Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah


menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama besar di
negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko
utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat
terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab
terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke dokter,
perawatan di rumah sakit dan atau penggunaan obat jangka panjang.

Hipertensi khususnya pada usia lanjut sangat sering dijumpai. Dari hasil riset
dasar kesehatan nasional (RISKESDAS) 2007 didapatkan prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 31,2% yang meningkat semakin banyak, sehingga di atas 55 tahun
melebihi 50%. Data dari negara maju tak jauh berbeda, di Amerika Serikat prevalensi
hipertensi pada usia diatas 35 tahun adalah 72%. Dalam penelitian Framingham, pada
yang mempunyai tekanan darah normal di usia 50 tahun, hampir seluruhnya (90%),
kemudian menjadi hipertensi.komplikasi hipertensi yang utama adalah penyakit
kardiovaskular, yang dapat berupa penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke,
penyakit ginjal kronik, kerusakan retina mata, maupun penyakit vaskular perifer.

0
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18 tahun
keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan dua kali atau lebih dengan
posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada dua kali atau lebih kunjungan.1

2.2 Epidemiologi

Data epidemiologi menujukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia


lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana
baik hipertensi sistolik maupun kombinasi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari
separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu
terus meningkat, dalam decade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva
mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien
hipertensi.2
Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) (2003-
2004) menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa dengan 18 tahun ke atas
di Amerika adalah 29.6% atau 58-65 juta penduduk Amerika menderita hipertensi. Berdasarkan
analisis multivariat NHANES pada tahun 2003-2004, meningkatnya usia dan indeks massa
tubuh, ras kulit hitam non hispanik dan rendahnya pendidikan terkait dengan hipertensi secara
bermakna.1
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada penduduk
umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Menurut provinsi,
prevalensi hipertensi tertinggi di Jawa Timur (37,4%) dan terendah di Papua Barat
(20,1%).1Sedangkanjika dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9%
(dari 31,7% menjadi 25,8%). Penurunan ini bisa terjadi berbagai macam faktor seperti alat
pengukur tensi yang berbeda, masyarakat yang sudah mulai sadar akan bahaya penyakit
hipertensi.1Berdasarkan usia, pada penduduk di tas usia 50 tahun, penderita hipertensi
ditemukan lebih banyak pada wanita yaitu 37%, bila dibanding dengan pria yaitu 28%. Sedang
pada usia di atas 25 tahun, ditemukan 29% pada wanita dan 27% pada pria. Hipertensi primer
itu sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.1
Hipertensi paling sering sering ditemukan pada orang kulit hitam (African Ancestry)
dibandingkan orang kulit putih. Efek dari diet garam dan obesitas pada oang kulit hitam lebih

1
sensitive dibandingkan dengan orang kulit putih, dan mereka 3 sampai 5 kali lebih rentan
terkena stroke dan penyakit ginjal dibandingkan dengan orang kulit putih. Untuk tatalaksana
hipertensi, calcium channel blocker dan diuretic lebih baik hasilnya dari pada penggunaan
angiotensin-converting enzyme inhibitors, angiotensin receptor blockers, dan b-blockers.2

2.3 Faktor risiko

a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien


b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian. 1

2.4 Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi, diantaranya The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,and Treatment
of High Blood Pressure (JNC 7), World Heath Organization (WHO), International Society of
Hypertension (ISH), Europian Society of Hypertension (ESH) dan Europian Society of
Cardiology, British Hypertension Society (BHS), serta Canadian Hypertension Education
Program (CHEP). 1

Berdasar pada JNC 7, klasifikasi tekanan darah adalah:

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah JNC 7

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prahipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-149 Atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 Atau ≥100

2
Berdasar pada ESH/ESC 2013, klasifikasi tekanan darah adalah:

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah ESH/ESC 2013

TD Diastolik
Kategori TD Sistolik (mmHg)
(mmHg)

