1
c. Standard Kompetensi
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini dalam satu semester, mahasiswa
diharapkan mampu memahami, menerapkan serta mengaplikasikan sasaran
dan strategi serta permodelan-permodelan dalam Ekologi Hewan dengan
benar.
d. Materi
Bab 1. Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan
Bab 2. Hewan dan Lingkungannya
Bab 3. Respon dan Adaptasi Hewan
Bab 4. Habitat dan Relung
Bab 5. Populasi
Bab 6. Suksesi
Bab 7. Ekoenergetika.
2
BAHAN AJAR I
DEFINISI EKOLOGI DAN KONSEP EKOLOGI HEWAN
3
dan ekosistem yang ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi
serta faktor-faktor penting yang menyebabkan keberhasilan maupun
ketidakberhasilan organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam
mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan
informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan
dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan
kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain.
Setelah mempelajari dan memahami hal-hal tersebut, maka pengetahuan ini
dapat kita manfaatkan untuk misalnya, memprediksi kelimpahannya dan
menganalisis keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, menjaga
kelestariannya serta kegiatan lainnya yang menyangkut keberadaan hewan
tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari
habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan
lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat
dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga
kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat
alaminya,memprediksi kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya
dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan
mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.
Adapun ruang lingkup ekologi hewan dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu;
Synekologidan Autekologi. Synekologi adalah materi bahasan dalam kajian atau
penelitiannya ialah komunitas dengan berbagai interaksi antar populasi yang
terjadi dalam komunitas tersebut. Contohnya; mempelajari atau meneliti tentang
distribusi dan kelimpahan jenis ikan tertentu di daerah pasang surut. Autekologi
adalah kajian atau penelitian tentang species, yaitu mengenai aspek-aspek ekologi
dari individu-individu atau populasi suatu species hewan. Contohnya adalah
meneliti atau mempelajari tentang seluk beluk kehidupan lalat buah (Drosophila
sp.), mulai dari habitat, makanan, fekunditas, reproduksi, perilaku, respond an
lain-lain.
4
Menurut Ibkar-Kramadibrata (1992) dan Sucipta (1993), secara garis besar
pokok bahasan dalam ekologi hewan mencakup hal berikut ini;
a. Masalah distribusi dan kelimpahan populasi hewan secara lokal dan regional,
mulai tingkat relung ekologi, microhabitat dan habitat, komunitas sampai
biogeografi atau penyebaran hewan di muka bumi.
b. Masalah pengaturan fisiologis, respon serta adaptasi structural maupun
perilaku terhadap perubahan lingkungan.
c. Perilaku dan aktivitas hewan dalam habitatnya.
d. Perubahan-perubahan secara berkala (harian, musiman, tahunan dsb) dari
kehadiran, aktivitas dan kelimpahan populasi hewan.
e. Dinamika pop[ulasi dan komunitas serta pola interaksi-interaksi hewan dalam
populasi dan komunitas.
f. Pemisahan-pemisahan relung ekologi, species dan ekologi evolusioner.
g. Masalah produktivitas sekunder dan ekoenergetika.
h. Ekologi sistem dan permodelan.
Dengan demikian ruang lingkup Ekologi Hewan meliputi obyek kajian
individu/organisme, populasi, komunitas sampai ekosistem tentang distribusi dan
kelimpahan, adaptasi dan perilaku, habitat dan relung, produktivitas sekunder,
sistem dan permodelan ekologi.
3. Peranan Ekologi Bagi Manusia
Manusia adalah organisme heterotrof di bumi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin maju menyebabkan manusia mengeksplorasi, mengolah
dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga dengan mudah mengubah kondisi lingkungannya
sesuai keinginannya. Dengan keberhasilannya ini dengan mudah menyebabkan
laju peningkatan populasi manusia yang relatif tinggi (2%) pertahun.
Makin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya yang diperlukan manusia
telah menyebabkan makin menciutnya luas lingkungan alami dan makin
bertambahnya lingkungan buatan. Akibat kegiatan manusia tersebut adalah
pencemaran lingkungan oleh limbah buangan industri, kelangkan dan kepunahan
species berbagaim organisme, terjadinya perubahan pola cuaca maupun iklim,
5
semakin lebarnya lubang ozon, timbulnya berbagai jenis penyakit yang berbahaya
dan lain-lain. Manusia kini dihadapkan pada 2 tantangan, yaitu; 1) menjaga
kelestarian ketersediaan sumberdaya, 2) memelihara kondisi lingkungannya.
Menghadapi kedua tantangan tersebut, ekologi sangat berperan, misalnya
penelitian-penelitian yang menghasilkan pemahaman mengenai berbagai aspek
ekologi dari suatu populasi, komunitas ataupun ekosistem sehingga faktor-faktor
penting dapat diketahui dengan tepat serta menghasilkan peramalan yang lebih
akkurat. Hal ini dapat mendukung upaya-upaya yang akan dilakukan manusia,
karena adanya acuan yang lebih baik untuk mencegah terjadinya perubahan-
perubahan maupun kerusakan yang dapat merugikan kondisi lingkungan serta
menjaga kesinambungan ketersediaan sumberdaya agar lestari dan
pemanfaatannya dapat berkelanjutan.
Ekologi hewan bagi manusia cukup penting artinya dalam memberi nilai-
nilai terapan dalam kehidupan manusia. Manfaat tersebut terutama menyangkut
masalah-masalah pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, serta
pengolahan dan konservasi satwa liar. Kisaran toleransi dan faktor-faktor
pembatas telah banyak diterapkan dalam bidang-bidang tersebut. Konsep-konsep
tersebut juga telah melandasi penanganan berbagai masalah seperti pengendalian
hama dan penyakit, penggunaan berbagai species hewan tertentu sebagai indicator
menunjukkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, hubungan predator
mangsa dan parasitoid – inang, vector penyebar penyakit, pengelolaan dan upaya-
upaya konservasi satwa liar yang bersifat insitu (pemeliharaan di habitat aslinya)
maupun exsitu ( pemeliharaan di lingkungan buatan yang menyerupai habitat
aslinya) dan lain-lain. Banyak masalah-masalah yang terpecahkan dengan
mempelajari ekologi hewan yang senantiasa berlandaskan pada konsep efisiensi
ekologi.
4. Permodelan dan Pendekatan dalam Ekologi
Permodelan ekologi disusun dalam menghadapi berbagai kondisi alam
atau lingkungan yang terus menerus berubah atau dinamis. Dalam hal ini manusia
dituntut dapat membuat penjelasan terhadap fenomena-fenomena alam untuk
memperoleh manfaat bagi kepentingan hidupnya maupun meramalkan kejadian
6
yang mungkin akan terjadi guna menghindari efek buruknya bagi manusia.Untuk
dapat memenuhi tuntutan tersebut diperlukan acuan dan peramalan yang lebih
baik dan tepat. Hasil studi tersebut dibuat dalam bentuk permodelan ekologi.
Penyusunannya didukung oleh hasil-hasil penelitian ekologi yang memberikan
informasi kuantitatif dan pengelolaan datanya banyak dibantu oleh teknik-teknik
computer.
Model Ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai
bentuk penerjemahan fenomena ekologi yang sebenarnya dan telah
disederhanakan. Jumlah variable dalam suatu model lebih rendah dari yang
sebenarnya, karena yang ditampilkan hanya faktor-faktor dan proses kuncinya
saja, yaitu yang paling penting serta paling menentukan. Informasi ini didapatkan
dari hasil sejumlah penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif maupunh
eksperimental di lapangan maupun di laboratorium.
Permodelan ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik
sebagai bentuk penerjemahan fenomena ekologp yang sebenarnya dan telah
disempurnakan.
5. Pendekatan dalam Ekologi Hewan
Pendekatan dalam ekologi dapat secara laboratories, lapangan dan
matematik. Dalam ekologi hewan salah satu kendala yang sulit adalah
pengukuran, metode dan teknik pengamatan. Hal ini disebabkan oleh sifat hewan
yang senantiasa bergerak dan berpindah-pindah baik secara liar maupun jinak.
Misalnya menyangkut penentuan kelimpahan dan perilaku hewan yang diteliti,
ukuran tubuh mulai dari milimikron sampai yang besar dan tinggi, stadia
perkembangan, kecepatan dan daya gerak yang berbeda-beda, lingkungan yang
ditempati juga berbeda-beda seperti; habitat daratan, perairan tawar ataupun laut
serta keunikan dan kespecifikan perilaku hidupnya termasuk aktivitasnya dalam
sehari.
Metode dan teknik penelitian bukan saja ditentukan oleh hal-hal tersebut
di atas, tetapi hal lain yang sangat penting adalah tujuan, sasaran dan manfaat dari
penelitian itu. Penelitian ekologi hewan yang bersifat deskriptif ataupun
7
eksperimental dengan data kuantitatif memerlukan desain (rancangan), prosedur
kerja serta pengolahan data secara statistic.
Penelitian eksperimen, pada dasarnya melibatkan 2 komponen atau
perangkat obyek yang diteliti, yakni; perangkat eksperimen (perlakuan) dan
control. Perangkat control merupakan suatu perangkat obyek yang diamati dan
kondisinya serupa benar dengan perangkat eksperimen, kecuali ada hal-hal
tertentu merupakan faktor atau proses yang diteliti atau yang diberikan sebagai
perlakuan.
Pada umumnya penelitian eksperimen dilakukan di dalam laboratorium
yang kondisinya sangat berbeda dengan kondisi di lingkungan alami atau kondisi
habitat alami yang ditempati hewan yang diteliti. Kondisi lingkungan dalam suatu
penelitian laboratorium merupakan kondisi yang dapat dikendalikan oleh peneliti,
misalnya dibuat sangat berbeda dalam satu atau lebih faktor lingkungan
dibandingkan dengan kondisi lingkungan alami atau dibuat sedemikian rupa yang
sangat mirip dengan kondisi lingkungan alami.
6. Aplikasi Konsep Ekologi Hewan
Dalam perkembangannya ekologi telah mengalami diversivikasi dengan
lahirnya cabang-cabang ilmu ekologi lainnya yang lebih spesifik, dengan materi
yang terbatas, khusus dan mendalam yang didasarkan atas kelompok organisme,
misalnya; Ekologi Tumbuhan, Ekologi hewan, Ekologi Parasit, Ekologi Gulma,
Ekologi Serangga, ekologi Burung dan lainnya.
Ekologi Hewan, bahasannya memerlukan pemahaman mengenai aspek-
aspek biologi lainnya juga menyangkut matematika dan statistika. Sebenarnya
konsep, asas ataupun generalisasi dalam ekologi hewan telah banyak memberikan
nilai-nilai terapan yang cukup dalam kehidupan manusia sehari-hari, terutama
dalam bidang-bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehata dan
pengolahan maupun konservasi satwa liar. Penerapan ekologi makin penting
dengan semakin diperlukannya upaya-upaya manusia dalam memelihara
ketersediaan sumberdaya serta kualitas lingkungan hidup yang
berkesinambungan.
8
Dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan, konsep kisaran
toleransi dan faktor pembatas serta dalam masalah pengendalian populasi hama
dan penyakit (Biological Control). Dengan konsep ekologi hewan juga telah
melandasi penggunaan berbagai species hewan tertentu sebagai species indicator
yang menunjukkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, sudah tercemar atau
belum. Konsep lain dalam bidang pertanian dan kesehatan adalah hubungan
predator mangsa dan parasitoid inang. Dalam upaya meningkatkan hasil produk
ikan maupun ternak, pengelolaan satwa liar baik yang bersifat insitu
(pemeliharaan di habitat aslinya) maupun exsitu (pemeliharaan di lingkungan
buatan) seluruhnya berazaskan dan berlandaskan efisiensi ekologi dan azas-azas
ekologi.
- Rangkuman
1. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan interaksi makhluk
hidup dengan lingkungannya.
2. Ekologi hewan adalah cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi antara
hewan dengan lingkungannya yang menentukan sebaran (distribusi) dan
kemelimpahan hewan-hewan tersebut.
3. Sasaran utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar
yang melanda kinerja hewan-hewan meliputi individu, populasi, komunitas
maupun sistem ekologisnya, guna menemukan proses dan mekanisme kunci
untuk menyusun permodelan yang akan dipakai dalam peramalan.
4. Permodelan ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai
bentuk penerjemahan fenomena ekologi yang telah disederhanakan.
5. Ruang lingkup ekologi hewan meliputi kajian individu/organisme, populasi,
komunitas, dan ekosistem tentang distribusi dan kemelimpahan, adaptasi dan
perilaku, habitat dan relung, produktivitas, sistem dan permodelan ekologi.
6. Pendekatan dalam ekologi hewan dapat secara laboratories dan matematik.
7. Aplikasi penerapan ekologi hewan banyak dimanfaatkan dalam bidang
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan konservasi satwa liar.
