Anda di halaman 1dari 10

LITERATURE REVIEW

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DHF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I Prodi D3
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang

Oleh Kelompok:

1. Candra Alif N. 182303101017


2. Dharmayanti Putri J. 182303101018

PRODI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER KAMPUS LUMAJANG
2019
A. Definisi
DBD merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) di Indonesia (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Cara penyebaran DBD
adalah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Candra, 2010). Nyamuk ini sangat cocok
hidup di iklim tropis atau pun sub tropis.

B. Patofisiologi
Virus dengue yang telah masuk ke tubuh akan menimbulkan demam karena
proses infeksi. Hal tersebut akan merangsang hipotalamus sehingga terjadi termoregulasi
yang akan meningkatkan reabsorsi Na dan air sehingga terjadi hipovolemi, selain itu juga
terjadi kebocoran plasma karena terjadi peningkatan permeabilitas membran yang juga
mengakibatkan hipovolemi, syok dan jika tak teratasi akan terjadi hipoksia jaringan yang
dapat mengakibatkan kematian.
Selain itu kerusakan endotel juga dapat mengakibatkan trombositopenia yang
akan mengakibatkan perdarahan, dan jika virus masuk ke usus akan mengakibatkan
gastroenteritis sehingga terjadi mual dan muntah.
Pathway
Nyamk mengandung dengue

Menggigit manusia

Virus masuk aliran darah

Viremia

Mekanisme tubuh melawan virus komplemen antigen


Masuk ke pembuluh
Antonodi meningkat darah otak melalui
Peningkatan asam lambung aliran darah sehingga
mempengaruho
Pelepasan pepsida
hipotalamus
Mual,muntah
Pembebasan histamin

Gangguan pemenuhan Suhu tubuh meningkat


nutrisi; kurang dari Peningkatan permeabilitas
kebutuhan tubuh
Dinding pembuluh darah

Kebocoran plasma plasma banyak


Mengumpul pada
HB turun pendarahan ekstraseluler Jaringan interstitial
tubuh

Nutrisi dan O2 Resti syok


kejaringan hipovolemik Oedeme
menurun

Menekan saraf C
Tubuh lemah

Intoleransi Aktivitas Gangguan


rasa nyaman :
nyeri
C. Tanda dan Gejala
Demam dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus
selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia
dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109 /L dan kebocoran plasma akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan
pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis,
dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah. Terdapat 4
tahapan derajat keparahan DBD, yaitu
1. Derajat I
demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif)
2. Derajat II
derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain
3. Derajat III
ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta
penurunan tekanan nadi ( < 20 mmhg ), hipotensi (sistolik menurun sampai
<80 mmhg), sianosis disekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasien
tampak gelisah.
4. Derajat IV
syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur. (Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan, 2010).

D. Test Diagnostic
1. Rumple Leed
2. Pemeriksaan Darah : Hitung trombosit, hitung leukosit, hitung hematokrit
3. Imunoserologi IgM dan IgG