Optimal < 120 Dan < 80

Normal 120 – 129 dan/atau 80 – 84

Normal Tinggi 130 – 139 dan/atau 85 – 89

Hipertensi Tingkat 1 140 – 159 dan/atau 90 – 99

Hipertensi Tingkat 2 160 – 179 dan/atau 100 – 109

Hipertensi Tingkat 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110

Hipertensi Isolated
≥ 140 Dan < 90
Systolic

Berdasarkan penyebabnya, klasifikasi hipertensi adalah:

1. Hipertensi primer

Sebanyak 95% orang dewasa yan menderita hipertensi termasuk hipertensi primer atau
yang dikenal juga dengan hipertensi esensial.Penyebab dari hipertensi primer tidak
diketahui walaupun genetic dan factor lingkungan sekarang sedang dipelajari menjadi
factor penyebabnya. Factor lingkungan meliputi konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup.
Factor genetic berhubunga dengan peingkatan aktifitas system renin-angotensin dan sisten
nervus simpatis. Penyebab lainnya adalah bertmbahnya umur menyebabkan pembuluh
darah menjadi lebih kaku.2

2. Hipertensi sekuder

Kasusnya sebanyak 5% dari kasus hipertensi, biasanya disebabkan oleh gagal ginjal
kronis, renal arteri stenosis, terlalu banyak sekresi aldosterone, pheochromocytoma,
dansleep apnea.2

3
2.5. Patogenesis Hipertensi
Secara umum diagnosis hipertensi harus dikonfirmasi setelah pengukuran pertama pada
kunjungan setelahnya dalam satu sampai dengan minggu keempat. Diagnosis hipertensi
ditegakkan jika tekanan sistolik ≥140 mmHg atau tekana diastolic ≥90 mmHg.2

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama Karena


interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya
kenaikan tekanan darah tersebut adalah:1

1. Faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetis
2. Sistem saraf simpatis
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi: endotel pembuluh
darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstinum
juga memberikan kontribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan
aldosterone.

Asupan Natrium Jumlah nefron Stress Genetik Obesitas


↑ berkurang

Retensi Permukaan Saraf Renin – Perubahan Hiper-


Natrium di filtrasi ↓ Simpatis ↑ Angiotensin ↑ membran sel insulinemia
Ginjal

Volume cairan ↑ Vena konstriksi

Hipertrofi
Preload ↑ Kontraktilitas ↑ Vasokonstriksi jantung

Tekanan darah = isi sekuncup x resistensi perifer

Hipertensi = ↑ isi sekuncup x ↑ resistensi perifer

Autoregulasi

Gambar 1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah

Tekanan maksimal yang ditimbulkan pada arteri sewaku darah disemprotkan ke dalam
pembuluh tersebut selama sistol disebut tekanan sistolik dan normalnya rata-rata
120mmHg.Tekanan minimal di dalam arteri ketika darah mengalir keluar menuju ke pembuluh

4
yang lebih kecil di hilir sewaktu diastol disebut tekanan diastolik, normalnya rata-rata 80
mmHg.3

Ada dua faktor utama yang mengatur tekanan darah, yaitu darah yang mengalir dan
tahanan vaskular perifer.Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang dipompakan
oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung.Tahanan vaskular perifer
berkaitan dengan besarnya lumen pembuluh darah perifer dan kekentalan darah. Makin sempit
pembuluh darah, makin tinggi tahanan terhadap aliran darah; makin besar dilatasinya makin
kurang tahanan terhadap aliran darah. Makin menyempit pembuluh darah, makin meningkatkan
tekanan darah. Dilatasi dan konstriksi pembuluh-pembuluh darah dikendalikan oleh sistem
saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin.3