9
1.4. Daftar Pustaka
Kendeigh, S.C. 1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man.
Prentice Hall, New Jersey.
Krebs, C. 1978. Ecology of the Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Harper Pub. New York.
Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders, Tokyo, Japan.
Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Sounders, Philadelphia.
1.5. Senarai
Ekologi Hewan = Suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-
(distribusi) dan interaksi antara hewan dengan lingkungan
biotic dan abiotiknya yang menentukan sebaran
kemelimpahan hewan-hewan tersebut.
10
BAHAN AJAR 2
HEWAN DAN LINGKUNGANNYA
11
penghujan, dll. Perubahan siklik dapat berskala harian, bulanan, musiman,
tahunan.
b. Perubahan Terarah, suatu perubahan yang terjadi berangsur-angsur, terus
menerus dan progresif dan menuju ke suatu arah tertentu. Prosesnya bisa
lama. Contohnya mendangkalnya danau Limboto di Gorontalo.
c. Perubahan Eratik, suatu perubahan yang tidak berpola dan tidak
menunjukkan arah perubahannya. Contohnya; pengendapan Lumpur
Lapindo di Jawa Timur (Ponorogo), kebakaran hutan, letusan gunung
berapi dan lain-lain.
12
Komunitas dan Ekosistem
Komunitas (biocenose) adalah beberapa jenis organisme yang merupakan
bagian dari jenis ekologis tertentu yang disebut ekosistem unit ekologis, yaitu
suatu satuan lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat bermacam-macam
makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) dan antar sesamanya dan
lingkungan di sekitarnya (abiotik) membntuk hubungan timbale balik yang
salingmempengaruhi.
Ekosistem
Ekosistem adalah suatu unit lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat
hubungan yangfungsional antar sesame makhluk hidup dan antar makhluk hidup
dengan komponen lingkungan abiotik. Hubungan fungsional dalam ekosistem
adalah proses-proses yang melibatkan seluruh komponen biotic dan abiotik
untukm mengelola sumberdaya yang masuk dalam ekosistem. Sumberdaya
tersebut adalah sesuatu yang digunakan oleh organisme untuk kehidupannya,
yaitu energi, cahaya dan unsur-unsur nutrisi.
Interaksi antar komponen di dalam ekosistem menentukan pertumbuhan
populasi setiap organisme dan berpengaruh terhadap perubahan serta
perkembangan struktur komunitas biotic.
Produsen
Produsen terdiri dari organisme autotrof, yaitu organisme yang dapat
menyusun bahan organic dari bahan organic sebagai bahan makanannya.
Penyusunan bahan organic itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan energi
yang diperlukan untuk aktivitas metabolisme dan aktivitas hidup lainnya.
Organisme autotrof adalah; sebagian besar adalah organisme berklorofil, yang
sebagian besar terdiri dari tumbuhan hijau dan sebagian kecil berupa bakteri.
Konsumen
Konsumen adalh komponen biotic yang terdiri dari organisme heterotrof, yaitu
organisme yang tidak dapat memanfaatkan energi secara langsung untuk
memenhuhi kebutuhan energinya. Organisme heterotrof sebagai organisme yang
tidak dapat menyusun bahan organic dari bahan anorganik. Energi kimia dan
13
bahan organic yang diperlukan dipenuhi dengan cara mengkonsumsi energi kimia
dan bahan organic yang diproduksi oleh tumbuhan hijau (produsen).
Organisme yang tergolong konsumen adalah; Herbivore, yaitu memakan
tumbuhan. Misalnya sapi, kuda, kambing, kerbau, kupu-kupu, belalang dan siput.
Karnivor, adalah hewan pemakan hewan lain baik herbivore maupn sesame
karnivor. Karnivor pada umumnya adalah hewan buas (harimau, singa, ular), dan
hewan pemakan bangkai (komodo, burung hantu, dll). Predator juga termasuk
sebagai karnivor. Omnivor, adalah hewan pemakan segalanya baik tumbuhan
maupun hewan yang sudah mati, misalnya kucing, ayam, musang , tikus dan lain-
lain. Detritivor, adalah organisme yang berperan sebagai pengurai
(mikroorganisme) seperti bakteri.
Predator
Predator adalah hewan yang makan hewan lain dengan cara berburu dan
membunuh. Hewan yang dimangsanya adalah hewan yang masih hidup.
Contohnya adalah kucing makan tikus, capung makan serangga.
Parasit
Parasit, adalah hewan yang hidup pada hewan lain. Hidupnya sangat
mempengaruhi inangnya karena semua zat makanan dari inang diserapnya untuk
memenuhi kebutuhannya. Parasit berupa hewan kecil dan organisme kecil yanmg
termasuk jamur dan bakteri pathogen.
Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang pada fase dewasanya hidup bebas, tetapi
pada fase larva berkembang di dalam tubuh (telur, larva dan pupa) serangga lain
yang merupakan inangnya. Serangga parasitoid pada umumnya termasuk pada
ordo Hymenoptera dan Diptera. Hewan dewasa parasitoid meletakkan telurnya di
dekat atau pada tubuh serangga lain (telur, larva dan pupa). Ketika telur parasitoid
yang diletakkan pada tubuh inangnya menetas, selam fase larva itu belum dewasa
akan hidup terus dalam tubuh inang. Larva tersebut akan makan sebagian atau
seluruh tubuh dari inang sehingga menyebakan kematian bagi inangnya.
14
Pengurai
Pengurai, adalah organisme yang berperan sebagai pengurai. Cara
mengkonsumsi makanan tidak dapat menelan dan mencerna makanan di dalam sel
tubuhnya, melainkan harus mengeluarkan enzim pencerna keluar sel untuk dapat
menguraikan makanannya yang berupa organic mati menjadi zat-zat yang
molekulnya kecil sehingga dapat diserap oleh sel.
Mikrobivor
Mikrobivor adalah hewan-hewan kecil yang makan mikroflora (bakteri
dan fungi). Hewan ini berupa protozoa dan nematoda.
Detritivor
Detritivor adalah hewan yang makan detritus, yaitu bahan-bahan organic
mati yang berasal dari tubuh tumbuhan dan hewan. Hewan yang tergolong detritus
antara lain; rayap, anjing tanah dan cacing tanah.
Intraspesifik dan interspesifik
Hubungan timbal balik antara dua individu dalam suatu jenis organisme
(intraspsifik) dan hubungan antara dua individu yang berbeda jenis (interspesifik).
Hubungan-hubungan ini meliputi:
Kompetisi
Kompetisi adalah hubungan antara dua individu untuk memperebutkan
satu macam sumberdaya, sehingga hubungan itu bersifat merugikan bagi salah
satu pihak. Sumberdaya berupa; makanan, energi dan tempat tinggal. Persaingan
ini terjadi pada saat populasi meledak sehingga hewan akan berdesak-desakan di
suatu tempat tertentu. Dalam kondisi demikian biasanya hewan yang kuat akan
mengusir yang lemah dan akan menguasai tempat itu sedangkan yang lemah akan
beremigrasi atau mati bahkan punah.
Simbiosis
Hubungan interspesifik ada yang berifat simbiosis ada yang non simbiosis.
Hubungan simbiosis adalah hubungan antara dua individu dari dua jenis
organisme yang keduanya selalu bersama-sama. Contoh dari simbiosis adalah
Flagellata yang hidup dalam usus rayap. Flagellata itu mencerna selulosa kayu
yang dimakan rayap. Dengan demikian rayap dapat menyerap karbohidrat yang
15
berasal dari selulosa itu. Hubungan nonsimbiosis adalah hubungan antara dua
individu yang hidup secara terpisah, dan hubungan terjadi jika keduanya bertemu
atau berdekatan. Contohnya adalah kupu-kupu dengan tanaman bunga. Bunga
akan terbantu dalam penyerbukan yang disebabkan terbawanya serbuk sari bunga
oleh kaki kupu-kupu dengan tidak sengaja ke bunga yang lain pada saat kupu-
kupu mengisap nectar dari bunga tersebut. Simbiosis sebagai hidup bersama
antara dua individu dari dua jenis organisme, baik yang menguntungkan maupun
yang merugikan.
16
Mutualisme
Hubungan antara dua jenis organisme atau individu yang saling
menguntungkan tanpa ada yang dirugikan.
Materi adalah bahan-bahan atau zat yang diperlukan oleh organisme untuk
membangun tubuh. Materi terdiri atas; zat-zat anorganik (air, garam-garam
mineral) dan zat-zat organic (tubuh organisme lain atau sisa-sisa tubuh organisme
yang sudah mati).
Energi adalah daya yang diperlukan oleh organisme untuk melakukan aktivitas
hidup.
Ruang adalah tempat yang digunakan organisme untuk menjalankan siklus
hidupnya.
17
2. Sumber materi yang diperlukan untuk metabolisme tubuh, misalnya;
hewan darat memperolh Oksigen dari udara.
3. Tempat membuang sisa metabolisme, seperti Karbondioksida dan feces.
4. Tempat berepeoduksi, misalnya, katak pergi ke air untuk kawin dan
bertelur.
5. Menyebarkan keturunan, misalnya; Larva ketam air tawar (Megalopa),
menyebar di perairan sungai setelah berimigrasi dari laut ke arah hulu
sungai.
Setiap medium berbeda komposisi merambatkan panas, sifat perubahnya
sebagai akibat perubahan suhu, tegangan permukaan kekentalan, massa jenis dan
tekanan.
Substrat adalah permukaan tempat organisme hidup, terutama untuk
menetap atau bergerak, atau benda-benda padat tempat organisme menjalankan
seluruh atau sebagian hidupnya. Setiap organisme memerlukan medium, tetapi
tidak semua mempunyai substrat. Hewan air yang bersifat pelagic (berenang)
tidak mempunyai substrat. Medium juga tidak berubah sebagai akibat adanya
aktifitas organisme. Substrat mengalami modifikasi oleh aktivitas organisme,
misalnya tanah padang rumput yang gembur menjadi padat jika digunakan untuk
gembala kambing atau kerbau terus menerus. Substrat sebagai tempat berpijak,
membangun rumah atau kandang dan tempat makanan. Beberapa hewan
menggunakan substrat sebagai tempat berlindung, karena warna substrat sama
dengan warna tubuhnya, misalnya; bunglon dan belalang kayu.
Beberapa faktor fisik yang berpengaruh pada kehidupan hewan adalah
Tanah
Tanah merupakan substrat bagi tumbuhan untuk tumbuh, merupakan
medium untuk pertumbuhan akar dan untuk menyerap air dan unsure-unsur hara
makanan. Bagi hewan tanah adalah substrat sebagai tempat berpijak dan tempat
tinggal, kecuali hewan yang hidup di dalam tanah. Kondisi tanah yang
berpengaruh terhadap hewan tersebut adalah kekerasannya.
Faktor dalam tanah yang mempengaruhi kehidupan hewan tanah antara
lain kandungan air (drainase), kandungan udara (aerase), suhu, kelembaban serta
18
sisa-sisa tubuh tumbuhan yang telah lapuk. Jika tanah banyak mengandung air
maka oksigen di dalam tanah akan berkurang dan karbondioksidanya akan
meningkat. Air juga menyebabkan tanah menjadi cepat asam, karena eir
mempercepat pembusukan. Kurangnya oksigen menyebabkan gangguan
pernapasan , dan zat-zat yang bersifat asam dapat meracuni hewan. Tanah yang
terlalu kering menyebabkan hewan dalam tanah tidak dapat mengekstrak air
secara normal. Kandungan karbondioksida dalam tanah lebih banyak daripada di
atmosfir. Jika tanah banyak mengandung rongga pertukaran udara antar tanah
dengan atmosfir menjadi lancar, karbondioksida dapat keluar sementara oksigen
masuk.Rongga-rongga tanah dapat diperbanyak jika dalam tanah tersebut banyak
hewan penggali tanahseperti cacing tanah dan anjing tanah.
Air
Air sangat menentukan kondisi lingkungan fisik dan biologis hewan.
Perwujudan air dapat berpengaruh terahadap hewan. Misalnya jika air dalam
tubuh hewan akan berubah menjadi dingin atau membeku karena penurunan suhu
lingkungan, menyebabkan sel dan jaringan tubuh akan rusak dan metabolosme
tidak akan bejalan noremal, sebaliknya penguapan air yangb berlebihan dari
dalam tubuh hewan menyebabkan tubuh kekeurangan air.Hewan dapat dibedakan
atas 3 kelompok ditinjau dari pengaruh air, yaitu; Hidrosol ( Hydrosoles) atau
hewan air, Mesosol (Mesocoles), hewan yang hidup di tempat yang tidak terlalu
basah dan tidak terlalu kering dan Xeroso ( Xerosole), hewan yang hidup di
tempat yang kering karena tingginya penguapan.
