Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar)

dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses

kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai

keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang

mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang

mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar.

Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat

gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan

kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin,

antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika

makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga.

Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.

Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30%

pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh

konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi

meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu

penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi

sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas

usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di

1
Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi

dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview

Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita

konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.

Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya

karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu

naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena

faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf

perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik

atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan

dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.

Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya

adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah

pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan

mengunyah, misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah tersebut

dengan diblender.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan

pada pasien dengan konstipasi, serta mampu menerapkan asuhan

keperawatan pada pasien dengan konstipasi.

2. Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui dan memahami pengertian konstipasi

2
b. Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi

c. Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi

d. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi

e. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis konstipasi

f. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan,

penatalaksanaan serta pencegahan untuk pasien dengan konstipasi

g. Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien

dengan konstipasi

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perubahan pada sistem pencernaan

Perubahan-perubahan pada sistem pencernaan juga dapat menimbulkan


gangguan patologis jika tidak ditangani dengan baik. Gangguan-gangguan
tersebut salah satunya meliputi GERD atau gastroesophageal reflux disease,
kolelitiasis, konstipasi, dan malnutrisi.

1. GERD

Dimulai dari organ pencernaan atas yaitu esophagus. GERD adalah salah
satu keluhan pada esophagus yang sering terjadi pada lansia (Reichel, et al.,
2009). GERD adalah refluks atau kembalinya isi lambung ke dalam esophagus.
(Tabloski, 2014). Angka kejadian GERD pada lansia kurang lebih sebesar 20%
(Reichel, et al., 2009). GERD disebabkan oleh relaksasi sphincter esophagus
sementara yang tidak seharusnya dan akhirnya menyebabkan asam naik kembali
ke esophagus. (Reichel, et al., 2009). Gejala GERD adalah heartburn, indigesti,
sendawa, cegukan, dan regurgitasi isi lambung ke dalam mulut. (Tabloski, 2014).
Dampak psikososial dari GERD adalah lansia dapat merasa takut untuk makan
atau datan ke acara social karena stress dan makanan tertentu dapat memicu
gejala. (Tabloski, 2014). Komplikasi dari GERD yang tidak ditangani adalah
esophagitis, perdarahan, dan penyempitan bentuk. (Tabloski, 2014). Lansia lebih
berisiko terhadap komplikasi GERD karena paparan asam esophagus yang
berkepanjangan selama bertahun-tahun ditambah frekuensi hiatal hernia yang
lebih tinggi dan penggunaan obat yang berdampak pada penurunan fungsi
sphincter serta meningkatkan keparahan GERD pada lansia. (Huether &
McCance, 2012; Tabloski, 2014). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah
dengan mengubah gaya hidup yaitu melakukan elevasi tempat tidur, minum air

4
putih yang banyak, serta kurangi makanan yang menyebabkan peningkatan asam
seperti cokelat, bawang putih, bawang Bombay, tomat, dan cuka. Medikasi yang
dapat diberikan adalah proton pump inhibitor dan histamine2 agonist yang dapat
menekan produksi asam. (Tabloski, 2014)

2. Kolelitiasis

Gangguan yang sering terjadi pada kantung empedu yaitu kolelitiasis atau
pembentukan batu empedu karena perubahan fisiologi dengan penuaan termasuk
penurunan produksi asam empedu, peningkatan saturasi kolesterol empedu,
berkurangnya kontraksi kantung empedu, dan penurunan respon pada
kolesistokinin. (Reichel, et al., 2009). Angka kejadian kolelitiasis pada lansia
sejumlah 14% - 27%. (Reichel, et al., 2009). Gejala yang dapat dirasakan adalah
nyeri akut pada kuadran atas atau epigastrik. (Reichel, et al., 2009). Nyeri dapat
menjalar ke tulang belikat sehingga menyebabkan mual dan muntah, namun
seringnya penderita kolelitiasis tidak menunjukkan gejala. (Reichel, et al., 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada lansia adalah akut kolesistitis, kolangitis
asenden, atau kerusakan jaundice. (Reichel, et al., 2009). Pemeriksaan diagnostik
yang biasanya dilakukan adalah ultrasound. CT scan abdomen dapat dilakukan
jika batu empedu yang umum atau obstruksi saluran empedu diduga ada. (Reichel,
et al., 2009). Penatalaksanaan untuk kolelitiasis yang menunjukkan gejala adalah
laparoskopi koleksistektomi. (Reichel, et al., 2009).

