Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah
untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain,
diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal pada jantung untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Pada kondisi gagal jantung kongestif adanya
peningkatan tekanan vaskular pulmonal akibat gagal jantung kiri menyebabkan
overload tekanan serta gagal jantung kanan.1

Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler termasuk


didalamnya Congestive Heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang
tinggi, menurut data WHO pada tahun 2007 dilaporkan bahwa gagal jantung
mempengaruhi lebih dari 20 juta pasien didunia dan meningkat seiring pertambahan
usia dan mengenai pasien dengan usia lebih dari 65 tahun, dan sekitar 6-10% lebih
banyak mengenai laki-laki daripada wanita.2

Menurut Centers for Disease Control and Prevention, di Amerika Serikat


sekitar 5,7 juta orang dewasa menderita gagal jantung dan setengah dari pasien yang
menderita gagal jantung akan meninggal dalam 5 tahun. Selain itu data yang
dilansir AHA (American Heart Association) memproyeksikan prevalensi gagal
jantung akan meningkat sebesar 46% dari tahun 2012 hingga 2030 yang mana
nantinya > 8 juta orang yang berusia ≥ 18 tahun akan mengalami gagal jantung.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan


bahwa penyakit jantung masih merupakan penyebab utama dari kematian terbanyak
pasien di Rumah Sakit Indonesia dengan prevalensi. Data prevalensi penyakit
ditentukan berdasarkan hasil wawancara pada responden umur ≥ 15 tahun berupa
gabungan kasus penyakit yang pernah di diagnosis dokter atau kasus yang
mempunyai gejala penyakit gagal jantung.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Heart Failure (Gagal Jantung)


2.1.1. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di
mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan
jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian. Gagal jantung dikenal dalam
beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan, dan kombinasi atau kongestif. Pada
gagal jantung kiri terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer
yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Gagal jantung kanan ditandai
dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis. Gagal
jantung kongestif adalah gabungan dari kedua gambaran tersebut. Namun
demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara
bersamaan.4
2.1.2. Epidemiologi

WHO (2016), mencatat 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat gangguan
kardiovaskular. Lebih dari 75% penderita kardiovaskular terjadi di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, dan 80% kematian kardiovaskuler
disebabkan oleh serangan jantung dan stroke.2

Berdasarkan data Riskesdas Tahun 2013, prevalensi gagal jantung di


Indonesia sebesar 0,3%. Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil
wawancara pada responden umur ≥ 15 tahun berupa gabungan kasus penyakit yang
pernah didiagnosis dokter atau kasus yang mempunyai gejala penyakit gagal
jantung. Angka kejadian gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, tertinggi pada umur 65-74 tahun (0,5%), untuk yang terdiagnosis dokter,
sedikit menurun >75 tahun (0,4%) tetapi untuk yang terdiagnosis dokter prevalensi
lebih tinggi daripada perempuan (0,2%) dibanding laki-laki (0,1%) berdasarkan

2
diagnosis dokter atau gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan
perempuan.3

2.1.3. Etiologi

Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu.


Yang paling sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah
kerusakan atau berkurangnya otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya
resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi
(AF). Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit
miokard, dan 70% akan berkembang menjadi gagal jantung. Masing - masing 10%
dari penyakit jantung katup dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga.

Tabel 1 Penyebab gagal jantung kongestif

Penyebab Gagal Jantung Kiri (Shah, 2007)


Gangguan kontraktilitas
Infark miokardium
Transient myocardial ischemia
Beban volume: regurgitasi katup (mitral atau aorta)
Kardiomiopati dilatasi
Peningkatan afterload (beban tekanan)
Hipertensi sistemik
Obstruksi aliran: stenosis aorta
Obstruksi pengisian ventrikel kiri
Stenosis mitral
Konstriksi pericardial atau tamponade
Gangguan relaksasi ventrikel
Hipertrofi ventrikel kiri
Kardiomiopati hipertrofi
Kardiomiopati restriktif

3
Penyebab Gagal Jantung Kanan
Penyebab jantung
Gagal jantung kiri
Stenosis katup pulmonal
Infark ventrikel kanan
Penyakit parenkim paru
Penyakit paru obstruksi kronis
Penyakit paru interstisial
Adult respiratory distress syndrome
Infeksi paru kronis atau bronkiektasis
Penyakit vaskular paru
Emboli paru
Hipertensi pulmonal primer