Penyebaran dan kepadatan hewan air di lingkungan air ditentukan oleh
kemampuannya mempertahankan osmotic dalam tubuhnya dan berhubungan
dengan kemampuannya untuk bertoleransi dengan salinitas air.
Temperatur
Temperatur merupakan faktor lingkungan yang dapt menembus dan
menyebar ke berbagai tempat. Temperatur dapat berpengaruh terhadap hewan
dalam proses reproduksi, metabolisme serta aktivitas hidup lainnya. Suhu
optimum adalah batas suhu yang dapat ditolerir oleh hewan, lewat atau kurang
19
dari suhu tersebut menyebabkan hewan terganggu bahkan menuju kematian
karena tidk tahan terhadap suhu.
Cahaya
Cahaya dapat mempengaruhi hewan, misalnya warna tubuh, gerakan
hewan dan tingkah laku.
Gravitasi
Pengaruh gravitasi dirasakan oleh hewan jika hewan sedang berpijak pada
substrat yang horizontal.Hewan yang berdiri di suatu bidang yang miring atau
tegak, berenang di air dan terbang di udara merasakan adanya pengaruh gravitasi
bumi. Gravitasi juga berpengaruh pada perbedaan tekanan air dan udara.
Gelombang Arus dan Angin
Kehidupan hewan juga dipengaruhi oleh arus dan angina. Hewan yang
hidup di lingkungan air mengalir menghadapi resiko hanyut karena adanya aliran
dan arus air. Demikian dengan hewan yang hidup di darat dan udara menghadapi
arus angina. Namun demikian arus air dan angina yang normal sangat
berpengaruh positif terhadap hewann, karena air dan angina dapat membantu
sebagian aktivitas hewan.
pH
Pengaruh pH terhadap organisme terjadi melalui 3 cara, yaitu; 1) secara
langsung, mengganggu osmoregulasi, kerja enzim dan pertukaran gas di respirasi,
2) tidak langsung, mengurangi kualitas makanan yang tersedia bagi organisme, 3)
meningkatkan konsentarasi racun logam berat terutama ion AI.
Di lingkungan daratan dan perairan, pH menjadi faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan dan penyebaran organisme. Toleransi hewan
yang hidup di lingkungan air umumnya pHnya bervartiasi.
Salinitas
Salinitas adalah kondisi lingkungan yang menyangkut konsentrasi garam
di lingkungan perairan dan air yang terkandung di dalam tanah. Di lingkungan
perairan tawar, air cenderung meresap ke dalam tubuh hewan karena salinitasi air
lebih renadah daripada cairan tubuh. Hewan yang bhidup di phabitat laut
20
umumnya bersifat isotonic terhadap salinitas air laut sehingga tidak ada peresapan
air ke dalam tubuh hewan.
21
biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual batas-
batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari
jumlah individu setelah dideadahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama
rentang waktu tertentu. Untuk kondisi suhu, misalnya ditentukan LT50 – 24 jam
atau LT50 – 48 jam (LT= Lethal Temperatur). Untuk konsentrasi suatu zat dalam
lingkungan biasanya ditentukan dengan LC 50 – X jam ( LC= Lethal
Concentration; X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis ditentukan
LD50 – X Jam.
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai
jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada hewan
yang sempit (steno). Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun
demikian dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di
alam) atau aklimasi (di lab).
Aklimatisasi adalah usaha manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap
kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang
dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi suatu faktor
lingkungan tertentu dalam laboratorium.
Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum
diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan
lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan
dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan
kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya.
Setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran
di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat
tersebut. Kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan
tentang kondisi faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Oleh karena itu ada
istilah spesies indicator ekologi, baik kajian ekologi hewan maupun ekologi
tumbuhan. Species indikatoe ekologi adalah suatu species organisme yang
kehadirannya ataupun kelimpahannya dapat memberi petunjuk mengenai
bagaimana kondisi faktor-faktor fisiko – kimia di suatu tempat.
22
Beberapa species hewan sebagai spcies indicator antara lain adalah
Capitella capitata (Polychaeta) sebagai indicator untuk pencemaran bahan
organic. Cacing Tubifex (Olygochaeta) dan lain-lain.
Kriteria-kriteria species indicator adalah;
a. aran toleransinya sempit untuk satu atau beberapa faktor lingkungan
b. Ukuran tubuh cukup besar sehingga mudah dideteksi
c. Kelimpahannya tinggi sehingga mudah didapatkan dan mudah dijadikan
sample.
d. Mudah diidentifikasi
e. Distribusnya kosmopolit
f. Mudah mengakumulasi zat-zat polutan
g. Mudah dipelihara di laboratorium
h. Mempunyai keragaman jenis atau genetic dan relung yang sempit
5. Komunitas
Komunitas disebut juga Biocenuse, adalah beberapa jenis organisme yang
merupakan bagian dari suatu jenis ekologis tertentu yang disebut ekosistem unit.
Ekologis yang dimaksud adalah suatu satuan lingkungan hidup yang di dalamnya
terdapat bermacam0macam makhluk hidup (tumbuhan dan hewan). Antar
sesamanya dan lingkungan sekitarnya membentuk hubungan timbale balik yang
saling mempengaruhi. Komunitas berupa hewan yang terdiri dari berbagai macam
hewan, komunitas tumbuhan dalam satu ekosistem atau seluruh hewan dan
tumbuhan yang disebut komunitas biotic.
Komunitas suatu ekosistem tertentu mempunyai ciri-ciri tertentu. Salah
satu karakternya adalah keragaman jenis organisme penyusunnya. Keragaman
komunitas biasanya ditentukan dengan menghitung indeks keragaman.
- Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal berikut ini :
23
1. Bagaimana menurut anda interelasi antara hewan dengan
lingkungannya?
2. Apakah perbedaan Kondisi dengan Sumberdaya?
3. Anda yang anda tahu tentang komunitas? Berilah contoh.
- Rangkuman
1. Lingkungan adalah faktor-faktor abiotik dan biotic di luar tubuh organisme
yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme, yang dibedakan atas kondisi
dan sumberdaya.
2. Faktor-faktor biotic yang berpengaruh terhadap kehidupan hewan adalah
komunitas dan ekosistem, produsen, konsumen, predator, parasit dan
parasitoid, pengurai, mikrobivor dan detritivor.
3. Faktor-faktor abiotik yang berpengaruh pada kehidupan hewan adalah tanah,
air, temperature, arus air dan angin, salinitas dan makanan.
4. Setiap organisme terdedah pada faktor lingkungan abiotik yang selalu dinamis
atau berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu.
- Tindak lanjut
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan
dinamika populasi organisme pengganggu tanaman merupakan dasar untuk
bab selanjutnya.
Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan
untuk :
1. Mempelajari kembali materi di atas.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum
dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam
diskusi.
24
2.4 . Daftar Pustaka
Begon, M., T.L. Harper & C.R. Townsend. 1986. Ecology: Individuals
Populations and Communities. Blacwell. Oxfor.
Kendeigh, S.C.1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man.
Prentice Hall, New Jersey.
2.5. Senarai
Sumberdaya = Segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme.
Kondisi = Faktor-faktor lingkungan abiotik yang keadaannya berbeda
dan berubah sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.
Parasitasi = Kemampuan organisme untuk memarasit organsime lain
(inang),
Patogen = Penyebab penyakit seperti jamur, bakteri, virus, nematoda.
25
BAHAN AJAR 3
RESPON DAN ADAPTASI HEWAN
RESPON DAN ADAPTASI
1. Konsep Adaptasi
Perubahan kondisi lingkungan berpengaruh terhadap hewan. Hewan
mengadakan respon terhadap perubahan kondisi lingkungannya tersebut. Respon
hewan terhadap kondisi dan perubahan lingkungannya denyatakan sebagai respon
hewan terhadap lingkungannya. Respon tersebut berupa perubahan fisik,
fisiologis, dan tingkah laku. Respon hewan tersebut ada yang bersifat reaktif dan
ada yang bersifat terpola, artinya berasala dari nenek moyangnya.
Adaptasi umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup
terhadap lingkungannya. Adaptasi menunjukkan kesesuaian organisme dengan
lingkungannya yang merupakan produk masa lalu. Organisme yang ada kini dapat
hidup pada lingkungannya karena kondisi lingkungan itu secara kebetulan sama
dengan kondisi lingkungan nenek moyangnya.
2. Mekanisme Adaptasi
Sifat yang dimiliki oleh suatu populasi yang ada sekarang merupakan sifat
yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain populasi yang ada
sekarang merupakan populasi yang lolos dari seleksi alam sebagaimana yang
dinyatakan oleh Darwin.
Di alam organisme terkumpul dalam kelompok-kelompok populasi yang
diantara anggotanya terjadi hubungan kawin. Setiap kelompok disebut Deme.
Kelompok besar yang terbentuk dari banyak deme disebut jenis organisme.
Deme-deme tersebut ada yang menempati daerah-daerah geografis yang berbeda,
misalnya Kanguru yang hidup hanya di Australia dan di Irian. Daerah-daerah
geografis tersebut merupakan lingkungan hidup yang sempit dan bersifat khas
dibanding dengan daerah penyebaran jenis organismenya. Deme yang menempati
26
daerah geoegrafis khusus itu bisa mempunyai sifat genetik yang berbeda dengan
deme yang menempati daerah lain, jika di antara deme-deme itu terjadi isolasi
geografis sehingga antar deme tidak dapat terjadi pertukaran informasi genetik.
Kelompok yang terisolasi itu disebut klin (Cline) yang merupakan sub jenis
organisme atau sub populasi.
Perbedaan sifat genetik dari suatu klin dengan klin lain terbentuk dari
perbedaan perubahan lingkungan dalam suatu rentangan tertentu, yang disebut
gradien ekologik. Variasi sifat individu pada landaian ekologis yang berbeda
disebut ekotip. Perbedaan sifat itu dalam hal bentuk, warna dan lain-lain.
Contohnya adalah kupu-kupu Biston bitularia yang hidup di hutan jauh dari
industri berwarna abu-abu keputihan sesuai dengan warna batang pohon
substratnya, tetapi kupu-kupu yang sama hisup di daerah industri di Inggris
berwarna gelap karena tertutup oleh asap dan jelaga pabrik.
3. Prinsip-prinsip Adaptasi
Bagi hewan dan organisme lain sifat adaptif sangat penting untuk bertahan hidup
pada lingkungan baru atau jika ada perubahan lingkungan habitatnya.
Kemampuan hewan dalam beradaptasi dengan lingkungannya berbeda-beda yang
dipengaruhi oleh:
1. Sifat genetik
2. Kemampuan berkembang biak
3. Frekwensi perubahan lingkungan
Kemampuan hewan untuk beradaptasi terbatas oleh:
1. Ketahanan hidup (survival)
2. Perbedaan kemampuan setiap jenis organisme
3. tumpang tindih dengan kondisi sebelumnya sehingga adaptasi merupakan
proses yang lambat
4. Melibatkan seluruh kegiatan hidup.
27
4. Bentuk-bentuk Adaptasi
Sifat-sifat adaptif yang dimiliki hewan adalah:
1. Adaptasi Struktural
Adaptasi struktural adalah sifat adaptasi yang muncul dalam wujud sifat-
sifat morfologi tubuh, meliputi bentuk dan susunan alat-alat tubuh, ukuran tubuh,
serta warna tubuh (kulit dan bulu).
2. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah adaptasi yang menyangkut kesesuaian proses-
proses fisiologis hewan dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang ada di
habitatnya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan adaptasi struktural,
terutama pada bagian dalam tubuh. Misalnya pada proses respirasi, pencernan
makanan dan lain-lain yang menggambarkan adanya adaptasi terstruktur.
Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Sebutkan bentuk bentuk adaptasi yang anda ketahui!
2. Apa yang dimaksud dengan adaptasi morfologi? Berikan contoh
28
- Rangkuman
1. Adaptasi adalah sifat dan kemampuan organisme untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungannyaatau kondisi habitatnya.
2. Sifat-sifat adaptasi hewan meliputi adaptasi structural, fisiologis dan tingkah
laku.
3.5. Senarai
Adaptasi = Penyesuaian organisme dengan keadaan lingkungan atau
habitatnya
Nimfa = Stadia serangga yang mengalami metamorfosa tidak sempurna,
bentuk serangga ini sama dengan serangga dewasa tetapi organ-
organ lain belum berkembang dengan sempurna
29
BAHAN AJAR 4
PEMANTAUAN DAN TEKNIK PENGAMATAN AGROEKOSISTEM
4.1. Pendahuluan
Deskripsi Singkat
Bab ini menguraikan pengertian Perbedaan Ekosistem Alami dan
Agroekosistem, Sistem Pemantauan dan Pengamatan OPT, Penilaian Tingkat
Serangan dan Tingkat Kerusakan Tanaman serta Metode Pengambilan Sampel.
Relevansi
Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya
dengan bab selanjutnya.
Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian
semester III dapat: Menguasai dan menganalisis Sistem Pemantauan pada
Agroekosistem dan Teknik Pengamatan OPT secara tepat.
4.2. Penyajian
Uraian dan Contoh.
Dasar-dasar Ekosistem
30
Kumpulan individu akan berkembang biak menjadi suatu populasi yang
menempati tempat yang sama dalam suatu komunitas. Komunitas ini terdiri atas
berbagai jenis organisme yang saling berinteraksi satu sama lain dalam bentuk
aliran energi, dengan memanfaatkan daur biotik (daur biogeokimiawi) dalam
bentuk aliran unsur hara dari lingkungan ke organisme dan kembali ke
lingkungan. Hal ini akan menuju ke arah perkembangan yang dinamis yang
selalu berubah dari keadaan yang sederhana menuju ke arah yang lebih
kompleks, perubahan ini dikenal dengan suksesi ekologi yang dipengaruhi oleh
lingkungan biotik dan abiotik sebagai bagian dari biosfir (Untung, 2003 : 23).
Kumpulan populasi akan membentuk suatu komunitas yang di dalamnya
terdapat suatu aliran energi yang terjadi akibat adanya suatu interaksi. Interaksi
disini adalah hubungan timbal balik antara dua individu dalam satu spesies atau
spesies yang berbeda dalam suatu populasi untuk mempertahankan hidupnya
dalam mendapatkan makanan, ruang untuk tempat tinggal dan berkembang biak.
Interaksi ini terlihat dari hubungan serangga dan tanaman, serangga dengan
serangga baik itu sebagai hama, predator, parasitoid, hubungannya dengan
artropoda lainnya yang membentuk suatu rantai makanan (Tarumingkeng, 1994).
Pada rantai makanan tanaman menduduki tingkat tropik pertama, dengan
memanfaatkan sinar matahari tanaman akan melakukan proses fotosintesis,
mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik, karena itu tanaman termasuk
dalam organisme ototroph. Selanjutnya organisme lain yang mendapatkan energi
dari tanaman disebut organisme heterotroph, termasuk hama sebagai
mangsa/inang dari predator dan parasitoid yang menduduki tingkat tropik kedua
(herbivora). Predator dan parasitoid menduduki tingkat tropik ketiga sebagai
pemakan herbivora dan karnivora lainnya (Untung, 2003 : 29).
Ekosistem Alami
31
umpan balik negatif adalah mekanisme yang membawa sistem menuju ke
keadaan ideal. Mekanisme pengendalian populasi dalam ekosistem adalah
mekanisme pengendalian yang mengatur naik turunnya populasi, dimana ada dua
kekuatan yang mengaturnya yaitu kemampuan hayati (potensi biotik) dan
hambatan lingkungan (Untung, 2003 : 53).
Aktivitas organisme
Diversitas Tanaman Tinggi Rendah
Diversitas genetika Tinggi Rendah
Tinggi Rendah
Sumber : Mahrub (1999 : 28)
32
Sistem Pemantauan Agroekosistem
Sistem Pemantauan adalah salah satu bagian dari kegiatan monitoring
dimana sangat erat kaitannya dengan Ambang Ekonomi. Hal ini karena nilai
Ambang Ekonomi yang sudah ditetapkan tidak ada gunanya apabila tidak diikuti
dengan kegiatan pemantauan yang teratur dan dapat dipercaya. Sebaliknya
pemantauan untuk tujuan pengendalian tidak akan dirasakan manfaatnya apabila
tidak dikaitkan dengan Aras Penentuan Keputusan Pengendalian berdasarkan
penilaian Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 90).
Hubungan antara Pemantauan, Pengambilan Keputusan dan Tindakan
Aksi dalam Agroekosistem seperti pada Gambar 4.1 berikut ini :
Agroekosistem
33
yang dilakukan sendiri maupun kelompok secara bersama-sama (Untung, 2003 :
91).
Salah satu model pengambilan keputusan yang sederhana adalah
berdasarkan hasil perhitungan Ambang Ekonomi tentang populasi hama dan
intensitas kerusakan tanaman. Apabila data populasi hama hasil pemantauan
menunjukkan telah sama atau melampaui Ambang Ekonomi maka keputusannya
adalah segera diadakan pengendalian kimia untuk mengembalikan populasi hama
ke Aras Keseimbangan Umum, sebaliknya apabila populasi hama masih berada di
bawah Ambang Ekonomi maka tidak perlu diadakan pengendalian kimia.
34
diamati intensitas serangan OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi
musuh alami.
Gambar 4.2. Penyebaran Unit Contoh Dalam Petak Contoh (Sumber : Buku
Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan Tanaman
Pangan, 1992 : 6).
Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif tertarik cahaya
diamati pada satu atau lebih lampu perangkap yang mewakili wilayah
pengamatan. Lampu perangkap ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan
mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu tanaman dan musuh alami yang
tertarik cahaya. lampu dinyalakan dari senja sampai fajar, serangga yang
tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Serangga yang tertangkap umumnya
adalah serangga imago yang aktif pada malam hari.
Pengamatan Keliling (Patroli)
Pengamatan keliling (patroli) bertujuan untuk mengetahui tanaman yang
terserang dan terancam, luas pegendalian, bencana alam serta mencari informasi
tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida. Pengamatan keliling
ini dilaksanakan dengan cara mengelilingi wilayah pengamatan yang dicurigai
terancam serangan OPT. Penentuan daerah yang dicurigai berdasarkan pada
kerentanan varietas yang ditanam terhadap serangan OPT utama/kunci di daerah
tersebut, stadia pertumbuhan dan jaraknya terhadap sumber serangan serta daerah
yang endemik OPT tertentu.
35
Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati pada 5 (lima) petak
contoh yang terletak pada perpotongan garis diagonal seperti pada Gambar 4.2.
bedanya pada Gambar 4.2 hanya 3 petak contoh. Komponen-komponen yang
diamati adalah luas tanaman yang terserang, intensitas serangan, kepadatan
populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas yang ditanami dan tindakan
pengendalian yang pernah dilakukan oleh petani.
36
C = Jumlah Keseluruhan Contoh yang Diamati
Rumus ini digunakan untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan
kerusakan mutlak atau dianggap mutlak pada tanaman (tunas, malai, gabah) atau
rumpun. Rumus untuk menghitung kerusakan tidak mutlak adalah :
z
Σ (ni X vi)
i=0
I= X 100%
ZN
Nilai skala kerusakan beberapa jenis OPT penting pada beberapa tanaman
pangan (padi dan jagung) yang sering digunakan oleh pengamat lapangan adalah
sebagai berikut (Sunoto, 2003) :
1 = Serangan / kerusakan kurang dari 25 %
2 = Serangan antara 25 – 50 %
3 = Serangan antara 50 – 75 %
4 = Serangan > 75 %
Nilai kerusakan dapat pula menggunakan nilai skala 1, 3, 5, 7, 9 seperti
pada Tabel 4.2 berikut ini :
Tabel 4.2. Nilai Skala Kerusakan Beberapa Jenis OPT Penting pada Tanaman
Pangan (Padi dan Jagung) dengan Nilai Skala 1, 3, 5, 7, 9.
37
Kepinding tanah
(Scotinophora verniculata) 1 = Sebagian daun pertama menguning,
belum terjadi kelayuan pada
tanaman, ditemukan OPT,
ditemukan sedikit embun jelaga
38
menghitung berapa jumlah individu yang ada pada suatu daerah atau wilayah
pengamatan.
Sampel atau contoh dalam pengertian statistik merupakan bagian suatu
populasi. Populasi hama pada suatu tempat merupakan seluruh individu hama
yang menempati tempat tertentu artinya sampel merupakan wakil dari populasi
yang diamati. Permasalahan penting yang sering dihadapi dalam pengambilan
sampel adalah menentukan jumlah anggota sampel dengan tepat sehingga dapat
mewakili keseluruhan anggota populasi. Jika terjadi kesalahan penentuan jumlah
sampel maka data yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk menduga sifat
populasi (Untung, 2003 : 93).
Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang
beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama atau organisme lain yang
diamati. Ada 2 (dua) syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan teknik
pengamatan dan pengambilan sampel yaitu : Praktis, artinya metode yang
dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan
bahan yang mahal serta tidak memerlukan waktu yang lama; Valid (dapat
dipercaya), artinya metode yang dilakukan harus menghasilkan data yang dapat
mewakili atau menggambarkan secara benar tentang sifat populasi yang
sesungguhnya (Untung, 2003 : 94).
Pola pengambilan sampel dapat mengikuti pola Diagonal, Zigzag dan
Lajur tanaman (Sistematik) seperti terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini. Rumpun
tanaman yang ada di pinggiran plot pengamatan jangan dijadikan sebagai sampel,
yaitu sekitar 3-5 baris dari tepi lahan (plot pengamatan).
Gambar 4.3. Pola Pengambilan Sampel mengikuti Pola (A) Diagonal, (B) Zigzag
dan (C) Lajur Tanaman (Sistematik) Sumber : Untung (2003 : 105).
39
Untung (2003 : 98) menyatakan ada 3 metode pokok pengambilan sampel
yaitu metode mutlak (absolut), metode nisbi (relatif) dan indeks populasi.
1. Metode Mutlak (Absolut), yaitu data yang didapat merupakan angka
pendugaan kepadatan populasi dalam bentuk jumlah individu per satuan unit
permukaan tanah atau habitat serangga yang kita amati. Pelaksanaan sampling
lebih dahulu ditetapkan unit sampel berupa satuan luas permukaan tanah (1 X 1
m2 ) kemudian semua individu serangga yang ada dalam unit sampel yang kita
amati dikumpulkan dan dihitung jumlahnya. Untuk suatu petak pengamatan
biasanya diambil beberapa unit sampel, lalu dihitung rat-rata kepadatan
populasi dari petak pengamatan tersebut.
Apabila perhitungan populasi dilakukan pada pertanaman yang teratur dalam
baris dan kolom maka dengan menggunakan unit sampel berupa satu
tanaman/pohon atau rumpun dapat diperoleh jumlah populasi serangga untuk
satu wilayah pengamatan. Misalnya tanaman padi yang ditanam dengan jarak
tanam 25 X 25 cm, maka dalam 1 m2 luas tanah terdapat 16 rumpun padi, jika
pada setiap rumpun ditemukan 10 ekor wereng maka dapat diperkirakan untuk
luasan 1 m2 permukaan tanah terdapat 160 ekor wereng.
Kelebihan metode mutlak adalah memiliki ketelitian yang tinggi, tetapi
memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk menghitung
serangga yang terkumpul.
2. Metode Nisbi (Relatif), yaitu data penduga populasi yang diperoleh sulit
untuk dikonversi dalam unit permukaan tanah karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi angka penduga tersebut. Cara pengambilan sampel dengan
alat perangkap serangga seperti lampu perangkap (light trap) atau perangkap
jebakan (pitfal trap) akan memperoleh angka yang sulit untuk dikonversikan
pada unit permukaan tanah.
Dibandingkan dengan metode mutlak, metode nisbi merupakan metode yang
lebih mudah dan praktis karena umumnya individu serangga lebih mudah
tertangkap dan dihitung. Kekurangannya adalah dari segi ketelitian statistik
metode ini termasuk rendah. Hal ini karena dipengaruhi banyak faktor seperti
40
keadaan lingkungan sekitar, alat perangkap, keadaan dan kemampuan
pengamat, waktu pengumpulan serangga dan lain-lain. Metode nisbi tidak
dianjurkan untuk studi ekologi serangga yang memerlukan ketelitian tinggi.
3. Metode Indeks Populasi, yaitu yang diukur dan dihitung adalah bekas yang
ditinggalkan oleh serangga seperti kotoran, kokon dan sarang. Misalnya kita
mengamati tikus maka yang dihitung adalah jumlah liang. Indeks populasi
yang sering digunakan adalah kerusakan atau akibat serangan hama pada
tanaman, biasanya angka tersebut disebut intensitas kerusakan atau serangan.
- Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Berilah contoh masalah di lapangan tentang Ekosistem Alami dan
Agroekosistem.
2. Sebutkan teknik-teknik pengamatan yang anda ketahui
3. Bagaimana pendapat anda tentang 3 metode pengambilan sample. Jelaskan
dengan singkat masing-masing metode tersebut.
- Kunci Jawaban
Menyesuaikan.
- Rangkuman
1. Ekosistem alamiah (hutan tropik) merupakan ekosistem yang stabil
dibandingkan dengan ekosistem pertanian karena memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi.
2. Ekosistem pertanian (agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan
genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil
dan ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama.
3. Teknik pengamatan ekosistem ada 2 cara yaitu; Pengamatan Tetap dan Patroli.
4. Ada 3 metode pokok pengambilan sampel yaitu metode mutlak (absolut),
metode nisbi (relatif) dan indeks populasi.
