Anda di halaman 1dari 5

Agar tugas-tugas administrasi pengadilan tidak terganggu, Mahkamah Agung biasanya menetapkan

jumlah pejabat jurusita di setiap pengadilan. Di pengadilan kelas I A, jumlah juru sita adalah lima dan
jurusita pengganti 10 orang. Bandingkan dengan jumlah panitera maksimal 32 orang. Di pengadilan kelas
I B, jumlah jurusita 4 orang dan jurusita pengganti 8 orang. Di pengadilan kelas II jumlahnya berkurang,
sehingga masing-masing berjumlah 3 dan 6. Dalam jenjang kepangkatan pegawai, jurusita adalah
pengatur muda, golongan II. Dengan demikian terungkap bahwa jumlah jurusita pengganti adalah dua
kali lipat jurusita.

Soal kesejahteraan, jurusita juga mendapatkan ‘berkah’ remunerasi di lingkungan peradilan. Menurut
Budi Raharjo, besaran gaji sangat tergantung pada golongan. Sedangkan besaran tunjangan sudah
ditetapkan. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2007 menetapkan tunjangan seorang jurusita sebesar
Rp285 ribu (PN Kela IA), Rp270 ribu (kelas IB), dan Rp260 ribu (kelas II). Sedangkan jurusita pengganti
berturut-turut Rp245 ribu, Rp235 ribu, dan Rp225 ribu per bulan.

Syarat-Syarat Menjadi Jurusita Pengadilan

Berdasarkan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum

· Warga Negara Indonesia

· Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

· Setia kepada Pancasila dan UUD 1945


· Berijazah pendidikan menengah

· Berpengalaman sebagai jurusita pengganti minimal tiga tahun

· Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban

Jenjang jurusita dan jurusita pengganti tersebut berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi jurusita.
Kualifikasi pendidikan dan pelatihan jurusita lebih rendah dibanding hakim dan panitera. Untuk menjadi
jurusita seseorang cukup lulus Sekolah Menengah Umum. Syarat yang khusus bagi jurusita pengganti
adalah punya pengalaman minimal tiga tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tingkat pertama,
plus lulus seleksi penyaringan dan pendidikan. Sedangkan jurusita harus sudah berpengalaman minimal
tiga tahun sebagai jurusita pengganti. Selebihnya adalah syarat sehat jasmani dan rohani, WNI, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Khusus jurusita di Pengadilan
Agama, ada syarat tambahan yakni jurusita beragama Islam. Itu normatifnya.

Dalam praktik, Mahkamah Agung sudah merintis agar yang bisa diangkat menjadi jurusita adalah orang
yang sudah bergelar strata satu, terutama sarjana hukum.

Sasaran

Dalam menjalankan tugasnya, terutama sita eksekusi, jurusita sering menjadi sasaran. Jurusita adalah
garda terdepan abdi pengadilan pada saat eksekusi berlangsung. Dialah yang acapkali membacakan amar
putusan pengadilan yang memerintahkan eksekusi. Jika pihak yang kalah bersedia dengan sukarela,
jurusita juga merasa puas. “Pada prinsipnya pengadilan kan tidak bisa memaksa,” kata Budi Raharjo,
jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tetapi di lapangan, kata Budi dan Kamari, kenyataan sering berkata lain. Pihak yang kalah sering
menggunakan preman atau anggota ormas tertentu untuk menjaga lahan yang akan dieksekusi. “Kita
berhadapan dengan orang-orang yang dikasih uang,” ujar jurusita bergelar magister hukum ini. Jurusita
menjadi sasaran aksi preman penjaga lahan sudah sering terjadi. Jurusita dikejar-kejar, diludahi, bahkan
digebuk. “Bisa terjadi kontak fisik,” sambungnya.

Dalam kasus semacam ini, jurusita tidak mungkin jalan sendiri. Selain kemampuan lobi, seorang jurusita
harus melakukan koordinasi dengan petugas keamanan. Kalau sengketa menyangkut lahan, jurusita juga
harus berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Koordinasi itu tak bisa dilakukan
mendadak. Rentang waktu putusan dengan eksekusi sering lama karena masalah koordinasi. “Rentang
waktunya biasanya lama,” kata Kamari.

Apapun tantangan tugasnya, seorang jurusita tetap harus mempertanggungjawabkannya kepada Ketua
Pengadilan. Pasal 53 UU Peradilan Umum mewajibkan hakim mengawasi jurusita, panitera, dan
sekretaris. Yang dipantau hakim termasuk perilaku jurusita. Bukan mustahil, jurusita mendapat teguran
dari ketua pengadilan jika dinilai salah melakukan pendekatan pada saat eksekusi lahan. Bisa juga
terkena sanksi karena pelanggaran. Jurusita adalah pejabat peradilan yang riskan karena dalam sita
eksekusi berhadapan dengan uang dan kekuatan.
Waktu memberikan sambutan pada Rakernas Mahkamah Agung di Palembang, awal Oktober 2009 lalu,
Ketua MA Harifin Tumpa secara halus juga menyindir para pegawai pengadilan termasuk jurusita. Kata
Harifin, masih banyak pengaduan dari masyarakat karena pegawai fungsional tak memberikan pelayanan
yang baik. Persidangan terlambat karena penundaan sidang tanpa alasan yang jelas. “Masih ada petugas
pengadilan yang sengaja memperlambat pengiriman berkas perkara,” sambung Harifin.

Ke depan, tantangan bagi hamba pengadilan pada umumnya, khususnya jurusita, akan kian beragam.
Termasuk masalah transparansi pengadilan dan kemajuan teknologi. Menyangkut isu terakhir, misalnya,
di lingkungan Pengadilan Agama sudah muncul gagasan panggilan sidang lewat dunia maya. Apapun
tantangannya, panitera tetaplah pejabat peradilan yang harus menjauhkan diri dari pelanggaran hukum
dan kode etik.

Kirim Komentar

BERITA TERKAIT:

Mediator: Bila Senyum Belum Memihak Para Penengah

Arbiter Harus Mendua

Pustakawan Hukum: Biar ‘Kering’, Yang Penting Kaya Ilmu

Sri Mamudji: Jadi Pustakawan Hukum itu Menyenangkan

Peneliti Hukum: Melihat dengan Lensa Kebutuhan

Appraisal, Profesi Penilai yang Perlu Tahu Hukum

Back »

Ke Atas · Berita · Search


Lihat Versi Desktop

Home · Tentang Kami · Redaksi · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi · Bantuan dan FAQ ·
Karir ·

Copyright © 2020 hukumonline.com, All Rights Reserved

38

Shares

Anda mungkin juga menyukai