PREMATUR
DI RUANG NEONATUS
RSUS Dr. HARYOTO LUMAJANG
Oleh :
NIP. NIM.
PEMBIMBING AKADEMI
NIP.
KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 20-37 minggu (Sinclair,
2010).
Kelahiran prematur adalah kelahiran bayi yang terjadi sebelum usia kehamilan
mencapai 37 minggu (Farrer, 2001).
Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 36 minggu atau kurang
(Purwati & Sulastri, 2019).
Klasifikasi bayi prematur menurut Prawirohardjo (2007: 775) berdasarkan timbulnya
problematik pada derajat prematuritas digolongan menjadi:
1. Bayi yang sangat prematur (extremely premature): 24-30 minggu.
Prawirohardjo (2007: 156-157) menjelaskan, masa gestasi 24-27 minggu ini
disebut permulaan trimester 3, dimana terdapat perkembangan otak yang cepat.
Sistem saraf mengendalikan gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah membuka,
namun kelangsungan hidup pada periode ini sangat sulit bila lahir. Bayi dengan
masa gestasi 28-30 minggu (50-70%) masih dapat hidup dengan perawatan yang
sangat intensif. Berat bayi ±1000-1500 gram.
2. Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately premature): 31-36 minggu.
Berat badan bayi pada masa gestasi ini ±1500-2500 gram. Pada golongan ini
kesanggupan untuk hidup jauh lebih baik dari golongan pertama dan gejala sisa
yang dihadapinya dikemudian hari lebih ringan.
3. Borderline premature : masa gestasi 37-38 minggu. Bayi ini mempunyai sifat-
sifat prematur dan matur. Biasanya berat bayi seperti bayi matur (2500-3400
gram) dan dikelola seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problematik
seperti yang dialami bayi prematur, misalnya sindroma gangguan pernafasan,
hiperbilirubin, daya isap yang lemah, sehingga bayi ini harus diawasi dengan
seksama.
B. Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya kelahiran prematur diantaranya:
1. Faktor ibu yaitu riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum,
malnutrisi, kelainan uterus, hidromion, penyakit jantung /penyakit kronik lainnya,
hipertensi, umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, jarak dua
kehamilan yang terlalu dekat, infeksi, trauma, kebiasaan, yaitu pekerjaan yang
melelahkan, merokok (Prawirohardjo, 2006).
2. Faktor janin, yaitu cacat bawaan, kehamilan ganda, hidramion, ketuban pecah dini
cacat bawaan dan infeksi (Prawirohardjo, 2006).
3. Faktor plasenta yang meliputi plasenta previa, dan solutio plasenta
(Surasmi,Handayani, dan Kusuma, 2003).
4. Faktor khusus: serviks inkompeten
Persalinan prematur berulang, overistensi uterus, kehamilan ganda, kehamilan dengan
hidramnion (Manuaba et al, 2007)
5. Terjadi produksi prostaglandin. Secara anatomis kutub bawah persambungan selaput
janin dengan desidua yang menutupi koralis servikalis tersambung dengan vagina.
Meskipun demikian susunan anatomis ini menyediakan jalan masuk bagi penyebaran
mikroorganisme ke dalam jaringan intrauteri dan kemudian menginvasi kantomh
amnion. Mikroorganisme ini menginduksi pembentukan sitokinin yang memicu
produksi prostaglandin dan mendorong terminasi kehamilan lebih dini (Cunningham,
2006).
6. Terjadi pada wanita multipara, karena adanya jaringan parut uterus akibat kehamilan
dan persalinan sebelumnya (berulang). Yang menyebabkan tidak adekuatnya
persediaan darah ke plasenta sehingga plasenta menjadi lebih tipis dan mencakup
uterus lebih luas. Plasenta yang melekat tidak adekuat ini mengakibatkan isoferitin
yang merupakan protein hasil produki sel limfosils T untuk menghambat reaktivitas
uterus dan melindungi buah kehamilan diproduksi sediki. Sehingga dengan keadaan
demikian risiko untuk mengalami persalinan prematur menjadi lebih besar (Raymond,
2006).
C. Patofisiologi dan Pathway
Bayi prematur adalah bayi yang lahir karena persalinan prematur. Persalinan prematur
menunjukkan adanya kegagalan mekanisme yang bertanggung jawab untuk mempertahankan
kondisi uterus selama kehamilan atau disebabkan karena adanya gangguan yang
menyebabkan singkatnya kehamilan. Kondisi tersebut memicu dimulainya proses persalinan
secara dini. Empat jalur penyebab prematuritas terpisah yaitu stress, infeksi, perdarahan dan
regangan (Norwitz dan John, 2007: 54).