4..3. Penutup
a. Tes formatif
41
1. Jelaskan perbedaan Ekosistem Alami dengan Agroekosistem!
2. Apa perbedaan antara Sistem Pemantauan dengan Tindakan Pengendalian?
Jelaskan!
3. Sebutkan Teknik-teknik Pengamatan OPT dan Jelaskan penerapan masing-
masing!
4. Berikan contoh tentang Teknik pengamatan denngan menerapkan salah satu
metode pengambilan sample yang anda ketahui.!
b. Umpan balik dan tindak lanjut
- Umpan balik
Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Membuat ringkasan materi pada setiap bab sebelum materi tersebut
dibahas dalam diskusi maupun praktikum
2. Aktif dalam dsikusi dan praktikum
2. Mengerjakan latihan dan tugas
- Tindak lanjut
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan
terhadap Sistem Pemantauan Ekosistem dengan Teknik Pengamatan OPT
merupakan dasar untuk bab selanjutnya. Jika ada diantara mereka belum
mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :
42
4.4. Daftar Pustaka
Anonim, 1992. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman
Pangan. (Khusus untuk beberapa tanaman semusim). DirJen. Pertanian
Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Jakarta.76 p.
Mahrub, Eddy, 1999. Kajian Pengendalian Alami Penggerek Batang Padi
Kuning Scirpophaga incertulas (Walker). Disertasi Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu Dan Implementasinya Di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 p.
Sunoto, 2003. Metode Pengamatan Penyakit Tanaman. Makalah yang
Disampaikan pada pelatihan sinkronisasi Petugas Pengawas Benih. Di
Bali.
Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif.
Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Untung, K., 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
Witjaksono, 2004. Pemanfaatan Senyawa Semiochemical Untuk Pengendalian
Serangga Hama. Makalah Seminar Nasional Pengelolaan Resistensi
Pestisida, 24 -25 Februari 2004.
4.5. Senarai
Agroekosistem = Ekosistem buatan manusia
43
BAHAN AJAR 5
MODEL-MODEL PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU
TANAMAN (OPT)
5.1. Pendahuluan
Deskripsi Singkat
Bab ini akan menguraikan Model-Model Pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) serta Pestisida.
Relevansi
Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya
dengan bab selanjutnya.
Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian
semester III dapat : Menjelaskan dan Menerapkan Model-model Pengendalian
Hama Secara Terpadu (PHT) dengan tepat.
Penyajian
Uraian dan Contoh
44
Iastilah IPC saat ini di dunia pergaulan ilmiah internasional sudah ditinggalkan
dan yang digunakan kini adalah istilah (PHT) singkatan dari Pengelolaan Hama
Terpadu (Untung, 2003 :7 ; Wigenasantana, 2001 : 201).
Konsep PHT muncul sebagai akibat kesadaran umat manusia akan bahaya
pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan
kehidupan manusia secara global. Melihat hal ini, muncul pemikiran para ahli
untuk mencari metode baru dalam mengendalikan OPT yang dipandang aman.
Mula-mula dikembangkan metode dengan memadukan dua teknik pengendalian
OPT, kemudian metode ini dikembangkan lagi dengan memadukan semua atau
beberapa metode pengendalian yang dianggap cocok dan kompatibel untuk daerah
itu, yaitu memadukan cara fisik, mekanik, kultur teknis (bercocok tanam), biologi,
kimiawi dan cara pengendalian lainnya (Untung, 2003 : 8; Wigenasantana, 2001 :
202).
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dapat dilakukan
dengan beberapa cara sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan faktor-faktor
biotic dan abiotik setempat. Pengendalian tersebut adalah:
Pengendalian Secara Bercocok Tanam (Cultural Control)
Pengendalian OPT secara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola
lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk
berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural
enemies) secara efektif.
Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang
bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan OPT terjadi, populasi hama
diharapkan tidak melawati Aras Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 114 ;
Wigenasantana, 2001 : 182).
Teknik pengendalian bercocok tanam didasarkan pada pengetahuan
agroekosistem setempat yaitu ekologi dan perilaku OPT meliputi waktu
perkawinan, habitat/inang, waktu menyerang dan lain-lain.
Pedigo (1996 : 334) menyatakan bahwa teknik pengendalian secara
bercook tanam dpat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yakni:
45
1. Mengurangi kesuaian ekosistem, yaitu dengan menciptakan
agroekosistem yang tidak sesuai dengan perkembangan hidup OPT, maka
perkembangannya akan terhambat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan sanitasi, penghancuran inang, pengolahan tanah dan pengelolaan
air.
2. Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup OPT, yaitu
memutuskan kontinuitas tersedianya makanan/inang dengan cara pergiliran
tanaman, pemberoan lahan, penanaman serentak, penetapan jarak tanam,
pengaturan lokasi penanaman dan memutuskan sinkronisasi antara tanaman
dan hama dengan mengatur waktu tanam agar tidak sesuai dengan fase
perkembangan hama.
3. Mengalihkan populasi OPT agar menjauhi pertanaman, yaitu suatu cara
pengendalian OPT dengan mengalihkan OPT ke tanaman lain, cara ini tidak
begitu efektif bagi serangga yang penyebarannya cepat tetapi masih dapat
dilakukan beberapa cara untuk mengalihkan OPT, seperti dengan mananam
tanaman perangkap dan melakukan pemanenan secara bertahap untuk
menghindari pindahnya OPT secara serempak ke lahan tetangga, cara ini
dapat dilakukan pada tanman tertentu.
4. Mengurangi dampak kerusakan OPT, yaitu menanam tanaman yang
bersifat toleran terhadap kerusakan OPT, melakukan pemupukan yang
seimbang sesuai kebutuhan tanaman sehingga tanaman masih dapat pulih
kembali setelah terserang oleh OPT, mengubah jadwal panen untuk tanaman
tertentu dapat dilakukan pemanenan lebih awal.
46
diimbangi oleh tekanan yang lebih keras dari populasi musuh alami (Untung,
2003 : 169).
Martono (2005 : 1) dan Untung (2003 : 183) menyatakan dalam praktek
pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan 3 kategori :
1. Introduksi, yaitu memasukkan atau importasi musuh alami ke suatu lahan
atau areal tanaman yang terserang OPT tertentu. Misalnya untuk
mengendalikan OPT pada tanaman padi (di provinsi Gorontalo) yaitu
penggerek batang padi telah menggunakan parsitoid telur Trichogramma sp.
yang diintroduksi dari pulau Jawa. Berdasarkan laporan petugas pengamat
hama ternyata parasitoid ini cocok dan berhasil menekan perkembangan
penggerek batang padi sehingga populasi penggerek batang padi di areal padi
yang telah dilakukan pelepasan dan introduksi parasitoid menurun. Hal ini
cukup membantu petani dan dari segi keamanan hayati dapat
dipertanggungjawabkan. Pengendalian dengan introduksi musuh alami adalah
pengendalian hayati klasik
2. Augmentasi, yaitu suatu teknik pengendalian dengan meningkatkan
jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Hal ini dapat tercapai melalui 2 (dua)
cara yaitu, a) melepaskan sejumlah musuh alami untuk menambah jumlahnya
di lapangan (agroekosistem) sehingga dengan tambahan itu dalam waktu
singkat musuh alami akan mampu menurunkan populasi OPT; b)
memodifikasi agroekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas
musuh alami dapat ditingkatkan.
Pelepasan musuh alami secara teknik augmentasi hampir sama dengan cara
introduksi, bedanya adalah teknik augmentasi yang kita harapkan adalah
populasi hama dalam satu musim tanam dengan cepat dapat ditekan sehingga
tidak merugikan, sedangkan teknik introduksi bertujuan dalam jangka panjang
dapat menurunkan aras keseimbangan populasi OPT sehingga tetap berada di
bawah aras ambang ekonomi. Teknik augmentasi menggunakan musuh alami
yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan introduksi menggunakan
musuh alami dari luar ekosistem.
47
3. Konservasi Musuh Alami, yaitu suatu teknik untuk mempertahankan
kehidupan musuh alami dengan memanipulasi ekosistem seperti menyediakan
tanaman inang sementara(inang alternatif) bagi herbivora dan musuh alami.
Keberadaan inang alternatif sangat penting dalam mendukung kelestarian
parasitoid dan predator terutama yang bersifat polifag dan oligofag (Laba, et
al., 2000 : 207). Adanya vegetasi yang tumbuh dipinggiran sawah sangat
berperan dalam menyediakan tempat sebagai inang alternatif bagi predator dan
parasitoid (Herlinda et al., 2000 : 163), dan ini perlu dipertahankan karena
menguntungkan bagi pelestarian musuh alami pada ekosistem persawahan
karena tanaman liar yang tumbuh di dipinggiran sawah tersebut mampu
menyediakan bunga follen, nectar yang dibutuhkan oleh musuh alami.
Ekosistem persawahan yang intensif umumnya adalah monokultur sehingga
kurang memberikan habitat yang sesuai bagi musuh alami karena terbatasnya
nektar dan inang alternatif. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tepian
lahan, pematang yang ditumbuhi tumbuhan liar sebagai koridor yang
berfungsi dalam menyediakan pollen, nektar yang diperlukan oleh musuh
alami, sehingga berfungsi dalam menekan populasi hama (Buchori dan Sahari,
2000 : 127).
48
(D) (E) (F)
Gambar 5.1 (A) Jamur Metarhizium sp. Yang Menginfeksi Kumbang Coleoptera, (B, C)
Jamur Beauveria bassiana Menyerang Kepik, (D, E, F) Jamur Trichoderma sp.
Jamur Antagonis Pada Patogen Penyebab Penyakit Pada Akar Tanaman
(Sumber : Sosromarsono dan Hidayat, 2002 : 13 ; Shepard, et.al., 1987).
49
kerusakan yang berarti pada tanaman. Barier ini seperti pematang yang
ditinggikan, lubang jebakan dan selokan (Wigenasantana, 2001 : 190).
4. Solarisasi Tanah, adalah suatu cara mensterilkan tanah dari OPT
(mikroorganisme tanah penyebab penyakit layu pada tanaman) dengan
menggunakan plastik transparan sebagai mulsa penutup tanah pada saat
sebelum tanam. Berdasarkan hasil penelitian Lihawa Mohamad (1994)
tentang “Pengaruh Periode Solarisasi Tanah Terhadap Serangan Jamur
Fusarium Oxysporum Schlecht Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman
Tomat”, ternyata perlakuan solarisasi tanah selama 6 (enam) minggu efektif
untuk menekan serangan jamur F. oxysporum Schlecht pada tanaman tomat di
lapangan.
Wigenasantana (2001 : 190) menyatakan bahwa pengendalian secara
mekanik adalah tindakan mematikan hama secara langsung dengan menggunakan
tangan atau alat. Teknik mekanik ini seperti :
1. Pengambilan dengan Tangan, cara ini murah dan sederhana tetapi
memerlukan tenaga kerja yang banyak. OPT yang ditemukan seperti telur,
larva, pupa, jika memungkinkan imago dikumpulkan dengan tangan lalu
langsung dibunuh, misalnya kelompok telur penggerek batang.
2. Gropyokan, yaitu untuk mengendalikan hama tikus dengan membunuh
tikus yang ada di dalam maupun di luar sarang dengan menggunakan alat
bantu seperti pentungan/alat pemukul lainnya dan cangkul.
3. Memasang Perangkap, yaitu untuk menangkap OPT dengan memasang
alat perangkap di tempat yang sering dilalui oleh OPT, alat perangkap ini
sering diberi zat kimia baik sebagai perekat maupun penarik OPT.
4. Pemasangan Umpan, misalnya untuk mengendalikan hama walang sangit
(Leptocorixa acuta) dengan menggunakan umpan daging busuk atau ikan asin
yang ditancapkan di tengah-tengah sawah. Jika hama walng sangit ini sudah
terkumpul pada umpan maka dapat langsung dibunuh dengan cara di bakar.
Pada waktu membakar hindari tanaman ikut terbakar.
50
5. Pengusiran, yaitu memasang orang-orangan/patung di tengah lahan
sawah, atau memasang alat (kaleng-kaleng kosong) yang dapat mengeluarkan
bunyi-bunyian, sehingga OPT lari menjauhi pertanaman.
51
(membunuh tungau), nematisida (membunuh nematoda), rodentisida (membunuh
mamalia pengerat) (Wigenasantana, 2001 : 192).
Pestisida dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasa baik
dalam bidang pertanian, kesehatan dan pemukiman. Pada bidang pertanian
pestisida kimia telah berhasil mengendalikan dan menurunkan populasi OPT
dengan cepat sehingga petani sangat tergantung pada pestisida. Di pemukiman
adalah untuk mengendalikan nyamuk penyebab penyakit demam berdarah dan
malaria. Cara pengendalian yaitu dengan cara pengasapan di setiap rumah atau
tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat hidup nyamuk.
