Kelompok 3 :
I. PENDAHULUAN
Era globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi terutama bidang transportasi,
informasi dan komunikasi mendorong berkembang pesatnya perdagangan internasional,
mobillisasi dana dan sumberdaya internasional. Perkembangan tersebut mendorong perluasan
perdagangan yang semula hanya dalam bentuk ekspor (langsung) menjadi pengoperasian agen,
kantor perwakilan dan akhirnya pembukuan cabang usaha atau pelaksanaan kegiatn usaha
secara penuh. Pada tataran berikutnya untuk memperkuat pijakan bisnis di negara tersebut,
perusahaan dapat melakukan investasi langsung (foreign direct investment) dalam bentuk
pengoperasian anak perusahaan (subsidiary company) atau penguasaan atas kepemilikan atau
pengendalian perusahaan afiliasi.
UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan teritorial
terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN dari sumber di
luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Sehubungan dengan sistem tersebut,
beberapa masalah akan muncul antara lain:
a) Indonesia sebagai negara tempat berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di luar negara tersebut.
b) Karena penghasilan tersebut pada umumnya telah dikenakan pajak di negara sumber
(sebagai pemegang primary tax rigths) akan menimbulkan pajak berganda
internasional.
c) Bagaimana Indonesia memberikan keringanan pajak berganda tersebut.
Baik pengoperasian agen, kantor perwakilan, cabang atau anak perusahaan di luar
negeri akan memberikan penghasilan kepada WPDN (sebagai pengusaha atau investor).
Berikut ini akan dibahas pemajakan atas penghasilan usaha atau kegiatan mancanegara.
II. USAHA DAN KEGIATAN MANCANEGARA
Secara berurutan dari Pasal 1, 2(e), dan 2(4)a UU PPh, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dapat dikenakan
pajak oleh negara tersebut apabila aktivitas ekonomi dimaksud mencapai kriteria BUT karena
pada tataran itu WPLN dapat dianggap telah berpartisipasi penuh dalam kegiatan
perekonomian Indonesia, memanfaatkan jasa dan layanan publik yang tersedia serta tataran
usahanya sudah sejajar dengan perusahaan WPDN dan oleh karenanya sudah harus ikut
berpartisipasi dalam pembiayaan negeri ini. Sebaliknya, apabila kegiatan tersebut belum
mencapai kriteria BUT nampaknya penghasilan (hanya) dikenakan pajak oleh negara domisili
dan oleh karena itu untuk memberikan kesempatan pengusaha WPLN lebih meningkatkan
partisipasi ekonominya Indonesia belum tepat saatnya untuk mengenakan pajak.
Dalam Pasal 4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan adalah
meliputi baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN
dilakukan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak
(orang atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Oleh
karenanya, berbeda dengan pemajakan terhadap WPLN yang dikenakan pajak berdasar
pertalian objektif, apakah penghasilan WPDN mempunyai sumber dari luar atau malahan dari
dalam Indonesia nampak agak kurang relevan. Relevansi penentuan sumber penghasilan (dari
luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka pemberian kredit pajak luar negeri, karena
kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau
dibayar atas penghasilan melainkan dari apakah penghasilan dimaksud berasal dari sumber di
luar Indonesia. Walaupun penghasilan tersebut berasal dari sumber di luar Indonesia, namun
selanjutnya apabila tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud
akan dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.
Sehubungan dengan penghasilan dari usaha dan kegiatan, kriteria ambang batas BUT
sepertinya kurang relevan. Apakah penghasilan diperoleh tanpa (misalnya ekspor) atau dengan
melalui BUT selalu dikenakan pajak oleh Indonesia. Namun, apabila terdapat kerugian dari
usaha dan kegiatan di luar negeri tampaknya konsep BUT baru merupakan fenomena yang
perlu dipertimbangkan karena berdasar pertimbangan praktis administratif atau pertimbangan
lainnya, kerugian tersebut (sesuai dengan Penjelasan Pasal 4(1) tidak boleh dikonsolidasikan
dengan penghasilan lainnya. Secara administratif, apabila terdapat kerugian dari usaha atau
kegiatan di luar negeri dapat ditentukan berdasarkan keadaan sebenarnya sesuai dengan
pembukuan wajib pajak. Namun karena terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara
kerugian dari usaha dan kegiatan di dalam negeri (dapat diperhitungkan dengan laba tahun
berikutnya) dengan di luar negeri (tidak boleh diperhitungkan dengan laba dari sumber lain),
maka terdapat rangsangan untuk menjadikan kerugian (luar negeri) ke kerugian dalam negeri
(terlebih kalau di negara sumber tidak ada kemungkinan kompensasi).
