PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Bidan sebagai profesi telah memiliki standar praktik untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang telah diatur dalam perundang-undangan yang
ada di Indonesia. Oleh karena itu dalam makalah ini kami membahas topik yang
berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang melandasi tugas, fungsi
dan praktik kebidanan, yang meliputi :
1. Apa sajakah peraturan perundang-undangan yang mengatur Perundang-
Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan?
1
C. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami masalah
Peraturan dan Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek
bidan sehingga mahasiswa dapat mengatasi masalah dengan tanggung jawab
tenaga kesehatan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Pasal 1
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk di jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan;
3
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;
Pasal 2
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
e. tenaga gizi;
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
4
BAB III PERSYARATAN
Pasal 3
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga
kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi
tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri
Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan
tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat
melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri.
Pasal 6
5
(3) Perencanaan nasional tenaga disusun dengan memperhatikan faktor:
b. sarana kesehatan;
(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan
jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
6
(2) Penyelenggaraan dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau
bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan
keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 11
Pasal 12
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
b. tenaga kepelatihan;
c. kurikulum;
7
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 15
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.
8
Pasal 17
b. lamanya penempatan;
Pasal 18
(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada:
(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari
pimpinan instansi terkait.
Pasal 19
(1) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat
keterangan dari Menteri.
9
Pasal 20
BAB V
Pasal 21
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk:
dilakukan;
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
Pasal 23
10
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena
kesalahan atau kelalaian.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
BAB VI PENGHARGAAN
Pasal 25
(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar
prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia
dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau
bentuk lain.
Pasal 26
(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk
meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat
dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
11
(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB VIII
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan
atas dasar ijin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing.
BAB IX
Pasal 28
Pasal 29
(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan
pemberian penghargaan.
(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 30
12
(1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab
penyelenggaraan dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 31
(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui:
a. bimbingan;
Pasal 32
Pasal 33
(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. teguran;
13
BAB X KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
14
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintah pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
15
Tenaga Kesehatan
i. Pasal 50
Kesehatan Keluarga
i. Pasal 12
ii. Pasal 13
iii. Pasal 14
iv. Pasal 15
16
Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis
tertentu.
a. BAB IV
PERIZINAN
a) Pasal 9
17
a) Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki SIPB.
b) Pasal 10
(1) SIPB
(2) Permohonan
meliputi:
c) Pasal 11
18
(1) SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan
dapat diperbaharui kembali.
e) Pasal 13
b.BAB V
PRAKTIK BIDAN
a) Pasal 14
yang meliputi :
a. pelayanan kebidanan;
19
b. pelayanan keluarga berencana;
b) Pasal 15
1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
ditujukan kepada ibu dan anak.
2. Pelayanankepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas, menyusui dan masa antara
(periode interval).
3. Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru
lahir, masa bayi, masa anak balitadan masa pra sekolah.
BAB lain dalam peraturan pemerintah ini, mengacu ke pada dua BAB
tersebut, kedua bab ini memberi gambaran umum mengenai ketentuan
praktik bidan dan bab lain yang tidak si sebutkan disini melengkapi
atau menjabarkan hal-hal umum tersebut.
20
Kompetensi ke-2 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,
pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan
menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk meningkatkan
kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan
menjadi orang tua
h. KEBIDANAN KOMUNITAS
21
i. ASUHAN PADA IBU/WANITA DENGAN GANGGUAN
REPRODUKSI
a. BAB II PERIZINAN
1) Pasal 2
1. Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan
kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di
luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
2. Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III)
kebidanan.
2) Pasal 3
3) Pasal 4
22
SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. SIPB berlaku selama STR
masih berlaku.
4) Pasal 5
5) Pasal 6
6) Pasal 7
23
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
2) Pasal 9
3) Pasal 10
24
c. Pertolongan persalinan normal
d. Pelayanan ibu nifas normal
e. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (3) meliputi:
(a) Pemeriksaan bayi baru lahir
(b) Perawatan tali pusat
(c) Perawatan bayi
(d) Resusitasi pada bayi baru lahir
ii. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas
pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
4) Pasal 11
25
5) Pasal 12
6) Pasal 13
7) Pasal 14
26
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8.
c. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
d. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat
dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku.
