A. Latar Belakang
Pendidikan sebagai sektor yang paling penting dalam meningkatkan kualitas
hidup. Dengan pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia berkualitas
dan mampu bersaing di masa depan. Tujuan pendidikan mengarahkan pada
pembentukan manusia seutuhnya. Hal ini dijelaskan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 3 ayat 1 menjelaskan sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selain itu pula Mata pelajaran matematika juga merupakan mata pelajaran
yang sangat penting untuk dipelajari dan dikuasai .Matematika merupakan ilmu
dasar yang mempunyai peranan penting baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kehidupan sehari-
hari terdapat banyak masalah yang perlu diselesaikan dengan menggunakan
matematika. Oleh karena itu, matematika perlu diajarkan di setiap jenjang
pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika diperlukan dalam membentuk generasi yang
mempunyai pemikiran yang kritis, sistematis, logis, kreatif, rasional dan cermat.
Hal ini sejalan dengan tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan
dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, yakni agar siswa
memiliki kemampuan, 1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, kurat,
efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, 2) menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3)
pemecahan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4)
mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Namun, para pelajar menganggap matematika merupakan mata pelajaran
yang membosankan, susah, dan sulit dipahami, sehingga penguasaan siswa terhadap
mata pelajaran matematika menjadi sangat kurang. Masalah yang sering di hadapi
siswa pada pembelajaran matematika adalah kesulitan dalam mengerjakan soal
matematika berbentuk pemecahan masalah, apalagi jika soal tersebut sedikit
berbeda dengan contoh yang diberikan atau merupakan pengembangan dari konsep
yang diberikan dan membutuhkan penyelesaian yang lebih rumit. Hal ini
disebabkan kurangnya kemampuan siswa dalam memahami permasalahan,
kurangnya pengetahuan tentang strategi yang digunakan dan kurangnya
kemampuan dalam menerjemahkan soal dalam bentuk matematika.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (2004) menyatakan
bahwa salah satu standar kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa yaitu
kemampuan dalam memecahkan masalah.pemecahan masalah menjadi penting
dalam tujuan pendidikan matematika disebabkan karena dalam kehidupan sehari-
hari manusia memang tidak perna lepas dari masalah. Aktivitas memecahkan
masalah dapat dianggap suatu aktivitas dasar manusia Namun demikian
kebanyakan siswa masih lemah dalam hal pemecahan masalah matematika..
Kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa dapat diketahui melalui
pengerjaan soal-soal, terutama soal yang berbentuk uraian. Salah satu soal yang
berbentuk uraian yaitu soal cerita. Pada soal berbentuk cerita terdapat kejadian yang
terjadi di kehidupan sehari-hari.
Menurut Karso dkk (2009:121) bahwa dalam menyelesaikan soal-soal
matematika berbentuk kalimat cerita, siswa tidak hanya dituntut untuk memiliki
pemahaman konsep dan keterampilan matematika saja, namun siswa juga harus
memahami soal cerita tersebut serta membuat rencana menetapkan apa yang
diminta dari data yang diketahui. Dikalangan siswa, soal cerita cenderung lebih sulit
untuk dipecahkan dibanding soal yang hanya mengandung bilangan. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Kennedy, dkk (dalam Hudojo, 1990:187) yang menyatakan
bahwa soal yang berhubungan dengan bilangan tidak begitu menyulitkan peserta
didik, tetapi soal yang menggunakan kalimat sangat menyulitkan peserta didik yang
berkemampuan kurang. Siswa cenderung merasa sulit dalam mengubah soal cerita
ke dalam bentuk matematika. Salah satu materi yang banyak disajikan dalam
bentuk soal cerita adalah pecahan, karena banyak permasalahan sehari-hari yang
perlu menggunakan materi ini dalam menyelesaikannya. Namun banyak siswa yang
merasa sulit dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan ini. Hal tersebut
terjadi karena kemampuan pemecahan masalah siswa masih kurang.
Masalah kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada
soal cerita juga menjadi salah satu problematika yang di hadapi siswa di SD Integral
Hidayatullah. Berdasarkan hasil dialog yang dilakukan oleh calon peneliti dengan
salah satu guru mata pelajaran matematika di sekolah tersebut yaitu pak Satmar,
S.Pd., diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa yang kesulitan dalam
menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan. Ketika siswa diberikan soal
pecahan secara langsung, mereka bisa menyelesaikannya. Namun ketika siswa
diberikan soal dalam bentuk cerita, mereka kesulitan karena kurang memahami
bagaimana mengubah soal cerita tersebut ke dalam bentuk kalimat matematika. Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di SD
Integral Hidayatullah masih kurang.
