Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kesehatan adalah rangkaian peraturan perundang-undangan dalam


bidang kesehatan yang mengatur tentang pelayanan medik dan sarana medik.
Perumusan hukum kesehatan mengandung pokok-pokok pengertian sebagai berikut :
Kesehatan menurut WHO, adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan,
jiwa dan sosial, bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
Adapun istilah kesehatan dalam undang-undang adalah keadaan sehat, baik secara
fisik, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan. Oleh sebab itu dibentuknya hukum dan perundang-undangan
dengan tujuan guna mengatur dan memonitoring jalannya tindakan-tindakan
medis dalam kewenangan hubungan bidan dengan klien.

B. Rumusan Masalah
Bidan sebagai profesi telah memiliki standar praktik untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang telah diatur dalam perundang-undangan yang
ada di Indonesia. Oleh karena itu dalam makalah ini kami membahas topik yang
berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang melandasi tugas, fungsi
dan praktik kebidanan, yang meliputi :
1. Apa sajakah peraturan perundang-undangan yang mengatur Perundang-
Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan?

1
C. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami masalah
Peraturan dan Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek
bidan sehingga mahasiswa dapat mengatasi masalah dengan tanggung jawab
tenaga kesehatan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32


TAHUN 1996 TENTANG TENAGA KESEHATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 23


Tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan
Peraturan tentang Tenaga Kesehatan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk di jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan;

2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan


upaya kesehatan.

3
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;

4. menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

BAB II JENIS TENAGA KESEHATAN

Pasal 2

(1) Tenaga kesehatan terdiri dari:

a. tenaga medis;

b. tenaga keperawatan;

c. tenaga kefarmasian;

d. tenaga kesehatan masyarakat;

e. tenaga gizi;

f. tenaga keterapian fisik;

g. tenaga keteknisian medis.

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog


kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan
dan sanitasi.

(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.

(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis


wicara.

(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi,


teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik,
teknisi transfusi dan perekam medis.

4
BAB III PERSYARATAN

Pasal 3

Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang


kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

Pasal 4

(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga
kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.

(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi
tenaga kesehatan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri

Pasal 5

(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan
tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat
melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri.

BAB IV PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN

Bagian Kesatu Perencanaan

Pasal 6

(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi


kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.

(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan


perencanaan nasional tenaga kesehatan.

5
(3) Perencanaan nasional tenaga disusun dengan memperhatikan faktor:

a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;

b. sarana kesehatan;

c. jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan


pelayanan kesehatan.

(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua Pengadaan

Pasal 7

Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di


bidang kesehatan.

Pasal 8

(1) Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang


diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.

(2) Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9

(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan


atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan
jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 10

(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.

6
(2) Penyelenggaraan dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau
bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan
keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 11

(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan


atau tempat pelatihan lainnya.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau


masyarakat.

Pasal 12

(1) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah


dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat


dilaksanakan atas ijin Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur oleh Menteri.

Pasal 13

(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya :

a. calon peserta pelatihan;

b. tenaga kepelatihan;

c. kurikulum;

d. sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan


pelatihan;

e. sarana dan prasarana.

7
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 14

(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang


kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata:

a. tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


ayat (1);

b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


ayat (1);

(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1), dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga Penempatan

Pasal 15

(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat,


Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana
kesehatan tertentu untuk jangka waktu tertentu.

(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan dengan cara masa bakti.

(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.

8
Pasal 17

Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan


memperhatikan:

a. kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan


ditempatkan;

b. lamanya penempatan;

c. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;

d. prioritas sarana kesehatan.

Pasal 18

(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada:

a. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;

b. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk


oleh Pemerintah;

c. lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;

d. lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari
pimpinan instansi terkait.

Pasal 19

(1) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat
keterangan dari Menteri.

(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan


persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin menyelenggarakan
upaya kesehatan pada sarana kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

9
Pasal 20

Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa:

a. pegawai negeri; atau

b. pegawai tidak tetap.

BAB V

STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM

Bagian Kesatu Standar Profesi

Pasal 21

(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk


mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.

(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 22

(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk:

a. menghormati hak pasien;

b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;

c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan


yang akan dilakukan;

d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan

dilakukan;

e. membuat dan memelihara rekam medis.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.