Sistem saraf simpatis dan parasimpatis diaktivasi oleh baroreseptor yang ada di sinus
karotis dan arkus aorta.Baroreseptor ini sangat peka terhadap perubahan dari tekanan
darah.Oleh karena itu, baroreseptor merupakan sistem terpenting dalam regulasi tekanan
darah.Refleks baroreseptor ini berperan dalam aktivasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Pada saat terjadi penurunan tekanan darah, refleks baroreseptor akan menyebabkan aktivasi
sistem saraf simpatis untuk meningkatkan output jantung dan resistensi vaskular dengan cara
vasokontriksi. Sebaliknya, jika tekanan darah meningkat, baroreseptor akan merangsang sistem
saraf parasimpatis yang mengakibatkan penurunan output jantung (meliputi isi sekuncup dan
denyut jantung) dan vasodilatasi pembuluh darah.3

Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam


pengontrolan tekanan darah.Renin disekresi oleh aparatus juxtaglomerulus ginjal sebagai
respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatik.Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi
hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh
ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui
dua jalur, yaitu:3

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar

5
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon
steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.

Secara umum, aktivasi sistem renin-angiotensin meningkatkan reabsorpsi natrium di


tubulus, dan mengakibatkan penurunan ekskresi natrium urin.Dalam keadaan perluasan volume
ekstraseluler atau kelebihan natrium plasma, sistem renin-angiotensin ditekan dan eksresi
natrium urin meningkat.Peptida natriuretik atrium (PNA) adalah suatu hormon peptida diuretik
dan natriuretik kuat yang diproduksi dan disimpan dalam miosit atrium. Organ sasaran PNA
adalah ginjal, yaitu dengan meningkatkan ekskresi air dan natrium. Peptida dilepaskan ke
sirkulasi dari tempat asalnya di jantung pada keadaan ekspansi volume cairan ekstraseluler dan
akibat peregangan atrium jantung. Peptida natriuretik atrium merupakan pengatur penting
perubahan volume cairan ekstraseluler akut atau jangka pendek.3

6
Gambar 2. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron

2.6 Evaluasi Hipertensi


Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
1) Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan
pengobatan;
2) Mencari penyebab kenaikan tekanan darah;
3) Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan
pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.1

Anamnesis meliputi:1
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-
obat analgesic dan obat bahan lain

7
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko:
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ:
a. Otak dan mata; sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, deficit
sensoris atau motoris
b. Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal: haus, polyuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer: ekstrimitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga, dan lingkungan.

Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit
penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder.
Pengukuran tekanan darah:1
 Pengukuran rutin di kamar periksa
 Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring – ABPM)
 Pengukuran sendiri oleh pasien

Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien
istirahat 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung.Ukuran dan peletakan
manset (panjang 12-13 cm), lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan stetoskop harus
benar (gunakan suara korotkoff fase I dan V untuk menentukan sistolik dan diastolic).
Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1-5 menit, pengukuran tambahan dilakukan
jika hasil kedua pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan
jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukurang denyut jantung dengan menghitung nadi

8
(30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk orang usia
lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan
juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.

Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain:


1. Hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik
2. Hipertensi office atau whitecoattanpa kerusakan organ target
3. Mencari adanya hipertensi nokturnal
4. Penentuan pemberian obat anti hipertensi pada usia lanjut
5. Adanya disfungsi saraf otonom
6. Hipertensi sekunder
7. Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
8. Tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi
9. Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi
10. Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila pada pemeriksaan ABPM dengan mean
>135/85 mmHg sepanjang hari atau >125/75 mmHg saat tidur.