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan demam dengue (dengue fever/DF) bersifat self-limited disease.
Tidak ada obat anti virus yang spesifik untuk DF.,sehingga hanya membutuhkan rehidrasi
dan antipiretik. Walau demikian, jika kondisi memburuk, diperlukan monitoring dan
bahkan pasien terkadang perlu dimasukkan dalam ICU pada kondisi dengue shock
syndrome.
1. Fase Demam Dengue
Pada awalnya demam dengue (dengue fever/DF) sukar dibedakan dengan infeksi
virus lainnya seperti flu sehingga kebanyakan orang akan mengobatinya sendiri di
rumah, dengan membeli obat-obatan yang dijual bebas untuk menurunkan demam
dan gejala lain yang dirasakan. Pasien yang terinfeksi virus dengue, yang datang ke
ruang gawat darurat, atau ke klinik praktek dokter bisa jadi sudah dalam keadaan fase
lanjut dari sekedar demam saja
Penanganan suportif dengan analgesik, penggantian cairan, dan tirah baring
biasanya memadai untuk penyembuhan DF. Paracetamol dapat diberikan untuk
menurunkan demam dan meredakan gejala-gejala lainnya. Hindari pemberian aspirin,
nonsteroid anti-inflammatory drugs (NSAID), dan kortikosteroid.
Pasien dengan demam tinggi dan bahkan muntah dianjurkan untuk mendapatkan
rehidrasi oral. Monitoring keadaan umum penderita secara berkala, hitung harian
trombosit dan hematokrit per 24 jam haruslah dilakukan mulai hari ke-3 sakit, sampai
1-2 hari setelah masa demam hilang, sebagai deteksi dini terhadap berlanjutnya
penyakit ke fase DHF. Penderita DF yang mengalami penurunan demam, dapat
mengalami renjatan berupa DHF atau DSS.
Nyeri abdomen, gelisah, perubahan status mental, hipotermia dan trombositopenia
adalah petunjuk perkembangan fase penyakit ini ke arah DHF. Bagi pasien dengan
tanda klinis dehidrasi dan terdapat kadar hematokrit tinggi atau trombosit rendah
dianjurkan dirawat untuk diobservasi. Penggantian cairan dilakukan melalui cairan
intravaskular. Pasien yang ada perbaikan setelah menjalani perawatan, dapat
dipulangkan dan berobat jalan. Apabila tidak ada perbaikan, dianjurkan untuk dirawat
di rumah sakit untuk penanganan selanjutnya.
Wanita hamil dengan DF akan responsif terhadap terapi biasa seperti rehidrasi,
istirahat baring, dan antipiretik. Namun, monitoring tes darah laboratorium perlu
dilakukan, sebagai deteksi dini terhadap manifestasi klinis infeksi dengue yang
berlanjut, sehingga penanganan dan perawatan yang tepat dapat segera dilakukan.
Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi. Sebagai
tambahan, bayi baru lahir yang ibunya terkena infeksi dengue pada masa
kehamilannya, memerlukan serial hitung trombosit dan tes serologi.
2. Fase Demam Berdarah Dengue (DHF)
Pasien yang sakitnya berlanjut dengan tanda-tanda jatuh ke dalam DHF
memerlukan observasi ketat. Waspadai keadaan pasien yang menunjukkan tanda-
tanda dehidrasi, seperti: takikardia, bercak-bercak kemerahan pada kulit, kulit terasa
dingin, denyut nadi kadang hilang timbul dan lemah, pasien yang tidak responsif
karena status mental terganggu, urine output berkurang, hematokrit meningkat, dan
hipotensi. Penanganan yang cepat dan upaya rehidrasi melalui intravaskular
dibutuhkan untuk fase penyakit ini. Pada pasien dengan DHF, kadar hematokrit ini
diperiksa tiap 3-4 jam sekali. Evaluasi arterial gas darah penderita secara berkala.
Cairan intravena mungkin diperlukan pada pasien DHF grade I dan II yaitu pada
keadaan dimana pasien muntah dan tidak dapat melakukan rehidrasi oral, atau pada
keadaan dimana kadar hematokrit terus menerus naik. Cairan dapat diberikan
sebanyak jumlah kebutuhan cairan harian + 5% defisit, dan diberikan selama 48 jam.
3. Fase Dengue Shock Syndrome (DSS)
Bila pasien yang menemui dokter sudah dalam keadaan DSS, akan segera dirawat
di ruang ICU. Keberhasilan mengatasi kondisi parah pasien ini membutuhkan
penanganan yang prima terhadap pemberian cairan dan mengatasi perdarahan yang
terjadi. Monitoring dilakukan terhadap:
a. Tekanan darah
b. Tes darah lengkap (complete blood count/CBC) serial, bahkan terkadang
dibutuhkan pemeriksaan kadar hematokrit setiap 2-4 jam
c. Urine output dengan pemasangan uretral kateter
d. Evaluasi arterial gas darah penderita secara berkala
4. Rehidrasi
Cairan isotonik seperti Ringer Laktat bolus 10 ml/kg BB pada anak-anak atau
sebanyak 300-500 ml pada dewasa, diberikan selama 1 jam, biasanya akan adekuat
pada kasus DHF derajat III. Setelah itu, lakukan evaluasi, dan apabila terjadi
perbaikan maka cairan dapat dikurangi menjadi 7.5 ml/kgBB, kemudian 5 ml/kgBB,
dan seterusnya. Bila pemberian cairan ini gagal memperbaiki keadaan pasien, dengan
kadar hematokrit yang meningkat sebagai penentu, pasien dapat diberi plasma
expander. Plasma expander yang dapat digunakan adalah Dextran 40, atau albumin
5% 10-20 mL/kg BB. Apabila pasien alergi terhadap dextran, Starch (Hydroxyethyl
starch) mungkin diberikan sebagai penggantinya. Namun, penggunaan Starch ini
masih kontroversi, karena dapat kerusakan ginjal.
Apabila resusitasi cairan sudah adekuat namun pasien belum menampakkan
perbaikan, kemungkinan pasien mengalami pendarahan. Pasien dengan perdarahan
internal, atau perdarahan gastrointestinal membutuhkan transfusi darah, dan bila
pasien mengalami koagulopati kemungkinan membutuhkan fresh frozen plasma.
Pada DHF grade IV atau DSS berat, resusitasi cairan harus dilakukan lebih
agresif. Cairan dapat diberikan 10 ml/kgBB bolus dan dimasukkan secepatnya,
idealnya dalam 10-15 menit. Apabila tekanan darah membaik, maka tatalaksana
cairan dapat dilanjutkan seperti pada DHF grade III. Namun apabila tidak ada
perbaikan, bolus dapat diulangi, dan apabila diperlukan dapat disiapkan transfusi
darah. Monitoring harus dilakukan secara ketat, dan pemeriksaan penunjang harus
dikejar agar selesai dalam waktu yang singkat agar dapat segera mendeteksi
permasalahn klinis pasien. Apabila sumber perdarahan sudah ditemukan, tatalaksana
definitif untuk menghentikan perdarahan harus segera dilakukan. Misalnya, tampon
hidung pada kasus epistaksis.
5. Proses pemulihan
Setelah pasien yang mengalami dehidrasi ada perbaikan dan keadaannya stabil,
cairan intravena tetap dibutuhkan sampai sekitar 24─48 jam selanjutnya. Pemberian
cairan dihentikan bila hematokrit turun dibawah 40% dan volume intravaskular sudah
adekuat. Pada keadaan ini, tubuh pasien meresorpsi cairan ekstravaskular, dan akan
memiliki risiko kelebihan volume darah (overloading) bila pemberian cairan
intravena dilanjutkan terus.
Tanda-tanda pemulihan diantaranya adalah tanda vital yang stabil, suhu badan
normal, tidak ada tanda perdarahan, perbaikan nafsu makan, tidak ada nyeri perut dan
muntah, volume urin adekuat, hematokrit stabil, dan hilangnya petekie ataupun ruam
dan gatal pada kulit.
6. Indikasi Pulang
Pasien demam dengue (dengue fever/DF) yang dirawat inap dapat dipulangkan
apabila sudah tercapai keadaan sebagai berikut :
a. Demam hilang selama 24 jam tanpa obat antipiretik
b. Secara klinis, keadaan umum pasien ada perbaikan, seperti mau makan
c. Urine output yang adekuat
d. Setidaknya sudah 48 jam berlalu setelah lewat masa DSS
e. Tidak ada gangguan pernafasan

