Disusun oleh :
dr. Albertus Maria Henry Santoso
Pembimbing :
dr. Anton Rumambi, DK, M. Kes
dr. Giselle Tambajong
i
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
1.1 Parkinson
1.1.1 Definisi
Parkinson adalah salah satu jenis dari gangguan neurologis (motorik
dan non-motorik) progresif, yang sering kali mengganggu aktivitas sehari-
hari dari penderitanya (Jankovic, 2008). Parkinson memiliki gejala yang
bervariasi. Secara umum gejala dari Parkinson dapat dibagi menjadi 2, yaitu
gejala motorik dan gejala non-motorik. Gejala motoric seperti tremor,
kekakuan otot, dan bradykinesia. Beberapa pasien dengan Parkinson juga
dapat mengalami gangguan postur, keseimbangan, koordinasi, dan berjalan.
Gejala-gejala non-motorik seperti gangguan tidur, konstipasi, kecemasan,
depresi, dan mudah lelah.
1.1.2 Etiologi
Penyebab dari Parkinson belum pasti diketahui, sehingga
kebanyakan para ahli menyatakan penyebabnya adalah idiopatik. Tapi
beberapa factor resiko terjadinya Parkinson adalah :
1. Faktor genetic
Ada beberapa gen yang jika bermutasi akan menyebabkan
Parkinson. Salah satunya adalah gen LRRK2 yang sering
ditemukan pada orang-orang di Afrika utara dan keturunan
orang Yahudi. Mutasi pada gen alpha-synuclein, gen GBA, gen
parkin, dan gen DJ-1 diduga menjadi penyebab terajdinya
Parkinson.
2. Faktor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan seperti paparan berulang terhadap
pestisida atau logam berat tertentu, serta cedera kepala berulang
dapat menigkatkan resiko terjadinya Parkinson.
1
2
3. Faktor lain
Faktor-faktor lainnya yang dapat meningkatkan resiko
Parkinson adalah usia di atas 50 tahun, jenis kelamin laki-laki,
ras kaukasian.
1.1.3 Patofisiologi
Parkinson termasuk salah satu penyakit neurodegenerative. Prinsip
patofisiologinya adalah proses degeneratif neuron di substansia nigra.
Dimana neuron di bagian ini memproduksi dopamine. Dopamin bertugas
untuk mengatur gerakan. Dengan berkurangnya neuron di substansia nigra,
maka berkurang juga dopamine yang ada di otak, sehingga berkurang juga
kemampuan otak untuk mengkoordinasi gerakan.
Selain berkurangnya dopamine di otak, rusaknya protein alpha-
synuclein yang bertugas untuk membantu komunikasi antar neuron otak
juga menjadi penyebab terjadinya Parkinson. Kerusakan protein alpha-
synuclein dapat diamati di bawah mikroskop sebagai berupa gumpalan
protein Lewy-bodies.
Pada PD juga didapatkan rendahnya kadar serotonin yang
menyebabkan perubahan mood seperti hilangnya motivasi untuk melakukan
sesuatu. Juga didapatkan rendahnya kadar asetilkolin yang menyebabkan
inatensi, halusinasi, dan gejala-gejala demensia
1.1.5 Diagnosis
Parkinson pada umunya dapat didiagnosa secara klinis. Dengan
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara rinci, termasuk
pemeriksaan fungsi neurologis, sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
Parkinson. Diagnosis Parkinson dianggap tegak jika ditemukan 2 dari 3
gejala utama, yaitu tremor, bradykinesia, dan rigiditas.
Pemeriksaan penunjang tambahan mungkin diperlukan jika gejala
yang dialami cukup meragukan, atau untuk mengesampingkan
kemungkinan penyebab lain dari gejala Parkinson (bukan Parkinson
4
1.1.7 Terapi
Tujuan utama terapi pada pasien dengan Parkinson adalah
memperbaiki gejala, kualitas hidup (QoL – Quality of Life), dan aktivitas
sehari-hari (ADL – Activity Daily Living), karena hingga saat ini belum ada
obat yang dapat menyembuhkan Parkinson. Terapi untuk PD cukup
bervariasi, mulai dari medikamentosa, bedah, mengubah gaya hidup, dan
pengaturan diet.