Satu diantara permasalahan yang juga menyebabkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa sulit berkembang ialah metode pembelajaran yang
digunakan,pada pembelajaran matematika tingkat Sekolah Dasar, guru didominasi
oleh penggunaan metode ceramah dan pemberian tugas. Hal ini diperkuat dari hasil
penelitian Tim P4TK Matematika bahwa sebagian besar guru SD menggunakan
metode ceramah dalam pembelajaran, yaitu 70% dari responden (Sri Wulandari
Danoebroto, 2008: 70). Kondisi pembelajaran seperti ini cenderung menggunakan
pendekatan yang konvensional, memuat konsep-konsep abstrak dan rumus-rumus
yang diperkenalkan tanpa memperhatikan kandungan maknanya. Siswa cenderung
pasif, akibatnya siswa sulit mengembangkan kemampuan intelektual dan
motoriknya secara optimal. Siswa juga menerima pengetahuan dari guru tanpa ada
kesempatan untuk mengelola sendiri pengetahuan yang diperolehnya, sehingga
menurunkan daya kreativitas dan daya nalar terutama pada saat menghadapi
permasalahan matematika yang belum dikenal sebelumnya.sehingga diperlukan
adanya variasi metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampaun pemecahan
masalah matematika pada siswa.
Selanjutnya SD Integral Hidayatullah yang merupakan sekolah yang berbasis
keagamaan dimana sekolah SD Integral HIdayatullah sebagai sekolah yang berciri
khas Islam para siswa memerlukan bimbingan dan arahan melalui penanaman
keyakinan atas prinsip-prinsip ajaran Islam. Penanaman akan pembiasaan dalam
kehidupan sehari-hari sangat diperlukan agar anak-anak tidak mengambil
keputusan yang salah dan dapat mengontrol diri mereka sendiri serta dapat
memberikan makna pada setiap perbuatan yang dilakukannya. Salah satu cara
yakni dengan kegiatan tahfidz pagi untuk siswa dapat mencintai dan menghafal
Al-Qur’an serta dapat mengamalkanya. Melalui Tahfidz Pagi dapat membuat
siswa dekat dengan Allah SWT sehingga memiliki nilai-nilai, serta memiliki
kemampuan menghadapi kesulitan hidup yang membuat mereka mampu
mencapai makna-makna dalam kehidupan yang dijalani. Selain itu dalam agama
juga terdapat batasan bagi pemeluknya untuk dapat melakukan berbagi kegiatan
yang diperintahkan dalam agama maupun menjauhi yang dilarang.
Kemampuan siswa dalam melakukan ritual ibadah sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya ini yang dinamakan kecerdasan spiritual. Kecerdasan
spiritual merupakan landasan yang penting dalam memfungsikan kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional. Bahkan ini dianggap sebagai kecerdasan
yang tertinggi (Zohar dan Marshall, 2001: 12-13). Selanjutnya kecerdasan
spiritual oleh Zohar dan Marshall didefinisikan sebagai kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang
menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna daripada yang lain (Mizan, 2001: 4).
Merujuk pada penjelasan sebelumnya, pembelajaran matematika yang
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
adalah model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dan Realistic
mathematic education (RME). Sehingga calon peneliti tertarik untuk melaksanakan
penelitian yang berjudul “Penerapan Model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL) dan Realistic mathematic education (RME) terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi pecahan Di kelas IV SD
Integral Hidayatullah ditinjau dari Kecerdasan Spiritual “
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat di identifikasikan
masalah-masalah berikut ini
1. Siswa menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang
membosankan, susah dan sulit dipahami
2. Siswa kesulitan dalam mengerjakan soal matematika berbentuk pemecahan
masalah yang membutuhkan penyelesaian lebih rumit
3. Kurangnya kemampuan siswa dalam memahami permasalahan dalam soal
matematika
4.Kurangnya pengetahuan siswa tentang strategi yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah matematika
5. Siswa cenderung lebih sulit menerjemahkan dan menyelesaikan soal cerita
6. Guru masih menggunakan metode konvensional
7.Guru jarang menggunakan model pembelajaran yang bervariasi
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah agar permasalahan yang dikaji lebih terarah
maka masalah-masalah tersebut peneliti batasi sebagai berikut:
1. Pendekatan pembelajarn yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
pendekatan contextual Teaching and learning (CTL) dan pendekatan
Realistic Mathematic education (RME). Di mana dari data yang diperoleh
dari peneletian sebelumnya disimpulkan bahwa pembelajaran matematika
yang menerapkan ke dua pendekatan ini menghasilkan tingkat pemecahan
masalah matematika lebih baik dari pada pendekatan konvensional.
2. Kemampuan pemecahan masalah matematika berasal dari kata mampu
yang berarti sanggup dan bisa melakukan sesuatu. Kemampuan
pemecahan masalah dalam hal ini adalah kesanggupan siswa dalam
memecahkan masalah matematika soal cerita pada materi pecahan di kelas
IV SD INTEGRAL HIDAYATULLAH
3. Kecerdasan spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai
yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita pada makna
yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan ini menilai bahwa tindakan atas
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan oranglain .
D. Rumusan Masalah
1.Apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) menghasilkan tingkat pemecahan masalah matematika
lebih baik dibandingkan dengan pendekatan Realistic Mathematic
Education (RME)?
2. Apakah siswa yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi memiliki
kemampuan pemecahan masalah matematika lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang memiliki kecerdasan spiritual sedang dan rendah?
3. Apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) menghasilkan tingkat pemecahan masalah yang lebih
baik dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic
education (RME) pada siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, sedang
dan rendah?
