∗
e-Mail: ahmad.suhendra@gmail.com
ABSTRAK
Gubal yang dihasilkan pohon gaharu merupakan respon terhadap infeksi mikroba/cendawan yang masuk ke dalam jaringan
luka. Luka pada pohon gaharu dapat disebabkan secara alami maupun buatan, dan respon gaharu terhadap luka tersebut
umumnya dengan mengeluarkan suatu senyawa fitoeleksin. Senyawa fitoeleksin dapat berupa resin aromatik yang pada gaharu
didominasi oleh seskuiterpen dan kromon yang berwarna coklat atau hitam serta merupakan senyawa penentu kualitas dan
aroma harum dari gubal gaharu yang banyak digunakan sebagai pengharum dan obat-obatan. Saat ini telah banyak ditemukan
cendawan yang diisolasi dari gubal gaharu di alam tetapi belum diketahui potensinya dalam membentuk gubal gaharu itu
sendiri sehingga dibutuhkan suatu kajian untuk melihat potensinya melalui proses inokulasi buatan. Cendawan yang umum-
nya diperoleh dari hasil isolasi pada gubal gaharu adalah dari genus Fusarium. Pada penelitian ini telah dilakukan proses inoku-
lasi buatan menggunakan 3 inokulum Fusarium F1, F2 dan F3 (milik BPPT) dan 1 inokulum Fusarium F4 (milik FORDA)
sebagai kontrol positif dan 1 buah kontrol negatif (F0). Penelitian dilakukan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimatan
Timur. Inokulasi dilakukan pada 100 pohon gaharu (Aquilaria beccariana) dengan metoda penyuntikan pada lubang hasil pe-
ngeboran dengan jarak 10 cm tiap lubang secara vertikal yang memiliki kedalaman sepertiga diameter batang. Pengamatan
hasil inokulasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada hari ke-77 dan ke-148 setelah inokulasi dengan parameter pengamatan
berupa tingkat keharuman, penyebaran infeksi arah vertikal dan horisontal serta luas permukaan infeksi. Berdasarkan hasil
analisis statistik dapat disimpulkan bahwa inokulum F1 merupakan inokulum yang paling potensial dari 3 koleksi isolat milik
BPPT meskipun potensinya masih di bawah inokulum F4.
tikal lebih besar dari pada horisontal hal ini karena in-
feksi vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang
tanaman yang tersusun atas sel-sel vessel secara ver-
tikal dan berfungsi sebagai jalur transportasi air dan
cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan
sel-sel tersebut untuk memperluas invasi (Eka Novri-
ayanti, 2008).[5] Perkembangan infeksi secara horisontal
cenderung melambat seiring waktu (G AMBAR 4). G AMBAR 5: Pengaruh inokulasi Fusarium terhadap luas infeksi
Hasil analisis statistik pada pengamatan ke-2 me-
nunjukkan bahwa peningkatan luas areal infeksi ter-
jadi pada semua perlakuan. Luas areal infeksi tertinggi mulasi metabolit sekunder di area sekitar lubang in-
diperoleh dari perlakuan F4, namun demikian pening- feksi. Pada perlakuan F3, meskipun terjadi peningkatan
katan luas areal tertinggi dihasilkan dari perlakuan F1. luas infeksi tetapi tingkat keharuman justru menurun.
Hal ini diduga bahwa Fusarium F1 memiliki laju per- Hal tersebut diduga bahwa luasan infeksi yang ter-
tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan per- lihat adalah jejak infeksi yang sempat meluas, tetapi
lakuan lain (G AMBAR 5). sebenarnya tanaman sudah masuk ke tahap pemulihan
Secara umum peningkatan luas infeksi berkorelasi di mana infeksi cendawan telah terhenti sehingga ta-
dengan peningkatan tingkat keharuman yang terjadi naman tidak memproduksi senyawa metabolit sekun-
karena kedua parameter tersebut dipengaruhi oleh aku- der.