1. Medikamentosa
- Carbidopa-levodopa (oral/ infusion gel)
Levodopa akan diubah menjadi dopamine di ota. Sedangkan
carbidopa berguna untuk menjaga levodopa bekerja dengan
lebih efisien. Efek samping dari carbidopa-levodopa adalah
mual, hipotensi ortostatik, mengantuk (sudden sleep attack),
dan halusinasi
- Dopamine agonist (oral/ skin patch/ injeksi subkutan) :
Apomorphine, Pramipexole, Ropinirole, Rotigotine
Dopamin agonist berarti obat-obat ini berperan seperti
halnya dopamine (mimic the activity of Dopamine).
Pemberian dopamine agonist harus disertai dengan obat anti
mual, berkaitan dengan efek sampingnya berupa rasa mual
yang hebat.
- COMT (Catechol-O-methyltransferase) inhibitor :
Entacapone, Tolcapone
Kinerja dari COMT inhibitor hamper sama dengan
carbidopa, yaitu menjaga efisiensi kerja dari levodopa.
COMT inhibitor dapat diberikan bersamaan dengan
carbidopa-levodapa. Efek sampingnya adalah nyeri perut,
diare, dan perubahan warna urin.
6
3. Gaya hidup
Prinsip dari pengaturan gaya hidup untuk pasien dengan PD
adalah menjaga agar mereka tetap aktif. Beberapa aktivitas yang
dapat memperbaiki gejala dan kualitas hidup pasien PD
diantaranya jalan cepat, latihan penguatan, Tai Chi, atau
berenang dan bersepeda jika gejala memungkinkan. Beberapa
rehabilitasi seperti terap okupasi dan terapi wicara juga sangat
penting untuk memeperbaiki kualitas hidup penderita.
4. Diet
Beberapa makanan yang direkomendasikan adalah makanan
yang memiliki antioksidan tinggi, seeprti anggur, blueberry,
kacang-kacangan, sayur-sayur berwarna hijau tua (bayam,
brokoli), wortel, ketela, teh hijau, biji-bijian, ikan (tuna, salmon,
sarden).
1.1.8 Prognosis
Parkinson tidak termasuk penyakit yang menyebabkan kematian.
Namun, penyakit ini akan bertambah parah seiring bertambahnya usia,
hingga pasien yang mengalaminya akan mengalami kesaluitan yang nyata
dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Jika Parkinson tidak diobatai, gejalanya akan semakin parah setiap
tahunnya. Kematian secara tidak langsung juga akan menjadi akibat dari
penyakit ini. Semakin menurunnya kualitas hidup dan kemampuan untuk
melakukan aktivitas fisik akan memperburuk kondisi pasien.
1.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan PD lebih karena
harapan hidup yang rendah akibat menurunnya kualitas hidup dan
kemampuan menjalani aktivitas sehari-harinya. Beberapa kompikasinya
antar lain :
8
1.2.4 Patofisiologi
Pregabalin dan gabapentin termasuk obat yang relatif baru yang
disetujui sebagai obat anti-kejang dan terapi untuk nyeri neuropatik (Gilron,
2007), dan kedua obat tersebut diklasifikasikan sebagai obat tambahan oleh
WHO. Dibandingkan dengan gabapentin, pregabalin diserap lebih cepat (1
jam untuk pregabalin, 3-4 jam untuk gabapentin), dan memiliki
bioavailabilitas lebih tinggi (>90% untuk pregabalin, dan 33-66% untuk
gabapentin) (Bockbrader, 2010).
Perez Lloret pada tahun 2009 pernah melaporkan sebuah kasus
parkinsonism setelah pemberian pregabalin. Pada tahun 1987 silam, Marti
Masso menjelaskan akan adanya parkinsonism yang dikarenakan
penggunaan obat calcium channel blocker. Diduga bahwa gejala
parkinsonism bisa dikaitkan dengan berkurangnya produksi dopamine yang
akibat efek calcium blocker. Calcium blocker akan mengurangi pelepasan
dopamine presinaptik dan akan menimbulkan gejala-gejala parkinsonism.