Pemeriksaan penunjang penderita hipertensi terdiri dari:


1. Tes darah rutin
2. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
3. Kolesterol total serum
4. Kolesterol LDL dan HDL serum
5. Trigliserida serum (puasa)
6. Asam urat serum
7. Kreatinin serum
8. Kalium serum
9. Hemoglobin dan hematocrit
10. Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)
11. Elektrokardiogram

Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes antara lain:


1. Ekokardiogram
2. USG karotis (dan femoral)
3. C-reactive protein

9
4. Mikroalbuniuria
5. Proteinuria kuantitatif
6. Funduskopi (pada hipertensi berat)

Evaluasi penderita hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit


penyerta sistemik, yaitu:1
1. Aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)
2. Diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)
3. Fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta
memperkirakan laju filtrasi glomerulus)

2.7 Tatalaksana Hipertensi


Tujuan pengobatan penderita hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskular dan ginjal. Semua guideline pada umumnya sepakat dan sama untuk
target tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Pengobatan selalu dimulai dengan cara
modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan dengan farmakoterapi secara individualistik
sesuai dengan komorbid atau compelling indications yang ada pada penderita. Untuk low and
moderate risk target tekanan darah < 140/90 mmHg. Untuk high and very high risk (diabetes
and renal disease) target tekanan darah <130/80 mmHg, dan tidak lupa mengobati kerusakan
organ target.1
Hipertensi tanpa penyulit bisa diberikan monoterapi. JNC 7 menganjurkan thiazide
sebagai pilihan pertama. Monoterapi bisa mencapai tekanan darah normal sekitar 40%. Dengan
kombinasi dua obat atau lebih dapat mencapai target tekanan darah normal lebih dari 80%.1

 Terapi non-farmakologis/Modifikasi gaya hidup (JNC 7)


 Menurunkan berat badan berlebih atau kegemukan
 Pembatasan asupan garam kurang atau sama dengan 100 meq/L/hari (2,4 g natrium
atau 6 g natrium klorida)
 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
 Menurunkan konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali minum/hari
 Meningkatkan aktivitas fisik paling tidak berjalan 30 menit/hari selama 5 hari/minggu
 Menghentikan merokok

10
 Terapi farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis antara lain :
 Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
 Beta blocker (BB)
 Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
 Angiotensin II Receptor Blocker atau AT, receptor antagonist/blocker (ARB)
 Direct renin inhibitor (DRI)

Apabila dengan modifikasi gaya hidup tidak berhasil, terdapat sejumlah obat yang dapat
membantu menurunkan tekanan darah.Kriteria untuk memulai antihipertensi ialah:

1. Pasien hipertensi derajat 1 dengan minimal salah satu dari penyerta berikut:
a. Jejas pada organ target
b. Riwayat penyakit kardiovaskular
c. Penyakit ginjal
d. Diabetes mellitus
2. Semua pasien hipertensi derajat 2

Adapun rekomendasi tatalaksana terbaru menurut JNC 8, yaitu:2

1. Rekomendasi 1
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah
menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 150 mmHg dan diastolik menjadi < 90
mmHg. (Rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A).
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, bila terapi farmakologi
menghasilkan penurunan tekanan darah sitolik yang lebih rendah dari target (misalnya
< 140 mmHg) dan pasien dapat mentoleransi dengan baik, tanpa efek samping terhadap
kesehatan dan kualitas hidup, maka terapi tersebut tidak perlu disesuaikan lagi (Opini
ahli, tingkat rekomendasi E).

2. Rekomendasi 2
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target penurunan tekanan darahnya adalah <

11
90 mmHg. (Untuk umur 30 – 59 tahun, rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A)
(Untuk umur 18 – 29 tahun, opini ahli, tingkat rekomendasi E).

3. Rekomendasi 3
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah
sistolik menjadi < 140 mmHg (Opini ahli, rekomendasi E).

4. Rekomendasi 4
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau tekanan darah
diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik
menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
5. Rekomendasi 5
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes, terapi farmakologi
dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau diatoliknya ≥ 90 mmHg.
Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan
diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)

6. Rekomendasi 6
Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk yang menderita
diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida,
penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, atau penghambat reseptor
angiotensin. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).

7. Rekomendasi 7
Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes, terapi
antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida atau penghambat saluran
kalsium. (Untuk populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang, tingkat
rekomendasi B) (Untuk ras kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah, tingkat
rekomendasi C)

8. Rekomendasi 8

12
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal atau tambahan hendaknya temasuk penghambat enzim ACE atau
penghambat reseptor angiotensin untuk memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku bagi
semua pasien penderita penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status diabetes.
(Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).