2.1.4. Faktor Risiko

a. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi pada LV,
infark miokard, obesitas, diabetes.
b. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik,
albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.
c. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.
d. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.
e. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi (antrasiklin,
siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase
inhibitor), NSAID, kokain, alkohol.
f. Faktor genetik seperti riwayat dari 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎5

2.1.5. Patofisiologi

Pada Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang
tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan

4
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung.
Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun
gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi
tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel 𝑘𝑖𝑟𝑖.6

Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin-


Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan
kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan
cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan
terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta,
kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory center
yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis
posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga
reabsorbsi air 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡.6
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi
simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan
kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan
dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi
neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural
jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang lebih
lanjut .7

5
Gambar 1 Patofisiologi Gagal Jatung Kongestif
Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan
remodeling ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit ;
(2) perubahan sumber kontraksi miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat
nekrosis, apoptosis dan kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergic;
(5) kelainan metabolisme miokardium; (6) perubahan struktur matriks ekstraselular
miosit.
Remodeling ventrikel kiri dapat diberikan sebagai perubahan massa,
volume, bentuk dan kondisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah bentuk
jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi semakin
meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurang jumlah afterload yang
mengurangi stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi peningkatan
end-diastolic wall stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke subendokardium
yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri; (2) peningkatan stress oksidatif dan
radikal bebas yang mengaktivasi hipertrofi ventrikel.

6
Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam
penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga
hal diatas berkontibusi dalam progesivitas penyakit gagal jantung.7

2.1.6. 𝐊𝐥𝐚𝐬𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢𝟖

Tabel 2 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kapasitas fungsional New


York Heart Association (NYHA) (PERKI, 2015)

Kelas 1 Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifita fisik.


Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Kelas 2 Terdapat batasan fisik ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas 3 Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Kelas 4 Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas.

7
Tabel 3 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung
American Heart Assosiaciation (AHA) (PERKI, 2015)

Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal


jantung. Tidak terdapat gangguan structural atau fungsional
jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan
dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau
gejala
Stadium C Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit
struktural jantung yang mendasari
Stadium D Penyakit jantung struktual lanjut serta gejala gagal jantung
yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat
terapi medis maksimal (refrakter)

2.1.7. Manifestasi Klinis

Tabel 4. Manifestasi klinis gagal jantung menurut ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure (𝟐𝟎𝟏𝟐)𝟖

Gejala Tanda

Tipikal Spesifik

 Sesak napas  Peningkatan TVJ


 Ortopneu  Refluks hepatojugular
 Paroxysmal nocturnal dyspnoe  Suara jantung S3 (gallop)
 Toleransi aktifitas yang berkurang  Apex jantung bergeser ke lateral
 Cepat lelah  Bising jantung
 Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal

 Batuk di malam/dini hari  Edema perifer

8
 Mengi  Krepitasi pulmonal
 BB bertambah >2 Kg/minggu  Suara pekak di basal paru pada
 BB turun (gagal jantung stadium perkusi
lanjut)  Takikardi
 Perasaan kembung/begah  Nadi ireguler
 Nafsu makan menurun  Nafas cepat
 Perasaan bingung (terutama pasien  Hepatomegali
usia lanjut)  Asites
 Depresi  Kaheksia
 Berdebar
 Pingsan

2.1.8. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks,
elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, dan kateterisasi.

a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien akan mengeluh gejala khas gagal jantung, yaitu
sesak nafas dyspnea d’effort (DOE), orthopnea (OE), dan paroxysmal nocturnal
dispnea (PND), edema tungkai, dan kelelahan. Selain itu, dokter juga harus
menggali faktor risiko dari pasien, seperti riwayat hipertensi, diabetes melitus,
hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, kelainan katup, kelainan vaskular
perifer, demam reumatik, penggunaan kardiotoksik, alkoholisme, penyakit tiroid,
dan lain-lain, dan juga riwayat keluarga, seperti penyakit aterosklerosis,
kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan konduksi, miopati
skeletal, dan lain-lain. Gejala gagal jantung yang timbul tidak berhubungan dengan
beratnya disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai tanda-tanda gagal jantung seperti
takikardia, S3gallop, peningkatan/ekstensi vena jugularis, refluks hepatojugular,
pulsus alternans, kardiomegali, ronki basah halus di basal paru, dan bisa meluas ke

9
kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada pasien yang rawat
jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura lebih sering pada paru
kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup
mitral dan perikarditis konstriktif. Selain itu, dapat ditemukan hepatomegali, nyeri
tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik,
ikterus yang berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin (direk dan
indirek), ekstremitas dingin, pucat, dan berkeringat.

