Anda di halaman 1dari 80

BAHAN AJAR

MATA KULIAH EKOLOGI HEWAN

1. Tinjauan Mata Kuliah


a. Deskripsi Singkat
Mata kuliah ini membahas tentang Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi,
Hewan dan Lingkungannya, Respon dan Adaptasi Hewan, Habitat dan
Relung, Populasi, Suksesi dan Ekoenergetika.

b. Kegunaan Mata Kuliah


Mata Kuliah Ekologi Hewan berguna bagi mahasiswa dalam memahami
bagaimana interelasi hewan dengan lingkungan biotik maupun abiotik.
Interelasi antara hewan dengan lingkungannya ini merupakan proses interaksi
dengan alam sekitar untuk pemenuhan kebutuhan. Interelasi ini juga
menggambarkan tatanan kinerja fungsi komponen lingkungan yang saling
menghargai dan senantiasa dalam keseimbangan. Oleh karena itu untuk
memahami tatanan interelasi tersebut diperlukan kajian tentang ekologi.
Interelasi ini biasanya menggambarkan keadaan hewan yang sangat
tergantung pada faktor-faktor abiotik maupun biotik dan sebaliknya hubungan
kedua faktor tersebut dengan hewan itu sendiri. Selain itu mahasiswa dapat
menerapkan peranan ekologi hewan bagi manusia, permodelan, pendekatan
serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa dapat mengamati
langsung interelasi hewan dan lingkungannya sehingga dapat menentukan,
mengestimasi serta dapat menghitung populasi dan energi dalam ekosistem
baik di lapangan maupun di laboratorium. Hal ini sangat berguna dalam hal
pengambilan dan penentuan kebijakan dalam penerapnnya di lapangan, karena
sangat berhubungan dengan keadaan dan sifat-sifat hewan. Kegunaan lain
adalah mahasiswa dapat menerapkan sistim dan strategi-strategi tersebut baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun di kemudian hari.

1
c. Standard Kompetensi
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini dalam satu semester, mahasiswa
diharapkan mampu memahami, menerapkan serta mengaplikasikan sasaran
dan strategi serta permodelan-permodelan dalam Ekologi Hewan dengan
benar.

d. Materi
Bab 1. Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan
Bab 2. Hewan dan Lingkungannya
Bab 3. Respon dan Adaptasi Hewan
Bab 4. Habitat dan Relung
Bab 5. Populasi
Bab 6. Suksesi
Bab 7. Ekoenergetika.

e. Petunjuk Bagi Mahasiswa


1. Sebelum mengikuti perkuliahan, hendaknya mahasiswa telah membaca
buku yang relevan dengan materi yang akan dibahas pada setiap
pertemuan.
2. Mengikuti setiap materi yang dipraktekkan sehingga dapat memahami dan
mengerti serta mendapatkan contoh kasus di lapangan agar menambah
wawasan keilmuan.
3. Carilah tambahan materi yang relevan dengan materi yang akan dibahas
dari internet dan perpustakaan kemudian diskusikan dalam kelompok baik
di kelas maupun di lapangan.
4. Mintalah petunjuk dari dosen jika ada konsep yang belum terselesaikan
baik dalam kelompok kecil maupun klasikal.
5. Kerjakan tugas mandiri yang diberikan pada akhir perkuliahan dan ikuti
ketentuan yang disepakati baik isi, teknis maupun batas pemasukan.

2
BAHAN AJAR I
DEFINISI EKOLOGI DAN KONSEP EKOLOGI HEWAN

1. Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan


Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos = rumah , Logos = ilmu. Beberapa
ahli ekologi mendefinisikan Ekologi sebagai berikut:
a. Odum (1963), Ekologi diartikan sebagai totalitas atau pola hubungan
antara makhluk dengan lingkungannya.
b. Kendeigh (1980), Ekologi sebagai kajian tentang hewan dan tumbuhan
dalam hubungannya antara satu makhluk dengan makhluk hidup yang lain
dan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
c. Krebs (1972), Ekologi, merupakan ilmu yang mempelajari interaksi-
interaksi yang menentukan sebaran/agihan (distribusi) dan kelimpahan
organisme-organisme.
Secara umum Ekologi sebagai salah satu cabang ilmu biologi yang
mempelajari interaksi atau hubungan pengaruh mempengaruhi dan saling
ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan makhluk hidup itu. Lingkungan
tersebut artinya segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup yaitu
lingkungan biotik maupun abiotik.
Hal-hal yang dihadapi dalam ekologi sebagai suatu ilmu adalah organisme,
kehadirannya dan tingkat kelimpahannya di suatu tempat serta faktor-faktor dan
proses-proses penyebabnya. Dengan demikian, definisi-definisi tersebut jika
dihubungkan dengan ekologi hewan dapat disimpulkan bahwa Ekologi Hewan
adalah suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara
hewan dengan lingkungan biotik dan abiotik secara langsung maupun tidak
langsung meliputi sebaran (distribusi) maupun tingkat kelimpahan hewan
tersebut.
2. Sasaran dan Ruang Lingkup Ekologi Hewan
Sasaran utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek
dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas

3
dan ekosistem yang ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi
serta faktor-faktor penting yang menyebabkan keberhasilan maupun
ketidakberhasilan organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam
mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan
informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan
dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan
kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain.
Setelah mempelajari dan memahami hal-hal tersebut, maka pengetahuan ini
dapat kita manfaatkan untuk misalnya, memprediksi kelimpahannya dan
menganalisis keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, menjaga
kelestariannya serta kegiatan lainnya yang menyangkut keberadaan hewan
tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari
habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan
lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat
dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga
kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat
alaminya,memprediksi kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya
dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan
mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.
Adapun ruang lingkup ekologi hewan dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu;
Synekologidan Autekologi. Synekologi adalah materi bahasan dalam kajian atau
penelitiannya ialah komunitas dengan berbagai interaksi antar populasi yang
terjadi dalam komunitas tersebut. Contohnya; mempelajari atau meneliti tentang
distribusi dan kelimpahan jenis ikan tertentu di daerah pasang surut. Autekologi
adalah kajian atau penelitian tentang species, yaitu mengenai aspek-aspek ekologi
dari individu-individu atau populasi suatu species hewan. Contohnya adalah
meneliti atau mempelajari tentang seluk beluk kehidupan lalat buah (Drosophila
sp.), mulai dari habitat, makanan, fekunditas, reproduksi, perilaku, respond an
lain-lain.

4
Menurut Ibkar-Kramadibrata (1992) dan Sucipta (1993), secara garis besar
pokok bahasan dalam ekologi hewan mencakup hal berikut ini;
a. Masalah distribusi dan kelimpahan populasi hewan secara lokal dan regional,
mulai tingkat relung ekologi, microhabitat dan habitat, komunitas sampai
biogeografi atau penyebaran hewan di muka bumi.
b. Masalah pengaturan fisiologis, respon serta adaptasi structural maupun
perilaku terhadap perubahan lingkungan.
c. Perilaku dan aktivitas hewan dalam habitatnya.
d. Perubahan-perubahan secara berkala (harian, musiman, tahunan dsb) dari
kehadiran, aktivitas dan kelimpahan populasi hewan.
e. Dinamika pop[ulasi dan komunitas serta pola interaksi-interaksi hewan dalam
populasi dan komunitas.
f. Pemisahan-pemisahan relung ekologi, species dan ekologi evolusioner.
g. Masalah produktivitas sekunder dan ekoenergetika.
h. Ekologi sistem dan permodelan.
Dengan demikian ruang lingkup Ekologi Hewan meliputi obyek kajian
individu/organisme, populasi, komunitas sampai ekosistem tentang distribusi dan
kelimpahan, adaptasi dan perilaku, habitat dan relung, produktivitas sekunder,
sistem dan permodelan ekologi.
3. Peranan Ekologi Bagi Manusia
Manusia adalah organisme heterotrof di bumi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin maju menyebabkan manusia mengeksplorasi, mengolah
dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga dengan mudah mengubah kondisi lingkungannya
sesuai keinginannya. Dengan keberhasilannya ini dengan mudah menyebabkan
laju peningkatan populasi manusia yang relatif tinggi (2%) pertahun.
Makin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya yang diperlukan manusia
telah menyebabkan makin menciutnya luas lingkungan alami dan makin
bertambahnya lingkungan buatan. Akibat kegiatan manusia tersebut adalah
pencemaran lingkungan oleh limbah buangan industri, kelangkan dan kepunahan
species berbagaim organisme, terjadinya perubahan pola cuaca maupun iklim,

5
semakin lebarnya lubang ozon, timbulnya berbagai jenis penyakit yang berbahaya
dan lain-lain. Manusia kini dihadapkan pada 2 tantangan, yaitu; 1) menjaga
kelestarian ketersediaan sumberdaya, 2) memelihara kondisi lingkungannya.
Menghadapi kedua tantangan tersebut, ekologi sangat berperan, misalnya
penelitian-penelitian yang menghasilkan pemahaman mengenai berbagai aspek
ekologi dari suatu populasi, komunitas ataupun ekosistem sehingga faktor-faktor
penting dapat diketahui dengan tepat serta menghasilkan peramalan yang lebih
akkurat. Hal ini dapat mendukung upaya-upaya yang akan dilakukan manusia,
karena adanya acuan yang lebih baik untuk mencegah terjadinya perubahan-
perubahan maupun kerusakan yang dapat merugikan kondisi lingkungan serta
menjaga kesinambungan ketersediaan sumberdaya agar lestari dan
pemanfaatannya dapat berkelanjutan.
Ekologi hewan bagi manusia cukup penting artinya dalam memberi nilai-
nilai terapan dalam kehidupan manusia. Manfaat tersebut terutama menyangkut
masalah-masalah pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, serta
pengolahan dan konservasi satwa liar. Kisaran toleransi dan faktor-faktor
pembatas telah banyak diterapkan dalam bidang-bidang tersebut. Konsep-konsep
tersebut juga telah melandasi penanganan berbagai masalah seperti pengendalian
hama dan penyakit, penggunaan berbagai species hewan tertentu sebagai indicator
menunjukkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, hubungan predator
mangsa dan parasitoid – inang, vector penyebar penyakit, pengelolaan dan upaya-
upaya konservasi satwa liar yang bersifat insitu (pemeliharaan di habitat aslinya)
maupun exsitu ( pemeliharaan di lingkungan buatan yang menyerupai habitat
aslinya) dan lain-lain. Banyak masalah-masalah yang terpecahkan dengan
mempelajari ekologi hewan yang senantiasa berlandaskan pada konsep efisiensi
ekologi.
4. Permodelan dan Pendekatan dalam Ekologi
Permodelan ekologi disusun dalam menghadapi berbagai kondisi alam
atau lingkungan yang terus menerus berubah atau dinamis. Dalam hal ini manusia
dituntut dapat membuat penjelasan terhadap fenomena-fenomena alam untuk
memperoleh manfaat bagi kepentingan hidupnya maupun meramalkan kejadian

6
yang mungkin akan terjadi guna menghindari efek buruknya bagi manusia.Untuk
dapat memenuhi tuntutan tersebut diperlukan acuan dan peramalan yang lebih
baik dan tepat. Hasil studi tersebut dibuat dalam bentuk permodelan ekologi.
Penyusunannya didukung oleh hasil-hasil penelitian ekologi yang memberikan
informasi kuantitatif dan pengelolaan datanya banyak dibantu oleh teknik-teknik
computer.
Model Ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai
bentuk penerjemahan fenomena ekologi yang sebenarnya dan telah
disederhanakan. Jumlah variable dalam suatu model lebih rendah dari yang
sebenarnya, karena yang ditampilkan hanya faktor-faktor dan proses kuncinya
saja, yaitu yang paling penting serta paling menentukan. Informasi ini didapatkan
dari hasil sejumlah penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif maupunh
eksperimental di lapangan maupun di laboratorium.
Permodelan ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik
sebagai bentuk penerjemahan fenomena ekologp yang sebenarnya dan telah
disempurnakan.
5. Pendekatan dalam Ekologi Hewan
Pendekatan dalam ekologi dapat secara laboratories, lapangan dan
matematik. Dalam ekologi hewan salah satu kendala yang sulit adalah
pengukuran, metode dan teknik pengamatan. Hal ini disebabkan oleh sifat hewan
yang senantiasa bergerak dan berpindah-pindah baik secara liar maupun jinak.
Misalnya menyangkut penentuan kelimpahan dan perilaku hewan yang diteliti,
ukuran tubuh mulai dari milimikron sampai yang besar dan tinggi, stadia
perkembangan, kecepatan dan daya gerak yang berbeda-beda, lingkungan yang
ditempati juga berbeda-beda seperti; habitat daratan, perairan tawar ataupun laut
serta keunikan dan kespecifikan perilaku hidupnya termasuk aktivitasnya dalam
sehari.
Metode dan teknik penelitian bukan saja ditentukan oleh hal-hal tersebut
di atas, tetapi hal lain yang sangat penting adalah tujuan, sasaran dan manfaat dari
penelitian itu. Penelitian ekologi hewan yang bersifat deskriptif ataupun

7
eksperimental dengan data kuantitatif memerlukan desain (rancangan), prosedur
kerja serta pengolahan data secara statistic.
Penelitian eksperimen, pada dasarnya melibatkan 2 komponen atau
perangkat obyek yang diteliti, yakni; perangkat eksperimen (perlakuan) dan
control. Perangkat control merupakan suatu perangkat obyek yang diamati dan
kondisinya serupa benar dengan perangkat eksperimen, kecuali ada hal-hal
tertentu merupakan faktor atau proses yang diteliti atau yang diberikan sebagai
perlakuan.
Pada umumnya penelitian eksperimen dilakukan di dalam laboratorium
yang kondisinya sangat berbeda dengan kondisi di lingkungan alami atau kondisi
habitat alami yang ditempati hewan yang diteliti. Kondisi lingkungan dalam suatu
penelitian laboratorium merupakan kondisi yang dapat dikendalikan oleh peneliti,
misalnya dibuat sangat berbeda dalam satu atau lebih faktor lingkungan
dibandingkan dengan kondisi lingkungan alami atau dibuat sedemikian rupa yang
sangat mirip dengan kondisi lingkungan alami.
6. Aplikasi Konsep Ekologi Hewan
Dalam perkembangannya ekologi telah mengalami diversivikasi dengan
lahirnya cabang-cabang ilmu ekologi lainnya yang lebih spesifik, dengan materi
yang terbatas, khusus dan mendalam yang didasarkan atas kelompok organisme,
misalnya; Ekologi Tumbuhan, Ekologi hewan, Ekologi Parasit, Ekologi Gulma,
Ekologi Serangga, ekologi Burung dan lainnya.
Ekologi Hewan, bahasannya memerlukan pemahaman mengenai aspek-
aspek biologi lainnya juga menyangkut matematika dan statistika. Sebenarnya
konsep, asas ataupun generalisasi dalam ekologi hewan telah banyak memberikan
nilai-nilai terapan yang cukup dalam kehidupan manusia sehari-hari, terutama
dalam bidang-bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehata dan
pengolahan maupun konservasi satwa liar. Penerapan ekologi makin penting
dengan semakin diperlukannya upaya-upaya manusia dalam memelihara
ketersediaan sumberdaya serta kualitas lingkungan hidup yang
berkesinambungan.

8
Dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan, konsep kisaran
toleransi dan faktor pembatas serta dalam masalah pengendalian populasi hama
dan penyakit (Biological Control). Dengan konsep ekologi hewan juga telah
melandasi penggunaan berbagai species hewan tertentu sebagai species indicator
yang menunjukkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, sudah tercemar atau
belum. Konsep lain dalam bidang pertanian dan kesehatan adalah hubungan
predator mangsa dan parasitoid inang. Dalam upaya meningkatkan hasil produk
ikan maupun ternak, pengelolaan satwa liar baik yang bersifat insitu
(pemeliharaan di habitat aslinya) maupun exsitu (pemeliharaan di lingkungan
buatan) seluruhnya berazaskan dan berlandaskan efisiensi ekologi dan azas-azas
ekologi.
- Rangkuman
1. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan interaksi makhluk
hidup dengan lingkungannya.
2. Ekologi hewan adalah cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi antara
hewan dengan lingkungannya yang menentukan sebaran (distribusi) dan
kemelimpahan hewan-hewan tersebut.
3. Sasaran utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar
yang melanda kinerja hewan-hewan meliputi individu, populasi, komunitas
maupun sistem ekologisnya, guna menemukan proses dan mekanisme kunci
untuk menyusun permodelan yang akan dipakai dalam peramalan.
4. Permodelan ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai
bentuk penerjemahan fenomena ekologi yang telah disederhanakan.
5. Ruang lingkup ekologi hewan meliputi kajian individu/organisme, populasi,
komunitas, dan ekosistem tentang distribusi dan kemelimpahan, adaptasi dan
perilaku, habitat dan relung, produktivitas, sistem dan permodelan ekologi.
6. Pendekatan dalam ekologi hewan dapat secara laboratories dan matematik.
7. Aplikasi penerapan ekologi hewan banyak dimanfaatkan dalam bidang
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan konservasi satwa liar.

9
1.4. Daftar Pustaka
Kendeigh, S.C. 1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man.
Prentice Hall, New Jersey.
Krebs, C. 1978. Ecology of the Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Harper Pub. New York.
Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders, Tokyo, Japan.
Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Sounders, Philadelphia.