Pasal 23

10
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena
kesalahan atau kelalaian.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua Perlindungan Hukum

Pasal 24

(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan


tugasnya sesuai dengan standard profesi tenaga kesehatan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.

BAB VI PENGHARGAAN

Pasal 25

(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar
prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia
dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.

(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau
bentuk lain.

BAB VII IKATAN PROFESI

Pasal 26

(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk
meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat
dan kesejahteraan tenaga kesehatan.

11
(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB VIII

TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING

Pasal 27

(1) Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan
atas dasar ijin dari Menteri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing.

BAB IX

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pembinaan

Pasal 28

(1) Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian


profesi tenaga kesehatan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui


pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.

Pasal 29

(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan
pemberian penghargaan.

(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 30

12
(1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab
penyelenggaraan dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.

(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 31

(1) Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.

(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui:

a. bimbingan;

b. pelatihan di bidang kesehatan;

c. penetapan standar profesi tenaga kesehatan.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 32

Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan


tugas profesinya.

Pasal 33

(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin


terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.

(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

a. teguran;

b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.

(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

13
BAB X KETENTUAN PIDANA

Pasal 34

Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan


tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidanakan sesuai
dengan ketentuan Pasal 84 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.

Pasal 35

Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang


Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja:

a. melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1)

b. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);

c. melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga


kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1);

d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);

dipidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 36

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan


perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 37

14
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintah pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Mei 1996 PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA

 PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELANDASI TUGAS, PRAKTIK


DAN FUNGSI BIDAN :
1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
2. Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 TENTANG REGISTRASI
DAN PRAKTIK BIDAN
3. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007 TENTANG STANDAR PROFESI
BIDAN
4. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
5. Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTEK BIDAN

1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga


kesehatan

Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan


tugas tenaga kesehatan termasuk didalamnya tenaga bidan : hal ini
tertuang pada BAB dan Pasal sebagai berikut :

a. BAB VII Bagian Kedua

15
Tenaga Kesehatan

i. Pasal 50

Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan


kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga


kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

b. BAB V,Bagian Kedua

Kesehatan Keluarga

i. Pasal 12

Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan


keluarga sehat, kecil, bahagia, dan sejahtera.

Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


meliputi kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga
lainnya.

ii. Pasal 13

Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan


kelahiran dalam rangka menciptakan keluarga yang sehat dan
harmonis.

iii. Pasal 14

Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan,


kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan masa di luar
kehamilan, dan persalinan

iv. Pasal 15

16
Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis
tertentu.

Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)


hanya dapat dilakukan :

a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan


diambilnya tindakan tersebut
b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengantanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan
atau suami atau keluarganya;
d) pada sarana kesehatan tertentu
ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis
tertentu sebagaimana dimaksud dalam

1. Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002

Bidan diharuskan memenuhi persyaratan dan perizinan untuk


melaksanakan praktek, dalam peraturan ini, terdapat ketentuan-
ketentuan secara birokrasi hal-hal yang harus bidan penuhi sebelum
melakukan praktik dan juga terlampir informasi-informasi petunjuk
pelaksanaan praktik kebidanan. bidan hal tersebut tertuang pada Bab
dan Pasal-pasal berikut :

a. BAB IV

PERIZINAN

a) Pasal 9

17
a) Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki SIPB.

b) Bidan dapat menjalankan praktik pada sarana kesehatan dan/atau


perorang.

b) Pasal 10

(1) SIPB

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan


mengajukan permohonan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

(2) Permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan


melampirkan persyaratan, antara lain

meliputi:

a. fotokopi SIB yang masih berlaku;

b. fotokopi ijazah Bidan;

c. surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti


atau sebagai Pegawai Negeri ataupegawai pada sarana
kesehatan.

d. surat keterangan sehat dari dokter;

e. rekomendasi dari organisasi profesi;

f. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

(3) Rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf e, setelahterlebih dahulu dilakukan
penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan, kepatuhan
terhadapkode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik
bidan.

c) Pasal 11

18
(1) SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan
dapat diperbaharui kembali.

