Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV).1 Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang
ilmuan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang
penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Lymphadenophaty Associated Virus (LAV).2
HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak
hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anak-
anak.
Menurut UNAIDS di tahun 2014, 19 juta dari 35 juta manusia penderita HIV
di dunia hidup tanpa mengetahui bahwa mereka berstatus HIV positif, dengan kasus
baru sebanyak 2,1 juta, dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV.
Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 16 juta, usia produktif 31,8 juta
( 15-24 th) dan anak-anak 3,2 juta. Asia dan Pasifik sendiri menyumbang sekitar 4.8
juta manusia dengan HIV, dengan kasus baru sebanyak 350.000. HIV dan AIDS
menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. 3
Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertumbuhan
epidemi tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia dan pada
tahun 2013 menempati urutan ke 3 se-Asia dan Pasifik, namun karena pemahaman
dari gejala penyakit dan stigmata sosial masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa
dan dilakukan pengobatan.3
Depkes pada tahun 2006 memperkirakan terdapat 169.000 ± 216.000 ODHA
di Indonesia dengan rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30 Juni 2007
adalah 4,27 per 100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah
penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa) .4
Upaya penanggulangan HIV/AIDS pada sebelumnya lebih diprioritaskan
upaya pencegahan. Namun semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS,
maka strategi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya
pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam
memberikan kontribusi 3 by 5 initiative global yang direncanakan oleh WHO di
UNAIDS, Indonesia secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada
tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila
berat dapat menimbulkan kematian pada ODHA. Pada akhirnya, diharapkan kualitas
hidup ODHA akan meningkat.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang


menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae.2 AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan
patogen yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki
penanda CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T. 1

2.2 Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang tergolong
kedalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus. HIV-1 dan HIV -2 memiliki
struktur yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen
vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai gen vpx.5
2.2.1 Struktur HIV
HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom RNA
diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen
kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari- minggu sebelum terjadi serokonversi
sintesis antibody terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid,
sehingga membentuk struktur nukleokapsid. Antigen P17 merupakan bagian dalam
sampul HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas
molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini
yang mengikat reseptor sel CD4 pada sel T dan makrofag.6
Gambar: Struktur virus HIV

2.2.2 Siklus hidup


Siklus hidup dibagi menjadi 2 fase :

a. Fase Pertama


Dimulai dari melekatnya HIV pada sel host melalui interaksi antara molekul gp120
dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) (imunologi dasar).
Kemudian diikuti dengan fusi membrane sel HIV dengan membrane sel host. Di
dalam sel host terjadilah transkripsi DNA HIV dari RNA HIV oleh enzim RT. DNA
HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan DNA sel host dengan bantuan
enzim integrase. DNA yang terintegrasi disebut provirus.6

b. Fase Kedua


Transkrip DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan mRNA
kemudian ditransport kedalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi protein virus
dengan bantuan enzim protease. Genom RNA dan protein yang terbentuk di rakit
pada permukaan membrane sel host. Terjadilah partikel HIV melalui proses budding
dengan membrane sel host sebagai bagian lipid sampul HIV. 6

Gambar 2 : Daur hidup HIV

2.3 Perjalanan Klinis HIV


5,8
1. Fase infeksi akut


Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus bertindak sebagai antigen


precenting cell (APC) menangkap virus yang kemudian bermigrasi ke kelenjar
limfoid dan mempresentasikannya ke sel limfosit CD4 sehingga merangsangnya. Sel
dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV,
sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.
dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T
helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap
antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi
virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama.
2. Fase Laten Klinis (clinical laten period) 5,8
Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV
dan destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba
oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus
rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi penghancuran
sel T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya dalam sirkulasi terus
berkurang.
3. Fase Kronik Progresif 5,8
Fase ini rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi tersebut
akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV
berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS yaitu dimana terjadi destruksi
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS mudah mendapat
infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

2-3minggu 2-3minggu
Infeksi virus sindrom retro viral akut gejala menghilang
+
Serokonversi
5-10tahun
Infeksi kronis HIV/AIDS simtomatik Infeksi kronis HIV asimtomatik
Rata-rata 1,3 tahun Kematian

Kematian

Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam :


1. Transmisi virus
2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)
3. Serokonversi
4. Infeksi kronik asimtomatik
5. Infeksi kronik simtomatik
6. AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 < 200/mm3)
7. Infeksi HIV lanjut ditandai oleh jumlah CD4<50/mm3
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 2
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini
akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. 2
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.2
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.2
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit
CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.2
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif. 2
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,
HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.

2.5 Cara Penularan


Cara penularan HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama9 :
a. Transmisi vertikal dari ibu ke janin
 Transmisi terjadi melalui plasenta (intrauterine) atau intrapartum
Pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genetalia yang
mengandung HIV. Transmisi ini terjadi pada 20-50% kasus. Resiko tertular
HIV melalui ASI adalah 11-29%. Penularan dapat terjadi pada trimester
ketiga, tetapi pemajanan selama persalinan dan kelahiran merupakan faktor
utama yang membedakan antara persalinan pervaginan dan operasi sesar.
b. Transmisi langsung ke peredaran darah melalui transfusi atau jarum suntik

 Suntikan intravena


Penularan infeksi melalui suntikan intra vena disebabkan karena terjadinya


kontak langsung darah dengan jarum dan spuit yang terkontaminasi. Meski
jumlah darah dalam spuit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama alat
peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan
resiko penularan. Penularan cara ini banyak dialami oleh para pengguna

narkoba. 