3. Konstipasi

Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi yang normal pada


klien, diikuti dengan kesulitan evakuasi feses yang keras dan kering, serta sensasi
tidak lampias yang klien rasakan. menurut (NANDA, 2014). Angka kejadian
konstipasi meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih sering ditemukan pada
pria. (Orozco, et al., 2012). Pada sebuah penelitian ditemukan 30% lansia usia 65-
83 tahun mengatakan bahwa mereka mengalami konstipasi. (Orozco, et al., 2012).
Penyebab dari konstipasi pada lansia yaitu gangguan fungsional, kondisi
patologis, efek pengobatan yang tidak diinginkan, dan kebiasaan diet yang buruk

5
(Miller, 2012). Gejalanya adalah frekuensi defekasi dari semula 3x sehari jd 1-2x
per minggu serta rasa tidak lampias saat defekasi. (Miller, 2012). Angka
kekambuhan konstipasi yang tinggi tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas
hidup, tetapi juga dapat menyebabkan komplikasi seperti impaksi fekal. (Orozco,
et al., 2012). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan ada secara farmakologi dan
non farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi yang biasa dilakukan adalah
dengan memberikan obat-obatan laksatif. Selain itu, penatalaksanaan non
farmakologi juga dapat dilakukan dengan memberikan suplemen serat, hidrasi
adekuat, serta peningkatan mobilitas. (Miller, 2012).

4. Malnutrisi

Selain ketiga masalah diatas yang terjadi pada organ gastrointestinal


tertentu, terdapat pula masalah yang sering terjadi pada lansia terkait sistem
gastrointestinal yaitu malnutrisi. Malnutrisi pada lansia terbagi menjadi dua yaitu
undernutrition dan overnutrition. Pada populasi lansia, malnutrisi paling banyak
terjadi yaitu kekurangan gizi karena faktor risiko yang dapat mempengaruhi
sistem pencernaan, pola makan dan pemasukan nutrisi (Miller,2012). Tabloski
(2014) menjelaskan bahwa undernutrition merupakan kekurangan nutrisi yang
dibutuhkan lansia untuk perbaikan jaringan. Kondisi malnutrisi yang lain adalah
overnutrition yang identik dengan kejadian obesitas. Depresi sering menjadi
penyebab umum kehilangan berat badan. (Touhy & Jett, 2010). Malnutrisi dapat
berdampak serius seperti infeksi, peptik ulser, anemia, hipotensi, gangguan
kognitif, dan peningkatan mortalitas serta morbiditas. (Touhy & Jett, 2010).
Protein-energy malnutrition (PEM) adalah bentuk malnutrisi yang paling sering
terjadi pada lansia. PEM dikarakteristikkan dengan adanya tanda-tanda klinis
(lemah otot dan BMI rendah) dan indikator biochemical (albumin, kolesterol, atau
perubahan protein lainnya). (Touhy & Jett, 2010). Skrining dan pengkajian nutrisi
komprehensif sangat penting untuk mengidentifikasi lansia mengalami malnutrisi.
(Touhy & Jett, 2010).

6
B. Pengertian Konstipasi

Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja)

dalam usus besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam

pengeluaran. Hal ini terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus

besar sehingga memicu tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan

tidak nyaman pada perut (Akmal, dkk, 2010).

Konstipasi adalah suatu gejala bukan penyakit. Di masyarakat dikenal

dengan istilah sembelit, merupakan suatu keadaan sukar atau tidak dapat buang

air besar, feses (tinja) yang keras, rasa buang air besar tidak tuntas (ada rasa

ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya), atau jarang buang

air besar. Seringkali orang berpikir bahwa mereka mengalami konstipasi

apabila mereka tidak b uang air besar setiap hari yang disebut normal dapat

bervariasi dari tiga kali sehari hingga tiga kali seminggu (Herawati, 2012).