Usaha yang jalankan atau kegiatan yang dilakukan di mancanegara, misalnya negara
X, akan dikenakan pajak di negara tersebut apakah dengan memakai kriteria BUT atau tidak
adalah tergantung pada ketentuan domestik negara (X) tersebut. Dengan demikian, tampak
bahwa kriteria ambang batas BUT sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 (5) UU PPh kurang
pas untuk diterapkan terhadap usaha atau kegiatan WPDN yang dijalankan atau dilakukan di
mancanegara, karena sebagai negara berdaulat, negara manca tersebut (tentu) mempunyai
kriteria pemajakan yang belum tentu sama dengan ketentuan Indonesia dan Indonesia tidak
selayaknya , mencampuri urusan pemajakan (dalam negeri) negara dimaksud.
Apabila aktivitas ekonomi negara X tersebut oleh WPDN Indonesia dilaporkan sebagai
kegiatan ekspor (barang, jasa atau hak atas kekayaan intelektual), oleh Indonesia penghasilan
dari kegiatan tersebut dikenakan pajak selayaknya penghasilan domestik (tanpa ada hak atas
kredit pajak). Penghasilan akan diakui per basis akrual pada saat penyerahan barang. Sementara
itu, perbedaan nilai tukar mata uang pada saat pembayaran akan dihitung sebagai keuntungan
atau kerugian karena perbedaan nilai tukar valuta asing.
Apabila aktivitas ekonomi mencapai level ambang batas BUT, pada umumnya negara
tempat usaha dan kegiatan ekonomi dilakukan (sumber) mengenakan pajak atas penghasilan
dari aktivitas tersebut berdasarkan basis neto (net basis) dan dengan tarif normal (yang berlaku
terhadap badan WPDN) sesuai dengan ketentuan domestik negara sumber.
Pasal 1 (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2002 menyatakan bahwa
penggabungan (konsolidasi) penghasilan dari usaha dan kegiatan di luar negeri dilakukan
dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (basis akrual). Pemajakan berdasarkan
tahun perolehan tersebut lebih menyandarkan pada accounting treatment WP atas penghasilan
usaha atau kegiatan yang diperoleh di luar negeri dimaksud. Dalam hal ini ketentuan pajaak
penghasilan bersikap netral (tax neutrality), atas perlakuan akuntansi wajib pajak yang pada
umumnya akan berlaku standar akuntansi keuangan. Selaras dengan sistem self assessment,
WPDN tersebut harus melaporkan penghasilan dimaksud dalam SPT Tahunannya.
Pada saat ini kita maklum bahwa belum banyak pengusaha atau investor Indonesia,
yang memperluas usaha dan kegiatannya ke mancanegara. Oleh karena itu, masalah diatas
dirasa belum merupakan suatu hal yang perlu untuk dipertimbangkan secara sungguh-sungguh,
terutama dari segi potensi penerimaan Negara. Namun, selaras dengan gegap gempitannya
alam globalisasi dan menderunya upaya pemerintah untuk menggairahkan ekspor bukan tidak
mungkin dalam waktu dekat ini semakin tumbuh dan berkembang fenomena perluasan usaha
dan kegiatan ke mancanegara terutama selaras dengan pendekatan aliansi strategis bisnis
mancanegara.
Misalnya apabila di tahun 2005 diketahui adanya koreksi penghasilan tahun 2000, maka
SPT tahun 2000 tidak perlu dikoreksi. Koreksi cukup dilakukan atas SPT tahun 2005 saja,
penghasilan positif dan negative dikonsolidasikan dengan penghasilan domestic tahun 2005
tersebut.