9. Rekomendasi 9
Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan menjaga target
tekanan darah. Bila target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu sebulan terapi,
naikkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari kelompok obat hipertensi pada
rekomendasi 6 (diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim
ACE, dan penghambat reseptor angiotensin). Penilaian terhadap tekanan darah
hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen terapi sampai target tekanan darah
tercapai. Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan terapi oleh 2 jenis obat,
tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang tersedia. Jangan menggunakan obat
golongan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin bersama-sama pada
satu pasien.
Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat antihipertensi yang
tersedia pada rekomendasi 6 oleh karena kontra indikasi atau kebutuhan untuk
menggunakan lebih dari 3 macam obat, maka obat antihipertensi dari kelompok yang
lain dapat digunakan. Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke spesialis hipertensi.
(Opini Ahli, tingkat rekomendasi E).4

13
Gambar 3 Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Menurut JNC 84

Gambar 4. Strategi Dosis Obat Anti Hipertensi4

14
Gambar 5. Kombinasi yang sinergik untuk mencapai target hipertensi menurut ESH-
ESC 20135

Berdasarkan gambar di atas, tiazid diuretic efektif dikombinasikan dengan ARB, Ca


antagonis atau ACEI. ARB efektif dikombinasi dengan tiazid, Ca antagonis dan tidak
direkomendasikan dikombinasikan dengan ACEI. Kemudian Ca antagonis efektif
dikombinasikan dengan ARB, tiazid diuretic atau ACEI. ACEI efektif dikombinasikan dengan
tiazid diuretic, Ca antagonis dan tidak direkomendasikan di kombinasikan dengan ARB
(Gambar 5).5

Tabel 3. Rekomendasi Dosis Obat Antihipertensi Menurut JNC 84

Pengobatan pada kondisi khusus :

Dari beberapa penelitian yang ada, pemberian obat anti hipertensi yang bersifat
spesifik, akan memberikan keuntungan pada kondisi tertentu.

15
Tabel 4. Pemberian Obat Anti Hipertensi Pada Kondisi Tertentu

Indikasi yang memaksa Pilihan terapi awal

Gagal jantung Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo Ant

Pasca infark miokard BB, ACEI, Aldo Ant

Risiko penyakit pembuluh darah koroner Thiaz, BB, ACEI, CCB

Diabetes Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB

Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB

Pencegahan stroke berulang Thiaz, ACEI

Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Pantau tekanan darah, LFG
dan elektrolit.Frekuensi kontrol untuk hipertensi derajat 2 disarankan lebih sering. Setelah
tekanan mencapai target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat diturunkan hingga menjadi 3-6
bulan sekali. Namun jika belum tercapai, diperlukan evaluasi terhadap pengobatan dan gaya
hidup, serta pertimbangan terapi kombinasi.

Setelah tekanan darah tercapai, pengobatan harus tetap dilanjutkan dengan tetap
memperhatikan efek samping dan komplikasi hipertensi.Pasien perlu diedukasi bahwa terapi
antihipertensi ini bersifat jangka panjang dan terus dievaluasi secaraberkala.

Pemantauan

Penderita hipertensi yang telah mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi
lanjutan untuk pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah target
tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi
frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung,
penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.1

Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan:


a. Empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kepatuhan pasien

16
b. Dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya kepercayaan pasien serta sikap
pasien terhadap pengobatan
c. Pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih harus dicapai, rencana
pengobatan selanjutnya serta pentingnya mengikuti rencana tersebut.1

Penyebab hipertensi resisten:


1. Pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. Dosis belum memadai
3. Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi
4. Ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
a. Asupan alkohol berlebih
b. Kenaikan berat badan berlebih
5. Kelebihan volume cairan tubuh
a. Asupan garam berlenih
b. Terapi diuretika tidak cukup
c. Penurunan fungsi ginjal berjalan progresif
6. Adanya terapi lain
a. Masih menggunakan bahan/obat lain yang meningkatkan tekanan darah
b. Adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat antihipertensi
7. Adanya penyebab hipertensi lain/sekunder.1

Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai,
harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis. Bila
selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal, baik American
Diabetes Association (ADA) maupun International Society of Nephrology (ISN) dan NKF
menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai
< 60 ml/men/1,73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia,
serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30
ml/men/1,73m2, atau lebih awal jika pasien beresiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang
cepat atai diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan
cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai
pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis
dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah

17
pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini harus disertai
dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.1

2.8 Prognosis Hipertensi

Kebanyakan orang yang didiagnosis dengan hipertensi akan memiliki peningkatan


tekanan darah seiring dengan bertambahnya usia. Hipertensi yang tidak diobati dengan baik
dapat meningkatkan risiko mortalitas dan sering digambarkan sebagai silent killer. Hipertensi
ringan sampai sedang jika tidak diobati dengan baik dapat meningkatkan risiko penyakit
aterosklerosis pada 30% penderita hipertensi dan kerusakan organ pada 50% penderita
hipertensi dalam waktu 8-10 tahun.1

Kematian akibat penyakit jantung iskemik atau stroke meningkat secara bertahap seiring
dengan peningkatan tekanan darah. Setiap peningkatan 20 mmHg sistolik atau 10 mmHg
diastolik pada tekanan darah > 115/75 mmHg, angka mortalitas meningkat 2 kali lipat untuk
penyakit jantung iskemik dan stroke. Menurut JNC 7, penggunaan terapi hipertensi secara uji
klinis dapat rata-rata menurunkan 35-40% kejadian stroke, 20-25% kejadian infark miokard,
dan >50% kejadian gagal jantung.1

2.9 Komplikasi

Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala bentuk manifestasi klinik
dari aterosklerosis. Hipertensi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya kejadian
kardiovaskular dan kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak langsung. Mortalitas
meningkat dua kali pada setiap kenaikan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg. Pada keadaan
dengan tekanan darah high-normal(130-139/85-89 mmHg), didapatkan peningkatan kejadian
kardiovaskular 2.5 pada wanita dan 1.6 kali pada pria bila dibanding dengan tekanan darah
normal. Sedang risiko untuk penyakit ginjal, meningkatnya tekanan darah sistolik lebih erat
kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila dibanding dengan tekanan darah
diastolik, terutama pada usia lebih dari 50 tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan parenkim ginjal.1

Berbagai kerusakan organ target tersebut antara lain:

1. Pada jantung; hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, dan gagal jantung
kongestif

18
2. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir
3. Retinopati
4. Pada otak, Strokeatau transient ischemic attack
5. Penyakit arteri perifer

2.10 Pencegahan Hipertensi

Hipertensi adalah kelainan seumur hidup. Untuk kontrol optimal, diperlukan komitmen
jangka panjang untuk modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis. Oleh karena itu,
diperlukan pemberian edukasi dan konseling pada pasien untuk tidak hanya meningkatkan
kepatuhan dengan terapi medis tetapi juga mengurangi faktor risiko kardiovaskular.Berbagai
strategi untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular adalah sebagai berikut:1

a. Pencegahan dan pengobatan obesitas: peningkatan indeks massa tubuh (BMI) dan lingkar
pinggang dikaitkan dengan peningkatan risiko kardiovaskular, seperti hipertensi, diabetes
mellitus, glukosa puasa terganggu, dan hipertrofi ventrikel kiri.
b. Aktifitas fisik aerobik yang cukup
c. Diet rendah garam, lemak total, dan kolesterol
d. Menghindari konsumsi alkohol
e. Menghindari konsumsi rokok
f. Menghidari penggunaan obat-obatan terlarang, seperti kokain.

19
20

Anda mungkin juga menyukai