Manuaba (2008: 264) menjelaskan bahwa stress dapat terjadi pada ibu dan janin. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi stress pada ibu yaitu tingkat sosial ekonomi yang rendah,
anemia, gizi kurang, hamil tua tetap kerja, infeksi, grandemultipara, atau jarak hamil yang
pendek yang dapat meningkatkan stress pada ibu sehingga meningkatkan hormon
prostaglandin yang dapat menyebabkan uterus mudah terangsang untuk berkontraksi
(irritable) dan menyebabkan perubahan serviks (serviks menjadi lunak) sehingga
meningkatkan hormon oksitosin yang akhirnya menyebabkan kontraksi uterus dan
mengakibatkan ketuban pecah spontan sehingga terjadi persalinan prematur.
Norwitz (2007: 54) menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi stress pada
janin yaitu hipoksia karena insufisiensi plasenta, infeksi, atau perdarahan. Beberapa faktor
tersebut menyebabkan stress pada janin yang merangsang hipotalamus melepas hormon
Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang kemudian CRH akan merangsang hipofisis
anterior melepas hormon adrenokortikotropin (ACTH). ACTH akan bersekresi menjadi
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) dan kortisol. DHEAS kemudian masuk ke hati,
sedangkan kortisol akan merangsang CRH plasenta. CRH plasenta ada dan ditambah dengan
adanya CRH janin, maka akan merangsang hormon prostaglandin E (PGE2/ PGF2a) yang
menyebabkan kotraksi uterus sehingga mengakibatkan ketuban pecah spontan dan terjadi
persalinan prematur.
Faktor kedua prematuritas menurut Norwitz (2007: 54) yaitu infeksi. Infeksi bisa
disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya ketuban pecah dini (KPD), ibu hamil dengan
penyakit akut (tifus abdominalis atau malaria), ibu dengan infeksi (rubeolla, toksoplasmosis),
ibu yang mempunyai tumor (mioma uteri, sistoma). Faktor-faktor tersebut dapat merangsang
hormon sitokin sebagai respon terhadap stimulus sistem imun yang kemudian merangsang
CRH plasenta dan mengakibatkan timbulnya hormon PGE2 yang kemudian mengakibatkan
kontraksi uterus, lalu menyebabkan ketuban pecah spontan dan terjadi persalinan prematur.
Norwitz (2007: 54) menyebutkan faktor ketiga dari prematuritas yaitu perdarahan. Ada
beberapa faktor yang dapat menjadi sebab terjadinya perdarahan yaitu trauma masa kehamilan
(jatuh), atau solusio plasenta (lepasnya plasenta sebelum waktunya). Hal tersebut dapat
merangsang protrombin menjadi thrombin yang dapat mengakibatkan kontraksi uterus, lalu
terjadi ketuban pecah spontan dan terjadi persalinan prematur. Perdarahan juga bisa
merangsang PGE2 dan menyebabkan kontraksi sehingga terjadi ketuban pecah dan terjadi
persalina prematur.
Faktor keempat yang menyebabkan prematuritas menurut Norwitz (2007: 54) yaitu
regangan. Regangan yang dimaksud adalah regangan uterus. Hal tersebut bisa terjadi karena
beberapa faktor yaitu grandemultipara, hamil <20 tahun >35 tahun, uterus bikornis,
polihidramnion dan hamil kembar. Hal-hal tersebut dapat merangsang oksitosin dan
meningkatkan oksitosin yang kemudian menyebabkan kontraksi dan mengakibatkan ketuban
pecah sehingga terjadi persalinan prematur.
Pathway
Prematuritas
Resiko infeksi
Pemaparan
dengan suhu luar
Kehilangan panas
Malnutrisi Hipoglikemia
Penyakit membran hialin Insuf pernapasan Pertumbuhan dinding dada dan Paru
vaskuler paru belum sempurna
Usus
A. Pengkajian
1. Pengkajian umum
a. Penimbangan berat badan.
b. Pengukuran panjang badan dan lingkar kepala. Pada bayi prematur biasanya
panjang badan kurang dari 46 cm dan lingkar kepala kurang dari 33 cm.
c. Mendeskripsikan bentuk badan secara umum, postur saat istirahat, kelancaran
pernapasan, edema dan lokasinya
d. Mendeskripsikan setiap kelainan yang tampak
e. Mendeskripsikan tanda adanya penyulit seperti warna pucat, mulut yang terbuka,
menyeringai, dan lain-lain
2. Pemeriksaan fisik
a. Kardiovaskuler
Pada bayi prematur denyut jantung rata-rata 120-160/menit pada bagian apikal
dengan ritme yang teratur, pada saat kelahiran kebisingan jantung terdengar pada
seperempat bagian interkostal, yang menunjukkan aliran darah dari kanan ke kiri
karena hipertensi atau atelektasis paru.
b. Gastrointestinal
Pada bayi prematur terdapat penonjolan abdomen, pengeluaran mekonium
biasanya terjadi dalam waktu 12 jam, reflek menelan dan mengisap yang lemah,
tidak ada anus dan ketidaknormalan kongenital lain.