4. Apakah pada pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching
and Learnig (CTL) siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi , lebih baik
daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang dan rendah ,serta
apakah siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada
siswa dengan kecerdasan spiritual rendah?
5. Apakah pada pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic
education (RME) siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, lebih baik
daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta
apakah siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada siswa
dengan kecerdasan spiritual rendah?
E. Tujuan penelitian
Bertolak dari perumusan masalah penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) menghasilkan kemampuan pemecahan
masalah lebih baik dari pada pendekatan pembelajaran Realistic
Mathematic Education (RME)
2. Untuk mengetahui apakah siswa–siswa dengan kecerdasan spiritual lebih
tinggi mempunyai kemampuan pemecahan masalah lebih baik daripada
siswa-siswa dengan kecerdasan spiritual yang sedang dan rendah serta
siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada siswa
dengan kecerdasan spiritual rendah.
3. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) menghasilkan kemampuan pemecahan
masalah lebih baik dibandingkan pembelajaran Realistic Mathematic
education (RME) pada siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, sedang
dan rendah
4. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL), siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi
lebih baik tingkat pemecahan masalahnya daripada siswa dengan
kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta siswa dengan kecerdasan
spiritual sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual
rendah.
5. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Realistic
Mathematic education (RME), siswa dengan kecerdasn spiritual tinggi
lebih baik tingkat pemecahan masalahnya daripada siswa dengan
kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta siswa dengan kecerdasan
spiritual sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual
rendah.
F. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Sebagai bahan pengembangan ilmu pendidikan khususnya tentang
model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau Contextual
Teching and Learning (CTL) dan Realistic Mathematic Educatiun (RME)
dalam pembelajaran matematika.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian , antara lain:
a. Bagi Dinas pendidikan
Sebagai masukan dalam pembinaan yang berkaitan dengan motivasi
mengajar guru melalui kompetensi pedagogik dan perhatian
pimpinan.
b. Bagi sekolah
Agar menjadi pertimbangan bagi sekolah untuk menerapkan model
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
matematka.
c. Bagi guru
Hasil penelitian ini ditawarkan salah satu alternatif model
pembelajaran yang diterapkan dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran yang bervariatif Dan inovatif.
d. Bagi penulis
Mengetahui keefektifan model pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual dan problem posing , menambah wawasan serta
pengalaman penulis .
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KAJIAN TEORI
1. Model pembelajaran pendekatan kontekstual atau contextual teaching
and learning (CTL)
1.1 pengertian model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching and learning CTL
adalah konsep belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi
pelajaran yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan
dari proses mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Konsortium pusat Washington
untuk pembelajaran kontekstual (the state consortium of CTL), yaitu sebuah
proyek yang dibiayai Departemen Pendidikan Amerika serikat untuk
meningkatkan perhatian pada pengajaran kontekstual dalam program persiapan
guru-guru,mendefenisikan pembelajaran kontekstual sebagai pengajaran yang
memungkinkan siswa-siswa sekolah dari tingkat pra-sekolah sampai menengah
atas mendapat penguatan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan
ketrampilan akademiknya dalam berbagai macam situasi disekolah maupun diluar
sekolah agar mampu memecahkan masalah dikelas maupun di dunia nyata (Tatag
Yuli, 2002).
Pendekatan dengan pembelajaran kontekstual menurut Sugiyanto (2010:4)
adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan suatu
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliknya dan penerapannya dalam
kehidupan mereka sendiri. Hal tersebut sesuai dengan yamg dikemukakan Hadi
(2002:5) yang mengemukakan bahwa : “pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan kehidupan mereka sehari-hari.
Johnson (2002:25) berpendapat bahwa system pembelajaran kontekstual
adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa mengetahui
makna yang ada di dalam materi akademik, mereka belajar dengan menghubungkan
subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks
pribadi, social, dan keadaan kebudayaan mereka.
Menurut Talbert ( 1999: 1) Pembelajaran kontekstual merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan
dari guru ke siswa. Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and learning)
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme
(Constructivisme), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assesment).
Pendidikan matematika berbasis kompetensi yang menekankan pada
pengembangan pengalaman belajar tangan pertama, Contextual Teaching and
Learning (CTL), meaningful teching, dengan memperhatikan kecakapan hidup (life
skill) baik berupa generik skill (kecakapan personal, kecakapan sosial) maupun
spesific skill (kecakapan akademik, dan kecakapan ketrampilan). Usaha mengatasi
berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya
inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika
yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical
meaning reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem
penilaian. Kecenderungan pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal
mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics).
Menurut John Dewey (1916) dalam tatag yuli (2002) Contextual Teaching
and Learning (CTL) adalah suatu teori pembelajaran berakar dari filosofi
pendididkan yang menganjurkan suatu kurikulum dan metode belajar yang
mendasarkan pada pengalaman-pengalaman dan minat anak. Defenisi operasional
pembelajaran contextual berakal dari teori progresifisme Dewey dan hasil-hasil
temuan reset yang menunjukkan bahwa siswa akan belajar dengan baik, ketika
apa yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika
mereka secara aktif belajar mandiri.