1.5. Senarai
Ekologi Hewan = Suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-
(distribusi) dan interaksi antara hewan dengan lingkungan
biotic dan abiotiknya yang menentukan sebaran
kemelimpahan hewan-hewan tersebut.

10
BAHAN AJAR 2
HEWAN DAN LINGKUNGANNYA

1. Lingkungan bagi Hewan Sebagai Kondisi dan Sumberdaya.


Lingkungan hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di
sekitarnya dan dapat mempengaruhinya. Hewan hanya dapat hidup, tumbuh dan
berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi dan
sumberdaya serta terhindar dari faktor-faktor yang membahayakan.
Begon (1996), membedakan faktor lingkungan bagi hewan ada 2 kategori,
yaitu; Kondisi dan Sumberdaya. Kondisi adalah faktor-faktor lingkungan abiotik
yang keadaannya berbeda dan berubah sesuai dengan perbedaan tempat dan
waktu.
Hewan bereaksi terhadap kondisi lingkungan, yang berupa perubahan-
perubahan morfologi, fisiologi dan tingkah laku. Kondisi lingkungan antara lain
berupa.; temperature, kelembaban, Ph, salinitas, arus air, angina, tekanan, zat-zat
organic dan anorganik.
Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme,
yang dapat dibedakan atas materi, energi dan ruang. Sumberdaya digunakan untuk
menunjukkan suatu faktor abiotik maupun biotikyang diperlukan oleh hewan,
karena tersedianya di lingkungan berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh
hewan. Setiap hewan akan bervariasi menurut ruang (tempat) dan waktu. Oleh
karena itu setiap hewan senantiasa berusaha untuk selalu dapat beradaptasi
terhadap setiap perubahan lingkungan tersebut. Dalam penyesuaian diri tersebut
hanya hewan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dapat bertahan
hidup, sementtara yang tidak mampu beradaptasi akan mati atau beremigrasi
bahkan akan punah.
Perubahan lingkungan terhadap waktu, secara garis besarnya terdiri atas 3,
yaitu;
a. Perubahan Siklik, perubahan yang terjadinya berulang-ulang secara
berirama, seperti malam dan siang, laut pasang dan surut, kemarau dan

11
penghujan, dll. Perubahan siklik dapat berskala harian, bulanan, musiman,
tahunan.
b. Perubahan Terarah, suatu perubahan yang terjadi berangsur-angsur, terus
menerus dan progresif dan menuju ke suatu arah tertentu. Prosesnya bisa
lama. Contohnya mendangkalnya danau Limboto di Gorontalo.
c. Perubahan Eratik, suatu perubahan yang tidak berpola dan tidak
menunjukkan arah perubahannya. Contohnya; pengendapan Lumpur
Lapindo di Jawa Timur (Ponorogo), kebakaran hutan, letusan gunung
berapi dan lain-lain.

2. Hewan dan Lingkungan Biotik


Setiap organisme di muka bumi menempati habitatnya masing-masing.
Dalam suatu habitat terdapat lebih dari satu jenis organisme dan semuanya berada
dalam satu komunitas. Komunitas menyatu dengan lingkungan abiotik dan
membentuk suatu ekosistem. Dalam ekosistem hewan berinteraksi dengan
lingkungan biotic , yaitu hewan lain, tumbuhan serta mikroorganisme lainnya.
Interaksi tersebut dapat terjadi antar individu, antar populasi dan antar komunitas.
Interaksi tersebut merupakan fungsi ekologis dari suatu ekosistem.
Interaksi antara individu dapat terjadi antar individu dalam suatu populasi
atau berbeda populasi. Misalnya interaksi ayam jantan dengan pejantan lainnya
untuk memperebutkan territorial, antarseekor kucing dengan tikus. Interaksi
populasi terjadi antar kelompok hewan dari suatu jenis organisme dengan
kelompok lain yang berbeda jenis organisme. Misalnya sekelompok harimau
berburu sekelompok rusa di padang rumput. Interaksi antar komunitas terjadi
antar kelompok-kelompo singa, kerbau, bison dan banteng di satu pihak dengan
rumput dan semak-semak di pihak lain ketika hewan itu merumput di padang
rumput. Hubungan antar hewan dengan lingkungan biotiknya terjadi antar
organisme yang hidup terpisah dengan organisme yang hidup bersama.
Faktor-faktor biotic yang mempengaruhi kehidupan hewan adalah sebagai
berikut:

12
Komunitas dan Ekosistem
Komunitas (biocenose) adalah beberapa jenis organisme yang merupakan
bagian dari jenis ekologis tertentu yang disebut ekosistem unit ekologis, yaitu
suatu satuan lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat bermacam-macam
makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) dan antar sesamanya dan
lingkungan di sekitarnya (abiotik) membntuk hubungan timbale balik yang
salingmempengaruhi.
Ekosistem
Ekosistem adalah suatu unit lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat
hubungan yangfungsional antar sesame makhluk hidup dan antar makhluk hidup
dengan komponen lingkungan abiotik. Hubungan fungsional dalam ekosistem
adalah proses-proses yang melibatkan seluruh komponen biotic dan abiotik
untukm mengelola sumberdaya yang masuk dalam ekosistem. Sumberdaya
tersebut adalah sesuatu yang digunakan oleh organisme untuk kehidupannya,
yaitu energi, cahaya dan unsur-unsur nutrisi.
Interaksi antar komponen di dalam ekosistem menentukan pertumbuhan
populasi setiap organisme dan berpengaruh terhadap perubahan serta
perkembangan struktur komunitas biotic.
Produsen
Produsen terdiri dari organisme autotrof, yaitu organisme yang dapat
menyusun bahan organic dari bahan organic sebagai bahan makanannya.
Penyusunan bahan organic itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan energi
yang diperlukan untuk aktivitas metabolisme dan aktivitas hidup lainnya.
Organisme autotrof adalah; sebagian besar adalah organisme berklorofil, yang
sebagian besar terdiri dari tumbuhan hijau dan sebagian kecil berupa bakteri.
Konsumen
Konsumen adalh komponen biotic yang terdiri dari organisme heterotrof, yaitu
organisme yang tidak dapat memanfaatkan energi secara langsung untuk
memenhuhi kebutuhan energinya. Organisme heterotrof sebagai organisme yang
tidak dapat menyusun bahan organic dari bahan anorganik. Energi kimia dan

13
bahan organic yang diperlukan dipenuhi dengan cara mengkonsumsi energi kimia
dan bahan organic yang diproduksi oleh tumbuhan hijau (produsen).
Organisme yang tergolong konsumen adalah; Herbivore, yaitu memakan
tumbuhan. Misalnya sapi, kuda, kambing, kerbau, kupu-kupu, belalang dan siput.
Karnivor, adalah hewan pemakan hewan lain baik herbivore maupn sesame
karnivor. Karnivor pada umumnya adalah hewan buas (harimau, singa, ular), dan
hewan pemakan bangkai (komodo, burung hantu, dll). Predator juga termasuk
sebagai karnivor. Omnivor, adalah hewan pemakan segalanya baik tumbuhan
maupun hewan yang sudah mati, misalnya kucing, ayam, musang , tikus dan lain-
lain. Detritivor, adalah organisme yang berperan sebagai pengurai
(mikroorganisme) seperti bakteri.
Predator
Predator adalah hewan yang makan hewan lain dengan cara berburu dan
membunuh. Hewan yang dimangsanya adalah hewan yang masih hidup.
Contohnya adalah kucing makan tikus, capung makan serangga.
Parasit
Parasit, adalah hewan yang hidup pada hewan lain. Hidupnya sangat
mempengaruhi inangnya karena semua zat makanan dari inang diserapnya untuk
memenuhi kebutuhannya. Parasit berupa hewan kecil dan organisme kecil yanmg
termasuk jamur dan bakteri pathogen.
Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang pada fase dewasanya hidup bebas, tetapi
pada fase larva berkembang di dalam tubuh (telur, larva dan pupa) serangga lain
yang merupakan inangnya. Serangga parasitoid pada umumnya termasuk pada
ordo Hymenoptera dan Diptera. Hewan dewasa parasitoid meletakkan telurnya di
dekat atau pada tubuh serangga lain (telur, larva dan pupa). Ketika telur parasitoid
yang diletakkan pada tubuh inangnya menetas, selam fase larva itu belum dewasa
akan hidup terus dalam tubuh inang. Larva tersebut akan makan sebagian atau
seluruh tubuh dari inang sehingga menyebakan kematian bagi inangnya.

14
Pengurai
Pengurai, adalah organisme yang berperan sebagai pengurai. Cara
mengkonsumsi makanan tidak dapat menelan dan mencerna makanan di dalam sel
tubuhnya, melainkan harus mengeluarkan enzim pencerna keluar sel untuk dapat
menguraikan makanannya yang berupa organic mati menjadi zat-zat yang
molekulnya kecil sehingga dapat diserap oleh sel.
Mikrobivor
Mikrobivor adalah hewan-hewan kecil yang makan mikroflora (bakteri
dan fungi). Hewan ini berupa protozoa dan nematoda.
Detritivor
Detritivor adalah hewan yang makan detritus, yaitu bahan-bahan organic
mati yang berasal dari tubuh tumbuhan dan hewan. Hewan yang tergolong detritus
antara lain; rayap, anjing tanah dan cacing tanah.
Intraspesifik dan interspesifik
Hubungan timbal balik antara dua individu dalam suatu jenis organisme
(intraspsifik) dan hubungan antara dua individu yang berbeda jenis (interspesifik).
Hubungan-hubungan ini meliputi:
Kompetisi
Kompetisi adalah hubungan antara dua individu untuk memperebutkan
satu macam sumberdaya, sehingga hubungan itu bersifat merugikan bagi salah
satu pihak. Sumberdaya berupa; makanan, energi dan tempat tinggal. Persaingan
ini terjadi pada saat populasi meledak sehingga hewan akan berdesak-desakan di
suatu tempat tertentu. Dalam kondisi demikian biasanya hewan yang kuat akan
mengusir yang lemah dan akan menguasai tempat itu sedangkan yang lemah akan
beremigrasi atau mati bahkan punah.
Simbiosis
Hubungan interspesifik ada yang berifat simbiosis ada yang non simbiosis.
Hubungan simbiosis adalah hubungan antara dua individu dari dua jenis
organisme yang keduanya selalu bersama-sama. Contoh dari simbiosis adalah
Flagellata yang hidup dalam usus rayap. Flagellata itu mencerna selulosa kayu
yang dimakan rayap. Dengan demikian rayap dapat menyerap karbohidrat yang

15
berasal dari selulosa itu. Hubungan nonsimbiosis adalah hubungan antara dua
individu yang hidup secara terpisah, dan hubungan terjadi jika keduanya bertemu
atau berdekatan. Contohnya adalah kupu-kupu dengan tanaman bunga. Bunga
akan terbantu dalam penyerbukan yang disebabkan terbawanya serbuk sari bunga
oleh kaki kupu-kupu dengan tidak sengaja ke bunga yang lain pada saat kupu-
kupu mengisap nectar dari bunga tersebut. Simbiosis sebagai hidup bersama
antara dua individu dari dua jenis organisme, baik yang menguntungkan maupun
yang merugikan.

Pemisahan Kegiatan Hidup


Peristiwa ini adalah hubungan kompetitif antara satu hewan dengan hewan
yang lain dapat berkembang menjadi kegiatan pemisahan hidup (partition). Dalam
hubungan ini hewan-hewan yang hidup di suatu habitat mengadakan spesialisasi
dalam hal jenis makanan atau dalam metode dan tempat memperoleh
makanannya. Misalnya burung Flaminggo mempunyai kaki dan leher yang
panjang yang berfungsi dalam hal pengambilan makanannya berupa organisme
kecil dan di tempat berlumpur sehingga burung tersebut mudah meraihnya.
Kanibalisme
Kanibalisme adalah sifat suatu hewan untuk menyakiti dan membunuh
bahkan memakannya terhadap individu lain yang masih sejenis. Contoh belalang
sembah betina membunuh belalang jantan setelah melakukan perkawinan, ayam
dalam satu kandang yang berdesak-desakan sehingga ruangan dan makananya
terbatas menyebabkan persaingan yang hebat.
Amensalisme
Hubungan antara dua jenis organisme yang satu menghambat atau
merugikan yang lain, tetapi dirinya tidak berpengaruh apa-apa dari organisme
yang dihambat atau dirugikan.
Komansalisme
Hubungan antara dua jenis organisme yang satu memberi kondisi yang
menguntungkan bagi yang lain sedangkan dirinya tidak terpengaruh oleh
kehadiran organisme yang lain itu.

16
Mutualisme
Hubungan antara dua jenis organisme atau individu yang saling
menguntungkan tanpa ada yang dirugikan.

3. Hewan dan Lingkungan Abiotik


Hewan adalah organisme yang bersifat motil, yaitu dapat bergerak dan
berpndah tempat. Gerakannya disebabkan oleh rangsangan tertentu yang berasal
dari lingkungannya. Faktor-faktor yang merangsang hewan untuk bergerak adalah
makanan, air, cahaya, suhu, kelembaban,dan lain-lain.
Faktor lingkungan yang berpengaruh pada kehidupan hewan dibedakan
atas kondisi dan sumberdaya. Sumberdaya terdiri atas:

Materi adalah bahan-bahan atau zat yang diperlukan oleh organisme untuk
membangun tubuh. Materi terdiri atas; zat-zat anorganik (air, garam-garam
mineral) dan zat-zat organic (tubuh organisme lain atau sisa-sisa tubuh organisme
yang sudah mati).
Energi adalah daya yang diperlukan oleh organisme untuk melakukan aktivitas
hidup.
Ruang adalah tempat yang digunakan organisme untuk menjalankan siklus
hidupnya.

Hewan dan organisme lain mempunyai hubungan yang saling


ketergantungan dengan lingkungannya, sehingga timbullah hubungan timbal balik
antara keduanya. Hubungan timbal balik tersebut meliputi; Aksi, Reaksi dan
Koasi. Lingkungan abiotik hewan meliputi faktor-faktor Medium dan Substrat.
Medium adalah bahan yang secara langsung melingkupi organisme dan
organisme tersebut berinteraksi dengan medium, seperti; Ikan menerima zat-zat
mineral dari air, sebaliknya air menerima kotoran ikan dalam air. Bagi beberapa
jenis hewan, medium merupakan habitatnya.
Beberapa fungsi medium bagi hewan;
1. Tempat tinggal misalnya; ikan hidup di air, cacing hidup di dalam tanah

17
2. Sumber materi yang diperlukan untuk metabolisme tubuh, misalnya;
hewan darat memperolh Oksigen dari udara.
3. Tempat membuang sisa metabolisme, seperti Karbondioksida dan feces.
4. Tempat berepeoduksi, misalnya, katak pergi ke air untuk kawin dan
bertelur.
5. Menyebarkan keturunan, misalnya; Larva ketam air tawar (Megalopa),
menyebar di perairan sungai setelah berimigrasi dari laut ke arah hulu
sungai.
Setiap medium berbeda komposisi merambatkan panas, sifat perubahnya
sebagai akibat perubahan suhu, tegangan permukaan kekentalan, massa jenis dan
tekanan.
Substrat adalah permukaan tempat organisme hidup, terutama untuk
menetap atau bergerak, atau benda-benda padat tempat organisme menjalankan
seluruh atau sebagian hidupnya. Setiap organisme memerlukan medium, tetapi
tidak semua mempunyai substrat. Hewan air yang bersifat pelagic (berenang)
tidak mempunyai substrat. Medium juga tidak berubah sebagai akibat adanya
aktifitas organisme. Substrat mengalami modifikasi oleh aktivitas organisme,
misalnya tanah padang rumput yang gembur menjadi padat jika digunakan untuk
gembala kambing atau kerbau terus menerus. Substrat sebagai tempat berpijak,
membangun rumah atau kandang dan tempat makanan. Beberapa hewan
menggunakan substrat sebagai tempat berlindung, karena warna substrat sama
dengan warna tubuhnya, misalnya; bunglon dan belalang kayu.
Beberapa faktor fisik yang berpengaruh pada kehidupan hewan adalah
Tanah
Tanah merupakan substrat bagi tumbuhan untuk tumbuh, merupakan
medium untuk pertumbuhan akar dan untuk menyerap air dan unsure-unsur hara
makanan. Bagi hewan tanah adalah substrat sebagai tempat berpijak dan tempat
tinggal, kecuali hewan yang hidup di dalam tanah. Kondisi tanah yang
berpengaruh terhadap hewan tersebut adalah kekerasannya.
Faktor dalam tanah yang mempengaruhi kehidupan hewan tanah antara
lain kandungan air (drainase), kandungan udara (aerase), suhu, kelembaban serta