3. Kerugian
Pada huruf a penjelasan pasal 2(2) disebutkan bahwa WPDN dikenakan pajak atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari indonesia dan dari luar indonesia (basis
global). Dehubungan dengan pemajakan global (world wide income taxation) tersebut, Gerhard
Laule dalam General Report untuk Cahiers de Droit Fiscal International (1979) menyatakan
bahwa dalam sistem pemajakan global dimaksud, laba (penghasilan positif) dan rugi
(penghasilan negatif) dari pendirian (establishment) di luar negeri secara langsung
diperhitungkan (digunggungkan)dalam penentuan penghasilan kena pajak. Dengan demikian
lanjutnya, kerugian yang didapat dari usaha dan kegiatan di luar negeri pada prinsipnya boleh
dikurangkan langsung dari penghasilan global. Merujuk pada pemikiran tersebut, maka rasanya
cukup beralasan untuk mengonsolidasikan kerugian luar negeri pada tahun didapatnya
kerugian tersebut ("full consolidation"). Konsolidasi tersebut rasanya juga dapat diterima
dengan mengingat bahwa secara ekonomis (bisnis) istilah penghasilan dapat berkonotasi
penghasilan negatif (rugi).
Namun barangkali untuk tujuan praktis administratif,secara agak kurang selaras dengan
pemikiran Laule, penjelasan Pasal 4(1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian yang didapat
diluar negeri tidak boleh dikonsolidasikan (digunggungkan) dengan penghasilan global
("partial consolidation"). Kurang begitu jelas dasar pemikiran lain dari perlakuan konsolidasi
parsial tersebut. Kemungkinan selain kesulitan teknis praktis untuk meyakinkan kebenaran
angka kerugian mancanegara, juga dalam praktik kerugian tersebut sudah dapat
dikompensasikan di negara sumber berdasarkan ketentuan domestik, dan hal ini dapat
mengeliminasi praktik kompensasi ganda (double dipping) yaitu rugi sudah dikompensasikan
(vertikal) di (indonesia). Kompensasi rugi mancanegara akan mengurangi potensi pajak
domestik. Dengan konsolidasi parsial demikian, UU PPh lebih menyerahkan pemberian
kompensasi kerugian kepada ketentuan domestik negara sumber.
Dalam pengembangan sayap usaha dan kegiatannya, dapat terjadi bahwa cabang usaha
atau kegiatan luar Negara (di negeri X) WPDN Indonesia memperluas usahanya ke Negara
ketiga (di Negara Y) atau menerima penghasilan pasif berupa dividen, bunga dan sebagainya
dari Negara lain (Negara Z). Kalau ketentuan Pasal 24 (3)(e) UU PPh menyatakan bahwa
sumber penghasilan BUT (cabang) adalah Negara BUT menjalankan usaha atau kegiatan,
dapat muncul pertanyaan apabila penghasilan dari Negara ketiga dan keempat tersebut
dianggap diperoleh melalui BUT dinegara kedua (Negara X) atau dianggap tidak diperoleh
BUT di Negara X tetapi langsung diperoleh WPDN Indonesia dari Negara Y dan Z atau
dianggap diperoleh BUT di Negara X (sebagai secondary source country) dari Negara Y dan
Z (sebagai primary source country)
Misalnya, penghasilan cabang di Negara X (dengan tariff 25%) WPDN adala 1000,
penghasilan dari sub cabang di Negara Y (dengan tariff pajak 20%) adalah 500 dan penghasilan
bunga dari Negara Z (dengan tariff potongan pajak 15%) adalah 400, dengan penghasilan
domestic 2000 (tariff pajak maksimal 30%) perhitungan pajak WPDN tersebut dengan
pendekatan Juch (globalisasi BUT) dan Ovebasch (non globalisasi BUT) Nampak sebagai
berikut :
Terhadap beberapa badan yang berada dalam satu kesatuan ekonomis (economic entity), di
beberapa negara manca diberlakukan pendekatan konsolidasi pemajakan atau penyatuan pemajakan.
Pada umumnya, jumlah kepemilikan dipakai sebagai dasar (kriteria) penentu konsolidasi tersebut.
Karena dianggap sebagai satu kesatuan ekonomis, walaupun dengan kesatuan legal terpisah, untuk lebih
memberikan manfaat ekonomis, beberapa badan tersebut, untuk tujuan pemajakan dianggap sebagai
satu kesatuan pemajakan. Sementara di Amerika Serikat pendekata tersebut disebut “tax return
consolidation”, di negeri Belanda dikenal sebagai “fiscal unity”. Untuk keperluan administratif dan
konsistensi, badan – badan yang tergabung dalam kesatuan pemajakan tersebut dianggap bergabung
untuk masa sekurang – kurangnya lima tahun. Selain kesederhanaan administrasi pemajakan, salah satu
keuntungan ekonomis sistem tersebut adalah eliminasi penghasilan antarbadan dari jaringan pemajakan.