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Lynch dalam Predmore
(2005) “Ninety-four percent of students said that they learned a lot more in CTL-
aprroach classes than in other traditional courses in that same subject area”.
Sembilan puluh empat persen siswa mengatakan bahwa pada mata pelajaran yang
sama, mereka belajar lebih banyak dikelas yang menerapkan pendekatan CTL
daripada dikelas yang menggunakan pendekatan tradisional lebih lanjut predmore
(2005) mengungkapkan, “some students learn best through CTL approaches and
they really need more hands on real world experience”. Beberapa siswa belajar
sangat baik dengan pendekatan CTL dan mereka benar-benar membutuhkan lebih
banyak belajar tentang pengalaman didunia nyata.
1.2 Prinsip-prinsip Contextual teaching and learning (CTL)
Menurut Johnson (2002:86) terdapat tiga prinsip ilmiah dalam CTL yaitu :
a. CTL mencerminkan prinsip kesaling bergantungan
Kesalinbergantungan mewujudkan diri misalnya ketika para siswa
bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru
mengadakan pertemuan dengan rekannya.
b. CTL mencerminkan prinsip diferensiasi
Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang siswa untuk
saling saling menghormati Keunikan masing-masing, untuk
menghormati perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja
sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda,
dan untuk menyadar bahwa keragaman adalah tanda kemantapan
dan kekuatan.
c. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri
Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan
menemukan kemampuan dan minat mereka yang berbeda,
mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian
autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntutan dan tujuan
yang jelas dan standar yang tinggi dan berperan serta dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati
mereka bernyanyi.
System CTL mencakup delapan komponen berikut ini:
a. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
b. Melakukan pekerjaan yang berarti
c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
d. Bekerjasama
e. Berpikir kritis dan kreatif
f. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
g. Mencapai standar tinggi
h. Menggunakan penilaian autentik
(Johnson, 2002:86)
1.3 perbedaan pendekatan kontekstual dan pembelajaran konvensional
Belajar kontekstual (CTL) adalah belajar yang akan terjadi bila
dihubungkan dengan pengalaman nyata sehari-hari Blanchard (2001)
menejelaskan sebuah hasil penelitian kognitif yang menunjukan bahwa sekolah-
sekolah (yang pengajarannya dikelola secara tradisional) tidak membantu siswa
dalam menerapkan pemahamannyan terhadap bagaimana seseorang itu harus
belajar dan bagaimana menerapkan sesuatu yang dipelajari pada situasi baru.
Selain itu dijelaskan juga perbedaan pembelajaran konvensional (CTL) dan
pembelajaran yang kontekstual sebagai berikut:
Perbedaan pengajaran konvensional dan kontekstual
Pengajaran Konvensional Pengajaran Kontekstual (CTL)
Metode
Pembelajaran (A)
Model pembelajaran 𝑎1 𝑏1 𝑎1 𝑏2 𝑎1 𝑏3
Contextual Teaching and
Learning (𝑎1 )
Model pembelajaran Realistic 𝑎2 𝑏1 𝑎2 𝑏2 𝑎2 𝑏3
Mathematic Education (𝑎2 )
Table 3.2
Distribusi siswa kelas IV SD Integral Hidayatullah
No Kelas Jumlah siswa
1. IV A 28 siswa
2. IV B 24 siswa
Jumlah populasi 52 iswa
2. Sampel
Sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan
prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Dalam
penelitian ini sampel yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah beberapa siswa
kelas IV Di SD Integral Hidayatullah tahun ajaran 2019/2020.
3. Sampling atau Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random
sampling yang dilakukan dengan cara sampel diambil dari populasi dengan cara
acak tanpa memperhatikan strata atau tingkat yang ada dalam populasi.
Pengambilan sampel diambil dari 2 kelas untuk membandingkan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan model pembelajaran
Realistic Mathematic education(RME). Dimana kelas yang diberi perlakuan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan kelas yang
bertindak sebagai kelas eksperimen 1 dan kelas dengan perlakuan Realistic
mathematic Education (RME) sebagai kelas eksperimen 2.
C.Defenisi operasional variabel
Berdasarkan kerangka pemikiran, dalam penelitian ini terdapat dua variabel
bebas dan satu varibel terikat. variabel Pendekatan dalam pembelajaran adalah
suatu jalan, cara atau kebijakan yang di tempuh oleh guru atau siswa dalam
mencapai tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran
atau materi pembelajaran itu umum atau khusus dikelola variabel tersebut adalah
1. Variabel bebas
a. Pendekatan pembelajaran
1) Defenisi operasional
2) Indikatornya adalah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan pendekatan Realistic Mathematic
education.
3) Skala pengukurannya adalah nominal.
4) Simbol pendekatan pembelajaran A, Contextual Teaching and Learning
(CTL) simbolnya 𝑎1 dan Realistic Mathematic education (RME) simbolnya
𝑎2
b. Kecerdasan spiritual
1) defenisi Operasional
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan siswa bersikap fleksibel,
kesadaran diri yang tinggi,Kecenderungan berpikir kritis, kemampuan
menghadapi dan memanfaatkan penderitan, kualitas hidup yang di ilhami
dengan visi dan misi, keengganan menyebabkan kerugian,kecenderungan
untuk mengaitkan dengan berbagai hal.