 Darah dan produk darah


Penularan darah dapat terjadi jika pada pasien yang menerima transfusi darah
dan penderita HIV. Namun demikian resiko yang berkaitan dengan transfusi
kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang
secara sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat faktor pembekuan,
pemanasan, dan cara-cara inaktivasi virus yang semakin efektif.
c. Transmisi melalui mukosa genital.

 Kontak seksual 


Penularan melalui hubungan heteroseksual ataupun homoseksual adalah cara


paling dominan dari semua cara penularan. Pada hubungan heteroseksual atau
homoseksual berarti terjadi kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal,
ataupun oral antara dua individu. Kontak ini akan meningkatkan kemungkinan
trauma pada mukosa rektum ataupun vagina dan selanjutnya memperbesar
peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret tubuh. Peningkatan frekuensi
berhubungan dengan pasangan bergantian juga turut menyebarkan penyakit
ini. Tingkatan resiko penularan HIV juga tergantung dari jumlah virus yang
keluar dan masuk kedalam pintu masuk tubuh seseorang9.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk faktor risiko pajanan HIV , pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata
laksana selanjutnya.
Tabel 3: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007


Stadium

Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.7
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan
mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak
mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan
diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan
medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal
sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS.
Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang
semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro
globulin dan juga peningkatan I9A.
Perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala
kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber,
gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase
ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas
merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar
5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi
virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan
kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah
hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini
sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya
kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih
lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga
yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang
lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah
dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes
simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB
atau komplikasi
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
(AIDS Relative Complex)
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa
Bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-
sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian
kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak.
Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat
sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian
kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
2.6.2 Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.10
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)
harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).10
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil
tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular
mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat
bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak
> 18 bulan. 2
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan
secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari
pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi.
Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan
penyaring dengan menggunakan strategi 3. 2
Bila hasil tes tidak sama misal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
yang ketiga non- reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-
reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut
memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. 2
2.7 Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. 2
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 11
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV) 2
Obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni :
 Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) : Abacavir (ABC)
Didanosine (ddI) Emtricitabine (FTC) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T)
Zidovudine (AZT)
 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) : Efavirenz (EFV),
Etravirine (ETV), Nevirapine (NVP)
 Protease inhibitors (PI): Atazanavir (ATV), Ritonavir (RTV), Lopinavir
(LPV), Darunavir (DRV)
Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama : 10

Saat Memulai Terapi ARV : 2


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 (Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4,
maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.)
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi : 10

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
3. koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Panduan obat ARV yang tidak dianjurkan : 10


Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis : 10

Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) - Sindrom Pulih Imun


(SPI) 10

Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) atau Sindrom Pulih


Imun (SPI) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi
berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral.
Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun
non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa inflamasi dari
penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya
manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons
imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.10
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan
respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen
tertentu setelah pemberian ARV. Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan
berdasarkan meta analisis adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap
tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi
oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain.10
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom
pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal. Jenis
unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi
untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis
paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya.
Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya
tersebut. 10
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada
waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non
infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus
untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut : 10
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
 Mendapat terapi ARV
 Penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)

2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
 Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah
berhasil disembuhkan
 Efek samping obat atau toksisitas
 Kegagalan terapi
 Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat
memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,
banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis infeksi
oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik
dan memulai terapi ARV.
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian
kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari prednisolon.10

2.8 Komplikasi

2.8.1 Diare Kronis

DIARE KRONIK
Penyebab infeksi diare pada AIDS sangat luas. Di seluruh dunia, penyebab
paling umum dari diare pada pasien yang terinfeksi HIV adalah bakteri enterik
termasuk Shigella flexneri, Salmonella enteritidis, dan Campylobacter jejuni.
Berbeda dengan host normal, bakteri ini telah diidentifikasi dalam tinja dari
pasien dengan diare kronis. Clostridium difficile adalah patogen umum yang
biasanya dilaporkan di negara-negara maju, sedangkan TBC adalah komplikasi
umum dari AIDS di negara-negara berkembang. Cryptosporidia adalah yang
paling sering diidentifikasi sebagai parasit penyebab diare
seluruh dunia. Virus Cytomegalo (CMV), cryptosporidiosis, microsporidia dan
Mycobacterium avium complex (MAC) menjadi patogen penting penyebab infeksi
oportunistik klasik gastrointestinal pada AIDS ketika imunodefisiensi lanjut.
Neoplasma terkait AIDS seperti sarkoma Kaposi atau limfoma dan jamur jarang
menyebabkan diare. Sebagaimana disebutkan di atas, obat-obatan, biasanya
protease inhibitor, baru-baru ini menjadi penyebab penting dari diare.12
Enteric pathogens in AIDS 8
Viruses Bacteria and Parasites Fungi
Cytomegalovirus mycobacteria Giardia lamblia Histoplasma
Astrovirus Salmonella Entamoeba histolytica Candida
Picornavirus Shigella Microsporidia albicans
Coronavirus Campylobacter Enterocytozoon bieneusi
Rotavirus Clostridium difficile Encephalocytozoon
Herpesvirus Treponema intestinalis
Adenovirus pallidum Cyclospora
Small round virus HIV Spirochaetes Cryptosporidium
Neisseria Isospora belli
gonorrheae Blastocystis hominis?
Vibrio cholerae
Pseudomonas ?
Staphylococcus
aureus
Mycobacterium
avium-complex
Mycobacterium
tuberculosis