Hal ini akan memberikan penghematan pajak (tax saving) kepada grup.
Untuk mengeliminasi pajak berganda ekonomis atas dividen, Pasal 4(3)(f) UU PPh
memberikan eksemsi pajak atas dividen antar badan dengan beberapa persyaratan. Persyaratan
dimaksud antara lain adalah (1) penerima dividen merupakanbadan (termasuk koperasi) WPDN, dan
(2) pembagi dividen harus badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, (3)
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, (4) penerima dividen harus memiliki saham badan
pembagi dividen paling sedikit 25% dari jumlah modal disetor, dan (5) penerima dividen harus
mempunyai usaha aktif di luar pemilikan saham. Karena keringan pajak tersebut bersifat teritorial dan
tidak diperluas ke mancanegara, maka tiap dividen yang diperoleh atau diterima dari investasi saham
pada badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia tetap dikenakan pajak
penghasilan. Pengenaan pajak tersebut dilakukan pada saat dividen tersebut diterima oleh WPDN.
Karena pada prinsipnya WPDN dikenakan pajak per basis neto, semua pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan (dividen luar negeri) tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan
kena pajak. Sehubungan denga konsep “match – link” antara biaya dan pengahasilan yang
dilperkenalkan dalam penjelasan Pasal 6 (1) (a) UU PPh serta pendekatan limitasi per negara dalam
pemberian keringan kredit pajak luar negeri, nampaknya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dividen luar negeri tersebut merupakan beban langsung (direct expense) atas
penghasilan dimaksud.
Dalam pemajakan terhadap badan hukum terdapat berbagai model integrasi antara pajak
penghasilan personal dengan pajak korporate sehubungan dengan distribusi penghasilan korporat
kepada personal dalam bentuk dividen.
Diantara beberapa negara telah menginegrasikan pemajakan korporat dengan personal dalam
sistem imputasi (imputation system) atau integrasi penuh (full integration). Dalam sistem imputasi
(credit system), badan dianggap sebagai sarana ekonomi untuk memperoleh penghasilan maka pajak
penghasilan badan dapat dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi. Di Indonesia hanya pajak
atas dividen saja yang dapat dikreditkan.
Otonomi sistem pemajakan, selain memberikan netralitas ekspor modal dan konsistensi pada
sistem domestik (walaupun menyimpang dari sistem di negara sumber) dapat memberikan tambahan
potensi penerimaan pajak Indonesia.
Pemajakan atas dividen sumber luar negeri baik dari pemiliksaham mayoritas (anak
perusahaan) atau saham minoritas (portofolio) adalah sama, semuanya dikenakan pajak pada saat
penerimaan (on remittance basis) dividen tersebut oleh pemegang saham WPDN, begitu juga dengan
bunga, sewa dan royalti. Pemindahbukuan antarrekening di bank atau perusahaan dapat merupakan
petunjuk adanya penerimaan atau perolehan penghasilan. Demikian juga kalau terjadi assignment atau
factoring atas penghasilan atas hak penerimaan atas beberapa penghasilan tersebut.
Sebagai penghasilan WPDN, yang dikenakan per basis neto, biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan mancanegara
tersebut. Penjelasan Pasal 4 (1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian dari luar negeri tidak boleh
dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya (walaupun UU PPh menganut sistem pemajakan global).
Walaupun di batang tubuh Pasal 4 (1) tidak membatasi globalisasi penghasilan, namun dalam
penjelasan dinyatakan bahwa kompensasi kerugian horizontal tidak termasuk “kerugian yang diderita
di luar negeri”. Kerugian atau penghasilan kapital atau pasif negatif luar negi tidak dapat diperhitungkan
dalam gunggungan penghasilan global. Perlakuan sama (equal treatment) diterapkan baik terhadap
penghasilan dan kegiatan maupun dividen, bunga, sewa, dan rooyalti.