2) Indikatornya adalah skor angket kecerdasan spiritual.
3) Skala pengukurannya adalah skala interval yang di ubah kedalam skala
ordinal, yang terdiri dari tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah.
1
a) kecerdasan spiritual siswa tinggi jika nilai >> −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
− 1
b) kecerdasan spiritual sedang jika 𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total≤ nilai ≥
− 1
𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
1
c) kecerdasan spiritual rendah jika nilai < −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total
b) simbolnya B
2. Variabel terikat
Variabel terikatnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematika
a. Defenisi Operasional
Kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini menggunakan
langkah polya yaitu: 1. Memahami masalah. 2. Merencanakan
pemecahannya. 3. Menyelesaikan sesuai dengan rencana kedua. 4.
Memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
b. Indikatornya adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika
c. Skala pengukuran adalah skala Interval
d. Simbolnya adalah AB
C.Metode Pengumpulan data
a.Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk
memperoleh data tentang keadaan awal siswa yang diambil dari nilai siswa
kelas IV pada pokok bahasan sebelumnya yang diperoleh, digunakan untuk
menguji keseimbangan rerata kemampuan awal dari kelompok eksperimen.
b.Metode Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan
untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat
yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto, 2006:150)
Dalam menggunakan tes, peneliti menggunakan instrument berupa item soal
tes yang masing-masing mengukur satu jenis variabel. Pada penelitian ini metode
tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kemampuan pemecahan
masalah matematika pada pokok bahasan pecahan stelah dikenai perlakuan. Tes ini
berupa soal-soal mengenai materi pecahan. Tes yang digunakan berbentuk tes
objektif berbentuk pilihan ganda dimana terdapat 4 alternatif jawaban.
c.Metode angket
Angket atau kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memproleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya,
atau hal-hal yang ia ketahui (Suharsimi Arikunto, 2006:151).
Metode ini merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak
langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrument
yang dipakai dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner langsung tertutup.
Yaitu angket yang dirancang sedemikian rupa untuk merekam data yang dialami
oleh responden sendiri kemudian alternative jawaban yang harus dijawab telah
tertera dalam angket tersebut. Angket ini berisi soal-soal untuk mengukur
kecerdasan spiritual.
D. Instrumen Penelitian
a. Instrumen dalam penelitian
pada penelitian ini, metode tes yang digunakan untuk memperoleh data
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa bentuk tes yang digunakan
yaitu objektif.
Langkah-langkah dalam membuat tes terdiri dari:
1) Menyusun materi yang akan digunakan dalam membuat soal
2) Membuat kisi-kisi soal tes
3) Menyusun soal
4) Prosedur pemberian skor untuk jawaban tes sebagai berikut nilai 1 jika
benar, 0 jika salah
5) Mengadakan uji coba tes
Sedangkan untuk mengetahui tingkat kecerdasan spiritual siswa, digunakan
metode angket. Dalam penelitian ini digunakan angket langsung tertutup berbentuk
objektif yaitu suatu bentuk angket dimana siswa memilih jawaban yang disediakan
Langkah-langkah membuat angket:
1) Menyusun materi yang akan digunakanuntuk membuat angket
2) Membuat kisi-kis angket
3) Menyusun Angket
Adapun kisi-kisi angket kecerdasan spiritual yaitu:
Tabel 3.3 kisi-kisi angket kecerdasan spiritual
Variabel Sub variabel Indicator Banyak Butir No Butir
Kemampuan 1. Memiliki 4 1,2,3,4
bersikap pandangan
fleksibel yang luas.
2. adaptif 3 5,6,7
Kecenderungan 1. Sering 1 35
nyata untuk bertanya
bertanya “mengapa”
“mengapa” dan peristiwa dapat
“bagaimana terjadi
jika” untuk
mencari
jawaban yang 2. Sering 2 36,37
mendasar “bertanya”
peristiwa dapat
terjadi.
b. Ujicoba instrument
1. Ujicoba soal tes
a) uji validitas
berdasarkan tujuan diadakannya tes kemampuan pemecahan masalah matematika
yaitu untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah secara individual
dapat ditampakan pada keseluruhan situasi, maka uji validitas dapat pula dilakukan
pada tes ini adalah uji validitas isi dengan langkah-langkah sperti yang
dikemukakan Crockers dan Algina dalam Budiyono (2003:60) sebagai beikut;
1) Mendefenisikan domain kerja yang akan diukur (pada tes kemampuan
pemecahan masalahberupa serangkaian tujuan pembelajran atau pokok-
pokok bahasan yang diwujudkan dalam kisi-kisi).
2) Membentuk sebuah panel yang ahli (qualified) dalam domain-domain
tersebut.
3) Menyediakan kerangka terstruktur untuk proses pencocokan butir-butir soal
dengan domain performan yang terkait.
4) Mengumpulkan data dan menyimpulkan berdasarkan data yang diperoleh
dari proses pencocokan pada langkah (3).