Penurunan fungsi alat pencernaan khususnya pada usus dapat

menyebabkan konstipasi. Konstipasi dapat diartikan sebagai kesulitan buang

air besar, yang disebabkan karena berkurangnya fungsi pergerakan usus dan

kesulitan pergerakan feses. Konstipasi pada lansia selain menurunnya fungsi

gastrointestinal juga dipengaruhi oleh asupan makanan. Makanan yang dapat

mempengaruhi terjadinya proses konstipasi adalah makanan yang mengandung

kalsium, tinggi lemakdan makanan yang tinggi gula. Selain itu juga

dipengaruhi oleh tidak ada zat gizi tertentu yang mendukung penyerapan

kalsium sehingga dapat menyebabkan konstipasi.

7
Penuruan asupan makan pada lansia sangant dipengaruhi oleh sistem

pencernaan pada lansia, diantaranya adalah kehilangan gigi yang menyebabkan

rasa tidak nyaman saat mengunyah, sering mengalami sakit gigi sehingga jenis

dan jumlah asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh berkurang

(Almatsier, 2011).

Kejadian konstipasi pada lansia tidak hanya dipengaruhi dengan asupan

viamin C, namun dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah

posisi saat defekasi, kurangnya asupan serat, dan penurunan fungsi saluran

cerna (Fatmah, 2010).

C. Tipe Konstipasi

Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:

1. Konstipasi Fungsional

Kriteria:

Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:

a. Mengedan keras 25% dari BAB

b. Feses yang keras 25% dari BAB

c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB

d. BAB kurang dari 2 kali per minggu

2. Penundaan pada muara rektum

Kriteria:

a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB

b. Waktu untuk BAB lebih lama

c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses

8
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses,

sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi

anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

D. Etiologi

Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah

sebagai berikut:

1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk

defekasi dapat menyebabkan konstipasi.

2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya

daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup

yang berat) sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat

didalam saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat

peristaltik.

3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan

konstipasi.

4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal.

Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna,

memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.

5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek

menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk

menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan

dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam

9
kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat menyebabkan

konstipasi.

6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot

abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi

makanan rendah serat.

7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal),

seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.

8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera

pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.

9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau

hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.

Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:

 Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan

konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari

epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus

spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan

dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah

mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.

 Umur

Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada

orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.

E. Patofisiologi

10
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis

yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan

sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan

kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan

pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang

terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal

dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain:

rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal,

relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan

peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme

ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik

usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses

masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter

anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi

refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis

yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan

untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,

sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot

dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi

sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun

parasimpatis terlibat dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel,

mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi

11
merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak

terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak

mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan

patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena

bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan

konstipasi.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia

lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu

gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu

pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan,

normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian

pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan

perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat

atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari.

Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon

sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.

Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari

kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons

motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena

degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang

saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya

waktu gerakan usus.

12
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar

plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada

reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif

dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon,

motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.

Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan

kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada

perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar

untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan

lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf

pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia

lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat

mengalami tiga perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:

1. Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan

sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih

besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter

eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum

sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk

BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena

tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang

13
dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan

rektum

2. Dis-sinergis Pelvis

Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus

eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan

peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.

3. Peningkatan Tonus Rektum

Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering

ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel

Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

F. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain,

karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang

berbeda-beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang umum ditemukan pada

sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:

1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja

(jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat

terlihat seperti sedang hamil).

2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada

biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat

berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).

14
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang

harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat

mengeluarkan tinja.

4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.

5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat

bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.

6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada

biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau

sama sekali tidak bisa buang

7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit

buang air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).

8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2

dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :

1. Konsistensi feses yang keras,

2. Mengejan dengan keras saat BAB,

3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan

4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

G. Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan

kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan

menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi

mempengaruhi fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut

15
meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat

mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.

Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan

atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot

perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya

tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan

gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa

tinja.

Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara

gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan

dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula

(hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang

bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang

tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.

Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor

risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat

keluarnya darah dari dubur.

Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran

cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita

konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang

menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia,

keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu

dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar

16
mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius.

Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan

pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan

risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal.

Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium

(kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah,

penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga

badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan

kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya

kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan

berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.

G. Penatalaksanaan

Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi

konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik.

Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari

konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat

merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:

1. Pengobatan non-farmakologis

a. Latihan usus besar:

Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan

pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan

mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus

besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat

17
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat

menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB,

dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.

b. Diet:

Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan

usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung

banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam

penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.

Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit

di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan

sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.

c. Olahraga:

Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi

konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur

dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk

memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni

pada otot perut.

2. Pengobatan farmakologis

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi

farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe

golongan obat pencahar :

a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl

selulose, Psilium.

18
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan

menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah

penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.

c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk

digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol,

laktulose, gliserin

d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar.

Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar

golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak

pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya

: Bisakodil, Fenolptalein.

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan

cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya

kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada

konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui

penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa

umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak

dilakukan tindakan pembedahan.

H. Pencegahan

Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:

1. Jangan jajan di sembarang tempat.

2. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.

19
3. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan

cairan lainnya setiap hari.

4. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit

untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat.

5. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air

besar.

6. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan

dan sayur-sayuran.

7. Tidur minimal 4 jam sehari.

20
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Biodata Pasien

b. Keluhan Utama

c. Riwayat Kesehatan

d. Riwayat kesehatan

Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan

durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien

tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan

tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis

dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta

enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau

rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau

diare encer.

e. Riwayat / Keadaan Psikososial

f. Pemeriksaan Fisik

g. Pola Kebiasaan Sehari-hari

h. Analisa Data

Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau,

konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap

21
adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area

peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.

2. Diagnosa

3. Intervensi

4. Implementasi

5. Evaluasi

B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi

Contoh kasus:

Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada

perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB.

Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah

menghabiskan porsi makan sehari-harinya karena kurang nafsu makan. Setelah

dikaji inspeksi terdapat pembesaran abdomen dan saat dipalpasi ada impaksi

feses.

1. Pengkajian

Nama : Evart

Tanggal lahir : 5 November 1945

Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal MRS : 30 November 2010

Alamat : Surabaya

Diagnosa Medis : Konstipasi

Sumber Informasi : Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi

Keluhan utama : nyeri pada perut, seminggu belum BAB

22
Riwayat penyakit sekarang :

Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah.

Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa

BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan

sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas

sehari-hari.

Riwayat kesehatan keluarga :-

Review of system :

a. B1 (Breath) : RR meningkat

b. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat

c. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah

d. B4 (Bladder) : -

e. B5 (Bo wel) : nafsu makan turun, BB turun

f. B6 (Bone) :-

Hasil pemeriksaan fisik umum :

a. Keadaan umum : lemah

b. TTV : tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt,

RR23x/mnt

Pemeriksaan fisik abdomen

a. Inspeksi : pembesaran abdomen

23
b. Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses

c. Perkusi : redup

d. Auskultasi : bising usus tidak terdengar

Analisa Data:

No Data Etiologi Masalah

1. Data subjektif : Pola BAB tidak Konstipasi

Seminggu tidak BAB, teratur

kebiasaan BAB tiga

kali sehari Eliminasi feses

Data objektif : tidak lancar

Inspeksi : pembesaran

abdomen. konstipasi

Palpasi : perut terasa

keras, ada impaksi

feses.

Perkusi : redup.

Auskultasi : bising usus

tidak terdengar

2. Data subjektif: Sulit BAB Resiko devisit

Klien tidak nafsu makan Perut terasa nutrisi

begah

24
Data objektif:

Bising usus tidak Nafsu

terdengar makan menurun

Menurunnya

intake

makanan

3. Data subjektif: konsistensi tinja Nyeri Akut

Keluhan nyeri dari yang keras

pasien

sulit keluar

Data objektif:

Perubahan nafsu makan Akumulasi di

kolon

Nyeri abdomen

2. Diagnosa

a. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot abdomen

b. Resiko Defisit nutrisi berhubungan dengan Ketidakmampuan mengabsobsi

nutrien

c. Nyeri akut berhubungan dengan faktor pencedera fisiologis

25
3. Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi

Hasil

1. Konstipasi Tujuan : 1.1 periksa tanda dan

berhubungan dengan Setelah dilakukan gejala konstipasi

kelemahan otot asuhan keperawatan 1.2 Identifikasi resiko

abdomen selama 1x24 jam konstipasi

diharapkan masalah 1.3 Lakukan masase

defekasi teratur dan abdomen

normal klien teratasi 1.4 Ajarkan cara

dengan Kriteria Hasil mengatasi konstipasi

1. Distensi Abdomen 1.5 Kolaborasi

Menurun penggunaan obat

2. Nyeri abdomen pencahar

menurun

3. Kram abdomen

menurun

2. Resiko Defisit nutrisi Tujuan : 2.1 identifikasi status

berhubungan dengan Setelah dilakukan nutrisi

Ketidakmampuan asuhan keperawatan 2.2 Identifikas makanan

mengabsobsi nutrien selama 2 x 24 jam yang disukai

diharapkan Nafsu 2.3 Sajikan makanan

26
makan pasien dapat secara menarik dan suhu

teratasi dengan yang normal

kriteria hasil 2.4 Anjurkan makan

1. Porsi makanan posisi duduk

yang dihabiskan 2.5 Kolaborasi dengan

meningkat ahli gizi untuk

2. Verbalisasi menentukan jumlah

keinginan untuk kalori dan jenis nutrisi

meningkatkan nutrisi yang dibutuhkan.

membaik

3. Nafsu makan

mebaik

3. Nyeri akut Tujuan : 3.1 identifikasi lokasi,

berhubungan dengan Setelah dilakukan karakteristik, durasi,

faktor pencedera asuhan keperawatan frekuensi, kualitas dan

fisiologis selama 1 x 12 jam kuantitas

diharapkan masalah 3.2 Identifikasi skala

nyeri akut klien nyeri

teratasi dengan 3.3 Kontrol lingkungan

kriteria hasil yang memperberat nyeri

1. Melaporkan nyeri 3.4 Anjurkan teknik

terkontrol nonfarmakologi untuk

2. Kemampuan mengurangi rasa nyeri.

27
mengenali penyebab 3.5 Kolaborasi

nyeri pemberian analgetik

3. Keluhan nyeri

menurun

4. Implementasi & Evaluasi

No. Waktu Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan Evaluasi Proses

1. Senin, 18 Konstipasi 1.1 Melakukan S: Klien meengatakan


Oktober konstipasi berkurang
2019 berhubungan dengan periksa tanda dan
O : pembesaran
Jam 10.00 kelemahan otot gejala konstipasi
abdomen
abdomen 1.2 Mengidentifikasi
berkurang. perut
resiko konstipasi
terasa lemah,.
1.3 Melakukan
A: masalah Konstipasi
masase abdomen teratasi

P: Petahankan Intervensi
1.4 Mengajarkan cara

mengatasi konstipasi

1.5 Melakukan

kolaborasi

penggunaan obat

pencahar

2. Senin, 18 Resiko Defisit nutrisi 2.1 Mengidentifikasi S: Klien nafsu makan


Oktober berhubungan dengan
2019 status nutrisi meningkat
Ketidakmampuan
Jam 12.00 mengabsobsi 2.2 Mengidentifikas O: Bising usus
nutrien

28
makanan yang terdengar, klien

disukai menghabiskan

2.3. Menyajikan makanan

makanan secara A: Masalah Resiko

menarik dan suhu Defisit Nutrisi

yang normal Teratasi

2.4. Menganjurkan P: Pertahankan

makan posisi duduk Intervensi

2.5. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrisi yang
dibutuhkan.

3. Senin, 18 Nyeri akut 3.1 Mengidentifikasi S: Klien mengatakan


Oktober berhubungan dengan
2019 faktor pencedera lokasi, karakteristik, keluhan nyeri
Jam 15.00 fisiologis durasi, frekuensi, berkurang

kualitas dan kuantitas O: Nyeri Abdomen

3.2 Mengidentifikasi berkurang

skala nyeri A: Masalah Teratasi

3.3 Mengontrol Sebagian

P: Pertahankan Intervensi
lingkungan yang

memperberat nyeri

3.4 Menganjurkan

teknik

29
nonfarmakologi

untuk mengurangi

rasa nyeri.