Adanya penemuan insektisida sintetik organik pertama yaitu DDT pada
tahun 1940 telah memacu revolusi pestisida, hal ini mendorong para peneliti
untuk mencari pestisida baru yang lebih ampuh. Banyaknya penemuan jenis
pestisida baru yang berhasil membunuh OPT telah menyebabkan banyaknya
permintaan pestisida, sehingga bisnis dan industri pestisida muncul dimana-mana
(Untung, 2003 : 195; Wigenasantana, 2001 : 193).
Di Indonesia adanya program nasional BIMAS telah memacu petani
menggunakan pestisida untuk mengendalikan OPT karena keunggulannya yaitu
praktis, ampuh membunuh, mudah diaplikasikan. Tetapi tanpa disadari akibat
pemaparan pestisida secara terus menerus dengan cara tidak bijaksana telah
berakibat kerusakan lingkungan biotik dan abiotik, munculnya resistensi hama,
resurjensi hama, peletusan hama kedua, selain itu adanya pencemaran perairan
oleh residu pestisida.
Pestisida kimia yang dipasarkan umumnya sudah dalam bentuk formulasi
yaitu campuran bahan aktif teknis, sinergis (bahan penguat yang tidak bersifat
racun tetapi apabila dicampurkan ke bahan aktif akan menambah toksisitas
insektisida) dan bahan pembantu/ajuvan (berfungsi meningkatkan daya
larut/solvent, sebagai pembawa/diluent dan penyelimut, menambah daya
lekat/stiker, meningkatkan daya sebar dan pembasahan pada permukaan/
surfaktan, dan memberikan bau harum/deodoran) (Untung, 2003 : 212).
Formulasi Insektisida
52
Untung, (2003 : 213) membagi formulasi insektisida sebagai berikut:
1. Emulsifiable Concentrates (EC), yaitu formulasi yang paling banyak
diproduksi, terdiri atas campuran bahan aktif, perantara/emulsi (emulsifier),
suatu emulsi minyak-dalam-air terbentuk bila formulasi ini dicampur dengan
air akan terbentuk cairan seperti susu. Emulsifier memungkinkan melarutkan
bahan kimia yang sukar larut dalam air, mengurangi tekanan permukaan dari
semprotan sehingga dapat lebih menyebar dan membasahi permukaan yang
disemprot sehingga memungkinkan terjadinya kontak yang lebih baik dengan
kutikula serangga.
2. Wettable Powders (WP), yaitu dalam bentuk tepung, kering dan agak
pekat ditujukan agar dapat diencerkan dan larut dalam air untuk disemprotkan.
Dibandingkan dengan EC, WP mempunyai toksisitas pada tanaman yang
rendah tetapi kurang baik untuk alat penyemprot karena menyebabkan macet
pada nozzle sehingga perlu pengadukan.
3. Flowable Powder (F), formulasi dalam bentuk padat atau semi padat dan
dicampur dengan formulasi EC kemudian digiling secara basah dengan bahan
pembawa/diluent dan air sehingga diperoleh bahan teknis yang tergiling halus
dan basah seperti puding. Formulasi ini dicampur dengan air untuk dapat
disemprotkan, dan harus selalu diaduk agar tidak terjadi pengendapan.
4. Soluble Powder (SP), formulasi berbentuk bubuk kering ditambah
dengan bahan inert (membantu pelekatan) dan bahan pembantu untuk
menyebarkan pada permukaan tanaman. Formulasi ini dapat larut dalam air
dan mengandung 75-95% bahan aktif. Formulasi ini dapat diaplikasikan
sebagai racun kontak maupun racun perut, adanya inert maka dapat
diaplikasikan pada musim penghujan.
5. Solutions (S), formulasi ini jarang digunakan untuk tanaman karena
fitotoksitas yang tinggi. Umumnya digunakan utnuk mengendalikan serangga
yang menyerang ternak, jentik-jentik nyamuk yang ada pada permukan air.
6. Dust (D), formulasi ini dalam bentuk debu, tidak efektif bila digunakan
dalam kondisi berangin karena sedikit yang mengenai sasaran dan bayak yang
tertiup angin, berbahaya bagi imago parasitoid ordo hymenoptera.
53
7. Granules (G), yaitu dalam bentuk butiran dalam aplikasinya cukup
dibenamkan dalam tanah di sekitar pangkal akar tanaman atau disebarkan di
sekitar tanaman, formulasi ini efektif untuk mengendalikan hama di tanah.
8. Aerosol (A), formulasi ini dibuat dengan cara insektisida dilarutkan
dalam zat pelarut berupa minyak yang menguap. Larutan kemudian diberi
tekanan udara dalam kaleng dengan gas propelan seperti karbondioksida atau
fluorokarbon, apabila disemprotkan larutan akan menjadi partikel-partikel
yang sangat kecil dan secara cepat menguap meninggalkan droplet-droiplet
mikroskopik di udara. Formulasi ini biasanya digunakan untuk kebutuhan
rumah tangga, di pekarangan atau di rumah kaca.
54
Untuk dosis perlu dilihat label yang tertera pada kemasan pestisida,
perhatikan petunjuk penggunaannya sehingga pada waktu aplikasi tidak terjadi
kesalahan dan usaha pengendalian tidak sia-sia.
CH3
H O O CH3
CH3 N C O
Sumber : (Minarni, 2002 : 13 ; Untung, 2003 : 197)
55
Toksisitas
Formulasi karbofuran umumnya dijumpai adalah 3 % granular, walupun
ada juga formulasi 2%, 5%, dan 10% granula, serta “flowable” dan suspensi.
Rendahnya persen bahan aktif dalam formulasi antara lain disebabkan oleh
tingginya toksisitas (LD50 8 mg/kg pada serangga), meski ini berarti
penggunaannya membutuhkan jumlah berat yang cukup banyak (Martono, et. al.,
1993). Karbofuran ditinjau dari segi kategori racun termasuk kategori 1 yaitu
sangat berbahaya (racun berbahaya) dengan LD50 oral untuk tikus 8-14 mg/kg,
sedangkan untuk LD50 dermal adalah 120 mg/kg sehingga dalam penggunaannya
harus dengan cara bijaksana (Untung, 2003).
Pengaruh toksisitas karbofuran terhadap berbagai spesies hama dan musuh
alami telah dilaporkan, ternyata pengaruhnya dapat menurunkan populasi hama
wereng coklat dan dan populasi musuh alami (predator) Cytorrhinus lividipennis,
dan pengaruh racun karbofuran ini akan mengurangi telur parasitoid dan
mencegah musuh alami (Mahrub, E., and Pollet, A., 1996 : 20).
Jenis Insektisida
Insektisida karbofuran adalah insektisida golongan karbamat yang bersifat
sistemik dan kontak-perut, sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan hama-
hama padi yang mengisap tanaman seperti wereng (batang maupun daun) atau
hama pemakan yang letaknya tersembunyi seperti penggerek batang padi,
(Martono, et. al., 1993).
Penggunaan Pestisida
Dosis anjuran adalah 34 kg per hektar per musim tanam untuk formulasi
3% granular, setara dengan 1 kg bahan aktif per hektar (Martono, et. al., 1993).
Umumnya dosis yang dianjurkan untuk karbofuran antara 0,5 – 1 kg bahan aktif
per hektar. Tetapi pada tingkat petani, tingkat dosis sebesar itu jarang tercapai.
Dengan menggunakan formulasi granula yang mengandung 3% bahan aktif,
petani umumnya melakukan aplikasi 8 – 10 kg per hektar, yang berarti antara
hanya 0,25 – 0,3 kg bahan aktif per hektar (Martono, et. al., 1993). Dosis di
bawah anjuran seperti ini, apabila diberikan secara terus menerus akan memiliki
56
efek samping yang kurang menguntungkan, seperti terjadinya resistensi,
resurjensi, kematian jasad bukan sasaran karena lebih peka terhadap insektisida
dan sebagainya (Martono, et. al., 1993).
Dampak Pestisida Terhadap Serangga Target
Insektisida karbamat adalah derivat dari fisostigmin yang merupakan
alkaloida dari tanaman Physostigma venerosom. Fisostigma merupakan inhibitor
kolinesterase. Senyawa-senyawa karbamat bersifat antikolinesterase, tetapi
karena sifatnya yang polar sehingga sukar menembus kutikula. Tidak efektifnya
senyawa karbamat dalam mengadakan penetrasi disebabkan karena daya larutnya
dalam lipid yang sangat rendah, sehingga sebagian besar golongan insektisida ini
diproduksi dalam bentuk fosforotioat yang lebih mudah menembus ke dalam
kutikula dan selanjutnya mengalami aktivasi in vivo atau peningkatan daya racun
di dalam jaringan, sehingga bersifat antikolinesterase (Kuhr and Dorough, 1976
cit. Dien, 1994 : 21).
Insektisida golongan karbamat memiliki sifat selektif menghambat enzim
kholinesterase dan bukan aliesterase. Selektifitas karbamat kadang-kadang
berbeda pada spesies yang berbeda. Insektisida golongan karbamat dapat
mematikan serangga melalui penghambatan aktivitas enzim asetilkolinesterase
pada system syaraf pusat, penghambatan enzim asetilkolinesterase ini bersifat
bolak-balik (reversible) (Matsumura, 1975 ; Minarni, 2002).
Sistem syaraf serangga antara sel syaraf (neuron) dengan sel-sel lain
termasuk sel otot terdapat celah yang disebut sinaps. Asetilkolinesterase yang
dibentuk oleh system syaraf pusat berfungsi untuk menghantarkan pesan atau
impuls. Setelah impuls diantarkan ke sel-sel otot proses penghantaran impuls
tersebut dihentikan oleh bekerjanya enzim asetilkolinesterase, dengan enzim
tersebut asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kholin, adanya
asetilkolinesterase menyebabkan sinaps menjadi kosong lagi sehingga
penghantaran impuls berikutnya dapat dilakukan. Insektisida golongan karbamat
akan menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase yang berakibat terjadinya
penumpukan asetilkholin sehingga terjadi kekacauan pada system penghantaran
impuls ke sel-sel otot, keadaan ini akan menyebabkan pesan-pesan berikutnya
57
tidak dapat diteruskan akibatnya otot menjadi kejang dan terjadi kelumpuhan dan
akhirnya mengalami kematian (Minarni, 2002).
58
yang ditetapkan dengan SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian
dengan no. 881 tahun 1996 (Anonim, 2002).
Selain pengaruh residu muncul pula masalah lain yaitu adanya keluhan
petani bahwa tanah sawah yang diberi perlakuan karbofuran granula akan
menyebabkan tanah menjadi keras dan “bantat”. Keadaan ini menyebabkan
turunnya kesuburan tanah karena secara biologis banyak terjadi kematian jasad
berguna yang membantu penggemburan tanah, sehingga potensi produksi tak
dapat dicapai (Martono, et. al., 1993 ; Martono,1997).
59
mamalia, dan tanah pertanian yang secara langsung maupun tidak langsung
menerima perlakuan atau pemaparan insektisida.
Karbofuran ditinjau dari efektifitasnya mengendalikan hama adalah sangat
efektif karena kemampuannya untuk membunuh serangga-serangga yang tinggal
pada bagian-bagian tersembunyi dalam tubuh tanaman. Kemampuan tersebut
disebabkan oleh sifat bahan aktif yang sistemik, dan penyusunan formulasinya
yang granular, dengan demikian aplikasinya dapat diberikan dalam bentuk sebaran
(broadcasting) atau pembenaman (soil incorporating) cara ini menyebabkan
karbofuran mampu mencapai system perakaran dan kemudian dapat
ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman (Martono, et. al., 1993).
Karbamat dibandingkan dengan khlor-hidrokarbon, maka persistensinya
masih lebih rendah sedang daya racunnya jauh lebih tinggi selain itu sebagai
racun syaraf dengan menghambat enzim asetilkholinesterase karbamat bersifat
non spesifik sehingga daya racunnya tinggi untuk serangga dan mamalia
(Matsumura, 1985 cit. Martono, et. al., 1993).
Keefektifan karbofuran ternyata kurang didukung oleh petani dalam hal
aplikasinya di lapangan, petani cenderung melakukan aplikasi tidak sesuai dengan
anjuran sehingga dampaknya berupa terjadinya resistensi dan resurjensi (Mahrub,
1992 dan Metcalf, 1982 cit. Martono 1993). Selain itu teknik penggunaan oleh
petani masih belum seragam sehingga hal ini sangat mempengaruhi efektifitasnya.
Supriyadi cit. Martono (1993) menyatakan bahwa bahwa cara menaburkan
“broadcasting” bila tidak diikuti dengan pembenaman seringkali tidak efektif
untuk menekan populasi hama.