F. Program Pemerintah dalam penanggulangan penyakit DHF


Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit
DB/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya
terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian
vektornya. Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah endemis
tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu memutus rantai
penularan. Hal ini disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu kepada
data/informasi tentang vektor, disamping itu masih mengandalkan kepada penggunaan
insektisida dengan cara penyemprotan dan larvasidasi. Beberapa metode pengendalian
vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat
pusat dan di daerah yaitu:
1. Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor
sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya
akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para
pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program
kemitraan. Sejarah keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan
oleh Kuba dan Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber
nyamuk.
2. Pengendalian Biologis
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi
untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah
digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor
DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik
dan cyclop (Copepoda).
3. Pengendalian Kimia
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa
menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida kalau digunakan secara
tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu
mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka
tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor. Data penelitian yang
dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar pada tahun 2009 yang
dilakukan oleh Shinta dkk menunjukkan resistensi vektor terhadap insektisida
yang digunakan oleh program. Insektisida untuk pengendalian DD/DBD harus
digunakan dengan bijak dan merupakan senjata pamungkas.
4. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi
kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara
berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak
masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN dilingkungan
mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade
mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat
heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya
sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya. (bulletin jendela
epidemiologi, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

1. Candra, Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Pathogenesis, dan Factor
Risiko Penularan. Aspirator.2(2) : 110-119.
2. Ernawati. Bratajaya., Cicilianony, Siska Evi Martina. 2018. Gambaran Praktik Pencegahan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Endemic DBD. Jurnal Keperawatan. 9(1).
3. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah
Dengue. Agustus. 2. Jakarta: Redaksi.

Anda mungkin juga menyukai