3.5 Melakukan

Kolaborasi pemberian

analgeti

30
BAB IV

JURNAL

Setiap individu memiliki pola defekasi berbeda-beda yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah asupan serat. Secara

fisiologis serat makanan didefenisikan sebagai karbohidrat yang resisten

terhadap enzim hidrolisis saluran pencernaan manusia. Berdasarkan data

RISKESDAS 2013, Sumatera Barat menempati urutan ketiga terendah

konsumsi serat di seluruh provinsi Indonesia.

Konstipasi yang teradi sesekali, mungki tidak berdampak pada

gangguan sitem tubuh, namun bila Konstipasi ini terjadi berulang dalam

jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi antara lain , Hipertensi

arterial, Impaksi fekal, Hemoroid.

Sesuai dengan penelitia yang dilakukan oleh Kusumawati dan Dwi

Widyastuti menyatakan bahwa pola defekasi tidak hanya dipengaruhi oleh

kosumsi serat tetapi juga dari cara pengolahannya.

Konstipasi pada lansia dapat diatasi dengan melakukan penyesuaian

pola makan dan perubahan gaya hidup. Makanan kaya serat (30- 35%),

misalnya gandum, buah-buahanan dan sayuran dapat meringankan konstipasi.

Namun, mengkomsumsi makanan kaya serat dalam jumlah besar secara tiba-

tiba dapat menyebabkan perut terasa tidak enak dan kembung. sebaiknya

31
mengkonsumsi makanan secara teratur dan minum air dalam jumlah cukup

(6-8 gelas/hari). Perubahan gaya hidup, misalnya: olahraga teratur dapat

memperbaiki saluran cerna.

Hasil analisis responden menunjukan bahwa sebagian responden

Kejadian konstipasi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Saigon

Kecamatan Pontianak Timur dikatagorikan sakit sebesar 75,4%. Berdasarkan

analisis peritem pertanyaan mengenai konstipasi, seperti bentuk tinja lansia

sebagian besar (75,4%), bulat kecil, ukuran tinja kecil, merasa tidak puas

setelah BAB, merasa nyeri saat BAB, jumlah BAB tidak banyak (64,5%)

serta memiliki riwayat BAB sebelumnya (64,6%) dan lama riwayat BAB

tersebut < 2 bulan (69,2%). Lebih dari setengah responden yaitu sebanyak 37

responden (37,4%) di Panti Sosial Sabai Nan Aluih Sicincin mengalami

kejadian konstipasi3.

Adapun intervensi yang dapat dilakukan dengan pijat perut dapat

mengatasi konstipasi pada lansia. Nilai lebih pijat perut yang lain, adalah

dapat digunakan secara efektif dan dapat diaplikasikan oleh siapa saja

(Ikaristi et al. 2015). Pijat perut dapat menstimulasi saraf parasimpatis yang

berada di area abdomen, sehingga akan meningkatkan mekanisme gerakan

peristaltik menjadi lebih cepat dan memperkuat otot-otot abdomen serta

membantu sistem pencernaan sehingga dapat berlangsung dengan lancar

(Ginting et al. 2015)

Pijat perut yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik

Swedish massage. Pijat ini dilakukan selama 7 hari 10-15 menit dengan

32
tekanan ringan sampai dengan sedang. Pijat ini juga menggunakan gerakan

memutar searah jarum jam dengan arah naik pada kolon asenden dan

transfersum kemudian menurun pada kolon desenden.

Menurut Saeger & Kyle (2008) mengatakan bahwa arah pijat perut

yang baik adalah searah jarum jam. Gerakan dan tekanan ringan sampai

dengan medium yang dilakukan juga memiliki efek dapat merangsang saraf

parasimpatis pada usus dan meningkatkan sirkulasi darah (Trisno 2011).

