Dalam praktik, Mahkamah Agung sudah merintis agar yang bisa diangkat menjadi jurusita adalah orang
yang sudah bergelar strata satu, terutama sarjana hukum.
Sasaran
Dalam menjalankan tugasnya, terutama sita eksekusi, jurusita sering menjadi sasaran. Jurusita adalah
garda terdepan abdi pengadilan pada saat eksekusi berlangsung. Dialah yang acapkali membacakan amar
putusan pengadilan yang memerintahkan eksekusi. Jika pihak yang kalah bersedia dengan sukarela,
jurusita juga merasa puas. “Pada prinsipnya pengadilan kan tidak bisa memaksa,” kata Budi Raharjo,
jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tetapi di lapangan, kata Budi dan Kamari, kenyataan sering berkata lain. Pihak yang kalah sering
menggunakan preman atau anggota ormas tertentu untuk menjaga lahan yang akan dieksekusi. “Kita
berhadapan dengan orang-orang yang dikasih uang,” ujar jurusita bergelar magister hukum ini. Jurusita
menjadi sasaran aksi preman penjaga lahan sudah sering terjadi. Jurusita dikejar-kejar, diludahi, bahkan
digebuk. “Bisa terjadi kontak fisik,” sambungnya.
Dalam kasus semacam ini, jurusita tidak mungkin jalan sendiri. Selain kemampuan lobi, seorang jurusita
harus melakukan koordinasi dengan petugas keamanan. Kalau sengketa menyangkut lahan, jurusita juga
harus berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Koordinasi itu tak bisa dilakukan
mendadak. Rentang waktu putusan dengan eksekusi sering lama karena masalah koordinasi. “Rentang
waktunya biasanya lama,” kata Kamari.
Apapun tantangan tugasnya, seorang jurusita tetap harus mempertanggungjawabkannya kepada Ketua
Pengadilan. Pasal 53 UU Peradilan Umum mewajibkan hakim mengawasi jurusita, panitera, dan
sekretaris. Yang dipantau hakim termasuk perilaku jurusita. Bukan mustahil, jurusita mendapat teguran
dari ketua pengadilan jika dinilai salah melakukan pendekatan pada saat eksekusi lahan. Bisa juga
terkena sanksi karena pelanggaran. Jurusita adalah pejabat peradilan yang riskan karena dalam sita
eksekusi berhadapan dengan uang dan kekuatan.
Waktu memberikan sambutan pada Rakernas Mahkamah Agung di Palembang, awal Oktober 2009 lalu,
Ketua MA Harifin Tumpa secara halus juga menyindir para pegawai pengadilan termasuk jurusita. Kata
Harifin, masih banyak pengaduan dari masyarakat karena pegawai fungsional tak memberikan pelayanan
yang baik. Persidangan terlambat karena penundaan sidang tanpa alasan yang jelas. “Masih ada petugas
pengadilan yang sengaja memperlambat pengiriman berkas perkara,” sambung Harifin.
Ke depan, tantangan bagi hamba pengadilan pada umumnya, khususnya jurusita, akan kian beragam.
Termasuk masalah transparansi pengadilan dan kemajuan teknologi. Menyangkut isu terakhir, misalnya,
di lingkungan Pengadilan Agama sudah muncul gagasan panggilan sidang lewat dunia maya. Apapun
tantangannya, panitera tetaplah pejabat peradilan yang harus menjauhkan diri dari pelanggaran hukum
dan kode etik.
Kirim Komentar
BERITA TERKAIT:
Back »
Home · Tentang Kami · Redaksi · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi · Bantuan dan FAQ ·
Karir ·
38
Shares