(2) Pembaharuan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan


kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan :

(a) fotokopi SIB yang masih berlaku;


(b) fotokopi SIPB yang lama;
(c) surat keterangan sehat dari dokter;
(d) pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
(e) rekomendasi dari organisasi profesi;
d) Pasal 12

Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti


tidak memerlukan SIPB.

e) Pasal 13

Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban


meningkatkan kemampuankeilmuan dan/atau keterampilannya
melalui pendidikan dan/atau pelatihan.

b.BAB V

PRAKTIK BIDAN

a) Pasal 14

Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan


pelayanan

yang meliputi :

a. pelayanan kebidanan;

19
b. pelayanan keluarga berencana;

c. pelayanan kesehatan masyarakat.

b) Pasal 15
1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
ditujukan kepada ibu dan anak.
2. Pelayanankepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas, menyusui dan masa antara
(periode interval).
3. Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru
lahir, masa bayi, masa anak balitadan masa pra sekolah.

BAB lain dalam peraturan pemerintah ini, mengacu ke pada dua BAB
tersebut, kedua bab ini memberi gambaran umum mengenai ketentuan
praktik bidan dan bab lain yang tidak si sebutkan disini melengkapi
atau menjabarkan hal-hal umum tersebut.

2. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007

Secara Umum Isi Kepmenkes ini mencakup : Definsi dan


pengertian bidan, asuhan kebidanan, praktek bidan dan standar
kompetensi bidan (pengetahuan maupun keterampilan). Hal-hal
tersebut yang mendasari praktek bidan. Praktek kebidanan dikatakan
baik apabila memenuhi standar kompetensi sebagia berikut :

a. STANDAR KOMPETENSI BIDAN

Kompetensi ke 1 : Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan


keterampilan dari ilmu-ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik
yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai dengan
budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya.

b. PRA KONSEPSI, KB, DAN GINEKOLOGI

20
Kompetensi ke-2 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,
pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan
menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk meningkatkan
kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan
menjadi orang tua

c. ASUHAN DAN KONSELING SELAMA KEHAMILAN

Kompetensi ke-3 : Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi


untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi:
deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu.

d. ASUHAN SELAMA PERSALINAN DAN KELAHIRAN

Kompetensi ke-4 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,


tanggap terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin
selama persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi
kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita
dan bayinya yang baru lahir.

e. ASUHAN PADA IBU NIFAS DAN MENYUSUI

Kompetensi ke-5 : Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan


mneyusui yang bermutu tinggi dan tanggap terhadap budaya setempat.

f. ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR

Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,


komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.

g. ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA

Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,


komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun).

h. KEBIDANAN KOMUNITAS

Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi


dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai
dengan budaya setempat.

21
i. ASUHAN PADA IBU/WANITA DENGAN GANGGUAN
REPRODUKSI

Kompetensi ke-9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada


wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi.

3. PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NO


HK.02.02/MENKES/149/2010

Dalam peraturan ini, berisi mengenai ketentuan-ketentuan yang


harus di lakukan bidan untuk menyelenggarakan praktek kebidanan
sesuai dengan standar kebidanan yang ada. Ketentuan-ketentuan tersebut
secara khusus diatur yaitu mengenai perizinan dan penyelenggaraan
praktik. Yang tertuang pada BAB II dan III sebagai berikut

a. BAB II PERIZINAN
1) Pasal 2
1. Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan
kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di
luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
2. Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III)
kebidanan.
2) Pasal 3

Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB

Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan


praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri
atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah sebagai Bidan Desa.

3) Pasal 4

22
SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. SIPB berlaku selama STR
masih berlaku.

4) Pasal 5

Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan


harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan melampirkan:

a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir


b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin
Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar;
dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi

Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), sebagaimana tercantum dalam Formulir I (terlampir)

SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1


(satu) tempat praktik

SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum


dalam Formulir II terlampir

5) Pasal 6

Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi


persyaratan meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan
asuhan kebidanan. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam lampiran peraturan ini. Dalam menjalankan
praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib
memasang nama praktik kebidanan

6) Pasal 7

23
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:

a. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB


b. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
c. Dicabut atas perintanh pengadilan
d. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
e. Yang bersangkutan meninggal dunia
b. BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
1) Pasal 8

Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan


pelayanan meliputi:

a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat

2) Pasal 9

Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a


ditujukan kepada ibu dan bayi.

Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa
menyusui.

Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh
delapan) hari.

