Anda di halaman 1dari 3

Fotarisman Zaluchu: Belajar dari Alam

Ingat lagunya Ebiet G Ade yang salah satu liriknya berakhiran dengan
kalimat: coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang? Lagu tersebut
cukup membangkitkan kembali pemikiran ke arah pembelajaran yang
sesungguhnya, yaitu bahwa dunia (baca : alam) ini adalah tempat kita belajar,
sekaligus mencoba mengajukan argumentasi bahwa alam barangkali adalah
jawaban terakhir dari kebingungan manusia menjalani kehidupannya yang
semakin rumit. Ringkasnya, kita harus belajar dari alam untuk menjadi
manusia yang sesungguhnya.

Dalam buku Environment and Society, dikutip satu syair dari suku Indian di
Pasific Northwest, yang terjemahannya kira-kira sebagai berikut :

"Engkau harus mengajarkan anak-anakmu bahwa tanah yang dipijak oleh


kakiknya adalah debu dari nenek-moyangnya, dngan demikian mereka akan
menghargai tanah itu. Katakan pada mereka bahwa bumi ini diperkaya oleh
hidupnya keluarga kita. Ajarkan pada mereka bahwa bumi ini adalah ibu kita.
Apa yang menimpa bumi, menimpa pada anak-anaknya bumi itu. Bahkan
jika kita meludahi tanah itu, kita meludahi diri kita sendiri.

Ini yang kami ketahui : bumi bukanlah milik manusia; manusialah milik
bumi. Ini yang kami ketahui : segala sesuatu berhubungan seperti darah yang
menyatukan satu keluarga. Segala sesuatu berhubungan adanya….

Apa yang terjadi pada bumi, terjadi pada anak-anak bumi ini. Manusia tidak
dapat menenun jaring-jaring kehidupan ini; manusia hanyalah salah satu
untaiannya. Apa yang terjadi dilakukannya pada jaring itu, dia melakukannya
pada dirinya"

Syair lagu Ebiet dan ungkapan-ungkapan dari suku Indian di atas, adalah
kenyataan yang perlu kita renungkan kembali dalam hubungan dengan
kehidupan sebagai manusia pembelajar. Menjadi manusia yang berubah
dalam kualitas kemanusiannya adalah manusia yang mampu melihat bahwa
alam juga adalah "dunia" dimana dirinya dapat mempelajari banyak arti
kehidupan.

Apa yang diajarkan oleh alam pada kita? Pertama: Harmonisasi kehidupan.
Di alam, kita belajar bahwa dengan keanekaragaman yang begitu banyak dari
spesies yang ada-bervariasi dari 2 juta sampai 100 juta spesies-kita melihat
suatu keharmonisan kehidupan. Kita dapat melihat bagaimana alam
menyimpan variasi makhluk hidup (dari jumlah, jenis, ukuran, dan
keragaman kehidupan), dalam satu "atap" yang disebut alam semesta.
Harmonisasi demikian begitu luar biasanya sehingga tidak satupun spesies

1
yang dapat hidup tanpa membutuhkan spesies lainnya-sampai manusia
kemudian mulai dan terus menerus merusaknya.

Harmonisasi kehidupan ini memberikan pelajaran berharga kepada kita:


bahwa hidup hanya akan menjadi kehidupan yang berarti jika ditempatkan
dibawah keharmonisan. Setiap manusia harus belajar apa artinya menjadi
manusia yang menghargai satu sama lain, bertanggung-jawab satu sama lain,
dan membangun kehidupan yang saling pengertian satu sama lain. Dan
kehidupan yang satu sama lain saling membutuhkan itu dapat diperoleh dari
alam.

Kedua: keindahan yang sejati. Anda pernah menelusuri Danau Toba? Atau
berjalan-jalan ke Pantai Lagundri di Pulau Nias? Atau mandi air panas di
Sipoholon-Tapanuli Utara? Atau panjat teping di tengah gemuruh air terjun di
Painan, Sumatra Barat? Alam menyediakan begitu banyak keindahan,
tersusun dalam komposisi yang menggetarkan sentimen sense keindahan
sebagai manusia, dan membangkitkan decak kekaguman akan hidup.

Manusia yang sadar akan jebakan kepura-puraan keindahan artifisial berupa


polesan di tubuh, aksesoris dan kamuflase, belajarlah bahwa keindahan yang
paling utama itu didapatkan dari ungkapan yang alami, bukan dari apa yang
dipakai. Manusia yang bosan hidup dalam rutinitas aktivitas dunia yang
melelahkan, belajarlah bahwa alam ini mengajarkan nilai hidup yang sejati,
yaitu pada sesuatu yang mampu membangkitkan sense kemanusiaan. Alam
mengajarkan bahwa keindahan yang sejati lahir dari kesederhanaan dan
kepolosan. Alam semesta adalah tempat kita belajar apa artinya menjadi
manusia yang menghargai keindahan keragaman, keindahan kesatuan,
keindahan kerjasama, keindahan tolong-menolong; sebaliknya, kita harus
berduka-cita terhadap kekerasan, kekejaman, keserakahan, dan variasi sifat
manusia yang kontra nilai-nilai keindahan.

Ketiga: arti hidup manusia. Sesungguhnya, alam begitu berbaik hati untuk
"menyimpan" manusia dalamnya. Setiap hari, alam begitu sabar menanggung
perlakuan-perlakuan manusia : perusakan, ekploitasi berlebihan,
penghancuran ekosistem, dan sejumlah aktivitas yang dilakukan di alam ini.

Pada awalnya semua biasa-biasa saja, sampai kemudian segala sesuatu harus
dijelaskan oleh alam pada manusia. Manusia butuh pelajaran akan
keterbatasan kehidupan, maka alam memberikan gempa bumi yang menelan
jiwa. Manusia butuh pelajaran akan perlunya pengendalian nafsu
keserakahan, maka alam memberikan banjir dan tanah longsor. Manusia
butuh diberikan pelajaran mengenai keterbatasan "alam", maka alam
memberikan bencana kelaparan dan kegagalan panen. Semuanya sebenarnya
merupakan "keluhan alam" yang disampaikan dengan "suara-suara" alami.

2
Tetapi manusia tidak juga belajar dari suara alam itu. Manusia tidak belajar
bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini terbatas adanya. Manusia tidak
mau belajar dari alam bahwa kehidupan ini harus diisi dengan penuh arti-
karena hanya sekali. Manusia terus bergerak menurut keinginannya seolah-
olah dunia ini adalah miliknya. Dan alam juga pasti akan terus "berbicara"
pada manusia tentang arti hidup manusia. Apakah manusia akan
mendengarnya? Diperlukan manusia-manusia pembelajar.

Dari uraian di atas, maka kita sewajarnya belajar pada alam. Mengutip
kembali syair Indian di atas : Manusia tidak dapat menenun jaring-jaring
kehidupan ini; manusia hanyalah salah satu untaiannya.

Anda mungkin juga menyukai