V. PENGHASILAN LAINNYA
Selain penghasilan dari usaha dan kegiatan, serta dividen, bunga, sewa dan royalti terdapat
kemungkinan bahwa WPDN memeperoleh atau menerima penghasilan lainnya dari sumber di luar
Indonesia. Seperti, keuntungan dari penjualan harta (sekuritas, harta bergerak maupun tak bergerak),
keuntungan dari pengalihan hak atau atas kekayaan intelektual (intelectual property rights), hadiah
undian, olahraga, honorarium dari pemberian jasa dan kegiatannya lainnya, pembayaran berkala, ganti
rugi dan sebagainya. Semua penerimaan dan perolehan dari sumber luar negeri yang menambah
kemampuan ekonomis WPLN tersebut merupakan penghasilan kena pajak, tidak peduli apakah
penghasilan tersebut di negara manca dikenakan pajak atau tidak. jika penghasilan tersebut dikenakan
pajak secara final, maka sesuai dengan sistem self assessment adalah merupakan kewajiban wajib pajak
untuk melaporkan penghasilan dan potongan pajaknya dalam SPT pajaknya, karena pengertian
pengenaan pajak final di mancanegara belum tentu langsung dipersamakan (equal treatment) dengan
pemajakan final WPDN penghasilan Indonesia (tanpa melaporkan dalam SPT tahunan). Pajak yang
dibayar atau dipotong di luar negeri walaupun dianggap final tetap dapat dikreditkan dengan pajak
Indonesia karena sistem final tersebut berlaku di negara sumber terhadap WPLN (dalam hal ini adalah
WPDN Indonesia). Namun apabila Indonesia dengan berpegang pada prinsip persamaan perlakuan dan
menganggap bahwa, selaras dengan ketentuan domestik, potongan pajak final di luar negeri tidak perlu
lagi dilaporkan dalam SPT tahunan, hal tersebut akan lebihy memperlonggar iklim investasi dan
mobilitas dana (ke luar) walaupun, dalam hal ini Indonesia boleh jadi harus mengorbankan potensi
penerimaannya (tax expenditures) dan sekaligus melanggar prinsip netralitas ekspor modal (capital
export neutrality) dan lebih memilhak pada prinsip netralitas impor modal (capital impor neutrality).
Karena Indonesia tidak memberlakukan eksensi pajak (tax exemption) yang didasari oleh kebijakan
netralitas impor modal, selaras dengan kebijakan kerdit pajak luar negeri (yang didasari oleh kebijakan
netralitas ekspor modal) dan mempertimbangkan pula akn kebutuhan modal (investasi) untuk
pembangunan dalam negeri dan keterbatasan dana pembiayaan pemerintah kiranya pemberlakuan
pengenaan pajak atas semua penghasilan luar negeri WPDN dalam kondisi dan keadaan apapun
merupakan pilihan yang bijaksana.
Apabila Indonesia telah menutup P3B dengan negara tempat WPDN Indonesia menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan ekonomi atau menerima penghasilan lainnya, hak pemajakan dari
negara mitra runding tersebut akan dibatasi oleh P3B dimaksud.
Pembatasan tersebut dapat berupa mempersempit definisi (kriteria) ambang batas pemajakan
penghasilan usaha dan kegiatan profesionil (BUT) sehingga semakin memperbesar porsi pemajakan
Indonesia. Demikian juga dengan pengalokasian hak pemajakan atas suatu kategori penghasilan juga
menambah potensi penerimaan pajak Indonesia. Pengurangan tarif potongan pajak atas penghasilan
pasif yang berupa dividen, bunga dan royalti akan menaikkan potensi penerimaan dari residual – taxing
right Indonesia sebagai negara domisili. Fasilitas pertukaran informasi tentang kegiatan ekonomi atau
perolehan penghasilan WPDN Indonesia oleh negara mitra runding akan semakin meningkatkan
transparansi dan disklosur SPT wajib pajak serta kepatuhan WPDN dimaksud.
VII. PENUTUP
Kesimpulan
UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan teritorial
terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN dari sumber di
luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Dalam Pasal 4(1) dinyatakan bahwa
cakupan geografis sumber penghasilan adalah meliputi baik dari dalam maupun dari luar
Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN dilakukan berdasarkan pertalian subjektif
(subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak (orang atau badan yang bersangkutan) berada
dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Oleh karenanya, berbeda dengan pemajakan terhadap
WPLN yang dikenakan pajak berdasar pertalian objektif, apakah penghasilan WPDN
mempunyai sumber dari luar atau malahan dari dalam Indonesia nampak agak kurang relevan.
Relevansi penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka
pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada
tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan dari apakah
penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun penghasilan tersebut
berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila tidak ada pajak yang terutang
atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak)
seperti penghasilan dalam negeri.
VIII. DAFTAR PUSTAKA