3) Pasal 10

Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal


9 ayat (2) meliputi:

a. Penyuluhan dan konseling


i. Pemeriksaan fisik
b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

24
c. Pertolongan persalinan normal
d. Pelayanan ibu nifas normal
e. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (3) meliputi:
(a) Pemeriksaan bayi baru lahir
(b) Perawatan tali pusat
(c) Perawatan bayi
(d) Resusitasi pada bayi baru lahir
ii. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas
pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
4) Pasal 11

Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:

a. Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas


pemerintah
b. Bimbingan senam hamil
c. Episiotomi
d. Penjahitan luka episiotomi
e. Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan,
dilanjutkan dengan perujukan;
f. Pencegahan anemi
g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera
merujuk;
j. Pemberian minum dengan sonde/pipet
k. Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan
manajemen aktif kala III;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti
melahirkan.

25
5) Pasal 12

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan


sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;

a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi


dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan
kondom;
b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah; dan
e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada
perempuan pada masa pranikah dan prahamil.

6) Pasal 13

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:

a. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang


kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan
penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan
Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta
penyakit lainnya.

7) Pasal 14

a. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien


dan tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan
pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8.
b. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki
dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat

26
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8.
c. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
d. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat
dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku.

8) Pasal 15
a. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang
memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter
b. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleenggarakan
sesuai dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh
Menteri.
c. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memperoleh sertifikat.
9) Pasal 16
a) Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah
hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III
kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan
yang telah mengikuti pelatihan.
10) Pasal 17
a) Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program
pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
11) Pasal 18

1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:

a. Menghormati hak pasien


b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan
tepat waktu.
c. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

27
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan
pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan
dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara
sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik
kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan
kematian.
i. Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan bidang tugasnya.
12) Pasal 19

Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:

a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik


sepanjang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/
atau keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi
dan standar pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.

4. Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN


PENYELENGGARAAN PRAKTEK BIDAN

Secara Garis Besar Permenkes RI no. 1464 ini merupakan pembaruan dari
Permenkes No.149, hanya beberapa perbedaan yaitu :

1. Pada Pasal II ayat 2 ditiadakan

28
2. Terdapat Revisi pada pasal III menjadi 3 ayat
3. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan
wajibMemiliki SIKB
4. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
5. SIKB dan SIPB sebagaimana di maksud ayat 1 dan 2 berlaku untuk satu
tempat.
6. Terdapat Revisi pada Pasal 4, 5
7. Pasal 8 pada permenkes ini masuk Pada Bab III
8. Bab III direvisi sampai dengan Pasal 19

29
 PP/UU TENTANG BAYI TABUNG

1. Pengertian Bayi Tabung

a. Fertilisasi In Vitro – transfer embrio


b. Proses pembuahan diluar tubuh / pertemuan antara sperma dan ovum
dilakukan di luar tubuh yaitu di dalam tabung (piring petri).
c. Suatu usaha jalan pintas untuk mempertemukan sel telur (ovum) dengan
sel jantan (sperma) di luar tubuh manusia (in vitro), yaitu dalam tabung
gelas dan kemudian setelah terjadi pembuahan dimasukkan kembali ke
dalam rahim wanita sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana
layaknya janin biasa.

2. Jenis-jenis bayi tabung

a. Dengan sperma suami


b. Dengan sperma donor
c. Dengan media titipan

3. Pandangan bayi tabung dari segi agama

Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu


pasangan suami isteri (pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan
ingin mendapatkan keturunan. Namun di sisi yang lain, hukum bayi tabung
akhirnya menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Khususnya reaksi dari
para alim ulama yang mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika
dinilai dari sudut agama.

Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan)


dengan syarat sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang
sah. Sebab hal itu termasuk dalam ranah ikhtiar (usaha) yang berdasarkan
kaidah-kaidah agama.

MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil
pembuahan sperma dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain.
Demikian pula ketika menggunakan sperma yang telah dibekukan dari
suami yang telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan ovum

30
yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung dalam
hal ini juga haram.

4. Kedudukan Hukum Anak

 Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Melalui FIV dengan Menggunakan


Sperma Suami
a. Pasal 250 KUHPerdata mengatur tentang pengertian anak sah.
b. Pasal 42 UU Perkawinan
c. Bagaimana kedudukan anak hasil FIV yang sperma dari suami, ovum dari
istri dan embrio ditanam dirahim istri
1. Orang tua terikat perkawinan yang sah
2. Secara biologis anak merupakan anak pasutri
3. Istri sendiri yang melahirkan
 Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Melalui Proses FIV dengan
Menggunakan Sperma Donor

Dilihat dari aspek biologis (Ayah Biologis) dan dari aspek yuridis (Ayah Yuridis)
dapat dianggapn sebagai :