Penilaian validitas isi ini biasanya dilakukan oleh para pakar, sperti yang
dikemukakan oleh Budiyono (2003:59) beikut:
Penilaian apakah instrument mempunyai validitas ini yang tinggi biasanya
dilakukan melalui ekspert judgment (penilaian yang dilakukan oleh para
pakar atau validator). Dalam hal ini para penilai (yang sering disebut
subject-matter ekspert), menilai apakah kisi-kisi yang dibuat oleh
pengembang tes telah menunjukan bahwa klasifikasi kisi-kisi telah
mewakili isi (substansi) yang akan diukur.
b.Uji reliabilitas
Dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengukuran tersebut dapat
memberikan hasil relative tidak berbeda bila dilakukan kembali pada subjek yang
sama pada waktu yang berbeda. Untuk mengetahui tingkat reliabilitas
menggunakan teknik kuder-richardson biasa disebut dengan KR-20 (digunakan
untuk mencari reliabilitas yang skornya bukan 1 atau 0) yaitu sebagai berikut:
𝑛 𝑠𝑡 2 − ∑ 𝑝𝑖 𝑞𝑖
𝑟11= ( )( )
𝑛−1 𝑠𝑡 2
Dengan:
𝑟11 = indeks reliabilitas instrument
n = banyaknya butir instrument
𝑝𝑖 = proporsi subjek yang menjawab benar pada butir ke- i
𝑞𝑖 =1 - 𝑝𝑖 , i=1,2…,n
𝑠𝑡 2 = variasi total
Adapun instrument dikatakan reliable jika 𝑟11 ≥0,7
(Budiyono, 2003:69)
c .Tingkat kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang mempunyai tingkat kesukaran
yangmemadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Untuk
𝐵
menentukan tingkat kesukaran tiap-tiap butir tes digunakan rumus: P = 𝐽
𝑖
Dengan:
P = indeks kesukaran
B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar tiap butir soal
𝐽𝑖 = banyaknya peserta tes yang memberi jawaban
Dalam penelitian ini soal dianggap baik jika 0,30 ≤ 𝑝 ≤ 0,70
(Suharsimi Arikunto, 1998:208)
d. Daya pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
Daya pembeda masing-masing butir dilihat dari korelasi antar skor masing-masing
butir soal dilihat dari korelasi antar skorbutir-butir soal tersebut dengan skor
totalnya. Daya pembeda menggunakan rumus korelasi momen produk dari Karl
perarson sebagai berikut:
𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥)(∑ 𝑦)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑𝑥 2)(∑ 𝑥)2 (𝑛 ∑𝑌 2−(∑ 𝑌)2 )
Dengan :
𝑟𝑥𝑦 = indeks daya pembeda untuk butir tes ke-i
n = banyak subjek yang dikenai tes
X = skor butir ke- i
Y = skor total
Dalam penelitian ini soal tes dikatakan mempunyai daya pembeda yang baik jika
=𝑟𝑥≥ 0,3
(Budiyono, 2003:65)
2) Ujicoba Angket
a. validitas Isi
validitas dari suatu instrument biasanya dinilai oleh para pakar (Budiyono,
2003:65). Sehingga validitas dari instrument yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan oleh para pakar.
b.Reliabilitas Angket
uji reliabilitas angket digunakan rumus Alpha. Adapun rumus Alpha adalah
sebagai beikut:
∑𝑠𝑡 2
𝑟11 = 𝑛 (1 − )
𝑛−1 𝑠𝑡2
Dengan:
𝑟11 = indeks reliabilitas instrument
n = banyaknya butir instrument
𝑆𝑡 2 = variasi butir ke –i , i = 1,2….,n
𝑆𝑡 2 = variansi skor total yang diperoleh subjek ujicoba
Adapun suatu instrument dikatakan reliable jika 𝑟11≥ 0,7
(Budiyono, 2003: 70)
c. Konsistensi Internal
Untuk mengetahui korelasi butir soal angket digunakanrumus korelasi momen
produk dari Karl pearson sebagai berikut :
𝑛 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑋)2 )(𝑛 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2 )
Dengan:
𝑟𝑥𝑦 = indeks konsistensi internal untuk butir angket ke- i
n = banyak subjek yang dikenai angket
X = skor butir ke-i
Y = skor total (dari subjek ujicoba)
(Budiyono, 2003: 65)
F. Teknik Analisis Data
Setelah data diperoleh dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan
selanjutnya adalah pengujian terhadap data tersebut. Adapun pengujian data
adalah sebagai berikut :
Pada awal penelitian dilakukan uji keseimbangan dengan menggunakan
analisis uji t, dengan terlebih dahulu dilakukan uji pra syarat keseimbangan yaitu
uji normalitas dan uji Homogenitas nilai awal. Selanjutnya pada nilai hasil
penelitian dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas
baru kemudian dilakukan uji hipotesis dengan analisis variansi dua jalan dengan
sel tak sama. Setelah dilakukan uji Hipotesis, bila perlu dilakukan juga uji lanut
pasca anava dengan melakukan uji komparasi ganda.