8) Pasal 15
a. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang
memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter
b. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleenggarakan
sesuai dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh
Menteri.
c. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memperoleh sertifikat.
9) Pasal 16
a) Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah
hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III
kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan
yang telah mengikuti pelatihan.
10) Pasal 17
a) Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program
pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
11) Pasal 18
27
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan
pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan
dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara
sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik
kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan
kematian.
i. Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan bidang tugasnya.
12) Pasal 19
Secara Garis Besar Permenkes RI no. 1464 ini merupakan pembaruan dari
Permenkes No.149, hanya beberapa perbedaan yaitu :
28
2. Terdapat Revisi pada pasal III menjadi 3 ayat
3. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan
wajibMemiliki SIKB
4. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
5. SIKB dan SIPB sebagaimana di maksud ayat 1 dan 2 berlaku untuk satu
tempat.
6. Terdapat Revisi pada Pasal 4, 5
7. Pasal 8 pada permenkes ini masuk Pada Bab III
8. Bab III direvisi sampai dengan Pasal 19
29
PP/UU TENTANG BAYI TABUNG
MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil
pembuahan sperma dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain.
Demikian pula ketika menggunakan sperma yang telah dibekukan dari
suami yang telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan ovum
30
yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung dalam
hal ini juga haram.
Dilihat dari aspek biologis (Ayah Biologis) dan dari aspek yuridis (Ayah Yuridis)
dapat dianggapn sebagai :
Undang-Undang RI No 36/2009
Pasal 127
1. Ayat (1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dpt dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dgn ketentuan:
31
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dlm rahim istri darimana ovum berasal
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu; dan
c. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
2. Ayat (2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan diluar cara alamiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Inseminasi buatan atau bayi tabung menjadi permasalahan hukum dan etis
moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam
hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi
bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia.
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) :
32
a. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-
in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri
maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis
mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari
pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan
hubungan keperdataan lainnya.
b. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat
ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir
sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah
dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300
hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak
memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
c. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari
pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih.
Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
15Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal
anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau
dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara
kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah
secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH
Perdata.)
d. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
e. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan
tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di
dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan
ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak
sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan
lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan
melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal
33
250 KUH Perdata. 2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim
wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan
anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42
UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. 3. Jika semua
benihnya dari donor: (1) Jika sel sperma maupun sel telurnya
berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam
perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari
pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang
perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.(2). Jika
diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut
memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak
terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut
bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal
darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah
secara yuridis dan biologis sebagai anaknya
34
b. Pengaturan tentang pengangkatan anak diatur antara lain di KUH
Perdata, UU No 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PP no
54 tahun 2007
c. Pengaturan tehnisnya banyak tersebar di Surat Edaran Mahkamah
Agung
35
janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak,
maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke
panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri
atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
36
4. Isi permohonan
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua
orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua
orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi
pemohon (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa pemohon
akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik. 18Yang dilarang
dalam permohonan
37
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima
salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang
Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk
menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut
dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu
disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
38
anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari
keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya.
2. Hukum Islam
3. Peraturan Per-Undang-undangan
Pasal 39
39
b. Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat
(1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak
yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
c. Calon orang tua anak harus seagama dengan agama
yang dianut oleh calon anak angkat
d. Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir
e. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka
agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat
Pasal 40
Pasal 41
40
Mensos RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 ttg Petunjuk Pelaksanaan
Pengangkatan Anak
6. Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat
(2))
a. Anak usia < 6tahun, prioritas utama
b. Anak usia 6 – < 12 tahun , alasan mendesak
c. Anak usia 12 – 18 tahun memerlukan perlindungan khusus
41
h. Keadaan mampu ekonomi dan sosial
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis ortu wali anak
j. Membuat pernyataan tertulis tentang pengangkatan anak
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin
pengasuh diberikan
m. Memperoleh izin menteri/kepala instansi
42
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
43
DAFTAR PUSTAKA
Soepardan, Suryani, dkk. 2007. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC
44