1. Sebagai anak sah dgn melalui pengakuan(285 KUHPerdata)


2. Sebagai anah zinaKedudukan Hukum Anak yang Lahir

 Melalui Proses FIV dengan Menggunakan Surrogate Mother/Media


titipan
 Pada proses ini sel telur dan sperma pasangan suami istri yang sewa rahim
(lihat berupa embrio dititipkan dalam rahim wanita lain anak
angkat Pasal 1548 jo 1320 KUHPerdata)

5. Dasar Hukum Pelaksanaan Bayi Tabung di Indonesia

 Undang-Undang RI No 36/2009

Pasal 127

1. Ayat (1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dpt dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dgn ketentuan:

31
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dlm rahim istri darimana ovum berasal
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu; dan
c. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
2. Ayat (2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan diluar cara alamiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari


beberapa kondisi berikut ini:

a. Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio


diimplantasikan ke dalam rahim isteri, maka anak yang terlahir
statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta keperdataan
selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).
b. Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah
bersuami, maka anak yang terlahir statusnya sah dari pasangan
penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki benih (Pasal
42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata)
c. Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat
perkawinan tetapi embrionya diimplantasikan ke rahim wanita
yang terikat perkawinan, anak yang terlahir statusnya sah bagi
pasutri tersebut.
d. Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang
terlahir adalah anak di luar

6. Aspek Hukum Bayi Tabung

Inseminasi buatan atau bayi tabung menjadi permasalahan hukum dan etis
moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam
hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi
bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia.

Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) :

32
a. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-
in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri
maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis
mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari
pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan
hubungan keperdataan lainnya.
b. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat
ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir
sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah
dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300
hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak
memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
c. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari
pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih.
Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
15Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal
anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau
dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara
kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah
secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH
Perdata.)
d. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
e. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan
tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di
dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan
ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak
sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan
lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan
melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal

33
250 KUH Perdata. 2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim
wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan
anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42
UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. 3. Jika semua
benihnya dari donor: (1) Jika sel sperma maupun sel telurnya
berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam
perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari
pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang
perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.(2). Jika
diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut
memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak
terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut
bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal
darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah
secara yuridis dan biologis sebagai anaknya

 PP/UU TENTANG ADOPSI


1. Pengertian Adopsi

Adopsi adalah suatu proses penerimaan seorang anak dari seseorang


atau lembaga organisasi ketangan orang lain secara sah diatur dalam
peraturan perundang-undangan.Adopsi juga berarti memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya dengan status
fungsi sama dengan anak kandung.Adopsi juga diartikan sebagai perbuatan
hukum, dimana seseorang yang cakap mengangkat seorang anak orang lain
menjadi anak sah-nya.Pada adopsi tidak berarti memutus-kan hubungan
darah dengan orang tua kandungnya, tetapi secara hukum terbentuk
hubungan hukum sebagai orang tua dan anak.

a. Adopsi dikenal dalam seluruh sistem hukum adat di Indonesia

34
b. Pengaturan tentang pengangkatan anak diatur antara lain di KUH
Perdata, UU No 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PP no
54 tahun 2007
c. Pengaturan tehnisnya banyak tersebar di Surat Edaran Mahkamah
Agung

2. Aspek Hukum Adopsi

Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang


memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan
pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang
memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :

a. Pihak yang mengajukan adopsi


 Pasangan Suami Istri

Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur


dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran
Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/
pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan
Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin
adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima
tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.

 Orang tua tunggal

1. Staatblaad 1917 No. 129

Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang


Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang
terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau

35
janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak,
maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.

Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk


anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun
Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29
Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan. 17

2. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur


tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya
selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang
pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara
Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah
(single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda
memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak,
ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.

3. Tata cara mengadopsi.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang


cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada
Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.

Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke
panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri
atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .

36
4. Isi permohonan

Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:-motivasi


mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak
tersebut. -penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa
yang akan datang.

Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua
orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua
orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi
pemohon (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa pemohon
akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik. 18Yang dilarang
dalam permohonan

5. Yang dilarang dalam permohonan

Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam


permohonan pengangkatan anak, yaitu:

1. menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.


2. pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari
pemohon.

Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada


Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya
berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon,
atau berisi pengesahan saja.

Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan,


maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik,
termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan
kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan
keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan pemohon dan
kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip
gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.

6. Pencatatan di kantor Catatan Sipil

37
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima
salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang
Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk
menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut
dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu
disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.

7. Akibat hukum pengangkatan anak


Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan,
maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut.
Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung
beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat
perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa
menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau
saudara sedarahnya. 19
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun
hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris.
Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa
memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.

 ASPEK HUKUM ADOPSI


1. Hukum Adat

Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat


tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental,
Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga
antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain
mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas
waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan

38
anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari
keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya.

Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan


meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).

2. Hukum Islam

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat


hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan
waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari
orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah
kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi
hukum, AKAPRESS, 1991)

3. Peraturan Per-Undang-undangan

Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan


anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak
angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua
angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung
dan anak tersebut.

3 Undang – undang Pengangkatan Anak

Pengangkatan Anak diatur dalam pasal 39 – 41 UUPA

Pasal 39

a. Pengangkatan anak hanya dpt dilakukan untuk


kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku

39
b. Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat
(1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak
yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
c. Calon orang tua anak harus seagama dengan agama
yang dianut oleh calon anak angkat
d. Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir
e. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka
agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat

Pasal 40

1. Orang tua wajib memberitahukan keoada anak


angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua
kandungnya
2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan

Pasal 41

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan


dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP
No 54 Tahun 2007)

4. Pihak Yang Dapat Mengajukan Adopsi

a. Pasangan suami istri

Hal ini diatur dalam SEMA No 6 tahun 1983 ttg pemeriksaan


permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan

40
Mensos RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 ttg Petunjuk Pelaksanaan
Pengangkatan Anak

b. Orang tua Tunggal

Janda/duda, kecuali janda yang suaminya pada saat meninggal


meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak
WNI yang belum menikah atau memutuskan tidak menikah.

5. Syarat anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 Pasal 12


ayat (1))

a. belum berusia 18 tahun


b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan
anak,dan
d. memerlukan perlindungan khusus

6. Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat
(2))
a. Anak usia < 6tahun, prioritas utama
b. Anak usia 6 – < 12 tahun , alasan mendesak
c. Anak usia 12 – 18 tahun memerlukan perlindungan khusus

7. Syarat orang tua angkat (PP No 54 tahun 2007 Pasal 13)


a. Sehat jasmani dan rohani
b. Berumur min30 tahun dan maksimal 50 tahun
c. Beragama sama dengan calon anak angkat
d. Berkelakuan baik tidak pernah dihukum
e. Berstatus menikah paling singkat 5 tahun
f. Tidak menrupakan pasangan sejenis
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu anak

41
h. Keadaan mampu ekonomi dan sosial
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis ortu wali anak
j. Membuat pernyataan tertulis tentang pengangkatan anak
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin
pengasuh diberikan
m. Memperoleh izin menteri/kepala instansi

42
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Bidan sebagai profesi telah memiliki standar praktik untuk memberikan


pelayanan kepada masyarakat yang telah diatur dalam perundang-undangan
yang ada di Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan :

a) No. 23 Tahun 1992 Tentang Tugas Dan Tanggung Jawab Tenaga


Kesehatan
b) Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 TENTANG
REGISTRASI DAN PRAKTIK BIDAN
c) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007 TENTANG STANDAR PROFESI
BIDAN
d) PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
e) Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTEK BIDAN
2. Saran
a. Kepada instititusi: Diharapkan dapat menambah referensi makalah
mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur Perundang-
Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan
b. Kepada Mahasiswa: Kami berharap adanya makalah ini selain menjadi
salah satu referensi juga diharapkan bisa sebagai panduan secara teori
mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur Perundang-
Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan
c. Kepada pembaca: Diharapkan pembaca dapat menjadikan referensi serta
memberikan masukan terhadap isi makalah agar menghasilkan makalah
yang lebih baik untuk selanjutnya.

43
DAFTAR PUSTAKA

Puji Heni, Wahyuni, 2009. Etika Profesi Kebidanan; Fitramaya; Yogyakarta

Soepardan, Suryani, dkk. 2007. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC

Bertens, K. 2007. Etika (cetakan kesepuluh). Jakarta: Gramedia Pustaka

44

Anda mungkin juga menyukai