Penelitian Mariyono (2002) menunjukkan bahwa serangan hama
meningkat secara nyata sebagai akibat peningkatan aplikasi pestisida. Keadaan
ini tidak sesuai dengan harapan yaitu serangan hama akan turun jika dilakukan
aplikasi pestisida. Hal ini dapat terjadi karena jika aplikasi pestisida kurang tepat
menyebabkan keadaan akan menjadi berbalik.
Kesalahan dalam mengaplikasi pestisida dapat menyebabkan serangan
hama menjadi lebih banyak karena telah terjadi resistensi dan resurjensi, yaitu
60
hama menjadi tahan terhadap pestisida dan jumlahnya semakin banyak setelah
aplikasi pestisida.
Rola & Phrabu (1993) cit. Mariyono (2002) menyebutkan bahwa ada
beberapa pestisida telah terbukti dapat menyebabkan resurjensi wereng coklat,
dan diantara pestisida tersebut ada yang beredar di pasaran menyebabkan
resurjensi wereng coklat, dan diantara pestisida tersebut ada yang beredar di
pasaran Yogyakarta yaitu, karbofuran, deltametrin dan fentoat.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang dampak dari insektisida
termasuk didalamnya karbofuran maka kedepan penggunaannya harus dipikirkan
kalau memang terpaksa maka perlu diperhatikan tentang lima T yaitu tepat dosis,
tepat waktu, tepat aplikasi, tepat sasaran, dan tepat formulasi. Sehingga efektifitas
dari insektisida karbofuran akan tercapai hal ini karena karbofuran masih
dianggap merupakan insektisida yang efektif dan direkomendasikan untuk
mengendalikan beberapa hama, diantaranya hama penggerek batang padi.
Pestisida Nabati (insektisida organik nabati)
Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, dapat
diperoleh dari bagian tumbuhan seperti bunga, buah, biji, daun, batang, akar dan
sebagainya. Penggunaan bagian tumbuhan bisa dalam bentuk utuh, bubuk
maupun ekstrak. Untuk memperoleh produk yang murah dan siap pakai (tidak
tahan lama) maka dibuat dalam bentuk kering dan basah.
Produk yang diekstrak dari tumbuhan dapat bersifat sebagai repelent,
atraktan sehingga dapat mempengaruhi perilaku serangga, mengurangi nafsu
makan, menghambat pertumbuhan, menurunkan keperidian dan menyebabkan
kemandulan, serta pengaruh langsung sebagai racun bagi serangga (Andayani dan
Utomo, 1997 : 259 ; Martono, 1997 : 296).
Beberapa contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati
seperti : Mimba (Azadirachta indica), Mindi (Melia azedarch), Sirsak (Annona
muricata L.), Srikaya (Annona squamosa L.), Serai (Andropogon nardus L.),
Babadotan (Ageratum conyzoides L.).
Berikut ini gambar beberapa tanaman yang berpotensi sebagai pestisida
nabati.
61
(A) (B)
Gambar 5.2. (A) Tanaman Sirsak dan Srikaya , (B) Tanaman Babadotan yang
berpotensi sebagai pestisida nabati (Sumber : Kardinan, A. 2004 )
62
Metode Aplikasi Pestisida Nabati
Aplikasi pestisida di lapangan harus dilaksanakan beberapa kali aplikasi
dengan interval waktu tertentu, hal ini karena daya kerja senyawa bioaktif
memerlukan waktu dalam proses pengendalian. Cara aplikasi dapat dilakukan
dengan menabur, disemprotkan atau dioleskan, tergantung OPT sasarannya.
Apabila akan diaplikasikan dengan cara penaburan, bahan pestisida nabati harus
dalam bentuk serbuk, dan jika diaplikasikan dengan cara pengolesan atau
disemprotkan maka bahan pestisida nabati harus dalam bentuk cairan.
diketahui misalnya :
(V) = Volume yang Keluar Dari Nozle = 4 Liter/Menit
(W) = Lebar Bidang Semprot = 2 Meter
(S) = Kecepatan Berjalan = 50 Meter/Menit
63
(Q) = Kebutuhan Larutan Semprot/ha = ?
64
1. Mimba (Azadirachta indica)
Biji Mimba dikupas dan diparut kemudian dibungkus dengan kain lalu
direndam dalam air selama satu malam dengan perbandingan 25-50 gr/liter air.
Hasil rendaman siap digunakan, untuk menghindari hilangnya potensi maka
waktu aplikasi sebaiknya pada malam hari. Pestisida nabati ini efektif untuk
mengendalikan lebih dari 100 jenis hama serangga diantaranya adalah tungau,
nematoda, ulat penggerek batang, ulat tanah, ulat gerayak, belalang, kutu dan lain-
lain (Andayani dan Utomo, 1997 : 260 ; Schmutterer, 1995 : 367).
2. Pepaya (Carica papaya)
Ambil 1 kg daun pepaya segar dirajang/diiris-iris dan direndam dalam 10
liter air, tambahkan 2 sendok minyak tanah dan larutan sabun 30 gram. Biarkan
selama semalam setelah itu disaring. Hasil rendaman siap digunakan untuk
mengendalikan berbagai jenis serangga hama.
3. Srikaya (Annona squamosa L.)
Siapkan biji yang sudah tua secukupnya (20 biji) kemudian ditumbuk
sampai menjadi halus lalu dicampur dengan air 1 liter dan tambahkan larutan
sabun secukupnya. Pestisida ini efektif untuk membunuh hama Aphid, semut,
ulat.
Untuk mengendalikan hama gudang diperlukan tepung biji srikaya
secukupnya lalu dicampurkan pada biji kacang hijau yang akan disimpan ternyata
hal ini dapat mengendalikan hama gudang Callosobruchus analis dan dapat
menghambat proses peletakan telur serangga hama pada biji kacang hijau
(Kardinan, 2004).
4. Babadotan (Ageratum conyzoides L.)
Tanaman ini daunnya dapat digunakan sebagai insektisida nabati, caranya
ambil daun secukupnya lalu dihaluskan/ditumbuk kemudian dicampur air dengan
perbandingan sesuai kebutuhan. Insektisida ini efektif untuk menghambat
pertumbuhan larva menjadi pupa (Kardinan, 2004).
- Latihan
65
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Sebutkan model-model pengendalian OPT
2. Jelaskan kelebihan pengendalian dengan cara bercocok
tanam (kultur teknis)
3. Uraikan dengan singkat pengertian konsentrasi dan dosis
- Kunci Jawaban
1. Model-model pengendalian yaitu : 1) cara fisik dan mekanik; 2) kultur
teknis (bercocok tanam); 3) biologi/hayati ; dan 4) kimiawi (sintetik dan
nabati)
2. Pengendalian secara bercocok tanam memiliki kelebihan yaitu
penerapannya dimulai sejak persiapan tanam sebagai bentuk preventif
mencegah munculnya serangan OPT, sehingga jika terjadi kenaikan populasi
hama segera dapat diantisipasi.
3. Konsentrasi pestisida terbagi atas 3 (tiga) yaitu : 1) konsentrasi formulasi,
yaitu banyaknya pestisida dihitung dalam cc atau gram pestisida per liter air
yang dicampurkan ; 2) konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif
pestisida yang terdapat di dalam larutan jadi (sudah dicampur air); 3)
konsentrasi larutan, yaitu persentase kandungan pestisida yang terdapat
dalam larutan jadi. Sedangkan dosis yaitu : 1) jumlah pestisida (cc, liter atau
gram, kg) yang digunakan untuk mengendalikan OPT persatun luas tertentu
atau per pohon yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih ; 2) jumlah
pestisida yang telah dicampur atau diencerkan terlebih dahulu dengan air dan
digunakan untuk menyemprot pertanaman yang diserang OPT dengan luas
tertentu dalam satu kali aplikasi ; 3) jumlah bahan aktif pestisida yang
dibutuhkan untuk keperluan per satuan luas.
- Rangkuman
1. Pengendalian OPT dengan cara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola
lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk
66
berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural
enemies) secara efektif. Pengendalian secara bercocok tanam merupakan
usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan
OPT terjadi, populasi hama diharapkan tidak melawati aras ambang ekonomi.
2. Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami terdiri atas predator,
parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang
efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya
peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini
terlihat dari meningkatnya daya makan setiap predator.
3. Pengendalian secara fisik adalah tindakan pengendalian hama dengan
menggunakan faktor fisik seperti menaikkan suhu dengan cara pembakaran,
menurunkan suhu dengan penggenangan, solarisasi tanah, lampu perangkap,
pengaturan cahaya dan suara. Sedangkan pengendalian secara mekanik
adalah tindakan mematikan hama yaitu (telur, larva, nimfa, pupa dan imago)
secara langsung apabila ditemukan di tanaman atau disekitar pertanaman
dengan menggunakan tangan atau alat tertentu.
4. Pengendalian kimiawi adalah pengendalian OPT dengan menggunakan
pestisida. Pestisida terbagi atas dua pestisida organik alami yaitu terbuat dari
tanaman (insektisida nabati) dan pestisida organik sintetik yaitu merupakan
hasil buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi. Pestisida kimia yang
dipasarkan umumnya sudah dalam bentuk formulasi yaitu campuran bahan
aktif teknis, sinergis (bahan penguat yang tidak bersifat racun tetapi apabila
dicampurkan ke bahan aktif akan menambah toksisitas insektisida) dan bahan
pembantu/ajuvan (berfungsi meningkatkan daya larut/solvent, sebagai
pembawa/diluent dan penyelimut, menambah daya lekat/stiker, meningkatkan
daya sebar dan pembasahan pada permukaan/ surfaktan, dan memberikan bau
harum/deodoran.
5.3. Penutup
a. Tes formatif
67
1. Jelaskan salah satu contoh pengendalian fisik dan mekanik
2. Sebutkan masing-masing 2 (dua) contoh agen pengendali hayati (patogen,
predator dan parasitoid).
3. Sebut dan jelaskan pembagian pestisida kimia.
4. Jelaskan pengaruh negatif pestisida kimia sintetik.
5. Jelaskan perhitungan kebutuhan pestisida nabati untuk mengendalikan
OPT pada lahan seluas 1 hektar.
b. Umpan balik dan tindak lanjut
- Umpan balik
Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
4. Membuat ringkasan materi pada setiap bab sebelum materi tersebut dibahas
dalam diskusi maupun praktek
5. Aktif dalam diskusi dan praktikum
6. Mengerjakan latihan dan tugas
- Tindak lanjut
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan
konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.
Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan
untuk :
1. Mempelajari kembali materi di atas.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.
c. Jawaban tes formatif
1. Contoh pengendalian dengan menggunakan cara fisik yaitu melakukan
solarisasi Tanah, adalah suatu cara mensterilkan tanah dari OPT
(mikroorganisme tanah penyebab penyakit layu pada tanaman) dengan
menggunakan plastik transparan sebagai mulsa penutup tanah pada saat
sebelum tanam. Sedangkan cara mekanik seperti pengambilan dengan tangan,
cara ini murah dan sederhana tetapi memerlukan tenaga kerja yang banyak.
68
OPT yang ditemukan seperti telur, larva, pupa, jika memungkinkan imago
dikumpulkan dengan tangan lalu langsung dibunuh.
2. Agen pengendali hayati patogen (Jamur Metarhizium sp. dan Beauveria
bassiana patogen pada coleoptera ); predator (Andrallus spinidens predator
larva dan Lycosa pseudoannulata laba-laba pemburu); dan parasiotid
(Tetrastichus shcoenobii parasiotid telur penggerek batang padi dan
Poecilotraphera sp. parasitoid ulat dan pupa penggerek batang padi).
3. Pestisida kimia terbagi atas dua yaitu pestisida organik alami terbuat dari
tanaman (insektisida nabati) dan pestisida organik sintetik merupakan hasil
buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi.
4. Akibat pemaparan pestisida kimia sintetik secara terus menerus dengan cara
tidak bijaksana telah berakibat kerusakan lingkungan biotik dan abiotik,
munculnya resistensi hama, resurjensi hama, peletusan hama kedua, selain itu
adanya pencemaran perairan oleh residu pestisida.
5. Perhitungan kebutuhan pestisida nabati untuk lahan seluas 1 hektar adalah
10.000 X V
Q=
W X S
diketahui misalnya :
10.000 X 4 40.000
Q= = = 400 liter/ha
2 X 50 100
69
5.4. Daftar Pustaka
Andayani, I. N. dan Utomo, A. N. 1997. Pestisida Alami dan
Peluang Penggunaannya dalam Pembangunan yang Berwawasan
Lingkungan. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 23-30 Januari 1992.
259-274 pp.
Anonim, 2002. Pestisida Untuk Pertanian Dan Kehutanan. Direktorat Pupuk Dan
Pestisida. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian Departemen
Pertanian, Jakarta. 375p.
Anonim, 2002. Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida. Direktorat Pupuk dan
Pestisida Departemen . Koperasi Pegawai Negeri Ditjen BSP. 189p.