18
sisa-sisa tubuh tumbuhan yang telah lapuk. Jika tanah banyak mengandung air
maka oksigen di dalam tanah akan berkurang dan karbondioksidanya akan
meningkat. Air juga menyebabkan tanah menjadi cepat asam, karena eir
mempercepat pembusukan. Kurangnya oksigen menyebabkan gangguan
pernapasan , dan zat-zat yang bersifat asam dapat meracuni hewan. Tanah yang
terlalu kering menyebabkan hewan dalam tanah tidak dapat mengekstrak air
secara normal. Kandungan karbondioksida dalam tanah lebih banyak daripada di
atmosfir. Jika tanah banyak mengandung rongga pertukaran udara antar tanah
dengan atmosfir menjadi lancar, karbondioksida dapat keluar sementara oksigen
masuk.Rongga-rongga tanah dapat diperbanyak jika dalam tanah tersebut banyak
hewan penggali tanahseperti cacing tanah dan anjing tanah.
Air
Air sangat menentukan kondisi lingkungan fisik dan biologis hewan.
Perwujudan air dapat berpengaruh terahadap hewan. Misalnya jika air dalam
tubuh hewan akan berubah menjadi dingin atau membeku karena penurunan suhu
lingkungan, menyebabkan sel dan jaringan tubuh akan rusak dan metabolosme
tidak akan bejalan noremal, sebaliknya penguapan air yangb berlebihan dari
dalam tubuh hewan menyebabkan tubuh kekeurangan air.Hewan dapat dibedakan
atas 3 kelompok ditinjau dari pengaruh air, yaitu; Hidrosol ( Hydrosoles) atau
hewan air, Mesosol (Mesocoles), hewan yang hidup di tempat yang tidak terlalu
basah dan tidak terlalu kering dan Xeroso ( Xerosole), hewan yang hidup di
tempat yang kering karena tingginya penguapan.
Penyebaran dan kepadatan hewan air di lingkungan air ditentukan oleh
kemampuannya mempertahankan osmotic dalam tubuhnya dan berhubungan
dengan kemampuannya untuk bertoleransi dengan salinitas air.
Temperatur
Temperatur merupakan faktor lingkungan yang dapt menembus dan
menyebar ke berbagai tempat. Temperatur dapat berpengaruh terhadap hewan
dalam proses reproduksi, metabolisme serta aktivitas hidup lainnya. Suhu
optimum adalah batas suhu yang dapat ditolerir oleh hewan, lewat atau kurang

19
dari suhu tersebut menyebabkan hewan terganggu bahkan menuju kematian
karena tidk tahan terhadap suhu.
Cahaya
Cahaya dapat mempengaruhi hewan, misalnya warna tubuh, gerakan
hewan dan tingkah laku.
Gravitasi
Pengaruh gravitasi dirasakan oleh hewan jika hewan sedang berpijak pada
substrat yang horizontal.Hewan yang berdiri di suatu bidang yang miring atau
tegak, berenang di air dan terbang di udara merasakan adanya pengaruh gravitasi
bumi. Gravitasi juga berpengaruh pada perbedaan tekanan air dan udara.
Gelombang Arus dan Angin
Kehidupan hewan juga dipengaruhi oleh arus dan angina. Hewan yang
hidup di lingkungan air mengalir menghadapi resiko hanyut karena adanya aliran
dan arus air. Demikian dengan hewan yang hidup di darat dan udara menghadapi
arus angina. Namun demikian arus air dan angina yang normal sangat
berpengaruh positif terhadap hewann, karena air dan angina dapat membantu
sebagian aktivitas hewan.
pH
Pengaruh pH terhadap organisme terjadi melalui 3 cara, yaitu; 1) secara
langsung, mengganggu osmoregulasi, kerja enzim dan pertukaran gas di respirasi,
2) tidak langsung, mengurangi kualitas makanan yang tersedia bagi organisme, 3)
meningkatkan konsentarasi racun logam berat terutama ion AI.
Di lingkungan daratan dan perairan, pH menjadi faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan dan penyebaran organisme. Toleransi hewan
yang hidup di lingkungan air umumnya pHnya bervartiasi.
Salinitas
Salinitas adalah kondisi lingkungan yang menyangkut konsentrasi garam
di lingkungan perairan dan air yang terkandung di dalam tanah. Di lingkungan
perairan tawar, air cenderung meresap ke dalam tubuh hewan karena salinitasi air
lebih renadah daripada cairan tubuh. Hewan yang bhidup di phabitat laut

20
umumnya bersifat isotonic terhadap salinitas air laut sehingga tidak ada peresapan
air ke dalam tubuh hewan.

4. Kisaran Toleransi dan Faktor Pembatas serta Terapannya


Setiap organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi
faktor lingkungan abiotik. Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik
yang seluas-luasnya. Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran
toleransi tertentu terhadap semua semua faktor lingkungan.

Hukum Toleransi Shelford


“ Setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis,
yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu
terhadap kondisi faktor lingkungan”

Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkungan yang


mendekati batas kisaran tolrensinya, maka organisme tersebut akan mengalami
cekaman (stress). Fisiologis. Organisme berada dalam kondisi kritis. Contohnya,
hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisi
kritis Hipotermia dan pada suhu ekstirm tinggi akan mengakibatkan gejala
Hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang demikian tidak segera berubah
maka hewan akan mati.
Dalam menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan tidaklah
mudah. Setiap organisme terdedah sekaligus pada sejumlah faktor lingkungan,
oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan dapat mengubah
efek faktor lingkungan lainnya. Misalnya suatu individu hewan akan merusak
efek suhu tinggi yang lebih kerasapabila kelembaban udara yang relative rendah.
Dengan demikian hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara
kering disbanding dengan pada kondisi udara yang lembab.
Dalam laboratorium juga sangat sulit untuk menentukan batas-batas
kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan. Penyebabnya ialah
sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan tersebut akan mati. Cara yang

21
biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual batas-
batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari
jumlah individu setelah dideadahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama
rentang waktu tertentu. Untuk kondisi suhu, misalnya ditentukan LT50 – 24 jam
atau LT50 – 48 jam (LT= Lethal Temperatur). Untuk konsentrasi suatu zat dalam
lingkungan biasanya ditentukan dengan LC 50 – X jam ( LC= Lethal
Concentration; X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis ditentukan
LD50 – X Jam.
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai
jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada hewan
yang sempit (steno). Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun
demikian dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di
alam) atau aklimasi (di lab).
Aklimatisasi adalah usaha manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap
kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang
dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi suatu faktor
lingkungan tertentu dalam laboratorium.
Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum
diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan
lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan
dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan
kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya.
Setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran
di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat
tersebut. Kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan
tentang kondisi faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Oleh karena itu ada
istilah spesies indicator ekologi, baik kajian ekologi hewan maupun ekologi
tumbuhan. Species indikatoe ekologi adalah suatu species organisme yang
kehadirannya ataupun kelimpahannya dapat memberi petunjuk mengenai
bagaimana kondisi faktor-faktor fisiko – kimia di suatu tempat.

22
Beberapa species hewan sebagai spcies indicator antara lain adalah
Capitella capitata (Polychaeta) sebagai indicator untuk pencemaran bahan
organic. Cacing Tubifex (Olygochaeta) dan lain-lain.
Kriteria-kriteria species indicator adalah;
a. aran toleransinya sempit untuk satu atau beberapa faktor lingkungan
b. Ukuran tubuh cukup besar sehingga mudah dideteksi
c. Kelimpahannya tinggi sehingga mudah didapatkan dan mudah dijadikan
sample.
d. Mudah diidentifikasi
e. Distribusnya kosmopolit
f. Mudah mengakumulasi zat-zat polutan
g. Mudah dipelihara di laboratorium
h. Mempunyai keragaman jenis atau genetic dan relung yang sempit

5. Komunitas
Komunitas disebut juga Biocenuse, adalah beberapa jenis organisme yang
merupakan bagian dari suatu jenis ekologis tertentu yang disebut ekosistem unit.
Ekologis yang dimaksud adalah suatu satuan lingkungan hidup yang di dalamnya
terdapat bermacam0macam makhluk hidup (tumbuhan dan hewan). Antar
sesamanya dan lingkungan sekitarnya membentuk hubungan timbale balik yang
saling mempengaruhi. Komunitas berupa hewan yang terdiri dari berbagai macam
hewan, komunitas tumbuhan dalam satu ekosistem atau seluruh hewan dan
tumbuhan yang disebut komunitas biotic.
Komunitas suatu ekosistem tertentu mempunyai ciri-ciri tertentu. Salah
satu karakternya adalah keragaman jenis organisme penyusunnya. Keragaman
komunitas biasanya ditentukan dengan menghitung indeks keragaman.

- Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal berikut ini :

23
1. Bagaimana menurut anda interelasi antara hewan dengan
lingkungannya?
2. Apakah perbedaan Kondisi dengan Sumberdaya?
3. Anda yang anda tahu tentang komunitas? Berilah contoh.

- Rangkuman
1. Lingkungan adalah faktor-faktor abiotik dan biotic di luar tubuh organisme
yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme, yang dibedakan atas kondisi
dan sumberdaya.
2. Faktor-faktor biotic yang berpengaruh terhadap kehidupan hewan adalah
komunitas dan ekosistem, produsen, konsumen, predator, parasit dan
parasitoid, pengurai, mikrobivor dan detritivor.
3. Faktor-faktor abiotik yang berpengaruh pada kehidupan hewan adalah tanah,
air, temperature, arus air dan angin, salinitas dan makanan.
4. Setiap organisme terdedah pada faktor lingkungan abiotik yang selalu dinamis
atau berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu.
- Tindak lanjut
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan
dinamika populasi organisme pengganggu tanaman merupakan dasar untuk
bab selanjutnya.
Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan
untuk :
1. Mempelajari kembali materi di atas.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum
dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam
diskusi.

24
2.4 . Daftar Pustaka
Begon, M., T.L. Harper & C.R. Townsend. 1986. Ecology: Individuals
Populations and Communities. Blacwell. Oxfor.
Kendeigh, S.C.1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man.
Prentice Hall, New Jersey.

2.5. Senarai
Sumberdaya = Segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme.
Kondisi = Faktor-faktor lingkungan abiotik yang keadaannya berbeda
dan berubah sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.
Parasitasi = Kemampuan organisme untuk memarasit organsime lain
(inang),
Patogen = Penyebab penyakit seperti jamur, bakteri, virus, nematoda.

25
BAHAN AJAR 3
RESPON DAN ADAPTASI HEWAN
RESPON DAN ADAPTASI

1. Konsep Adaptasi
Perubahan kondisi lingkungan berpengaruh terhadap hewan. Hewan
mengadakan respon terhadap perubahan kondisi lingkungannya tersebut. Respon
hewan terhadap kondisi dan perubahan lingkungannya denyatakan sebagai respon
hewan terhadap lingkungannya. Respon tersebut berupa perubahan fisik,
fisiologis, dan tingkah laku. Respon hewan tersebut ada yang bersifat reaktif dan
ada yang bersifat terpola, artinya berasala dari nenek moyangnya.
Adaptasi umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup
terhadap lingkungannya. Adaptasi menunjukkan kesesuaian organisme dengan
lingkungannya yang merupakan produk masa lalu. Organisme yang ada kini dapat
hidup pada lingkungannya karena kondisi lingkungan itu secara kebetulan sama
dengan kondisi lingkungan nenek moyangnya.

2. Mekanisme Adaptasi
Sifat yang dimiliki oleh suatu populasi yang ada sekarang merupakan sifat
yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain populasi yang ada
sekarang merupakan populasi yang lolos dari seleksi alam sebagaimana yang
dinyatakan oleh Darwin.
Di alam organisme terkumpul dalam kelompok-kelompok populasi yang
diantara anggotanya terjadi hubungan kawin. Setiap kelompok disebut Deme.
Kelompok besar yang terbentuk dari banyak deme disebut jenis organisme.
Deme-deme tersebut ada yang menempati daerah-daerah geografis yang berbeda,
misalnya Kanguru yang hidup hanya di Australia dan di Irian. Daerah-daerah
geografis tersebut merupakan lingkungan hidup yang sempit dan bersifat khas
dibanding dengan daerah penyebaran jenis organismenya. Deme yang menempati

26
daerah geoegrafis khusus itu bisa mempunyai sifat genetik yang berbeda dengan
deme yang menempati daerah lain, jika di antara deme-deme itu terjadi isolasi
geografis sehingga antar deme tidak dapat terjadi pertukaran informasi genetik.
Kelompok yang terisolasi itu disebut klin (Cline) yang merupakan sub jenis
organisme atau sub populasi.
Perbedaan sifat genetik dari suatu klin dengan klin lain terbentuk dari
perbedaan perubahan lingkungan dalam suatu rentangan tertentu, yang disebut
gradien ekologik. Variasi sifat individu pada landaian ekologis yang berbeda
disebut ekotip. Perbedaan sifat itu dalam hal bentuk, warna dan lain-lain.
Contohnya adalah kupu-kupu Biston bitularia yang hidup di hutan jauh dari
industri berwarna abu-abu keputihan sesuai dengan warna batang pohon
substratnya, tetapi kupu-kupu yang sama hisup di daerah industri di Inggris
berwarna gelap karena tertutup oleh asap dan jelaga pabrik.

3. Prinsip-prinsip Adaptasi
Bagi hewan dan organisme lain sifat adaptif sangat penting untuk bertahan hidup
pada lingkungan baru atau jika ada perubahan lingkungan habitatnya.
Kemampuan hewan dalam beradaptasi dengan lingkungannya berbeda-beda yang
dipengaruhi oleh:
1. Sifat genetik
2. Kemampuan berkembang biak
3. Frekwensi perubahan lingkungan
Kemampuan hewan untuk beradaptasi terbatas oleh:
1. Ketahanan hidup (survival)
2. Perbedaan kemampuan setiap jenis organisme
3. tumpang tindih dengan kondisi sebelumnya sehingga adaptasi merupakan
proses yang lambat
4. Melibatkan seluruh kegiatan hidup.

27
4. Bentuk-bentuk Adaptasi
Sifat-sifat adaptif yang dimiliki hewan adalah:
1. Adaptasi Struktural
Adaptasi struktural adalah sifat adaptasi yang muncul dalam wujud sifat-
sifat morfologi tubuh, meliputi bentuk dan susunan alat-alat tubuh, ukuran tubuh,
serta warna tubuh (kulit dan bulu).

2. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah adaptasi yang menyangkut kesesuaian proses-
proses fisiologis hewan dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang ada di
habitatnya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan adaptasi struktural,
terutama pada bagian dalam tubuh. Misalnya pada proses respirasi, pencernan
makanan dan lain-lain yang menggambarkan adanya adaptasi terstruktur.

3. Adaptasi Tingkah Laku


Adaptasi tingkah laku adalah respon hewan terhadap kondisi lingkungan
dalam bentuk perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut biasanya muncul
dalam bentuk gerakan untuk menanggapi rangsangan yang mengenai dirinya.
Baik rangsangan dari luar maupun dari dalam lingkungan tubuhnya.
Adaptasi tingkah laku tersebut adalah; Hibernasi, Aestivasi, Diurnal dan
Nocturnal, Orientasi terhadap lingkungan, Ototomi, Adaptasi Mutual, Tingkah
laku sosial, tingkah laku perkembangbiakan, berkelahi, refleks, insting dan
tingkah laku belajar.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Sebutkan bentuk bentuk adaptasi yang anda ketahui!
2. Apa yang dimaksud dengan adaptasi morfologi? Berikan contoh

28
- Rangkuman
1. Adaptasi adalah sifat dan kemampuan organisme untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungannyaatau kondisi habitatnya.
2. Sifat-sifat adaptasi hewan meliputi adaptasi structural, fisiologis dan tingkah
laku.

3.4. Daftar Pustaka


Kendeigh, S.C. 1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man.
Prentice Hall, New Jersey.
Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders, Tokyo, Japan.
Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Sounders, Philadelphia.

3.5. Senarai
Adaptasi = Penyesuaian organisme dengan keadaan lingkungan atau
habitatnya
Nimfa = Stadia serangga yang mengalami metamorfosa tidak sempurna,
bentuk serangga ini sama dengan serangga dewasa tetapi organ-
organ lain belum berkembang dengan sempurna

29
BAHAN AJAR 4
PEMANTAUAN DAN TEKNIK PENGAMATAN AGROEKOSISTEM

4.1. Pendahuluan
Deskripsi Singkat
Bab ini menguraikan pengertian Perbedaan Ekosistem Alami dan
Agroekosistem, Sistem Pemantauan dan Pengamatan OPT, Penilaian Tingkat
Serangan dan Tingkat Kerusakan Tanaman serta Metode Pengambilan Sampel.
Relevansi
Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya
dengan bab selanjutnya.
Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian
semester III dapat: Menguasai dan menganalisis Sistem Pemantauan pada
Agroekosistem dan Teknik Pengamatan OPT secara tepat.
4.2. Penyajian
Uraian dan Contoh.

Dasar-dasar Ekosistem

Ekosistem, baik ekosistem alamiah (hutan tropik) maupun ekosistem


pertanian (agroekosistem) terbentuk dan terbangun atas dasar adanya beberapa
komponen seperti, (1) adanya individu suatu spesies, (2) tempat dan ruang atau
habitat, (3) populasi, (4) komunitas dan (5) biosfir (Pedigo, 1996: 334).

Individu adalah organisme hidup dan merupakan komponen utama yang


menyusun suatu ekosistem dimana secara genetik adalah unik. Setiap individu
berjuang untuk mempertahankan hidup. Individu-individu ini tumbuh dan
berkembang dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya, akan menempati
suatu tempat dan ruang atau habitat (Oka, 1995 ; Untung, 2003 : 23).

