-3minggu
Infeksi virus sindrom retro viral akut gejala menghilang
+
Serokonversi
5-10tahun
Infeksi kronis HIV/AIDS simtomatik Infeksi kronis HIV asimtomatik
Rata-rata 1,3 tahun Kematian
Kematian
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.
Suntikan intravena
narkoba.
Penularan darah dapat terjadi jika pada pasien yang menerima transfusi darah
dan penderita HIV. Namun demikian resiko yang berkaitan dengan transfusi
kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang
secara sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat faktor pembekuan,
pemanasan, dan cara-cara inaktivasi virus yang semakin efektif.
c. Transmisi melalui mukosa genital.
Kontak seksual
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk faktor risiko pajanan HIV , pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata
laksana selanjutnya.
Tabel 3: Daftar tilik riwayat pasien
Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.7
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan
mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak
mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan
diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan
medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal
sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS.
Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang
semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro
globulin dan juga peningkatan I9A.
Perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala
kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber,
gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase
ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas
merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar
5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi
virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan
kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah
hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini
sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya
kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih
lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga
yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang
lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah
dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes
simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB
atau komplikasi
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
(AIDS Relative Complex)
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa
Bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-
sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian
kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak.
Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat
sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian
kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
2.6.2 Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.10
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)
harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).10
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil
tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular
mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat
bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak
> 18 bulan. 2
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan
secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari
pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi.
Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan
penyaring dengan menggunakan strategi 3. 2
Bila hasil tes tidak sama misal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
yang ketiga non- reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-
reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut
memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. 2
2.7 Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. 2
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 11
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV) 2
Obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni :
Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) : Abacavir (ABC)
Didanosine (ddI) Emtricitabine (FTC) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T)
Zidovudine (AZT)
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) : Efavirenz (EFV),
Etravirine (ETV), Nevirapine (NVP)
Protease inhibitors (PI): Atazanavir (ATV), Ritonavir (RTV), Lopinavir
(LPV), Darunavir (DRV)
Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama : 10
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 (Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4,
maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.)
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi : 10
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
3. koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
2.8 Komplikasi
DIARE KRONIK
Penyebab infeksi diare pada AIDS sangat luas. Di seluruh dunia, penyebab
paling umum dari diare pada pasien yang terinfeksi HIV adalah bakteri enterik
termasuk Shigella flexneri, Salmonella enteritidis, dan Campylobacter jejuni.
Berbeda dengan host normal, bakteri ini telah diidentifikasi dalam tinja dari
pasien dengan diare kronis. Clostridium difficile adalah patogen umum yang
biasanya dilaporkan di negara-negara maju, sedangkan TBC adalah komplikasi
umum dari AIDS di negara-negara berkembang. Cryptosporidia adalah yang
paling sering diidentifikasi sebagai parasit penyebab diare
seluruh dunia. Virus Cytomegalo (CMV), cryptosporidiosis, microsporidia dan
Mycobacterium avium complex (MAC) menjadi patogen penting penyebab infeksi
oportunistik klasik gastrointestinal pada AIDS ketika imunodefisiensi lanjut.
Neoplasma terkait AIDS seperti sarkoma Kaposi atau limfoma dan jamur jarang
menyebabkan diare. Sebagaimana disebutkan di atas, obat-obatan, biasanya
protease inhibitor, baru-baru ini menjadi penyebab penting dari diare.12
Enteric pathogens in AIDS 8
Viruses Bacteria and Parasites Fungi
Cytomegalovirus mycobacteria Giardia lamblia Histoplasma
Astrovirus Salmonella Entamoeba histolytica Candida
Picornavirus Shigella Microsporidia albicans
Coronavirus Campylobacter Enterocytozoon bieneusi
Rotavirus Clostridium difficile Encephalocytozoon
Herpesvirus Treponema intestinalis
Adenovirus pallidum Cyclospora
Small round virus HIV Spirochaetes Cryptosporidium
Neisseria Isospora belli
gonorrheae Blastocystis hominis?
Vibrio cholerae
Pseudomonas ?
Staphylococcus
aureus
Mycobacterium
avium-complex
Mycobacterium
tuberculosis
2.8.2 Hepatitis B
Walaupun HBV hanya menjadi kronis pada kurang dari 10 persen orang
dewasa tanpa HIV, angka ini menjadi hampir 25 persen untuk orang yang juga
terinfeksi HIV. Dengan kata lain, Odha lebih mudah menjadi hepatitis B kronis bila
terinfeksi HBV dibandingkan dengan orang HIV-negatif dengan sistem kekebalan
tubuh yang kuat. Beberapa laporan juga memberi kesan bahwa, dengan berlanjutnya
infeksi HIV maka, reaksi kekebalan terhadap HBV semakin berkurang bahkan dapat
menghilang. Hal ini dapat menyebabkan virus hepatitis B menjadi aktif kembali
setelah masa tidak aktif, dan hal ini dapat meningkatkan resiko kerusakan hati.13
Semua Odha sebaiknya diskrining untuk infeksi HBV, pada awal dengan
antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Bila HBsAg terdeteksi, keberadaan replikasi
HBV secara aktif harus dinilai melalui tes kuantitatif untuk DNA HBV (viral load).
Tingkat DNA HBV berhubungan dengan risiko penularan, penyakit hati lanjutan dan
peradangan pemulihan kekebalan (flare hati). DNA HBV dapat dihitung oleh tes
nonamplification (biasanya hybridisation) atau tes amplification (PCR atau branched
DNA (bDNA)). Penting juga menentukan status antigen e HBV (HBeAg) karena
tingkat DNA yang bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status
HBeAg. Anjuran saat ini mengusulkan bahwa, pada pasien HBeAg-positif, viral load
>105 copy/mL bermakna secara klinis sementara pada pasien HBeAg-negatif, viral
load >104 dianggap bermakna.14
Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai
munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan
tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual,
nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit
dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik
lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti
Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak
dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala
toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat
distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan hepatic
flare.15
DAFTAR PUSTAKA
; 2008
5. Parwati Merati Tuti, Djauzi Samsuridjal, Penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
9. Rodzi R. Referat HIV AIDS. (Cited on : 2015 Jul 30). Available from :
https://www.scribd.com/doc/140831876/Referat-Hiv-Aids