1. Uji keseimbangan
Uji keseimbangan dilakukan pada saat ke dua kelompok belum dikenai
perlakuan bertujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok tersebut dalam
keadaan seimbang. Secara statistik untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan rataan yang berarti dari dua sampel yang independen. Sebelum
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk membuktikan bahwa smpel berasal dari
populasi yang berdistribus normal. Seperti dikemukakan Budiyon0
(2009:168) bahwa semua penggunaan uji statistik mengenai beda rerata dan
uji statistik lain menyaratkan sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Pada penelitian ini untuk uji normalitas menggunakan
metode Liliefors, yaitu:
1) Hipotesis
𝐻𝑜 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
𝐻1 : sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal
2) Taraf signifikan 𝛼 = 0,05
3) Statistik Uji
𝐿 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹(𝑧𝑖 ) − 𝑠(𝑧𝑖 )|
Dengan :
L = koefesien Liliefors dari pengamatan
𝐹(𝑍𝑖 ) = 𝑃(𝑍 ≤ 𝑧𝑖 ); 𝑍~𝑁(0,1)
𝑠(𝑧𝑖 ) = proporsi cacah 𝑍 ≤ 𝑧𝑖 terhadap seluruh cacah 𝑧𝑖
𝑋𝑖−𝑋
̅
𝑧𝑖= 𝑆
Keterangan :
𝑋𝑖 = skor ke-i
𝑥̅ = rataan sampel
𝑠 = variansi sampel
4) Daerah kritik
DK = {𝐿|𝐿 > 𝐿𝛼:𝑛 }yang diperoleh dari table liliefors pada tingkat
signifikansi dan derajat kebebasan n (dengan n : ukuran sampel)
5) Keputusan uji
a. Jika 𝐿 > 𝐿𝛼 maka 𝐻0 ditolak
b. Jika 𝐿 ≤ 𝐿𝛼 maka 𝐻0 diterima
6) Kesimpulan
a. Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal jika 𝐻0 diterima
b. Sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal 𝐻0 ditolak
(Budiyono, 2000:169)
b.Uji homogenitas
uji ini digunakan untuk mengetahui apakah populasi penelitian mempunyai
variansi yang sama atau tidak. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan statistic uji
yang akan digunakan dalam uji keseimbangan. Prosedur uji homogenitas populasi
dengan uji Barlett sebagai berikut:
1) Hipotesis
𝐻0 : 𝜎12 = 𝜎22 (variansi populasi homogen)
𝐻1 : tidak semua variansi sama
2) Taraf signifikan 𝜎 = 0.05
3) Statistik uji
2,303
𝑥2 = [𝑓 log 𝑅𝐾𝐺 − ∑ 𝑓𝑗 log 𝑠𝑗2 ]
𝑐
Dengan:
𝑥 2 ~𝑥 2 (k-1)
𝑘 = 2 untuk pendekatan pembelajaran
𝑘 = 3 untuk kemampuan pemecahan masalah
𝑓 = derajat kebebasan untuk RKG = 𝑁 − 𝑘
𝑓𝑗 = 𝑛𝑗 −1= derajat bebas untuk 𝑠𝑗2 ; 𝑗 = 1,2
𝑁 = banyaknya seluruh nilai (ukuran)
𝑛𝑗 = banyaknya nilai (ukuran) sampel ke-j = ukuran sampel ke-j
1 1 1
c = 1 + 3(𝑘−1) [∑ 𝑓 − 𝑗 ]
𝑗
∑ 𝑆𝑆𝑗
RKG = ∑ 𝑓𝑗
(∑ 𝑋)2
𝑆𝑆𝑗 = ∑ 𝑋𝑗2 − 𝑛𝑗
4) Daerah kritik
2
𝐷𝐾 = {𝑥 2 |𝑥 2 > 𝑥𝛼(𝑘−1) }
5) Keputusan uji
𝐻0 ditolak jika 𝑥 2 ∈ 𝐷𝐾 atau diterima jika 𝑥 2 ∉ DK
6) Kesimpulan
1) Populasi-populasi homogen jika 𝐻0 diterima
2) Populasi-populasi tidak homogeny jika 𝐻0 ditolak
(Budiyono, 2000:176-177)
̅̅̅̅
𝑋1 − 𝑥̅ 2
𝑡= ~𝑡(𝑛1 + 𝑛2 − 2)
𝑆 1 1
𝑝√ +
𝑛1 𝑛2
(𝑛1 −1)𝑠1 2 + (𝑛2 +1)𝑠1 2
𝑠𝑝 = √ 𝑛1 + 𝑛2 −2
2) Untuk populasi –populasi normal dan independen yang mempunyai
variansi yang berbeda digunakan statistic uji sebagai berikut:
𝑥̅ 1 − 𝑥̅ 2
t= 𝑠 2 𝑠 2
√ 1 + 2
𝑛1 𝑛2
2
(𝑠1 2 /𝑛1 + 𝑠 2 /𝑛 )
2 2
v= 2 2
(𝑠1 2 ) (𝑠 2 /𝑛2 )
+ 2
𝑛1 −1 𝑛2 −1
dengan:
t = t observasi
𝑥̅ 2 = rataan dari sampel kelompok kontrol
𝑥̅ 2 = rataan dari sampel kelompok ekperimen
𝑛1 = ukuran sampel kelompok eksperimen
𝑛2 = ukuran sampel kelompok kontrol
𝑠1 2 = variansi kelompok eksperimen
𝑠2 2 = variansi kelompok kontrol
a. Daerah kritik
𝐷𝐾 = {𝑡|𝑡 < 𝑡𝛼 , 𝑛1 + 𝑛2 − 2}atau 𝑡 > 𝑡𝛼 , 𝑛1 +𝑛2
2 2
−2
b. Keputusan uji
𝐻0 ditolak jika 𝑡 ∈ 𝐷𝐾
c. Kesimpulan
1) Kedua kelompok memiliki kemampuan awal sama jika 𝐻0
diterima
2) Kedua kelompok memiliki kemampuan awal berbeda jika 𝐻0
ditolak
(budiyono,
2009; 151)
2. Uji hipotesis
Menurut Budiyono (2009;185) , pada analisis variansi diprasyaratkan
dipenuhinya bahwa setiap populasi berdistribus normal(sifat normalitas
variansi) dan populasi-populasi mempunyai variansi yang sama (sifat
homogenitas variansi) prosedurnya sama dengan uji normalitas dari
homogenitas nilai awal. Untuk pengujian hipotesis digunakan analisis
variansi dua jalan dengan sel tak sama. Dengan model sebagai berikut:
Dengan :
𝑥𝑖𝑗𝑘 = data amatan ke- k pada baris ke-i dan kolom ke-j
𝜇 = rerata dari seluruh data amatan
𝛼1 = efek baris ke-i pada variabel terikat
𝛽2 = efek baris ke-j pada variabel terikat
𝛼𝛽𝑖𝑗 = kombinasi efek baris ke-I dalam kolom ke-j pada variabel terikat
𝜀𝑖𝑗𝑘 = deviasi data pengamatan terhadap rataan populasi (𝜇𝑖𝑗 ) yang
berdistribusi normal dengan rataan 0.
i = 1,2 ; 1= pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL); 2= pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
j = 1,2,3 ; 1= kecerdasan spiritual tinggi; 2 = kecerdasan spiritual sedang; 3 =
kecerdasan spiritual rendah.
k = 1,2,3,…𝑛𝑖𝑗 ; 𝑛𝑖𝑗 : cacah pengamatan pada sel ij
prosedur penilaian mengguanakan analisis variansi dua jalur:
a. Hipotesis
b. Komputasi
1) Menghitung komponen jumlah kuadrat
𝐺2
(1) = 𝑝𝑞
dka = p – 1
dkb = q – 1
dkAB = (p - 1) (q - 1)
dkG = N – pq
dkT = N – 1
4) Rataan quadrat
Berdasarkan jumlah kuadrat dan derajat kebebasan masing-masing
diperoleh rataan kuadrat berikut ini:
𝐽𝐾𝐴
RKA = 𝑑𝑘𝐴
𝐽𝐾𝐵
RKB = 𝑑𝑘𝐵
𝐽𝐾𝐴𝐵
RKAB =
𝑑𝑘𝐴𝐵
𝐽𝐾𝐺
RKG = 𝑑𝑘𝐺
c. Statistik uji
𝑅𝐾𝐴
a) Untuk 𝐻0𝐴 adalah 𝐹𝑎 = 𝑅𝐾𝐺
𝑅𝐾𝐵
b) Untuk 𝐻0𝐵 adalah 𝐹𝑏 = 𝑅𝐾𝐺
𝑅𝐾𝐴𝐵
c) Untuk 𝐻0𝐴𝐵 adalah 𝐹𝑎𝑏 = 𝑅𝐾𝐺
Dengan :
𝐽𝐾𝐴 𝐽𝐾𝐴
RKA = 𝑑𝑘𝐴 = 𝑝−1
𝐽𝐾𝐴𝐵 𝐽𝐾𝐴𝐵
RKB = 𝑑𝑘𝐴𝐵 = (𝑃−1)(𝑞−1)
𝐽𝐾𝐺 𝐽𝐾𝐺
RKAB = 𝑑𝑘𝐺 = 𝑝𝑞 (𝑛−1)
d. Daerah kritik (DK)
𝐹𝑎 = {𝐹|𝐹 > 𝐹𝛼 ; 𝑝 − 1, 𝑁 − 𝑝𝑞}
e. Keputusan uji
𝐻0 ditolak apabila 𝐹𝑜𝑏𝑠 ∈ DK
f. Rumusan analisis
Table 3.4
Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel tak Sama
dengan :
Foi−0j = nilai 𝐹𝑜𝑏𝑠 pada perbandingan kolom ke-i dan kolom ke-j
̅̅̅̅
𝑋 𝑜𝑖 = rataan pada kolom ke- i
̅̅̅̅
𝑋 𝑜𝑗 = rataan pada kolom ke- j
Dengan :
𝐹𝑖𝑗−𝑘𝑗 = nilai 𝐹𝑜𝑏𝑠 pada perbandingan rataan pada sel ij dan rataan pada sel
kj
̅̅̅̅
𝑋𝑖𝑗 = rataan pada sel ke kj
̅̅̅̅
𝑋𝑖𝑗 = rataan pada sel ke ij
̅̅̅̅
𝑋𝑖𝑘 = rataan pada sel ik