Untuk menegakkan diagnosis gagal jantung, harus memenuhi dua kriteria


mayor atau paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor dari kriteria
Framingham di bawah ini: 9

Tabel 5. Kriteria Framingham9


Kriteria Mayor Kriteria Minor Mayor atau Minor

 Paroxysmal nocturnal dyspnea  Edema ekstremitas  Penurunan berat badan


 Distensi vena leher  Batuk malam hari ≥4,5 kg dalam 5 hari
 Peningkatan vena jugularis  Dyspnea d’effort terapi
 Ronki paru  Hepatomegali
 Kardiomegali  Efusi pleura
 Edema paru akut  Penurunan kapasitas
 S3 gallop vital paru 1
/3 dari
 Refluks hepatojugular positif normal
 Takikardia (>120
kali/menit)

c. Pemeriksaan Laboratorium Rutin


Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien yang diduga mengalami gagal
jantung adalah darah lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah, profil lipid,
albumin, enzim hati, INR, dan urinalisa. Konsentrasi peptida natriuretik yang
normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan

10
membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang
dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil. Pemeriksaan troponin dilakukan pada
penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner
akut.

d. Foto Thoraks

Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan diagnostik pendahuluan


yang harus dilakukan pada kasus gagal jantung. Pada foto toraks dapat dijumpai
kardiomegali, kongesti paru (distensi vena pulmonalis dan redistribusinya ke apeks
paru dengan gambaran opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks), efusi pleura
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak napas.
Tabel 6. Abnormalitas Foto Toraks yang Umum Ditemukan pada Gagal
Jantung

Abnormalitas Penyebab

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atrium, efusi


pericardial

Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi

Tampak paru Bukan kongesti paru


normal

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan tekanan pengisian jika


efusi bilateral

Infeksi paru pasca bedah/keganasan

11
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik

Area paru Emboli paru atau emfisema


hiperlusen

Infeksi paru Pneumonia sekunder akibat kongesti paru

Infiltrat paru Penyakit sistemik

e. Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting,


meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi, dan membantu
menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain).
Abnormalitas EKG sering dijumpai pada pasien gagal jantung namun memiliki
nilai prediktif kecil dalam diagnosis. Kelainan segmen ST berupa infark miokard
dengan elevasi segmen ST (STEMI) atau Non-STEMI. Gelombang Q pertanda
infark transmural sebelumnya. Adanya hipertrofi, bundle branch block,
disinkronitas elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia, atau
perimiokarditis harus diperhatikan. Selain itu, dapat juga ditemukan low voltage, T
inversi, depresi ST, dan lain-lain. Gagal jantung dekompensasi dapat terlihat
gambaran sinus takikardia atau atrial tachycardia/atrial flutter/atrial
fibrillationpada EKG.

f. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam


melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Pemeriksaan ini dapat menilai
informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan perikard dengan
cepat. Diagnostik biasanya sensitif pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah. Pada
pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
rendah (<35–40%) atau normal (>45–50%), kelainan katup (stenosis mitral,
regurgitasi mitral, stenosis trikuspid, atau regurgitasi trikuspid), hipertrofi ventrikel

12
kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi ventrikel kanan atau
atrium kanan, efusi perikard, tamponade, perikarditis.

Gambar 2. Algoritma diagnostik gagal jantung10

2.1.9. Penatalaksanaan
 Non farmakologis

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan


pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.

13
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.

a. Ketaatan pasien berobat


Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
b. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
c. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
d. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
e. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan
stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia.
f. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah
sakit atau di rumah.

14
 Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung adalah
sebagai berikut:

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)


o Indikasi:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala. Kecuali
kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk
dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
o Kontraindikasi:
Riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >5 mmol/l,
serum kreatinin >2,5 mg/dl, stenosis aorta berat.

2. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan
sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi
angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %, sebagai pilihan
alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV
NYHA) yang intoleran ACE-I. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk.

15
Kontraindikasi pemberian ARB: Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema,
pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan.Monitor fungsi
ginjal dan elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACE-I.

3. Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan
pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal
berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA), dosis optimal
penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB).
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron: Konsentrasi serum kalium
>5 mmol/l, serum kreatinin >2,5 mg/dl, bersamaan dengan diuretik hemat kalium
atau suplemen kalium, kombinasi ACEI dan ARB.