30
Kumpulan individu akan berkembang biak menjadi suatu populasi yang
menempati tempat yang sama dalam suatu komunitas. Komunitas ini terdiri atas
berbagai jenis organisme yang saling berinteraksi satu sama lain dalam bentuk
aliran energi, dengan memanfaatkan daur biotik (daur biogeokimiawi) dalam
bentuk aliran unsur hara dari lingkungan ke organisme dan kembali ke
lingkungan. Hal ini akan menuju ke arah perkembangan yang dinamis yang
selalu berubah dari keadaan yang sederhana menuju ke arah yang lebih
kompleks, perubahan ini dikenal dengan suksesi ekologi yang dipengaruhi oleh
lingkungan biotik dan abiotik sebagai bagian dari biosfir (Untung, 2003 : 23).
Kumpulan populasi akan membentuk suatu komunitas yang di dalamnya
terdapat suatu aliran energi yang terjadi akibat adanya suatu interaksi. Interaksi
disini adalah hubungan timbal balik antara dua individu dalam satu spesies atau
spesies yang berbeda dalam suatu populasi untuk mempertahankan hidupnya
dalam mendapatkan makanan, ruang untuk tempat tinggal dan berkembang biak.
Interaksi ini terlihat dari hubungan serangga dan tanaman, serangga dengan
serangga baik itu sebagai hama, predator, parasitoid, hubungannya dengan
artropoda lainnya yang membentuk suatu rantai makanan (Tarumingkeng, 1994).
Pada rantai makanan tanaman menduduki tingkat tropik pertama, dengan
memanfaatkan sinar matahari tanaman akan melakukan proses fotosintesis,
mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik, karena itu tanaman termasuk
dalam organisme ototroph. Selanjutnya organisme lain yang mendapatkan energi
dari tanaman disebut organisme heterotroph, termasuk hama sebagai
mangsa/inang dari predator dan parasitoid yang menduduki tingkat tropik kedua
(herbivora). Predator dan parasitoid menduduki tingkat tropik ketiga sebagai
pemakan herbivora dan karnivora lainnya (Untung, 2003 : 29).
Ekosistem Alami

Ekosistem alamiah (hutan tropik) merupakan ekosistem yang stabil


dibandingkan dengan ekosistem pertanian karena memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi (Tarumingkeng, 1994 : 7). Stabilitas ini terbentuk dan terjaga
karena adanya dua unsur penting yang bekerja, yaitu mekanisme umpan balik
negatif dan mekanisme pengendalian populasi dalam ekosistem. Mekanisme

31
umpan balik negatif adalah mekanisme yang membawa sistem menuju ke
keadaan ideal. Mekanisme pengendalian populasi dalam ekosistem adalah
mekanisme pengendalian yang mengatur naik turunnya populasi, dimana ada dua
kekuatan yang mengaturnya yaitu kemampuan hayati (potensi biotik) dan
hambatan lingkungan (Untung, 2003 : 53).

Ekosistem Pertanian (Agroekosistem)


Ekosistem pertanian (agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan
genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil dan
ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama. Agroekosistem merupakan
salah satu bentuk ekosistem binaan manusia yang dikelola semaksimal mungkin
untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai
kebutuhan manusia (Pedigo, 1996 : 335).
Perbedaaan ekosistem alami dan ekosistem buatan (agroekosistem) dapat
dilihat pada Tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik Ekosistem Alami Dan Ekosistem Buatan Manusia


(Agroekosistem)
Ekosistem Buatan
Komponen Ekosistem Alami
(Agroekosistem)
Abiotik
Erosi
Serasah Rendah Tinggi
Daya serap Tinggi Rendah
Temperatur tanah Tinggi Rendah
Rendah Tinggi
Biotik

Aktivitas organisme
Diversitas Tanaman Tinggi Rendah
Diversitas genetika Tinggi Rendah
Tinggi Rendah
Sumber : Mahrub (1999 : 28)

32
Sistem Pemantauan Agroekosistem
Sistem Pemantauan adalah salah satu bagian dari kegiatan monitoring
dimana sangat erat kaitannya dengan Ambang Ekonomi. Hal ini karena nilai
Ambang Ekonomi yang sudah ditetapkan tidak ada gunanya apabila tidak diikuti
dengan kegiatan pemantauan yang teratur dan dapat dipercaya. Sebaliknya
pemantauan untuk tujuan pengendalian tidak akan dirasakan manfaatnya apabila
tidak dikaitkan dengan Aras Penentuan Keputusan Pengendalian berdasarkan
penilaian Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 90).
Hubungan antara Pemantauan, Pengambilan Keputusan dan Tindakan
Aksi dalam Agroekosistem seperti pada Gambar 4.1 berikut ini :

Analisis ekosistem Pengambil Keputusan

Pemantauan Tindakan Aksi

Agroekosistem

Gambar 4.1. Hubungan Antara Pemantauan, Pengambilan Keputusan dan


Tindakan Aksi Dalam Agroekosistem (Sumber : Untung, 2003 : 90)

Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengamati dan mengikuti


perkembangan keadaan agroekosistem yang meliputi komponen biotik seperti
keadaan tanaman, populasi OPT, populasi musuh alami dan komponen abiotik
seperti suhu, curah hujan, kelembaban dan kecepatan angin. Hasil pemantauan di
dapatkan data informasi lapangan yang merupakan masukan bagi pengambil
keputusan untuk menggunakan data tersebut dalam menetapkan keputusan dan
rekomendasi yang perlu dilakukan pada agroekosistem. Pengambil keputusan
adalah pemerintah dinas terkait maupun petani itu sendiri sebagai pelaku yang
melakukan pemantauan terhadap perkembangan tanaman dan kompleks
ekosistemnya serta melakukan tindakan aksi pengendalian hasil rekomendasi

33
yang dilakukan sendiri maupun kelompok secara bersama-sama (Untung, 2003 :
91).
Salah satu model pengambilan keputusan yang sederhana adalah
berdasarkan hasil perhitungan Ambang Ekonomi tentang populasi hama dan
intensitas kerusakan tanaman. Apabila data populasi hama hasil pemantauan
menunjukkan telah sama atau melampaui Ambang Ekonomi maka keputusannya
adalah segera diadakan pengendalian kimia untuk mengembalikan populasi hama
ke Aras Keseimbangan Umum, sebaliknya apabila populasi hama masih berada di
bawah Ambang Ekonomi maka tidak perlu diadakan pengendalian kimia.

Teknik Pengamatan OPT


Berdasarkan Buku Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan
Tanaman Pangan tahun 1992 direkomendasikan bahwa untuk teknik pengamatan
OPT dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan Pengamatan Tetap dan
Pengamatan Keliling atau patroli. Waktu pengamatan dapat dilakukan 4
(empat) hari dalam seminggu, kecuali untuk tangkapan lampu perangkap dan
curah hujan dapat dilakukan setiap hari.
Pengamatan Tetap
Pengamatan tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan
populasi dan intensitas serangan OPT, kepadatan populasi musuh alami yang
efektif serta besarnya curah hujan. Pengamatan dilakukan pada petak
pengamatan, lampu perangkap dan penakar curah hujan. Komponen yang diamati
terdiri atas perubahan kepadatan populasi dan intensitas serangan pada petak
contoh yang tetap. Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili
bagian terbesar dari wilayah pengamatan. Pengamatan dimulai sejak tanam, cara
bercocok tanam/pola tanam dan varietas yang ditanam.
Setiap petak contoh ditentukan 3 (tiga) unit contoh yang terletak di titik
perpotongan garis diagonal pada petak contoh (A) dan di pertengahan potongan-
potongan garis diagonal dari diagonal terpanjang (B dan C) seperti terlihat pada
Gambar 4.2. Tiap unit contoh terdiri atas 10 (sepuluh) rumpun contoh, dan

34
diamati intensitas serangan OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi
musuh alami.

Gambar 4.2. Penyebaran Unit Contoh Dalam Petak Contoh (Sumber : Buku
Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan Tanaman
Pangan, 1992 : 6).

Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif tertarik cahaya
diamati pada satu atau lebih lampu perangkap yang mewakili wilayah
pengamatan. Lampu perangkap ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan
mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu tanaman dan musuh alami yang
tertarik cahaya. lampu dinyalakan dari senja sampai fajar, serangga yang
tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Serangga yang tertangkap umumnya
adalah serangga imago yang aktif pada malam hari.
Pengamatan Keliling (Patroli)
Pengamatan keliling (patroli) bertujuan untuk mengetahui tanaman yang
terserang dan terancam, luas pegendalian, bencana alam serta mencari informasi
tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida. Pengamatan keliling
ini dilaksanakan dengan cara mengelilingi wilayah pengamatan yang dicurigai
terancam serangan OPT. Penentuan daerah yang dicurigai berdasarkan pada
kerentanan varietas yang ditanam terhadap serangan OPT utama/kunci di daerah
tersebut, stadia pertumbuhan dan jaraknya terhadap sumber serangan serta daerah
yang endemik OPT tertentu.

35
Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati pada 5 (lima) petak
contoh yang terletak pada perpotongan garis diagonal seperti pada Gambar 4.2.
bedanya pada Gambar 4.2 hanya 3 petak contoh. Komponen-komponen yang
diamati adalah luas tanaman yang terserang, intensitas serangan, kepadatan
populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas yang ditanami dan tindakan
pengendalian yang pernah dilakukan oleh petani.

Penilaian Tingkat Serangan OPT dan Tingkat Kerusakan Tanaman


Serangan diartikan sebagai bentuk aktivitas OPT untuk menimbulkan
kerusakan pada tanaman sedangkan kerusakan adalah efek dari aktivitas OPT
pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi fisiologis dan ekonomis. Kerusakan
tanaman karena serangan OPT sangat beragam tergantung pada gejala
serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak atau dianggap mutlak dan tidak
mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara permanen /
keseluruhan pada tanaman bagian tanaman yang akan dipanen, misalnya kematian
seluruh jaringan tanaman dan layu, sedangkan yang dianggap mutlak seperti
terjadinya busuk, rusaknya sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau
bagian tanaman tidak produktif lagi. Kerusakan tidak mutlak, kerusakan
sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang dan batang.
Berdasarkan Buku Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan
Tanaman Pangan tahun (1992 : 10) untuk menghitung kerusakan mutlak dapat
menggunakan rumus sebagi berikut :
A A
I = X 100% atau I = X 100%
A+B C

Keterangan : I = Intensitas serangan (%)


A = Banyaknya Contoh (Daun, Pucuk, Bunga, Buah, Tunas,
Tanaman, Rumpun Tanaman) Rusak Mutlak Atau Dianggap
Rusak Mutlak
B = Banyaknya Contoh Yang Tidak Terserang (Tidak
Menunjukkan Gejala Terserang)

36
C = Jumlah Keseluruhan Contoh yang Diamati
Rumus ini digunakan untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan
kerusakan mutlak atau dianggap mutlak pada tanaman (tunas, malai, gabah) atau
rumpun. Rumus untuk menghitung kerusakan tidak mutlak adalah :
z
Σ (ni X vi)
i=0
I= X 100%
ZN

Keterangan : I = Intensitas Serangan


ni = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman Contoh dengan Skala
Kerusakan vi
vi = Nilai Skala Kerusakan Contoh ke-i
N = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman Contoh yang Diamati
Z = Nilai Skala Kerusakan Tertinggi

Nilai skala kerusakan beberapa jenis OPT penting pada beberapa tanaman
pangan (padi dan jagung) yang sering digunakan oleh pengamat lapangan adalah
sebagai berikut (Sunoto, 2003) :
1 = Serangan / kerusakan kurang dari 25 %
2 = Serangan antara 25 – 50 %
3 = Serangan antara 50 – 75 %
4 = Serangan > 75 %
Nilai kerusakan dapat pula menggunakan nilai skala 1, 3, 5, 7, 9 seperti
pada Tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2. Nilai Skala Kerusakan Beberapa Jenis OPT Penting pada Tanaman
Pangan (Padi dan Jagung) dengan Nilai Skala 1, 3, 5, 7, 9.

No Komoditi OPT Skala Kerusakan


1 Padi Wereng Coklat 0 = Contoh tidak menunujukkan gejala
(Nilaparvata lugens) , kerusakan, tidak ditemukan OPT

37
Kepinding tanah
(Scotinophora verniculata) 1 = Sebagian daun pertama menguning,
belum terjadi kelayuan pada
tanaman, ditemukan OPT,
ditemukan sedikit embun jelaga

3 = Sebagian daun pertama dan kedua


menguning, daun agak layu,
banyak ditemukan embun jelaga

5 = Sebagian besar daun menguning,


daun bagian bawah layu, tanaman
agak kerdil, embun jelaga sangat
banyak

7 = Daun mengeriting dan hampir semua


layu, tanaman sangat kerdil

9 = Tanaman layu sempurna/mati

2 Jagung Belalang dan ulat grayak 0 = Tidak ada kerusakan


1= Kerusakan daun 1 – 20 %
3= Kerusakan daun 21 – 40 %
5 = Kerusakan daun 41 – 60 %
7 = Kerusakan daun 61 – 80 %
9 = Kerusakan daun 81 – 100 %

(Sumber : Buku Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan,


1992 : 50 ; Sunoto, 2003).

Metode Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel dalam pembahasan ini adalah cara atau
teknik untuk memperoleh data tentang kepadatan populasi serangga yang diamati.
Ukuran kepadatan populasi suatu serangga yang tepat adalah dalam bentuk jumlah
individu per suatu satuan luas permukaan tanah. Data ini dapat digunakan untuk

38
menghitung berapa jumlah individu yang ada pada suatu daerah atau wilayah
pengamatan.
Sampel atau contoh dalam pengertian statistik merupakan bagian suatu
populasi. Populasi hama pada suatu tempat merupakan seluruh individu hama
yang menempati tempat tertentu artinya sampel merupakan wakil dari populasi
yang diamati. Permasalahan penting yang sering dihadapi dalam pengambilan
sampel adalah menentukan jumlah anggota sampel dengan tepat sehingga dapat
mewakili keseluruhan anggota populasi. Jika terjadi kesalahan penentuan jumlah
sampel maka data yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk menduga sifat
populasi (Untung, 2003 : 93).
Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang
beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama atau organisme lain yang
diamati. Ada 2 (dua) syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan teknik
pengamatan dan pengambilan sampel yaitu : Praktis, artinya metode yang
dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan
bahan yang mahal serta tidak memerlukan waktu yang lama; Valid (dapat
dipercaya), artinya metode yang dilakukan harus menghasilkan data yang dapat
mewakili atau menggambarkan secara benar tentang sifat populasi yang
sesungguhnya (Untung, 2003 : 94).
Pola pengambilan sampel dapat mengikuti pola Diagonal, Zigzag dan
Lajur tanaman (Sistematik) seperti terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini. Rumpun
tanaman yang ada di pinggiran plot pengamatan jangan dijadikan sebagai sampel,
yaitu sekitar 3-5 baris dari tepi lahan (plot pengamatan).

(A) (B) (C)

Gambar 4.3. Pola Pengambilan Sampel mengikuti Pola (A) Diagonal, (B) Zigzag
dan (C) Lajur Tanaman (Sistematik) Sumber : Untung (2003 : 105).

39
Untung (2003 : 98) menyatakan ada 3 metode pokok pengambilan sampel
yaitu metode mutlak (absolut), metode nisbi (relatif) dan indeks populasi.
1. Metode Mutlak (Absolut), yaitu data yang didapat merupakan angka
pendugaan kepadatan populasi dalam bentuk jumlah individu per satuan unit
permukaan tanah atau habitat serangga yang kita amati. Pelaksanaan sampling
lebih dahulu ditetapkan unit sampel berupa satuan luas permukaan tanah (1 X 1
m2 ) kemudian semua individu serangga yang ada dalam unit sampel yang kita
amati dikumpulkan dan dihitung jumlahnya. Untuk suatu petak pengamatan
biasanya diambil beberapa unit sampel, lalu dihitung rat-rata kepadatan
populasi dari petak pengamatan tersebut.
Apabila perhitungan populasi dilakukan pada pertanaman yang teratur dalam
baris dan kolom maka dengan menggunakan unit sampel berupa satu
tanaman/pohon atau rumpun dapat diperoleh jumlah populasi serangga untuk
satu wilayah pengamatan. Misalnya tanaman padi yang ditanam dengan jarak
tanam 25 X 25 cm, maka dalam 1 m2 luas tanah terdapat 16 rumpun padi, jika
pada setiap rumpun ditemukan 10 ekor wereng maka dapat diperkirakan untuk
luasan 1 m2 permukaan tanah terdapat 160 ekor wereng.
Kelebihan metode mutlak adalah memiliki ketelitian yang tinggi, tetapi
memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk menghitung
serangga yang terkumpul.
2. Metode Nisbi (Relatif), yaitu data penduga populasi yang diperoleh sulit
untuk dikonversi dalam unit permukaan tanah karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi angka penduga tersebut. Cara pengambilan sampel dengan
alat perangkap serangga seperti lampu perangkap (light trap) atau perangkap
jebakan (pitfal trap) akan memperoleh angka yang sulit untuk dikonversikan
pada unit permukaan tanah.
Dibandingkan dengan metode mutlak, metode nisbi merupakan metode yang
lebih mudah dan praktis karena umumnya individu serangga lebih mudah
tertangkap dan dihitung. Kekurangannya adalah dari segi ketelitian statistik
metode ini termasuk rendah. Hal ini karena dipengaruhi banyak faktor seperti

40
keadaan lingkungan sekitar, alat perangkap, keadaan dan kemampuan
pengamat, waktu pengumpulan serangga dan lain-lain. Metode nisbi tidak
dianjurkan untuk studi ekologi serangga yang memerlukan ketelitian tinggi.
3. Metode Indeks Populasi, yaitu yang diukur dan dihitung adalah bekas yang
ditinggalkan oleh serangga seperti kotoran, kokon dan sarang. Misalnya kita
mengamati tikus maka yang dihitung adalah jumlah liang. Indeks populasi
yang sering digunakan adalah kerusakan atau akibat serangan hama pada
tanaman, biasanya angka tersebut disebut intensitas kerusakan atau serangan.
- Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Berilah contoh masalah di lapangan tentang Ekosistem Alami dan
Agroekosistem.
2. Sebutkan teknik-teknik pengamatan yang anda ketahui
3. Bagaimana pendapat anda tentang 3 metode pengambilan sample. Jelaskan
dengan singkat masing-masing metode tersebut.
- Kunci Jawaban
Menyesuaikan.
- Rangkuman
1. Ekosistem alamiah (hutan tropik) merupakan ekosistem yang stabil
dibandingkan dengan ekosistem pertanian karena memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi.
2. Ekosistem pertanian (agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan
genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil
dan ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama.
3. Teknik pengamatan ekosistem ada 2 cara yaitu; Pengamatan Tetap dan Patroli.
4. Ada 3 metode pokok pengambilan sampel yaitu metode mutlak (absolut),
metode nisbi (relatif) dan indeks populasi.