Reseptor dopamine di otak terdiri dari reseptor kelompok D1 (D1 dan
D5) dan kelompok D2 (D2, D3, dan D4). System dopaminergic pusat terdiri
dari mesolimbic, mesokortikal, tuberoinfundibular, dan nigrostriatal. Obat-
obat antipsikotik memiliki kemampuan untuk memnghambat reseptor D2
dan menghambat transmisi dopamine. Penghambatan reseptor D2 akan
menghambat proses inhibisi GABA dan encephalin di neuron. Penggunaan
12
1.2.6 Diagnosis
Gejala dari Drug-induced Parkinsonism (DIP) sangat sulit
dibedakan dengan Parkinson’s disease. Adanya riwayat penguunaan obat-
obat neureleptik dapat digunakan sebagai titik awal dalam membedakan
DIP dan PD. Onset yang bersifat subakut dan gejala yang muncul secara
simetris dapat menegakkan diagnosis DIP. Namun bukan berarti gejala yang
muncul asimetris/ unilateral tidak mengarah ke DIP, karena hanya sekitar
61% dari penderita DIP yang mengalami gangguan motoris simetris (Pierre,
2016).
Pada beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa ada beberapa gejala
pada PD yang tidak muncul pada pasien-pasien dengan DIP. Anosmia dan
gangguan pola tidur REM (rapid eye movement sleep behavior disorder),
13
1.2.7 Terapi
Pencegahan merupakan pendekatan yang terbaik, yaitu dengan
modifikasi atau pengaturan dosis peresepan obat-obat neuroleptic dan obat-
obat lain yang beresiko tinggi untuk menyebabkan timbulnya gejala
parkinsonism. DIP yang ringan biasanya tidak pernah diterapi, dengan cara
hanya mengentikan obat yang diduga menjadi pencetus, sudah cukup untuk
memperbaiki gejala motoric yang ada.
Obat-obat jenis L-dopa (levodopa, benserazide), amantadine, atau
anticholinergic (difenhidramin, trihexyphenidyl) merupakan terapi yang
efektif baik untuk pasien-pasien di bawah maupun di atas 60 tahun.
Biasanya jika penyebabnya memang karena DIP, maka gejala akan
langsung mereda.
Setelah gejala DIP menghilang, langkah yang harus dilakukan
berikutnya adalah menghentikan obat-obat yang diduga menjadi penyebab
DIP. Belum ada konsensus yang menentapkan berapa bulan gejala
Parkinsonism akan hilang setelah penghentian obat. Namun beberapa
pelitian menyatakan bahwa 10 dari 17 pasien yang mengalami DIP, gejala
motoris akan benar-benar hilang setelah 2-19 bulan (rata-rata 10 bulan)
penghentian obat (Esper 2008). Rehabilitasi medis boleh direncakan untuk
mempercepat pemulihan kondisi pasien, khusunya untuk mereka yang
mengalami masalah di postur dan cara berjalan (gait).
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Tn. JS/ laki-laki/ 79 tahun/ IGD
14
15
Riwayat pengobatan :
Selama pengobatan herpetic neuralgia pasien rutin mengkonsumsi
pregabalin 75mg (2x1), gabapentin 300mg (1x1), amitriptyline 12,5mg
(1x1).
Tanda-tanda Vital TD: 180/100 mmHg HR : 95 bpm, regular, kuat RR : 22 x/m Suhu : 37 0C
- Pemeriksaan DL + GDS
Lab Nilai
HGB 11,2 13,2 – 17,3
RBC 3,71 4,4 – 5,9
HCT 33,3 40,0 – 52,0
PLT 254 150 – 440
WBC 6,9 3,8 – 10,6
MCV 90,0 80 – 100
MCH 30,1 27 – 34
MCHC 33,6 32 – 36
GDS 63 70 – 140
- EKG
17
- CT-scan
18
2.5 Diagnosis
Drug induced parkinsonism
2.6 Terapi
1. Injeksi : - Difenhidramine 1 amp
- D40% 1 flask
2. Oral : - Trihexyphenidyl 2 x 2 mg
- Levazide (levodopa 100mg + benserazide 25mg) 2 x I tablet
- Amlodipin 1 x 10mg (1 – 0 – 0)
- Diovan (valsartan) 1 x 80mg (0 – 0 – 1)
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
Caroff, Stanley, et al. 2010. Extrapyramidal Side Effects. Research Gate. 15 Mei
2019
Gilron, I. 2007. Gabapentin and Pregabalin for Chronic Neuropathic and Early
Postsurgical Pain: Current Evidence and Future Directions. Current
Opinion Anaesthesiology. 20: 456-472. 21 Mei 2019
19
20
Matsuki, Yuka, et al. 2012. Muscle Rigidity Associated with Pregabalin. Pain
Physician Journal. E349-E351. 16 Mei 2019