4. β-blocker (penyekat β)

Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik


dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian penyekat β: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala


ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA), ACEI/ARB (dan antagonis
aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada
perubahan dosis diuretik,tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda
retensi cairan berat).

16
Kontraindikasi pemberian penyekat β: Asma, blok AV (atrioventrikular)
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus
bradikardia (nadi <50x/menit).

Tabel 7. Dosis Obat Gagal Jantung

Dosis awal (mg) Dosis target (mg)

ACE-I

Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 -100 (3x/hari)

Enalapril 2,5 (2 x/hari) 10 – 20 (2x/hari)

Lisinopril 2,5 – 5 (1 x/hari) 20 – 40 (1x/hari)

Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2x/hari)

Perindopril 2 (1x/hari) 8 (1x/hari)

ARB

Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)

Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)

Antagonis aldosteron

Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)

Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)

Penyekat β

Bisoprolol 1,25 (1x/hari) 10 (1x/hari)

Carvedilol 3,125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)

Metoprolol 12,5/25 (1x/hari) 200 (1x/hari)

17
5. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti.
Tabel 8. Dosis Obat Diuretik pada Gagal Jantung

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis target (mg)

Diuretik Loop

Furosemide 20 – 40 40 – 240

Bumetanide 0,5 – 1,0 1–5

Torasemide 5 – 1,0 10 – 20

Tiazid

Hidrochlorotiazide 25 12,5 – 100

Metolazone 2,5 2,5 – 10

Indapamide 2,5 2,5 – 5

Diuretik hemat kalium

Spironolakton (+ACEI/ARB) 12,5 – 25 (+ACEI/ARB) 50

(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100 –


200

 Edukasi dan pencegahan


Saat ini, pencegahan gagal jantung kongestif terutama ditujukan bagi
manajemen faktor risiko individual. Untuk penyakit arteri koroner, rencana
perawatan pasien ditargetkan berdasarkan risiko individu yang terkait dengan
berbagai kombinasi faktor risiko, misalnya, tujuan tekanan darah atau tingkat low-

18
density lipoprotein. Namun ada banyak faktor risiko gagal jantung kongestif yang
tidak bisa diintervensi, misalnya usia dan jenis kelamin.

2.1.10. Komplikasi

a. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam


atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
b. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung
(dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).
c. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan
dosis ditinggikan.
d. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden
cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.

2.1.11. Prognosis

Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20%
dan pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis.
Angka ini dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca diagnosis. Mortalitas
pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV, ACC/AHA tingkat D sebesar lebih
dari 50% pada tahun pertama.11

19
BAB III
KESIMPULAN

Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di


mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan
jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian. Gagal jantung dikenal dalam
beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan, dan kombinasi atau kongestif. Pada
gagal jantung kiri terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer
yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Gagal jantung kanan ditandai
dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis. Gagal
jantung kongestif adalah gabungan dari kedua gambaran tersebut. Namun
demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara
bersamaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah
kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) beban awal
dan beban akhir. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Untuk penegakan diagnosa gagal jantung kongestif juga
dapat menggunakan kriteria Framingham. Kriteria diagnosis yang dipakai adalah
dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari kriteria
Framingham untuk diagnosis gagal jantung. Penanganan yang diberikan dapat
berupa penanganan farmakologis dan non farmakologis.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Berkowitz, Aaron. (2013). Lecture Notes Patofisiologi Klinik Disertai


Contoh Kasus Klinik. Tangerang Selatan: Binarupa.
2. WHO. 2016. Prevention Of Cardiovascular Disease. WHO Epidemiologi
Sub Region AFRD and AFRE. Genewa.
3. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
4. McPhee, S. J., & Ganong, W. F. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar
menuju kedokteran klinis. Jakarta: EGC.

5. Lilly L.S. 2011. Pathophysiologi of Heart Disease 5’th Edition.


Philladelphia: Lippincolt William and Wiskins
6. Mann, D.L., 2012, Braunwalds Heart Disease a textbook of Cardiovascular

Medicine (9theds)
7. Santoso, A. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpinan
Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia 2015.
8. American Heart Association (AHA). 2015. Heart disease and stroke
statistics
9. Panggabean MM. 2010. Gagal Jantung. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
10. McMurray et al. 2012. ESC Guidelines for The Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure. European Heart Journal
11. Ioana Dumitru, MD. 2016 Heart Failure: Practice Essentials, Background,
Pathophysiology. J Medscape.

21

Anda mungkin juga menyukai