4..3. Penutup
a. Tes formatif

41
1. Jelaskan perbedaan Ekosistem Alami dengan Agroekosistem!
2. Apa perbedaan antara Sistem Pemantauan dengan Tindakan Pengendalian?
Jelaskan!
3. Sebutkan Teknik-teknik Pengamatan OPT dan Jelaskan penerapan masing-
masing!
4. Berikan contoh tentang Teknik pengamatan denngan menerapkan salah satu
metode pengambilan sample yang anda ketahui.!
b. Umpan balik dan tindak lanjut
- Umpan balik
Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Membuat ringkasan materi pada setiap bab sebelum materi tersebut
dibahas dalam diskusi maupun praktikum
2. Aktif dalam dsikusi dan praktikum
2. Mengerjakan latihan dan tugas
- Tindak lanjut
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan
terhadap Sistem Pemantauan Ekosistem dengan Teknik Pengamatan OPT
merupakan dasar untuk bab selanjutnya. Jika ada diantara mereka belum
mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :

1. Mempelajari kembali materi di atas, terutama materi yang belum


dikuasai.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.
c. Jawaban tes formatif
Menyesuaikan

42
4.4. Daftar Pustaka
Anonim, 1992. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman
Pangan. (Khusus untuk beberapa tanaman semusim). DirJen. Pertanian
Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Jakarta.76 p.
Mahrub, Eddy, 1999. Kajian Pengendalian Alami Penggerek Batang Padi
Kuning Scirpophaga incertulas (Walker). Disertasi Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu Dan Implementasinya Di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 p.
Sunoto, 2003. Metode Pengamatan Penyakit Tanaman. Makalah yang
Disampaikan pada pelatihan sinkronisasi Petugas Pengawas Benih. Di
Bali.
Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif.
Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Untung, K., 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
Witjaksono, 2004. Pemanfaatan Senyawa Semiochemical Untuk Pengendalian
Serangga Hama. Makalah Seminar Nasional Pengelolaan Resistensi
Pestisida, 24 -25 Februari 2004.

4.5. Senarai
Agroekosistem = Ekosistem buatan manusia

43
BAHAN AJAR 5
MODEL-MODEL PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU
TANAMAN (OPT)

5.1. Pendahuluan
Deskripsi Singkat
Bab ini akan menguraikan Model-Model Pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) serta Pestisida.
Relevansi
Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya
dengan bab selanjutnya.
Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian
semester III dapat : Menjelaskan dan Menerapkan Model-model Pengendalian
Hama Secara Terpadu (PHT) dengan tepat.

Penyajian
Uraian dan Contoh

Model-Model Pengendalian OPT


Sekarang ini dikenal dua istilah bahasa Inggris yang sering digunakan
secara bergantian untuk Pengendalian Hama Terpadu yaitu Integrated Pest
Control (IPC) yang diartikan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan
Integrated Pest Management (IPM) yang diartikan Pengelolaan Hama Terpadu
(PHT). Sebenarnya kedua istilah ini digunakan untuk menjelaskan hal yang
sama. Jika dilihat dari sejarah perkembangan konsepsi Pengendalian Hama
Terpadu, maka (IPM) merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsepsi (IPC).

44
Iastilah IPC saat ini di dunia pergaulan ilmiah internasional sudah ditinggalkan
dan yang digunakan kini adalah istilah (PHT) singkatan dari Pengelolaan Hama
Terpadu (Untung, 2003 :7 ; Wigenasantana, 2001 : 201).
Konsep PHT muncul sebagai akibat kesadaran umat manusia akan bahaya
pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan
kehidupan manusia secara global. Melihat hal ini, muncul pemikiran para ahli
untuk mencari metode baru dalam mengendalikan OPT yang dipandang aman.
Mula-mula dikembangkan metode dengan memadukan dua teknik pengendalian
OPT, kemudian metode ini dikembangkan lagi dengan memadukan semua atau
beberapa metode pengendalian yang dianggap cocok dan kompatibel untuk daerah
itu, yaitu memadukan cara fisik, mekanik, kultur teknis (bercocok tanam), biologi,
kimiawi dan cara pengendalian lainnya (Untung, 2003 : 8; Wigenasantana, 2001 :
202).
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dapat dilakukan
dengan beberapa cara sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan faktor-faktor
biotic dan abiotik setempat. Pengendalian tersebut adalah:
Pengendalian Secara Bercocok Tanam (Cultural Control)
Pengendalian OPT secara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola
lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk
berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural
enemies) secara efektif.
Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang
bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan OPT terjadi, populasi hama
diharapkan tidak melawati Aras Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 114 ;
Wigenasantana, 2001 : 182).
Teknik pengendalian bercocok tanam didasarkan pada pengetahuan
agroekosistem setempat yaitu ekologi dan perilaku OPT meliputi waktu
perkawinan, habitat/inang, waktu menyerang dan lain-lain.
Pedigo (1996 : 334) menyatakan bahwa teknik pengendalian secara
bercook tanam dpat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yakni:

45
1. Mengurangi kesuaian ekosistem, yaitu dengan menciptakan
agroekosistem yang tidak sesuai dengan perkembangan hidup OPT, maka
perkembangannya akan terhambat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan sanitasi, penghancuran inang, pengolahan tanah dan pengelolaan
air.
2. Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup OPT, yaitu
memutuskan kontinuitas tersedianya makanan/inang dengan cara pergiliran
tanaman, pemberoan lahan, penanaman serentak, penetapan jarak tanam,
pengaturan lokasi penanaman dan memutuskan sinkronisasi antara tanaman
dan hama dengan mengatur waktu tanam agar tidak sesuai dengan fase
perkembangan hama.
3. Mengalihkan populasi OPT agar menjauhi pertanaman, yaitu suatu cara
pengendalian OPT dengan mengalihkan OPT ke tanaman lain, cara ini tidak
begitu efektif bagi serangga yang penyebarannya cepat tetapi masih dapat
dilakukan beberapa cara untuk mengalihkan OPT, seperti dengan mananam
tanaman perangkap dan melakukan pemanenan secara bertahap untuk
menghindari pindahnya OPT secara serempak ke lahan tetangga, cara ini
dapat dilakukan pada tanman tertentu.
4. Mengurangi dampak kerusakan OPT, yaitu menanam tanaman yang
bersifat toleran terhadap kerusakan OPT, melakukan pemupukan yang
seimbang sesuai kebutuhan tanaman sehingga tanaman masih dapat pulih
kembali setelah terserang oleh OPT, mengubah jadwal panen untuk tanaman
tertentu dapat dilakukan pemanenan lebih awal.

Pengendalian Hayati (Biologycal Control)


Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami ini meliputi predator,
parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang
efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya
peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini terlihat
dari meningkatnya daya makan per predator. Peningkatan populasi OPT akan

46
diimbangi oleh tekanan yang lebih keras dari populasi musuh alami (Untung,
2003 : 169).
Martono (2005 : 1) dan Untung (2003 : 183) menyatakan dalam praktek
pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan 3 kategori :
1. Introduksi, yaitu memasukkan atau importasi musuh alami ke suatu lahan
atau areal tanaman yang terserang OPT tertentu. Misalnya untuk
mengendalikan OPT pada tanaman padi (di provinsi Gorontalo) yaitu
penggerek batang padi telah menggunakan parsitoid telur Trichogramma sp.
yang diintroduksi dari pulau Jawa. Berdasarkan laporan petugas pengamat
hama ternyata parasitoid ini cocok dan berhasil menekan perkembangan
penggerek batang padi sehingga populasi penggerek batang padi di areal padi
yang telah dilakukan pelepasan dan introduksi parasitoid menurun. Hal ini
cukup membantu petani dan dari segi keamanan hayati dapat
dipertanggungjawabkan. Pengendalian dengan introduksi musuh alami adalah
pengendalian hayati klasik
2. Augmentasi, yaitu suatu teknik pengendalian dengan meningkatkan
jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Hal ini dapat tercapai melalui 2 (dua)
cara yaitu, a) melepaskan sejumlah musuh alami untuk menambah jumlahnya
di lapangan (agroekosistem) sehingga dengan tambahan itu dalam waktu
singkat musuh alami akan mampu menurunkan populasi OPT; b)
memodifikasi agroekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas
musuh alami dapat ditingkatkan.
Pelepasan musuh alami secara teknik augmentasi hampir sama dengan cara
introduksi, bedanya adalah teknik augmentasi yang kita harapkan adalah
populasi hama dalam satu musim tanam dengan cepat dapat ditekan sehingga
tidak merugikan, sedangkan teknik introduksi bertujuan dalam jangka panjang
dapat menurunkan aras keseimbangan populasi OPT sehingga tetap berada di
bawah aras ambang ekonomi. Teknik augmentasi menggunakan musuh alami
yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan introduksi menggunakan
musuh alami dari luar ekosistem.

47
3. Konservasi Musuh Alami, yaitu suatu teknik untuk mempertahankan
kehidupan musuh alami dengan memanipulasi ekosistem seperti menyediakan
tanaman inang sementara(inang alternatif) bagi herbivora dan musuh alami.
Keberadaan inang alternatif sangat penting dalam mendukung kelestarian
parasitoid dan predator terutama yang bersifat polifag dan oligofag (Laba, et
al., 2000 : 207). Adanya vegetasi yang tumbuh dipinggiran sawah sangat
berperan dalam menyediakan tempat sebagai inang alternatif bagi predator dan
parasitoid (Herlinda et al., 2000 : 163), dan ini perlu dipertahankan karena
menguntungkan bagi pelestarian musuh alami pada ekosistem persawahan
karena tanaman liar yang tumbuh di dipinggiran sawah tersebut mampu
menyediakan bunga follen, nectar yang dibutuhkan oleh musuh alami.
Ekosistem persawahan yang intensif umumnya adalah monokultur sehingga
kurang memberikan habitat yang sesuai bagi musuh alami karena terbatasnya
nektar dan inang alternatif. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tepian
lahan, pematang yang ditumbuhi tumbuhan liar sebagai koridor yang
berfungsi dalam menyediakan pollen, nektar yang diperlukan oleh musuh
alami, sehingga berfungsi dalam menekan populasi hama (Buchori dan Sahari,
2000 : 127).

Pengendalian hayati dapat pula menggunakan patogen hama seperti jamur,


virus dan bakteri. Beberapa contoh patogen antagonis yang berpotensi sebagai
agen pengendali OPT dan dianggap aman bagi lingkungan biotik dan abiotik
terlihat pada Gambar 5.1 berikut ini :

(A) (B) (C)

48
(D) (E) (F)

Gambar 5.1 (A) Jamur Metarhizium sp. Yang Menginfeksi Kumbang Coleoptera, (B, C)
Jamur Beauveria bassiana Menyerang Kepik, (D, E, F) Jamur Trichoderma sp.
Jamur Antagonis Pada Patogen Penyebab Penyakit Pada Akar Tanaman
(Sumber : Sosromarsono dan Hidayat, 2002 : 13 ; Shepard, et.al., 1987).

Pengendalian Fisik dan Mekanik (Fysical and Mechanical Control)


Pengendalian secara fisik adalah tindakan pengendalian hama dengan
menggunakan faktor fisik seperti menaikkan suhu dengan cara pembakaran,
menurunkan suhu dengan penggenangan, solarisasi tanah, lampu perangkap,
pengaturan cahaya dan suara. Beberapa perlakuan fisik adalah sebagai berikut :
1. Pemanasan dan Pembakaran, yaitu teknik pengendalian dengan
perlakuan panas. Perlu diketahui dalam aplikasi teknik ini adalah pengetahuan
tentang batas toleransi OPT sasaran terhadap fakor fisik yang digunakan.
Teknik ini mempunyai kelemahan apabila dilakukan di lapangan, yaitu apabila
petani melakukan pembakaran maka yang terbakar bukan saja OPT tetapi
musuh alami dan organisme lain ikut terbunuh (Wigenasantana, 2001 : 189).
2. Pemasangan Lampu Perangkap, yaitu ditujukan untuk memantau
populasi OPT yang tertarik dengan cahaya terutama serangga dewasa (imago)
yang aktif terbang malam hari, teknik ini dapat menekan populasi OPT
dewasa. lampu yang digunakan bisa menggunakan Petromak (Wigenasantana,
2001 : 190).
3. Memasang Barier, yaitu memasng penghalang, menanam tanaman pagar
yang bersifat menghalangi dan membatasi pergerakan OPT agar tidak dapat
memasuki dan mendatangi tanaman utama sehingga tidak menimbulkan

49
kerusakan yang berarti pada tanaman. Barier ini seperti pematang yang
ditinggikan, lubang jebakan dan selokan (Wigenasantana, 2001 : 190).
4. Solarisasi Tanah, adalah suatu cara mensterilkan tanah dari OPT
(mikroorganisme tanah penyebab penyakit layu pada tanaman) dengan
menggunakan plastik transparan sebagai mulsa penutup tanah pada saat
sebelum tanam. Berdasarkan hasil penelitian Lihawa Mohamad (1994)
tentang “Pengaruh Periode Solarisasi Tanah Terhadap Serangan Jamur
Fusarium Oxysporum Schlecht Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman
Tomat”, ternyata perlakuan solarisasi tanah selama 6 (enam) minggu efektif
untuk menekan serangan jamur F. oxysporum Schlecht pada tanaman tomat di
lapangan.
Wigenasantana (2001 : 190) menyatakan bahwa pengendalian secara
mekanik adalah tindakan mematikan hama secara langsung dengan menggunakan
tangan atau alat. Teknik mekanik ini seperti :
1. Pengambilan dengan Tangan, cara ini murah dan sederhana tetapi
memerlukan tenaga kerja yang banyak. OPT yang ditemukan seperti telur,
larva, pupa, jika memungkinkan imago dikumpulkan dengan tangan lalu
langsung dibunuh, misalnya kelompok telur penggerek batang.
2. Gropyokan, yaitu untuk mengendalikan hama tikus dengan membunuh
tikus yang ada di dalam maupun di luar sarang dengan menggunakan alat
bantu seperti pentungan/alat pemukul lainnya dan cangkul.
3. Memasang Perangkap, yaitu untuk menangkap OPT dengan memasang
alat perangkap di tempat yang sering dilalui oleh OPT, alat perangkap ini
sering diberi zat kimia baik sebagai perekat maupun penarik OPT.
4. Pemasangan Umpan, misalnya untuk mengendalikan hama walang sangit
(Leptocorixa acuta) dengan menggunakan umpan daging busuk atau ikan asin
yang ditancapkan di tengah-tengah sawah. Jika hama walng sangit ini sudah
terkumpul pada umpan maka dapat langsung dibunuh dengan cara di bakar.
Pada waktu membakar hindari tanaman ikut terbakar.

50
5. Pengusiran, yaitu memasang orang-orangan/patung di tengah lahan
sawah, atau memasang alat (kaleng-kaleng kosong) yang dapat mengeluarkan
bunyi-bunyian, sehingga OPT lari menjauhi pertanaman.

Pengendalian Kimiawi (Chemistry Control)


Pengendalian kimiawi adalah pengendalian OPT dengan menggunakan
pestisida. Untung (2003 : 198) membagi pestisida berdasarkan cara masuknya ke
dalam tubuh serangga dan berdasarkan sifat kimianya.
Pestisida berdasarkan cara masuk ke tubuh serangga yaitu ; 1) racun perut,
insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pencernaan
makanan (perut). Serangga mati karena termakan tanaman yang sudah
mengandung insektisida, biasanya insektisida sistemik ; 2) racun kontak,
insektisida masuk ke tubuh serangga melalui dinding tubuh apabila serangga
mengadakan kontak dengan insektisida yang ada pada permukaan tanaman ; 3)
fumigan, insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam
tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem trachea, kemudian
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh serangga. Fumigan biasanya digunakan
untuk mengendalikan OPT yang sering menyerang produk simpanan.
Pestisida berdasarkan sifat kimianya yaitu insektisida anorganik tidak
mengandung unsur karbon merupakan insektisida lama yang digunakan sebelum
tahun 1945 dan insektisida organik yang mengandung unsur karbon merupakan
insektisida modern setelah ditemukannya DDT. Insektisida organik terbagi atas
insektisida organik alami yaitu terbuat dari tanaman (insektisida nabati) dan
insektisida organik sintetik yaitu merupakan hasil buatan pabrik melalui
proses sintetis kimiawi.