2.8.2 Hepatitis B

Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV/Hepatitis B Virus). HBV


adalah virus nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak menyebabkan kerusakan
langsung pada sel hati. Sebaliknya, adalah reaksi yang bersifat menyerang oleh sistem
kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan radang dan kerusakan pada hati. Pada
orang dewasa, kemungkinan menjadi HBV kronis tergantung pada sistem kekebalan
tubuhnya.13

Walaupun HBV hanya menjadi kronis pada kurang dari 10 persen orang
dewasa tanpa HIV, angka ini menjadi hampir 25 persen untuk orang yang juga
terinfeksi HIV. Dengan kata lain, Odha lebih mudah menjadi hepatitis B kronis bila
terinfeksi HBV dibandingkan dengan orang HIV-negatif dengan sistem kekebalan
tubuh yang kuat. Beberapa laporan juga memberi kesan bahwa, dengan berlanjutnya
infeksi HIV maka, reaksi kekebalan terhadap HBV semakin berkurang bahkan dapat
menghilang. Hal ini dapat menyebabkan virus hepatitis B menjadi aktif kembali
setelah masa tidak aktif, dan hal ini dapat meningkatkan resiko kerusakan hati.13
Semua Odha sebaiknya diskrining untuk infeksi HBV, pada awal dengan
antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Bila HBsAg terdeteksi, keberadaan replikasi
HBV secara aktif harus dinilai melalui tes kuantitatif untuk DNA HBV (viral load).
Tingkat DNA HBV berhubungan dengan risiko penularan, penyakit hati lanjutan dan
peradangan pemulihan kekebalan (flare hati). DNA HBV dapat dihitung oleh tes
nonamplification (biasanya hybridisation) atau tes amplification (PCR atau branched
DNA (bDNA)). Penting juga menentukan status antigen e HBV (HBeAg) karena
tingkat DNA yang bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status
HBeAg. Anjuran saat ini mengusulkan bahwa, pada pasien HBeAg-positif, viral load
>105 copy/mL bermakna secara klinis sementara pada pasien HBeAg-negatif, viral
load >104 dianggap bermakna.14
Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai
munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan
tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual,
nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit
dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik
lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti
Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak
dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala
toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat
distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan hepatic
flare.15
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Matondang Corry, Penyunting. Buku ajar Alergi-imunologi anak. Jakarta:


BPIDAI; 1996;274-286.
2. Djoerban Z, Samsuridjal D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam, AF, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
3. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2014:
epidemiology graphs and charts. Geneva. 2014.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Infeksi
HIV dan Terapi Anti retroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta : DEPKES RI

; 2008 


5. Parwati Merati Tuti, Djauzi Samsuridjal, Penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Indonesi; 2006. h. 272-6. 


6. Garna Baratawidjaja Karnen. Imunologi dasar. Edisi ke-7. Jakarta. Balai

Penerbit FKUI; 2006. 


7. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit/ Sylvia Anderson Price,


Lorraine McCarty Wilso; editor edisi bahasa Indonesia: Huriawati Hartanto

dkk- ed.6-Jakarta: EGC, 2005;224-46. 


8. Judarwanto Widodo. 2009. FIGHT AGAINTS AIDS, SAVE INDONESIAN


CHILDRENS . Diakses dari http://childrenhivaids.wordpress.com

9. Rodzi R. Referat HIV AIDS. (Cited on : 2015 Jul 30). Available from : 


https://www.scribd.com/doc/140831876/Referat-Hiv-Aids 


10. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi


HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa”, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2011
11. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2007
12. Wilcox, Mel. C, ‘Etiology and evaluation of diarrhea in AIDS: a global
perspective at the millennium’, dalam World Journal of Gastroenterology
Press; 2000.
13. Green, C. W. ‘Hepatitis Virus dan HIV terjemahan Viral Hepatitis and HIV
oleh Tim Horn dan James Learned’, New York: AIDS Community Research
Initiative of America; 2005.
14. Sasadeusz, J. ‘Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis B’, dalam
Koinfeksi HIV & Hepatitis Virus pedoman untuk penatalaksanaan klinis,
Australia: Australian Society for HIV Medicine; 2006.
15. Guidlines.’Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada orang Dewasa’, Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; 2011.

Anda mungkin juga menyukai