Buchori, D., dan Sahari, B., 2000. Keanekaragaman Serangga danb
Pengendalian Hayati. Antara Pertanian dan Konservasi Alam. Prosiding
Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi
Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 127-132 pp.
Dien, M.F., 1994. Pengaruh Insektisida Racun Saraf Terhadap Perilaku
Serangga. Tugas Mata Kuliah Masalah Khusus Hama. Program Studi
Ilmu Hama Tumbuhan. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 31p.
70
Herlinda, S., Kandowangko, D.S., Winasa, IW., dan Rauf, A., 2000. Fauna
Artropoda Penghuni Habitat Pinggiran di Ekosistem Persawahan.
Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem
Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 163-174 pp.
Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya.
Jakarta. 88 p.
Laba, I.W., Djatnika, K., dan Arifin, M., 2000. Analisis Keanekaragaman Hayati
Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah. Prosiding Simposium
Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI
dan KEHATI. Cipayung Bogor. 207-216 pp.
Lihawa, Mohamad, 1994. Pengaruh Periode Solarisasi Tanah Terhadap
Serangan Jamur Fusarium oxysporum Schlect Penyebab Penyakti Layu
Pada Tanaman Tomat. Skripsi. FAPERTA UNSRAT Manado. 37 p.
Martono, E., et. al., 1993. Kajian Insektisida Karbofuran dalam Ekosistem Padi
Sawah. Komisi Penelitian Dan Pengembangan Pengendalian Hama
Terpadu. Program nasional Pengendalian Hama Terpadu. BAPPENAS.
77p.
------------, 1997. Toksikologi Insektisida. Buku Ajar. Program Studi Ilmu Hama
Tumbuhan Bidang Ilmu Pertanian . Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. 73p.
------------, 2001. Pemahaman Pengetahuan Pestisida, Anasir Pertanian
Terlanjutkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Pertanian. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 38p.
Mahrub, E., and Pollet A., 1996. Spesific Effects Of Carbofuran On Rice
Agroecosystems In Yogyakarta Plant Growth And Rice Stem Borer
Populations. Faculty Of Agriculture Gadjah Mada University. French
Institute For The Development Through Cooperation (ORSTOM). Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, Vo. 2: 13-26. 1996. 11p – 26p.
Mariyono, J., 2002. Hubungan Antara Serangan Hama Dan Penggunaan :
Pendekatan Analisis Ekonomet6rik Pada Padi Sawah Dan Kedelai.
71
Fakultas Pertanian Universitas Gunung Kidul, Yogyakarta. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 8. No. 1, 2002: 54-62p.
Matsumura, F., 1975. Toxicology of Insecticides. Departemen of Entomology
University of Wisconsin-Madison. Madison, Wisconsin. Plenum Press.
New York and London. 503p.
Minarni, E.W., 2002. Pengaruh Insektisida Karbofuran dan BPC Terhadap
Peranan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning. Tesis Program
Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 69p.
Natawigena, H., 1989.Pestisida dan Kegunaannya.Penerbit CV. Armico.
Bandung. 59 p.
Pedigo, L. P. 1996. Entomology and Pest Management. 2 nd Ed. Prentice Hall
Upper Saddle River, NJ 07458. 679 p.
Schmutterer, H. 1995. The Neem Tree. Source of Unique Natural Products
for Integrated Pest management, Medicine, Industry and Other Purposes.
696 p.
Shepard, B.M., et.al., 1989. Serangga-Serangga, Laba-Laba dan Patogen yang
Membantu. Lembaga Penelitian Padi Internasional. (International Rice
Research Institute). 127 p.
Sosromarsono, Sumartono dan Purnama Hidayat, 2002. Diktat Pengantar
Entomologi. Jurusdan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Kanisius. 218 p.
Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif.
Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
5.5. Senarai
72
Sintetik = Bahan buatan.
Pupa = Tahap antara larva dan dewasa (stadia serangga yang mengalami
metamorfosa sempurna) serangga dalam kondisi istirahat
BAHAN AJAR 6
STRATEGI PENGELOLAAN HAMA TERPADU
6.1. Pendahuluan
Deskripsi Singkat
Bab ini akan menguraikan Strategi Pengelolaan Hama Terpadu, Penerapan
PHT dan Evaluasi PHT di Tingkat Petani.
Relevansi
Bab ini berisi materi yang sangat erat hubungannya dengan bab
sebelumnya.
Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian
semester III dapat : Menguasai Strategi dan Evaluasi Pengelolaan Hama Terpadu
(PHT) serta mampu menerapkannya dengan tepat.
6.2. Penyajian
Uraian dan Contoh
73
Sejak hama menjadi masalah maka manusia berusaha untuk menurunkan
populasinya agar tidak mendatangkan kerugian bagi pertanaman yang diusahakan.
Berbagai macam cara telah dilakukan namun keberhasilannya tidak begitu
maksimal karena setelah ditinjau kembali cara tersebut ternyata petani hanya
melakukan satu cara atau satu teknik pengendalian.
Berdasarkan hal tersebut maka dipikirkan untuk memadukan beberapa
cara/teknik pengendalian melalui pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT).
OPT dianggap bukan sebagai musuh tetapi sebagai komponen penyusun
agroekosistem yang perlu dikelola sehingga keberadaanya tidak begitu merugikan
tanaman budidaya. Pendekatan yang ditawarkan adalah melalui strategi PHT.
74
2. Jaringan Informasi, dalam sistem PHT jaringan informasi harus
direncanakan dan disusun dengan cermat sehingga hubungan informasi antara
para pelaksana PHT dapat berjalan dengan lancar, cepat dan efisien sehingga
tindakan pengendalian yang dilakukan selalu tepat dengan keadaan dan
keperluan lapangan.
Jaringan informasi akan terbentuk apabila kegiatan anggota kelompok tani
yang ada aktif, setiap permasalahan yang ditemukan segera dibahas bersama-
sama dengan melibatkan petugas pengamat hama setempat sehingga
permasalahan tersebut dapat segera terpecahkan.
3. Proses Pengambilan Keputusan, harus berdasarkan pada informasi yang
lengkap dan dapat dipercaya. Pengambilan keputusan dilakukan sejak
perencanan dan persiapan tanam, penanaman, panen selama satu musim
tanam. Informasi yang salah akan menyebabkan pengendalian yang dilakukan
tidak akan efektif dan efisien, sehingga keuntungan yang diharapkan secara
ekonomi telah berbalik menjadi kerugian.
Menurut Norton (1976) cit. Untung (2003 : 247) bahwa; ada beberapa
faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani dalam
pengendalian OPT yaitu : a) tujuan petani ; b) ketersediaan tenaga, modal dan
tanah ; c) kedalaman pengertian petani tentang serangan OPT dan kerusakan yang
diakibatkan; dan d) kisaran serta efektifitas metode pengendalian yang tersedia
dan langsung dapat digunakan oleh petani.
Strategi PHT dalam penerapannya adalah menekankan pada pengendalian
yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi manusia
dalam bentuk penggunaan pestisida secara tidak bijaksana terutama pestisida yang
berspektrum lebar. Penggunaan pestisida organik sintetik merupakan cara
pengendalian terakhir apabila sudah tidak ada cara pengendalian lain yang efektif.
75
sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga memiliki
wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan komponen-
komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan. Hasil pengamatan akan
menjadi dasar pengambilan keputusan pengendalian OPT.
Biasanya petani dalam menetapkan keputusan pengendalian masih
menggunakan intuisi dan pengalamannya, tetapi karena mereka telah mengikuti
SLPHT maka pengetahuan dan keterampilannya semakin bertambah sehingga
keputusan yang diambil akan mantap dan lebih pasti (Untung, 2003 : 249).
Petani diprovinsi Gorontalo umumnya sudah memahami PHT, karena
sebagian besar sudah pernah mengikuti program SLPHT, tetapi apakah mereka
sudah sepenuhnya menerapkan PHT pada sistem pertanian mereka, ini menjadi
suatu persoalan bagi kita untuk melihat dan mengevaluasi.
Hasil evaluasi diharapkan akan menjadi bahan pelajaran bagi kita,
mahsiswa dan sebagai bahan masukan untuk komponen-komponen terkait dalam
pengambilan kebijakan.
- Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Jelaskan pengertian pengelolaan hama terpadu (PHT)
76
2. Sebutkan 3 program yang harus dikembangkan pada penerapan PHT
3. Uraikan dengan singkat pentingnya informasi pada sistem PHT
- Kunci Jawaban
1. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) adalah suatu usaha untuk mengelola
OPT dan kompleks ekosistem yang ada sehingga tidak terjadi lonjakan
populasi OPT mendekati aras luka ekonomi melalui pendekatan memadukan
model-model pengendalian yang cocok dan serasi dengan dilandasi prinsip
ekologis.
2. Ada 3 (tiga) program yang harus dikembangkan pada penerapan PHT
adalah: 1) teknologi PHT ; 2) jaringan informasi ; dan 3) proses pengambilan
keputusan.
3. Jaringan informasi dalam penerapan PHT sangat penting untuk
menentukan keputusan pengendalian. Apabila informasi salah akan
menyebabkan pengendalian yang dilakukan tidak akan efektif dan efisien,
sehingga keuntungan yang diharapkan secara ekonomi telah berbalik menjadi
kerugian.
- Rangkuman
1. Organisme Pengganggu Tanaman dianggap bukan sebagai musuh tetapi
sebagai salah satu komponen penyusun agroekosistem yang perlu dikelola
sehingga keberadaanya tidak begitu merugikan tanaman budidaya.
2. Teknologi PHT yang diterapkan harus bersifat ; a) sedapat mungkin
merupakan teknologi “lunak” yang sedikit efek sampingnya bagi manusia,
lingkungan dan OPT; b) memanfaatkan dan mendorong berfungsinya proses
pengendali alami ; c) perpaduan optimal berbagai teknik pengendalian ; d)
mudah dimengerti dan mampu dilaksanakan oleh petani yang memiliki
sumber daya terbatas ; e) fleksibel dan menampung inovasi dan variasi sesuai
dengan keadaan ekosistem yang dikelola dan masyarakat setempat.
3. Jaringan informasi dalam sistem PHT harus direncanakan dan disusun dengan
cermat sehingga hubungan informasi antara para pelaksana PHT dapat
77
berjalan dengan lancar, cepat dan efisien sehingga tindakan pengendalian yang
dilakukan selalu tepat dengan keadaan dan keperluan lapangan.
5. Proses Pengambilan Keputusan harus berdasarkan pada informasi yang
lengkap dan dapat dipercaya. Pengambilan keputusan dilakukan sejak
perencanan dan persiapan tanam, penanaman, panen selama satu musim
tanam.
6. Evaluasi PHT adalah suatu kegiatan untuk melihat penerapan PHT oleh
petani di lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan,
pelaksanaan penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah
mengikuti SLPHT tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang
cukup sehingga memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan
agroekosistem dan komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan
pengamatan.
6.3. Penutup
a. Tes formatif
1. Jelaskan apabila informasi yang diberikan salah apa akibatnya .
2. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
petani dalam pengendalian OPT.
3. Uraikan dengan singkat strategi PHT.
4. Jelaskan fungsi evaluasi PHT ditingkat petani.
b. Umpan balik dan tindak lanjut
- Umpan balik
Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
a. Membuat ringkasan materi pada setiap bab sebelum materi
tersebut dibahas dalam diskusi maupun praktikum
b. Aktif dalam dsikusi dan praktikum
c. Mengerjakan latihan dan tugas
- Tindak lanjut
78
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan
konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.
Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan
untuk :
1. Mempelajari kembali materi di atas.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.
c. Jawaban tes formatif
1. Informasi yang salah akan menyebabkan pengendalian yang dilakukan tidak
akan berhasil sesuai harapan sebaliknya hanya kerugian biaya dan tenaga.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani
dalam pengendalian OPT yaitu : a) tujuan petani ; b) ketersediaan tenaga,
modal dan tanah ; c) kedalaman pengertian petani tentang serangan OPT dan
kerusakan yang diakibatkan; dan d) kisaran dan efektifitas metode
pengendalian yang tersedia dan langsung dapat digunakan oleh petani.
3. Strategi PHT dalam penerapannya adalah menekankan pada pengendalian
yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi
manusia dalam bentuk penggunaan pestisida secara tidak bijaksana terutama
pestisida yang berspektrum lebar. Penggunaan pestisida organik sintetik
merupakan cara pengendalian terakhir apabila sudah tidak ada cara
pengendalian lain yang efektif.
4. Evaluasi PHT berfungsi untuk melihat penerapan PHT oleh petani di
lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan, pelaksanaan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah mengikuti SLPHT
tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga
memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan
komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan.
79
Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman.
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
6.5. Senarai
SLPHT = Sekolah Lapang Pengamatan Hama Tanaman.
80