Pestisida Kimia (insektisida organik sintetik)


Pengendalian dengan pestisida kimia dilakukan dengan menggunakan
bahan kimia sintetik seperti insektisida (membunuh serangga), fungisida
(membunuh jamur), herbisida (membunuh gulma/rumput liar), akarisida

51
(membunuh tungau), nematisida (membunuh nematoda), rodentisida (membunuh
mamalia pengerat) (Wigenasantana, 2001 : 192).
Pestisida dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasa baik
dalam bidang pertanian, kesehatan dan pemukiman. Pada bidang pertanian
pestisida kimia telah berhasil mengendalikan dan menurunkan populasi OPT
dengan cepat sehingga petani sangat tergantung pada pestisida. Di pemukiman
adalah untuk mengendalikan nyamuk penyebab penyakit demam berdarah dan
malaria. Cara pengendalian yaitu dengan cara pengasapan di setiap rumah atau
tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat hidup nyamuk.
Adanya penemuan insektisida sintetik organik pertama yaitu DDT pada
tahun 1940 telah memacu revolusi pestisida, hal ini mendorong para peneliti
untuk mencari pestisida baru yang lebih ampuh. Banyaknya penemuan jenis
pestisida baru yang berhasil membunuh OPT telah menyebabkan banyaknya
permintaan pestisida, sehingga bisnis dan industri pestisida muncul dimana-mana
(Untung, 2003 : 195; Wigenasantana, 2001 : 193).
Di Indonesia adanya program nasional BIMAS telah memacu petani
menggunakan pestisida untuk mengendalikan OPT karena keunggulannya yaitu
praktis, ampuh membunuh, mudah diaplikasikan. Tetapi tanpa disadari akibat
pemaparan pestisida secara terus menerus dengan cara tidak bijaksana telah
berakibat kerusakan lingkungan biotik dan abiotik, munculnya resistensi hama,
resurjensi hama, peletusan hama kedua, selain itu adanya pencemaran perairan
oleh residu pestisida.
Pestisida kimia yang dipasarkan umumnya sudah dalam bentuk formulasi
yaitu campuran bahan aktif teknis, sinergis (bahan penguat yang tidak bersifat
racun tetapi apabila dicampurkan ke bahan aktif akan menambah toksisitas
insektisida) dan bahan pembantu/ajuvan (berfungsi meningkatkan daya
larut/solvent, sebagai pembawa/diluent dan penyelimut, menambah daya
lekat/stiker, meningkatkan daya sebar dan pembasahan pada permukaan/
surfaktan, dan memberikan bau harum/deodoran) (Untung, 2003 : 212).

Formulasi Insektisida

52
Untung, (2003 : 213) membagi formulasi insektisida sebagai berikut:
1. Emulsifiable Concentrates (EC), yaitu formulasi yang paling banyak
diproduksi, terdiri atas campuran bahan aktif, perantara/emulsi (emulsifier),
suatu emulsi minyak-dalam-air terbentuk bila formulasi ini dicampur dengan
air akan terbentuk cairan seperti susu. Emulsifier memungkinkan melarutkan
bahan kimia yang sukar larut dalam air, mengurangi tekanan permukaan dari
semprotan sehingga dapat lebih menyebar dan membasahi permukaan yang
disemprot sehingga memungkinkan terjadinya kontak yang lebih baik dengan
kutikula serangga.
2. Wettable Powders (WP), yaitu dalam bentuk tepung, kering dan agak
pekat ditujukan agar dapat diencerkan dan larut dalam air untuk disemprotkan.
Dibandingkan dengan EC, WP mempunyai toksisitas pada tanaman yang
rendah tetapi kurang baik untuk alat penyemprot karena menyebabkan macet
pada nozzle sehingga perlu pengadukan.
3. Flowable Powder (F), formulasi dalam bentuk padat atau semi padat dan
dicampur dengan formulasi EC kemudian digiling secara basah dengan bahan
pembawa/diluent dan air sehingga diperoleh bahan teknis yang tergiling halus
dan basah seperti puding. Formulasi ini dicampur dengan air untuk dapat
disemprotkan, dan harus selalu diaduk agar tidak terjadi pengendapan.
4. Soluble Powder (SP), formulasi berbentuk bubuk kering ditambah
dengan bahan inert (membantu pelekatan) dan bahan pembantu untuk
menyebarkan pada permukaan tanaman. Formulasi ini dapat larut dalam air
dan mengandung 75-95% bahan aktif. Formulasi ini dapat diaplikasikan
sebagai racun kontak maupun racun perut, adanya inert maka dapat
diaplikasikan pada musim penghujan.
5. Solutions (S), formulasi ini jarang digunakan untuk tanaman karena
fitotoksitas yang tinggi. Umumnya digunakan utnuk mengendalikan serangga
yang menyerang ternak, jentik-jentik nyamuk yang ada pada permukan air.
6. Dust (D), formulasi ini dalam bentuk debu, tidak efektif bila digunakan
dalam kondisi berangin karena sedikit yang mengenai sasaran dan bayak yang
tertiup angin, berbahaya bagi imago parasitoid ordo hymenoptera.

53
7. Granules (G), yaitu dalam bentuk butiran dalam aplikasinya cukup
dibenamkan dalam tanah di sekitar pangkal akar tanaman atau disebarkan di
sekitar tanaman, formulasi ini efektif untuk mengendalikan hama di tanah.
8. Aerosol (A), formulasi ini dibuat dengan cara insektisida dilarutkan
dalam zat pelarut berupa minyak yang menguap. Larutan kemudian diberi
tekanan udara dalam kaleng dengan gas propelan seperti karbondioksida atau
fluorokarbon, apabila disemprotkan larutan akan menjadi partikel-partikel
yang sangat kecil dan secara cepat menguap meninggalkan droplet-droiplet
mikroskopik di udara. Formulasi ini biasanya digunakan untuk kebutuhan
rumah tangga, di pekarangan atau di rumah kaca.

Konsentrasi dan Dosis Pestisida


Natawigena (1989 : 24) telah menjelaskan tentang pengertian konsentrasi
dan dosis sebagai berikut.
Konsentrasi pestisida terbagi atas 3 (tiga) yaitu : 1) konsentrasi formulasi,
yaitu banyaknya pestisida dihitung dalam cc atau gram pestisida per liter air yang
dicampurkan. Contoh konsentrasi formulasi fungisida Antracol 70 WP adalah 2
gram, artinya dalam 1 liter air kita campur dengan 2 gram Antracol 70 WP ; 2)
konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif pestisida yang terdapat di
dalam larutan jadi (sudah dicampur air); 3) konsentrasi larutan, yaitu persentase
kandungan pestisida yang terdapat dalam larutan jadi.
Beberapa pengertian dosis yaitu : 1) jumlah pestisida (cc, liter atau gram,
kg) yang digunakan untuk mengendalikan OPT persatun luas tertentu atau per
pohon yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Contoh kebutuhan
dosis Diazinon 60 EC untuk mengendalikan OPT pada lahan sawah seluas 1 ha
adalah 1 liter untuk 1 kali aplikasi, bila 3 kali aplikasi maka dosis dibutuhkan
adalah 3 liter ; 2) jumlah pestisida yang telah dicampur atau diencerkan terlebih
dahulu dengan air dan digunakan untuk menyemprot pertanaman yang diserang
OPT dengan luas tertentu dalam satu kali aplikasi ; 3) jumlah bahan aktif pestisida
yang dibutuhkan untuk keperluan per satuan luas.

54
Untuk dosis perlu dilihat label yang tertera pada kemasan pestisida,
perhatikan petunjuk penggunaannya sehingga pada waktu aplikasi tidak terjadi
kesalahan dan usaha pengendalian tidak sia-sia.

Efek Toksisitas Pestisida Kimia Terhadap Manusia


Untung (2003 : 218) menyatakan bahwa efek toksit pestisida kimia
terhadap manusia adalah dilihat dari gejala keracunan yaitu: 1) keracunan akut
(kesakitan dan kematian akibat terkena dosis tunggal insektisida), terjadinya
keracunan karena kecorobohan pada waktu aplikasi insektisida. Obat antidote
untuk manusia yang terkena keracunan akut adalah atropine. 2) keracunan
khronik (penderita terkena rcun dalam jangka waktu yang lama dengan dosis
yang sangat rendah), gejala keracunan baru terlihat selang beberapa hari, bulan
atau tahun setelah penderita terkena racun.

Contoh Insektisida Kimia


Salah satu contoh insektisida yang masih sering digunakan di Indonesia
adalah karbamat dengan nama umum karbofuran untuk mengendalikan
penggerek batang padi.
Nama Umum : Karbofuran
Nama Kimia : 2,3 – dihidro – 2,2 – dimetil – 7 – benzofuranil metil karbamat
Nama Dagang : Furadan 3 G, Curater 3 G, Dharmafur 3 G, Kresnadan 3 G,
Tomafur 3 G, Petrofur 3 G, Hidrofur 3 G, Trufer 3 G,
Primafur 3 G Anonim, (2002).

Struktur / Rumus Bangun :

CH3

H O O CH3

CH3 N C O
Sumber : (Minarni, 2002 : 13 ; Untung, 2003 : 197)

55
Toksisitas
Formulasi karbofuran umumnya dijumpai adalah 3 % granular, walupun
ada juga formulasi 2%, 5%, dan 10% granula, serta “flowable” dan suspensi.
Rendahnya persen bahan aktif dalam formulasi antara lain disebabkan oleh
tingginya toksisitas (LD50 8 mg/kg pada serangga), meski ini berarti
penggunaannya membutuhkan jumlah berat yang cukup banyak (Martono, et. al.,
1993). Karbofuran ditinjau dari segi kategori racun termasuk kategori 1 yaitu
sangat berbahaya (racun berbahaya) dengan LD50 oral untuk tikus 8-14 mg/kg,
sedangkan untuk LD50 dermal adalah 120 mg/kg sehingga dalam penggunaannya
harus dengan cara bijaksana (Untung, 2003).
Pengaruh toksisitas karbofuran terhadap berbagai spesies hama dan musuh
alami telah dilaporkan, ternyata pengaruhnya dapat menurunkan populasi hama
wereng coklat dan dan populasi musuh alami (predator) Cytorrhinus lividipennis,
dan pengaruh racun karbofuran ini akan mengurangi telur parasitoid dan
mencegah musuh alami (Mahrub, E., and Pollet, A., 1996 : 20).
Jenis Insektisida
Insektisida karbofuran adalah insektisida golongan karbamat yang bersifat
sistemik dan kontak-perut, sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan hama-
hama padi yang mengisap tanaman seperti wereng (batang maupun daun) atau
hama pemakan yang letaknya tersembunyi seperti penggerek batang padi,
(Martono, et. al., 1993).
Penggunaan Pestisida
Dosis anjuran adalah 34 kg per hektar per musim tanam untuk formulasi
3% granular, setara dengan 1 kg bahan aktif per hektar (Martono, et. al., 1993).
Umumnya dosis yang dianjurkan untuk karbofuran antara 0,5 – 1 kg bahan aktif
per hektar. Tetapi pada tingkat petani, tingkat dosis sebesar itu jarang tercapai.
Dengan menggunakan formulasi granula yang mengandung 3% bahan aktif,
petani umumnya melakukan aplikasi 8 – 10 kg per hektar, yang berarti antara
hanya 0,25 – 0,3 kg bahan aktif per hektar (Martono, et. al., 1993). Dosis di
bawah anjuran seperti ini, apabila diberikan secara terus menerus akan memiliki

56
efek samping yang kurang menguntungkan, seperti terjadinya resistensi,
resurjensi, kematian jasad bukan sasaran karena lebih peka terhadap insektisida
dan sebagainya (Martono, et. al., 1993).
Dampak Pestisida Terhadap Serangga Target
Insektisida karbamat adalah derivat dari fisostigmin yang merupakan
alkaloida dari tanaman Physostigma venerosom. Fisostigma merupakan inhibitor
kolinesterase. Senyawa-senyawa karbamat bersifat antikolinesterase, tetapi
karena sifatnya yang polar sehingga sukar menembus kutikula. Tidak efektifnya
senyawa karbamat dalam mengadakan penetrasi disebabkan karena daya larutnya
dalam lipid yang sangat rendah, sehingga sebagian besar golongan insektisida ini
diproduksi dalam bentuk fosforotioat yang lebih mudah menembus ke dalam
kutikula dan selanjutnya mengalami aktivasi in vivo atau peningkatan daya racun
di dalam jaringan, sehingga bersifat antikolinesterase (Kuhr and Dorough, 1976
cit. Dien, 1994 : 21).
Insektisida golongan karbamat memiliki sifat selektif menghambat enzim
kholinesterase dan bukan aliesterase. Selektifitas karbamat kadang-kadang
berbeda pada spesies yang berbeda. Insektisida golongan karbamat dapat
mematikan serangga melalui penghambatan aktivitas enzim asetilkolinesterase
pada system syaraf pusat, penghambatan enzim asetilkolinesterase ini bersifat
bolak-balik (reversible) (Matsumura, 1975 ; Minarni, 2002).
Sistem syaraf serangga antara sel syaraf (neuron) dengan sel-sel lain
termasuk sel otot terdapat celah yang disebut sinaps. Asetilkolinesterase yang
dibentuk oleh system syaraf pusat berfungsi untuk menghantarkan pesan atau
impuls. Setelah impuls diantarkan ke sel-sel otot proses penghantaran impuls
tersebut dihentikan oleh bekerjanya enzim asetilkolinesterase, dengan enzim
tersebut asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kholin, adanya
asetilkolinesterase menyebabkan sinaps menjadi kosong lagi sehingga
penghantaran impuls berikutnya dapat dilakukan. Insektisida golongan karbamat
akan menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase yang berakibat terjadinya
penumpukan asetilkholin sehingga terjadi kekacauan pada system penghantaran
impuls ke sel-sel otot, keadaan ini akan menyebabkan pesan-pesan berikutnya

57
tidak dapat diteruskan akibatnya otot menjadi kejang dan terjadi kelumpuhan dan
akhirnya mengalami kematian (Minarni, 2002).

Dampak Pestisida Terhadap Agroekosistem


Karbofuran adalah pestisida golongan karbamat yang mempunyai daya
racun cukup tinggi (Matsumura, 1975), dimana dapat membunuh serangga dan
nematoda. sifatnya adalah sistemik atau sebagai racun kontak dan lambung
sehingga dapat diaplikasikan pada berbagai tanaman pertanian seperti, tanaman
pangan, palawija, hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman tembakau, tanaman
jeruk dan tanaman pisang. Karbofuran ditujukan untuk mengendalikan berbagai
macam serangga hama yang menyerang daun, batang, buah, dan nematoda yang
menyerang akar, baik pada tanaman yang masih dipersemaian maupun tanaman
yang sudah dipindahkan ke lapangan (Anonim, 2002).
Akibat samping penggunaan pestisida pada jasad sasaran dalam
agroekosistem berupa munculnya ketahanan hama, hal ini karena pestisida tidak
mampu untuk membunuh hama dan sebaliknya terjadi peledakan hama
(resurjensi) pada hama yang semula tidak penting.
Insektisida karbamat (karbofuran) termasuk salah satu insektisida yang
mendorong timbulnya resurjensi pada hama, hal ini dipacu oleh kesalahan aplikasi
dalam hal dosis dan frekuensi. Selain itu pengaruh penggunaan karbofuran adalah
meninggalkan residu pada tanaman. Untuk tanaman padi residu karbofuran dapat
mencapai 0,178 μg g – 1 pada padi yang diberi karbofuran tiga kali pada umur 30,
50 dan 70 hari setelah tanam (Martono, et. al., 1993).
Pada tanaman, pestisida dapat mengubah penampilan dan melumurinya
dengan residu bahan beracun. Laporan tentang tingginya kadar residu acapkali
dijumpai, meski dengan semakin canggihnya peralatan wajib dicermati dengan
hati-hati (Martono, 2001), Di Indonesia telah disusun suatu ketentuan tentang
Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida pada hasil pertanian beberapa
komoditas (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan,
baik yang dapat langsung dikonsumsi maupun yang tidak langsung dikonsumsi)

58
yang ditetapkan dengan SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian
dengan no. 881 tahun 1996 (Anonim, 2002).
Selain pengaruh residu muncul pula masalah lain yaitu adanya keluhan
petani bahwa tanah sawah yang diberi perlakuan karbofuran granula akan
menyebabkan tanah menjadi keras dan “bantat”. Keadaan ini menyebabkan
turunnya kesuburan tanah karena secara biologis banyak terjadi kematian jasad
berguna yang membantu penggemburan tanah, sehingga potensi produksi tak
dapat dicapai (Martono, et. al., 1993 ; Martono,1997).

Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan


Kegiatan pertanian moderen telah berhasil meningkatkan produksi pangan,
serat, pakan dan ternak secara dramatis. Penggunaan bahan kimia pertanian
sebagai bagian kegiatan pertanian moderen ternyata telah menimbulkan dampak
pada lingkungan dan dianggap sebagai sumber pencemar baru terhadap tanah dan
air tanah (Sutanto, 2001). Selanjutnya Martono, et. al. (1993) menyatakan bahwa
pengaruh residu pada lingkungan fisik agroekosistem dapat berupa pencemaran
sumber air, menurunnya mutu sumber bahan atau kondisi tanah sulit diolah.
Sutanto (2001) menyatakan bahwa suatu lingkungan dikatakan tercemar
apabila telah terjadi perubahan dalam tatanan lingkungan itu sehingga berbeda
sama sekali dengan tatanan asalnya, sebagai akibat masuknya dan atau
dimasukkannya suatu zat atau benda asing ke dalam tatanan lingkungan itu.
Apabila lingkungan tercemar dalam aras tinggi maka kemungkinan dapat
membunuh dan bahkan menghilangkan satu atau lebih organisme penghuni
lingkungan yang semula hidup normal dalam tatanan lingkungan yang ada. Croft
(1990) cit. Minarni, (2002) menyatakan bahwa insektisida karbamat umumnya
sangat toksik terhadap musuh alami, namun ada beberapa insektisida karbamat
sistemik seperti karbofuran menunjukkan selektifitas terhadap musuh alami.
Prospek Kedepan
Pemakaian insektisida karbofuran dimasa yang akan datang perlu
dipertimbangkan lagi dari segi keuntungan dan kerugiannya serta dampaknya
terhadap lingkungan baik terhadap tanaman, serangga target maupun non target,

59
mamalia, dan tanah pertanian yang secara langsung maupun tidak langsung
menerima perlakuan atau pemaparan insektisida.
Karbofuran ditinjau dari efektifitasnya mengendalikan hama adalah sangat
efektif karena kemampuannya untuk membunuh serangga-serangga yang tinggal
pada bagian-bagian tersembunyi dalam tubuh tanaman. Kemampuan tersebut
disebabkan oleh sifat bahan aktif yang sistemik, dan penyusunan formulasinya
yang granular, dengan demikian aplikasinya dapat diberikan dalam bentuk sebaran
(broadcasting) atau pembenaman (soil incorporating) cara ini menyebabkan
karbofuran mampu mencapai system perakaran dan kemudian dapat
ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman (Martono, et. al., 1993).
Karbamat dibandingkan dengan khlor-hidrokarbon, maka persistensinya
masih lebih rendah sedang daya racunnya jauh lebih tinggi selain itu sebagai
racun syaraf dengan menghambat enzim asetilkholinesterase karbamat bersifat
non spesifik sehingga daya racunnya tinggi untuk serangga dan mamalia
(Matsumura, 1985 cit. Martono, et. al., 1993).
Keefektifan karbofuran ternyata kurang didukung oleh petani dalam hal
aplikasinya di lapangan, petani cenderung melakukan aplikasi tidak sesuai dengan
anjuran sehingga dampaknya berupa terjadinya resistensi dan resurjensi (Mahrub,
1992 dan Metcalf, 1982 cit. Martono 1993). Selain itu teknik penggunaan oleh
petani masih belum seragam sehingga hal ini sangat mempengaruhi efektifitasnya.
Supriyadi cit. Martono (1993) menyatakan bahwa bahwa cara menaburkan
“broadcasting” bila tidak diikuti dengan pembenaman seringkali tidak efektif
untuk menekan populasi hama.
Penelitian Mariyono (2002) menunjukkan bahwa serangan hama
meningkat secara nyata sebagai akibat peningkatan aplikasi pestisida. Keadaan
ini tidak sesuai dengan harapan yaitu serangan hama akan turun jika dilakukan
aplikasi pestisida. Hal ini dapat terjadi karena jika aplikasi pestisida kurang tepat
menyebabkan keadaan akan menjadi berbalik.
Kesalahan dalam mengaplikasi pestisida dapat menyebabkan serangan
hama menjadi lebih banyak karena telah terjadi resistensi dan resurjensi, yaitu

60
hama menjadi tahan terhadap pestisida dan jumlahnya semakin banyak setelah
aplikasi pestisida.
Rola & Phrabu (1993) cit. Mariyono (2002) menyebutkan bahwa ada
beberapa pestisida telah terbukti dapat menyebabkan resurjensi wereng coklat,
dan diantara pestisida tersebut ada yang beredar di pasaran menyebabkan
resurjensi wereng coklat, dan diantara pestisida tersebut ada yang beredar di
pasaran Yogyakarta yaitu, karbofuran, deltametrin dan fentoat.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang dampak dari insektisida
termasuk didalamnya karbofuran maka kedepan penggunaannya harus dipikirkan
kalau memang terpaksa maka perlu diperhatikan tentang lima T yaitu tepat dosis,
tepat waktu, tepat aplikasi, tepat sasaran, dan tepat formulasi. Sehingga efektifitas
dari insektisida karbofuran akan tercapai hal ini karena karbofuran masih
dianggap merupakan insektisida yang efektif dan direkomendasikan untuk
mengendalikan beberapa hama, diantaranya hama penggerek batang padi.
Pestisida Nabati (insektisida organik nabati)
Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, dapat
diperoleh dari bagian tumbuhan seperti bunga, buah, biji, daun, batang, akar dan
sebagainya. Penggunaan bagian tumbuhan bisa dalam bentuk utuh, bubuk
maupun ekstrak. Untuk memperoleh produk yang murah dan siap pakai (tidak
tahan lama) maka dibuat dalam bentuk kering dan basah.
Produk yang diekstrak dari tumbuhan dapat bersifat sebagai repelent,
atraktan sehingga dapat mempengaruhi perilaku serangga, mengurangi nafsu
makan, menghambat pertumbuhan, menurunkan keperidian dan menyebabkan
kemandulan, serta pengaruh langsung sebagai racun bagi serangga (Andayani dan
Utomo, 1997 : 259 ; Martono, 1997 : 296).
Beberapa contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati
seperti : Mimba (Azadirachta indica), Mindi (Melia azedarch), Sirsak (Annona
muricata L.), Srikaya (Annona squamosa L.), Serai (Andropogon nardus L.),
Babadotan (Ageratum conyzoides L.).
Berikut ini gambar beberapa tanaman yang berpotensi sebagai pestisida
nabati.

61
(A) (B)
Gambar 5.2. (A) Tanaman Sirsak dan Srikaya , (B) Tanaman Babadotan yang
berpotensi sebagai pestisida nabati (Sumber : Kardinan, A. 2004 )

Proses Pembuatan Pestisida Nabati


Proses pembuatan pestisida nabati sederhana dengan pelarut air meliputi
beberapa tahapan yaitu :
1. Pengumpulan bahan berupa bunga, buah, biji, daun, kulit atau
akar tanaman
2. Pemilihan dan pembersihan/pencucian bahan dari kotoran
3. Bahan berupa bahan segar/basah atau bahan yang telah
dikeringkan
4. Bahan dapat dihancurkan melalui blender/ditumbuk
5. Perendaman bahan dalam air dilakukan selama 1-2 hari dengan komposisi
perbandingan antara bahan tumbuhan dan pelarut (air), untuk setiap
tumbuhan berbeda (misalnya untuk, Mimba adalah 1kg bahan : 2 liter air
atau 2 genggam biji ditumbuk : 1 liter air; Srikaya yaitu 20 butir biji tua : 1
liter air;
6. Setelah perendaman maka dilakukan penyaringan menggunakan kain saring
7. Hasil penyaringan akan didapatkan ekstrak tanaman berupa larutan
8. Larutan hasil penyaringan sebelum diaplikasi dapat dicampur
dengan detergen/sabun, dengan dosis 1 gram sabun/liter larutan pestisida.

62
Metode Aplikasi Pestisida Nabati
Aplikasi pestisida di lapangan harus dilaksanakan beberapa kali aplikasi
dengan interval waktu tertentu, hal ini karena daya kerja senyawa bioaktif
memerlukan waktu dalam proses pengendalian. Cara aplikasi dapat dilakukan
dengan menabur, disemprotkan atau dioleskan, tergantung OPT sasarannya.
Apabila akan diaplikasikan dengan cara penaburan, bahan pestisida nabati harus
dalam bentuk serbuk, dan jika diaplikasikan dengan cara pengolesan atau
disemprotkan maka bahan pestisida nabati harus dalam bentuk cairan.

Kebutuhan Pestisida Nabati Untuk Pengendalian OPT


Kebutuhan pestisida nabati persatuan luas berbeda dengan kebutuhan
pestisida sintetis yang sudah dikemas dalam bentuk formulasi yang telah
dicantumkan kadar bahan aktif serta dosis persatuan luas. Pestisida nabati kadar
bahan aktifnya belum banyak diketahui sehingga sulit untuk menentukan dosis
persatuan luas.
Dasar yang dipakai dalam penentuan dosis penggunaan pestisida nabati
adalah menggunakan standar kadar bioaktif Azadirachtin tanaman Mimba yaitu
berkisar antara 7-10 gr/kg bahan (PAU-Hayati ITB, 1992).
- Cara aplikasi pestisida nabati dalam bentuk larutan
Untuk mengaplikasikan pestisida dalam bentuk larutan maka sebelumnya
harus dilakukan kalibrasi alat semprot. Hal ini ditujukan untuk memperoleh
pembagian pestisida yang merata pada bidang sasaran dengan dosis yang tepat
sehingga perlu dilakukan perhitungan kebutuhan larutan semprot dengan rumus
sederhana :
10.000 X V
Q=
W X S

diketahui misalnya :
(V) = Volume yang Keluar Dari Nozle = 4 Liter/Menit
(W) = Lebar Bidang Semprot = 2 Meter
(S) = Kecepatan Berjalan = 50 Meter/Menit

63
(Q) = Kebutuhan Larutan Semprot/ha = ?

maka kebutuhan larutan semprot/ha adalah :


10.000 X 4 40.000
Q= = = 400 liter/ha
2 X 50 100

Untuk konsentrasi larutan semprot dapat dihitung dengan rumus sebagai


berikut :
Volume Hasil Ekstraksi
Kebutuhan Larutan Semprot

Diketahui misalnya volume hasil ekstraksi adalah 12 liter, maka


konsentrasi larutan semprot adalah :
12 liter
= = 0,03 liter/liter = 30 cc/liter
400 liter

- Cara aplikasi pestisida nabati dalam bentuk serbuk


Untuk menentukan dosis/pohon dalam bentuk serbuk dapat dihitung
dengan rumus sederhana :
Jumlah Serbuk
Jumlah Populasi Tanaman

Diketahui misalnya untuk mengendalikan penyakit Fusarium pada


tanaman panili maka diperlukan 10 kg serbuk daun cengkeh/ha, dengan jumlah
populasi tanaman panili 1000 pohon/ha maka dosis perpohon adalah :
10 kg
= = 0,01 kg/pohon = 10 gr/pohon
1000 pohon

Beberapa Contoh Tanaman yang Berpotensi Sebagai Pestisida Nabati

64
1. Mimba (Azadirachta indica)
Biji Mimba dikupas dan diparut kemudian dibungkus dengan kain lalu
direndam dalam air selama satu malam dengan perbandingan 25-50 gr/liter air.
Hasil rendaman siap digunakan, untuk menghindari hilangnya potensi maka
waktu aplikasi sebaiknya pada malam hari. Pestisida nabati ini efektif untuk
mengendalikan lebih dari 100 jenis hama serangga diantaranya adalah tungau,
nematoda, ulat penggerek batang, ulat tanah, ulat gerayak, belalang, kutu dan lain-
lain (Andayani dan Utomo, 1997 : 260 ; Schmutterer, 1995 : 367).
2. Pepaya (Carica papaya)
Ambil 1 kg daun pepaya segar dirajang/diiris-iris dan direndam dalam 10
liter air, tambahkan 2 sendok minyak tanah dan larutan sabun 30 gram. Biarkan
selama semalam setelah itu disaring. Hasil rendaman siap digunakan untuk
mengendalikan berbagai jenis serangga hama.
3. Srikaya (Annona squamosa L.)
Siapkan biji yang sudah tua secukupnya (20 biji) kemudian ditumbuk
sampai menjadi halus lalu dicampur dengan air 1 liter dan tambahkan larutan
sabun secukupnya. Pestisida ini efektif untuk membunuh hama Aphid, semut,
ulat.
Untuk mengendalikan hama gudang diperlukan tepung biji srikaya
secukupnya lalu dicampurkan pada biji kacang hijau yang akan disimpan ternyata
hal ini dapat mengendalikan hama gudang Callosobruchus analis dan dapat
menghambat proses peletakan telur serangga hama pada biji kacang hijau
(Kardinan, 2004).
4. Babadotan (Ageratum conyzoides L.)
Tanaman ini daunnya dapat digunakan sebagai insektisida nabati, caranya
ambil daun secukupnya lalu dihaluskan/ditumbuk kemudian dicampur air dengan
perbandingan sesuai kebutuhan. Insektisida ini efektif untuk menghambat
pertumbuhan larva menjadi pupa (Kardinan, 2004).

- Latihan

65
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Sebutkan model-model pengendalian OPT
2. Jelaskan kelebihan pengendalian dengan cara bercocok
tanam (kultur teknis)
3. Uraikan dengan singkat pengertian konsentrasi dan dosis

- Kunci Jawaban
1. Model-model pengendalian yaitu : 1) cara fisik dan mekanik; 2) kultur
teknis (bercocok tanam); 3) biologi/hayati ; dan 4) kimiawi (sintetik dan
nabati)
2. Pengendalian secara bercocok tanam memiliki kelebihan yaitu
penerapannya dimulai sejak persiapan tanam sebagai bentuk preventif
mencegah munculnya serangan OPT, sehingga jika terjadi kenaikan populasi
hama segera dapat diantisipasi.
3. Konsentrasi pestisida terbagi atas 3 (tiga) yaitu : 1) konsentrasi formulasi,
yaitu banyaknya pestisida dihitung dalam cc atau gram pestisida per liter air
yang dicampurkan ; 2) konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif
pestisida yang terdapat di dalam larutan jadi (sudah dicampur air); 3)
konsentrasi larutan, yaitu persentase kandungan pestisida yang terdapat
dalam larutan jadi. Sedangkan dosis yaitu : 1) jumlah pestisida (cc, liter atau
gram, kg) yang digunakan untuk mengendalikan OPT persatun luas tertentu
atau per pohon yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih ; 2) jumlah
pestisida yang telah dicampur atau diencerkan terlebih dahulu dengan air dan
digunakan untuk menyemprot pertanaman yang diserang OPT dengan luas
tertentu dalam satu kali aplikasi ; 3) jumlah bahan aktif pestisida yang
dibutuhkan untuk keperluan per satuan luas.

- Rangkuman
1. Pengendalian OPT dengan cara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola
lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk

66
berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural
enemies) secara efektif. Pengendalian secara bercocok tanam merupakan
usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan
OPT terjadi, populasi hama diharapkan tidak melawati aras ambang ekonomi.
2. Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami terdiri atas predator,
parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang
efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya
peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini
terlihat dari meningkatnya daya makan setiap predator.
3. Pengendalian secara fisik adalah tindakan pengendalian hama dengan
menggunakan faktor fisik seperti menaikkan suhu dengan cara pembakaran,
menurunkan suhu dengan penggenangan, solarisasi tanah, lampu perangkap,
pengaturan cahaya dan suara. Sedangkan pengendalian secara mekanik
adalah tindakan mematikan hama yaitu (telur, larva, nimfa, pupa dan imago)
secara langsung apabila ditemukan di tanaman atau disekitar pertanaman
dengan menggunakan tangan atau alat tertentu.
4. Pengendalian kimiawi adalah pengendalian OPT dengan menggunakan
pestisida. Pestisida terbagi atas dua pestisida organik alami yaitu terbuat dari
tanaman (insektisida nabati) dan pestisida organik sintetik yaitu merupakan
hasil buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi. Pestisida kimia yang
dipasarkan umumnya sudah dalam bentuk formulasi yaitu campuran bahan
aktif teknis, sinergis (bahan penguat yang tidak bersifat racun tetapi apabila
dicampurkan ke bahan aktif akan menambah toksisitas insektisida) dan bahan
pembantu/ajuvan (berfungsi meningkatkan daya larut/solvent, sebagai
pembawa/diluent dan penyelimut, menambah daya lekat/stiker, meningkatkan
daya sebar dan pembasahan pada permukaan/ surfaktan, dan memberikan bau
harum/deodoran.

5.3. Penutup
a. Tes formatif

67
1. Jelaskan salah satu contoh pengendalian fisik dan mekanik
2. Sebutkan masing-masing 2 (dua) contoh agen pengendali hayati (patogen,
predator dan parasitoid).
3. Sebut dan jelaskan pembagian pestisida kimia.
4. Jelaskan pengaruh negatif pestisida kimia sintetik.
5. Jelaskan perhitungan kebutuhan pestisida nabati untuk mengendalikan
OPT pada lahan seluas 1 hektar.
b. Umpan balik dan tindak lanjut
- Umpan balik
Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
4. Membuat ringkasan materi pada setiap bab sebelum materi tersebut dibahas
dalam diskusi maupun praktek
5. Aktif dalam diskusi dan praktikum
6. Mengerjakan latihan dan tugas
- Tindak lanjut
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan
konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.
Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan
untuk :
1. Mempelajari kembali materi di atas.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.
c. Jawaban tes formatif
1. Contoh pengendalian dengan menggunakan cara fisik yaitu melakukan
solarisasi Tanah, adalah suatu cara mensterilkan tanah dari OPT
(mikroorganisme tanah penyebab penyakit layu pada tanaman) dengan
menggunakan plastik transparan sebagai mulsa penutup tanah pada saat
sebelum tanam. Sedangkan cara mekanik seperti pengambilan dengan tangan,
cara ini murah dan sederhana tetapi memerlukan tenaga kerja yang banyak.