c. Integumen
Pada bayi prematur kulit berwarna merah muda atau merah, kekuning-kuningan,
sianosis, atau campuran bermacam warna, sedikit vernix caseosa dengan rambut
lanugo di sekujur tubuh, kulit tampak transparan, halus dan mengkilap, edema
yang menyeluruh atau pada bagian tertentu yang terjadi pada saat kelahiran, kuku
pendek belum melewati ujung jari, rambut jarang atau bahkan tidak ada sama
sekali, terdapat petekie atau ekimosis.
d. Muskuloskeletal
Pada bayi prematur tulang kartilago telinga belum tumbuh dengan sempurna yang
masih lembut dan lunak, tulang tengkorak dan tulang rusuk lunak, gerakan lemah
dan tidak aktif atau letargik.
e. Neurologis
Pada bayi prematur reflek dan gerakan pada tes neurologis tampak resisten dan
gerak reflek hanya berkembang sebagian. Reflek menelan, mengisap dan batuk
masih lemah atau tidak efektif, tidak ada atau menurunnya tanda neurologis, mata
biasanya tertutup atau mengatup apabila umur kehamilan belum mencapai 25-26
minggu, suhu tubuh tidak stabil atau biasanya hipotermi, gemetar, kejang dan
mata berputarputar yang bersifat sementara tapi bisa mengindikasikan adanya
kelainan neurologis.
f. Pernapasan
Pada bayi prematur jumlah pernapasan rata-rata antara 40-60 kali/menit dan
diselingi dengan periode apnea, pernapasan tidak teratur, flaring nasal melebar
(nasal melebar), terdengar dengkuran, retraksi (interkostal, suprasternal,
substernal), terdengar suara gemerisik saat bernapas.
g. Perkemihan
Pengkajian sistem pekemihan pada bayi dapat dilakukan dengan cara mengkaji
jumlah, warna, pH, berat jenis urine dan hasil laboratorium yang ditemukan. Pada
bayi prematur, bayi berkemih 8 jam setelah kelahirandan belum mampu untuk
melarutkan ekskresi ke dalam urine.
h. Reproduksi
Pada bayi perempuan klitoris menonjol dengan labia mayora yang belum
berkembang atau belum menutupi labia minora. Pada bayi lakilaki skrotum belum
berkembang sempurna dengan ruga yang kecil dan testis belum turun ke dalam
skrotum.
i. Temuan sikap
Tangis bayi yang lemah, bayi tidak aktif dan terdapat tremor.
B. Prioritas Masalah Keperawatan (Sesuai dengan Pathway) (Herdman, 2018)
1. Ketidakefektifan pola napas
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Gangguan motilitas gastrointestinal
C. Intervensi Keperawatan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2016)(Moorhead,
Johnson, Maas, & Swanson, 2016)
1. Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Pola Napas
a. Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
b. Batasan karakteristik
Pola napas abnormal Pernapasan cuping hidung
Perubahan ekskursi dada Ortopnea
Bradipnea Fase ekspirasi memanjang
Penurunan tekanan ekspirasi Pernapasan bibir
Penurunan tekanan inspirasi Takipnea
Penurunan ventilasi semenit Penggunaan otot bantuan pernapasan
Penurunan kapasitas vital Penggunaan posisi tiga-titik
Dispnea
Peningkatan diameter anterior-
posterior
c. Faktor yang berhubungan
Ansietas Hiperventilasi
Posisi tubuh yang menghambat Obesitas
ekspansi paru Nyeri
Keletihan Keletihan otot pernapasan
d. Rencana tindakan
NOC NIC
1) Tujuan 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
Setelah dilakukan tindakan kesulitan bernafas
keperawatan selama … x 24 jam, 2. Monitor pola nafas
diharapkan pola nafas menjadi efektif 3. Monitor kondisi yang mengindikasikan
2) Kriteria hasil perlunya dukungan ventilasi
Irama pernapasan tidak ada 4. Berikan bantuan resusitasi jika diperlukan
deviasi dari kisaran normal 5. Berikan bantuan terapi nafas jika diperlukan
Penggunaan otot bantu nafas
tidak ada
Dispneu saat istirahat tidak
ada
Pernapasan cuping hidung
tidak ada
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) (6th ed.). Philadelphia: Elsevier Inc.
Farrer, H. (2001). Perawatan Maternitas (2nd ed.; Y. Asih, ed.). Jakarta: EGC.
Herdman, T. H. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020 (11th ed.; T. H. Herdman & S. Kamitsuru, eds.). Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th ed.). Philadelphia: Elsevier Inc.
Purwati, N. H., & Sulastri, T. (2019). Tinjauan Elsevier: Keperawatan Anak (1st ed.).
Singapura: Elsevier Inc.
Sinclair, C. (2010). BUKU SAKU KEBIDANAN (E. Meilya & E. Wahyuningsih, eds.).
Jakarta: EGC.