Lamas et al (2009) mengatakan dengan diberi rangsangan dari luar berupa

pijatan dapat menstimulasi sistem persarafan parasimpatis organ usus dan

memicu gerakan massa pada kolon. Sinclair (2011) mengatakan bahwa pijat

perut dapat membuat waktu transit feses dikolon memendek, meningkatkan

frekuensi buang air besar, dan menurunkan ketidaknyamanan saat buang air

besar sehingga feses lebih mudah dikeluarkan. Trisno (2011) mengatakan

pijat perut dapat memperlancar peredaran darah sehingga terasa lebih rileks.

Pijat perut berpengaruh terhadap tingkat konstipasi lansia dikarenakan

pijat ini menggunakan penekanan ringan sampai dengan medium dan searah

dengan arah jarum jam, hal ini sesuai dengan pendapat Saeger & Kyle (2008).

Pijat perut ini dilakukan rutin dalam 7 hari selama 10-15 menit, pijat perut

yang dilakukan secara rutin dipercaya dapat membantu merangsang saraf-

saraf parasimpatis sehingga peristaltik usus meningkat dan otot abdomen

menjadi lebih kuat.

33
Massase Abdomen

Pengertian Massase Abdomen adalah tindakan pemijatan pada abdomen.


Massase abdomen merupakan salah satu manajemen usus
(bowel management) (NHS, 2014). Massage abdomen dapat
menurunkan konstipasi melalui beberapa mekanisme yang
berbedabeda antara lain dengan: menstimulasi sistem
persyarafan parasimpatis sehingga dapat menurunkan tegangan
pada otot abdomen, meningkatkan motilitas pada sistem
pencernaan, meningkatkan sekresi pada sistem intestinal serta
memberikan efek pada relaksasi sfingter (Lamas, 2009 dalam
Sinclair,2010).

Indikasi untuk 1. Klien dengan konstipasi akut dan kronis


melakukan 2. Klien dengan Kram perut
Massase 3. Enema
abdomen 4. Klien dengan penggunaan obat pencahar ( Laxatives) tiap
hari.

Tujuan 1. Mengurangi konstipasi pada orang dewasa (Wang & Yin,


2015).
2. Meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014).
3. Meningkatkan frekuensi defekasi, mempercepat defekasi,
dan rasa nyaman saat defekasi (Kristamuliana, 2015).
4. Meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga
mengurangi mengedan (McClurg & Lowe-Strong, 2011)

Alat dan 1. Sarung tangan bersih


bahan 2. Minyak
3. Bantal Selimut atau handuk.

Prosedur 1. Persiapan diri perawat

34
2. Siapkan Alat
3. Menjaga privasi klien
4. Posisikan Klien Supine dengan kepala didukung bantal dan
selimut untuk menutupi bagian tubuh lain.
5. Jelaskan pada klien tujuan tindakan dan manfaatnya untuk
klien
6. melakukan pengusapan pada saraf vagus, dari puncak iliaka
hingga ke kedua sisi panggul yaitu pada pangkal paha
tujuannya untuk merangsang persyarafan sistem pencernaan
sehingga merangsang gerakan peristaltik usus.
7. Melakukan pengusapan pada kolon dari kolon asenden,
transversum, hingga desenden dengan tekanan yang semakin
meningkat untuk merangsang kontraksi kolon sehingga feses
terdorong ke dalam rectum
8. Melakukan pemerasan pada kolon dari asenden, transversum,
hingga desenden untuk memecahkan feses, terutama pada
feses yang menumpuk di rectum sehingga feses lebih mudah
dikeluarkan.
9. Melakukan pengusapan lagi sepanjang kolon kemudian
melakukan pengusapan melintang ringan di atas abdomen
serta
10. Melakukan vibrasi pada dinding abdomen untuk
menghasilkan flatus/ membantu pengeluaran gas.

35
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air

besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang,

jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi

di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-

nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan

kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik,

efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa

juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau

fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan

dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah

konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah

mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah

pada buah dan sayur.

B. Saran

Saran dari kami yaitu sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah

dengan mengonsumsi makanan yang berserat.

36
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadsyah I, et al,.1997.Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed

Sjamsuhidajat R, Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.

Jakarta: EGC

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC

http://eprints.ums.ac.id/38013/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41747/Chapter%20II.pdf;s

equence=4

37

Anda mungkin juga menyukai