68
OPT yang ditemukan seperti telur, larva, pupa, jika memungkinkan imago
dikumpulkan dengan tangan lalu langsung dibunuh.
2. Agen pengendali hayati patogen (Jamur Metarhizium sp. dan Beauveria
bassiana patogen pada coleoptera ); predator (Andrallus spinidens predator
larva dan Lycosa pseudoannulata laba-laba pemburu); dan parasiotid
(Tetrastichus shcoenobii parasiotid telur penggerek batang padi dan
Poecilotraphera sp. parasitoid ulat dan pupa penggerek batang padi).
3. Pestisida kimia terbagi atas dua yaitu pestisida organik alami terbuat dari
tanaman (insektisida nabati) dan pestisida organik sintetik merupakan hasil
buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi.
4. Akibat pemaparan pestisida kimia sintetik secara terus menerus dengan cara
tidak bijaksana telah berakibat kerusakan lingkungan biotik dan abiotik,
munculnya resistensi hama, resurjensi hama, peletusan hama kedua, selain itu
adanya pencemaran perairan oleh residu pestisida.
5. Perhitungan kebutuhan pestisida nabati untuk lahan seluas 1 hektar adalah
10.000 X V
Q=
W X S
diketahui misalnya :

(V) = Volume Yang Keluar Dari Nozle = 4 liter/menit


(W) = Lebar Bidang Semprot = 2 meter
(S) = Kepatan Berjalan = 50 meter/menit
(Q) = Kebutuhan Larutan Semprot/ha = ?
maka kebutuhan larutan semprot/ha adalah :

10.000 X 4 40.000
Q= = = 400 liter/ha
2 X 50 100

69
5.4. Daftar Pustaka
Andayani, I. N. dan Utomo, A. N. 1997. Pestisida Alami dan
Peluang Penggunaannya dalam Pembangunan yang Berwawasan
Lingkungan. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 23-30 Januari 1992.
259-274 pp.
Anonim, 2002. Pestisida Untuk Pertanian Dan Kehutanan. Direktorat Pupuk Dan
Pestisida. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian Departemen
Pertanian, Jakarta. 375p.
Anonim, 2002. Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida. Direktorat Pupuk dan
Pestisida Departemen . Koperasi Pegawai Negeri Ditjen BSP. 189p.
Buchori, D., dan Sahari, B., 2000. Keanekaragaman Serangga danb
Pengendalian Hayati. Antara Pertanian dan Konservasi Alam. Prosiding
Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi
Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 127-132 pp.
Dien, M.F., 1994. Pengaruh Insektisida Racun Saraf Terhadap Perilaku
Serangga. Tugas Mata Kuliah Masalah Khusus Hama. Program Studi
Ilmu Hama Tumbuhan. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 31p.

70
Herlinda, S., Kandowangko, D.S., Winasa, IW., dan Rauf, A., 2000. Fauna
Artropoda Penghuni Habitat Pinggiran di Ekosistem Persawahan.
Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem
Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 163-174 pp.
Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya.
Jakarta. 88 p.
Laba, I.W., Djatnika, K., dan Arifin, M., 2000. Analisis Keanekaragaman Hayati
Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah. Prosiding Simposium
Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI
dan KEHATI. Cipayung Bogor. 207-216 pp.
Lihawa, Mohamad, 1994. Pengaruh Periode Solarisasi Tanah Terhadap
Serangan Jamur Fusarium oxysporum Schlect Penyebab Penyakti Layu
Pada Tanaman Tomat. Skripsi. FAPERTA UNSRAT Manado. 37 p.
Martono, E., et. al., 1993. Kajian Insektisida Karbofuran dalam Ekosistem Padi
Sawah. Komisi Penelitian Dan Pengembangan Pengendalian Hama
Terpadu. Program nasional Pengendalian Hama Terpadu. BAPPENAS.
77p.
------------, 1997. Toksikologi Insektisida. Buku Ajar. Program Studi Ilmu Hama
Tumbuhan Bidang Ilmu Pertanian . Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. 73p.
------------, 2001. Pemahaman Pengetahuan Pestisida, Anasir Pertanian
Terlanjutkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Pertanian. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 38p.
Mahrub, E., and Pollet A., 1996. Spesific Effects Of Carbofuran On Rice
Agroecosystems In Yogyakarta Plant Growth And Rice Stem Borer
Populations. Faculty Of Agriculture Gadjah Mada University. French
Institute For The Development Through Cooperation (ORSTOM). Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, Vo. 2: 13-26. 1996. 11p – 26p.
Mariyono, J., 2002. Hubungan Antara Serangan Hama Dan Penggunaan :
Pendekatan Analisis Ekonomet6rik Pada Padi Sawah Dan Kedelai.

71
Fakultas Pertanian Universitas Gunung Kidul, Yogyakarta. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 8. No. 1, 2002: 54-62p.
Matsumura, F., 1975. Toxicology of Insecticides. Departemen of Entomology
University of Wisconsin-Madison. Madison, Wisconsin. Plenum Press.
New York and London. 503p.
Minarni, E.W., 2002. Pengaruh Insektisida Karbofuran dan BPC Terhadap
Peranan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning. Tesis Program
Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 69p.
Natawigena, H., 1989.Pestisida dan Kegunaannya.Penerbit CV. Armico.
Bandung. 59 p.
Pedigo, L. P. 1996. Entomology and Pest Management. 2 nd Ed. Prentice Hall
Upper Saddle River, NJ 07458. 679 p.
Schmutterer, H. 1995. The Neem Tree. Source of Unique Natural Products
for Integrated Pest management, Medicine, Industry and Other Purposes.
696 p.
Shepard, B.M., et.al., 1989. Serangga-Serangga, Laba-Laba dan Patogen yang
Membantu. Lembaga Penelitian Padi Internasional. (International Rice
Research Institute). 127 p.
Sosromarsono, Sumartono dan Purnama Hidayat, 2002. Diktat Pengantar
Entomologi. Jurusdan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Kanisius. 218 p.
Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif.
Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.

5.5. Senarai

72
Sintetik = Bahan buatan.
Pupa = Tahap antara larva dan dewasa (stadia serangga yang mengalami
metamorfosa sempurna) serangga dalam kondisi istirahat

BAHAN AJAR 6
STRATEGI PENGELOLAAN HAMA TERPADU

6.1. Pendahuluan
Deskripsi Singkat
Bab ini akan menguraikan Strategi Pengelolaan Hama Terpadu, Penerapan
PHT dan Evaluasi PHT di Tingkat Petani.
Relevansi
Bab ini berisi materi yang sangat erat hubungannya dengan bab
sebelumnya.
Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian
semester III dapat : Menguasai Strategi dan Evaluasi Pengelolaan Hama Terpadu
(PHT) serta mampu menerapkannya dengan tepat.

6.2. Penyajian
Uraian dan Contoh

Strategi Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

73
Sejak hama menjadi masalah maka manusia berusaha untuk menurunkan
populasinya agar tidak mendatangkan kerugian bagi pertanaman yang diusahakan.
Berbagai macam cara telah dilakukan namun keberhasilannya tidak begitu
maksimal karena setelah ditinjau kembali cara tersebut ternyata petani hanya
melakukan satu cara atau satu teknik pengendalian.
Berdasarkan hal tersebut maka dipikirkan untuk memadukan beberapa
cara/teknik pengendalian melalui pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT).
OPT dianggap bukan sebagai musuh tetapi sebagai komponen penyusun
agroekosistem yang perlu dikelola sehingga keberadaanya tidak begitu merugikan
tanaman budidaya. Pendekatan yang ditawarkan adalah melalui strategi PHT.

Beberapa Strategi Penerapan PHT


Untung (2003 : 242) dan Wigenasantana (2001 : 201) menyatakan strategi
Penerapan dan Pengembangan PHT pada suatu daerah untuk suatu jenis tanaman
tertentu ada 3 program yang harus dikembangkan yaitu :
1. Teknologi PHT, yaitu teknik yang diterapkan untuk mengelola agroekosistem
dengan memperhatikan berbagai kendala yang ada di ekosistem dan sistem
sosial setempat, dan sistem informasi sangat diperlukan untuk menentukan
pengambilan keputusan. Teknologi PHT yang diterapkan harus bersifat; a)
sedapat mungkin merupakan teknologi “lunak” yang sedikit efek sampingnya
bagi manusia, lingkungan dan OPT; b) memanfaatkan dan mendorong
berfungsinya proses pengendali alami ; c) perpaduan optimal berbagai teknik
pengendalian ; d) mudah dimengerti dan mampu dilaksanakan oleh petani
yang memiliki sumber daya terbatas ; e) fleksibel dan menampung inovasi dan
variasi sesuai dengan keadaan ekosistem yang dikelola dan masyarakat
setempat.
Keberhasilan penerapan teknologi PHT sangat ditentukan oleh perilaku petani
untuk mau menerima teknologi tersebut, untuk itu perlu adanya penyuluhan
kepada petani yang didukung dengan contoh yang dapat dilihat oleh petani
merupakan salah satu bentuk agar teknologi tersebut dapat diterima petani.

74
2. Jaringan Informasi, dalam sistem PHT jaringan informasi harus
direncanakan dan disusun dengan cermat sehingga hubungan informasi antara
para pelaksana PHT dapat berjalan dengan lancar, cepat dan efisien sehingga
tindakan pengendalian yang dilakukan selalu tepat dengan keadaan dan
keperluan lapangan.
Jaringan informasi akan terbentuk apabila kegiatan anggota kelompok tani
yang ada aktif, setiap permasalahan yang ditemukan segera dibahas bersama-
sama dengan melibatkan petugas pengamat hama setempat sehingga
permasalahan tersebut dapat segera terpecahkan.
3. Proses Pengambilan Keputusan, harus berdasarkan pada informasi yang
lengkap dan dapat dipercaya. Pengambilan keputusan dilakukan sejak
perencanan dan persiapan tanam, penanaman, panen selama satu musim
tanam. Informasi yang salah akan menyebabkan pengendalian yang dilakukan
tidak akan efektif dan efisien, sehingga keuntungan yang diharapkan secara
ekonomi telah berbalik menjadi kerugian.
Menurut Norton (1976) cit. Untung (2003 : 247) bahwa; ada beberapa
faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani dalam
pengendalian OPT yaitu : a) tujuan petani ; b) ketersediaan tenaga, modal dan
tanah ; c) kedalaman pengertian petani tentang serangan OPT dan kerusakan yang
diakibatkan; dan d) kisaran serta efektifitas metode pengendalian yang tersedia
dan langsung dapat digunakan oleh petani.
Strategi PHT dalam penerapannya adalah menekankan pada pengendalian
yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi manusia
dalam bentuk penggunaan pestisida secara tidak bijaksana terutama pestisida yang
berspektrum lebar. Penggunaan pestisida organik sintetik merupakan cara
pengendalian terakhir apabila sudah tidak ada cara pengendalian lain yang efektif.

Evaluasi Penerapan PHT Di Tingkat Petani


Evaluasi PHT adalah suatu kegiatan untuk melihat penerapan PHT oleh
petani di lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan, pelaksanaan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah mengikuti SLPHT tentu

75
sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga memiliki
wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan komponen-
komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan. Hasil pengamatan akan
menjadi dasar pengambilan keputusan pengendalian OPT.
Biasanya petani dalam menetapkan keputusan pengendalian masih
menggunakan intuisi dan pengalamannya, tetapi karena mereka telah mengikuti
SLPHT maka pengetahuan dan keterampilannya semakin bertambah sehingga
keputusan yang diambil akan mantap dan lebih pasti (Untung, 2003 : 249).
Petani diprovinsi Gorontalo umumnya sudah memahami PHT, karena
sebagian besar sudah pernah mengikuti program SLPHT, tetapi apakah mereka
sudah sepenuhnya menerapkan PHT pada sistem pertanian mereka, ini menjadi
suatu persoalan bagi kita untuk melihat dan mengevaluasi.
Hasil evaluasi diharapkan akan menjadi bahan pelajaran bagi kita,
mahsiswa dan sebagai bahan masukan untuk komponen-komponen terkait dalam
pengambilan kebijakan.

Berikut ini Gambar dari beberapa kegiatan mahasiswa di lapangan.

Gambar 6.1. Kegiatan Pengamatan OPT Oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu


Pertanian UNG Yang Didampingi Oleh Para Dosen. Sumber : Koleksi
Pribadi (2006).

- Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka
kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Jelaskan pengertian pengelolaan hama terpadu (PHT)

76
2. Sebutkan 3 program yang harus dikembangkan pada penerapan PHT
3. Uraikan dengan singkat pentingnya informasi pada sistem PHT
- Kunci Jawaban
1. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) adalah suatu usaha untuk mengelola
OPT dan kompleks ekosistem yang ada sehingga tidak terjadi lonjakan
populasi OPT mendekati aras luka ekonomi melalui pendekatan memadukan
model-model pengendalian yang cocok dan serasi dengan dilandasi prinsip
ekologis.
2. Ada 3 (tiga) program yang harus dikembangkan pada penerapan PHT
adalah: 1) teknologi PHT ; 2) jaringan informasi ; dan 3) proses pengambilan
keputusan.
3. Jaringan informasi dalam penerapan PHT sangat penting untuk
menentukan keputusan pengendalian. Apabila informasi salah akan
menyebabkan pengendalian yang dilakukan tidak akan efektif dan efisien,
sehingga keuntungan yang diharapkan secara ekonomi telah berbalik menjadi
kerugian.

- Rangkuman
1. Organisme Pengganggu Tanaman dianggap bukan sebagai musuh tetapi
sebagai salah satu komponen penyusun agroekosistem yang perlu dikelola
sehingga keberadaanya tidak begitu merugikan tanaman budidaya.
2. Teknologi PHT yang diterapkan harus bersifat ; a) sedapat mungkin
merupakan teknologi “lunak” yang sedikit efek sampingnya bagi manusia,
lingkungan dan OPT; b) memanfaatkan dan mendorong berfungsinya proses
pengendali alami ; c) perpaduan optimal berbagai teknik pengendalian ; d)
mudah dimengerti dan mampu dilaksanakan oleh petani yang memiliki
sumber daya terbatas ; e) fleksibel dan menampung inovasi dan variasi sesuai
dengan keadaan ekosistem yang dikelola dan masyarakat setempat.
3. Jaringan informasi dalam sistem PHT harus direncanakan dan disusun dengan
cermat sehingga hubungan informasi antara para pelaksana PHT dapat

77
berjalan dengan lancar, cepat dan efisien sehingga tindakan pengendalian yang
dilakukan selalu tepat dengan keadaan dan keperluan lapangan.
5. Proses Pengambilan Keputusan harus berdasarkan pada informasi yang
lengkap dan dapat dipercaya. Pengambilan keputusan dilakukan sejak
perencanan dan persiapan tanam, penanaman, panen selama satu musim
tanam.
6. Evaluasi PHT adalah suatu kegiatan untuk melihat penerapan PHT oleh
petani di lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan,
pelaksanaan penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah
mengikuti SLPHT tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang
cukup sehingga memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan
agroekosistem dan komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan
pengamatan.

6.3. Penutup
a. Tes formatif
1. Jelaskan apabila informasi yang diberikan salah apa akibatnya .
2. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
petani dalam pengendalian OPT.
3. Uraikan dengan singkat strategi PHT.
4. Jelaskan fungsi evaluasi PHT ditingkat petani.
b. Umpan balik dan tindak lanjut
- Umpan balik
Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
a. Membuat ringkasan materi pada setiap bab sebelum materi
tersebut dibahas dalam diskusi maupun praktikum
b. Aktif dalam dsikusi dan praktikum
c. Mengerjakan latihan dan tugas
- Tindak lanjut

78
Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka
mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan
konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.
Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan
untuk :
1. Mempelajari kembali materi di atas.
2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.
3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.
c. Jawaban tes formatif
1. Informasi yang salah akan menyebabkan pengendalian yang dilakukan tidak
akan berhasil sesuai harapan sebaliknya hanya kerugian biaya dan tenaga.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani
dalam pengendalian OPT yaitu : a) tujuan petani ; b) ketersediaan tenaga,
modal dan tanah ; c) kedalaman pengertian petani tentang serangan OPT dan
kerusakan yang diakibatkan; dan d) kisaran dan efektifitas metode
pengendalian yang tersedia dan langsung dapat digunakan oleh petani.
3. Strategi PHT dalam penerapannya adalah menekankan pada pengendalian
yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi
manusia dalam bentuk penggunaan pestisida secara tidak bijaksana terutama
pestisida yang berspektrum lebar. Penggunaan pestisida organik sintetik
merupakan cara pengendalian terakhir apabila sudah tidak ada cara
pengendalian lain yang efektif.
4. Evaluasi PHT berfungsi untuk melihat penerapan PHT oleh petani di
lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan, pelaksanaan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah mengikuti SLPHT
tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga
memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan
komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan.

6.4. Daftar Pustaka

79
Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman.
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

6.5. Senarai
SLPHT = Sekolah Lapang Pengamatan Hama Tanaman.

80

Anda mungkin juga menyukai