Anda di halaman 1dari 43

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING

AND LEARNING (CTL) DAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION


(RME) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA PADA MATERI PECAHAN DI KELAS IV SD
INTEGRAL HIDAYATULLAH DI TINJAU DARI KECERDASAN
SPIRITUAL
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan sebagai sektor yang paling penting dalam meningkatkan kualitas
hidup. Dengan pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia berkualitas
dan mampu bersaing di masa depan. Tujuan pendidikan mengarahkan pada
pembentukan manusia seutuhnya. Hal ini dijelaskan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 3 ayat 1 menjelaskan sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selain itu pula Mata pelajaran matematika juga merupakan mata pelajaran
yang sangat penting untuk dipelajari dan dikuasai .Matematika merupakan ilmu
dasar yang mempunyai peranan penting baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kehidupan sehari-
hari terdapat banyak masalah yang perlu diselesaikan dengan menggunakan
matematika. Oleh karena itu, matematika perlu diajarkan di setiap jenjang
pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika diperlukan dalam membentuk generasi yang
mempunyai pemikiran yang kritis, sistematis, logis, kreatif, rasional dan cermat.
Hal ini sejalan dengan tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan
dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, yakni agar siswa
memiliki kemampuan, 1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, kurat,
efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, 2) menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3)
pemecahan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4)
mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Namun, para pelajar menganggap matematika merupakan mata pelajaran
yang membosankan, susah, dan sulit dipahami, sehingga penguasaan siswa terhadap
mata pelajaran matematika menjadi sangat kurang. Masalah yang sering di hadapi
siswa pada pembelajaran matematika adalah kesulitan dalam mengerjakan soal
matematika berbentuk pemecahan masalah, apalagi jika soal tersebut sedikit
berbeda dengan contoh yang diberikan atau merupakan pengembangan dari konsep
yang diberikan dan membutuhkan penyelesaian yang lebih rumit. Hal ini
disebabkan kurangnya kemampuan siswa dalam memahami permasalahan,
kurangnya pengetahuan tentang strategi yang digunakan dan kurangnya
kemampuan dalam menerjemahkan soal dalam bentuk matematika.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (2004) menyatakan
bahwa salah satu standar kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa yaitu
kemampuan dalam memecahkan masalah.pemecahan masalah menjadi penting
dalam tujuan pendidikan matematika disebabkan karena dalam kehidupan sehari-
hari manusia memang tidak perna lepas dari masalah. Aktivitas memecahkan
masalah dapat dianggap suatu aktivitas dasar manusia Namun demikian
kebanyakan siswa masih lemah dalam hal pemecahan masalah matematika..
Kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa dapat diketahui melalui
pengerjaan soal-soal, terutama soal yang berbentuk uraian. Salah satu soal yang
berbentuk uraian yaitu soal cerita. Pada soal berbentuk cerita terdapat kejadian yang
terjadi di kehidupan sehari-hari.
Menurut Karso dkk (2009:121) bahwa dalam menyelesaikan soal-soal
matematika berbentuk kalimat cerita, siswa tidak hanya dituntut untuk memiliki
pemahaman konsep dan keterampilan matematika saja, namun siswa juga harus
memahami soal cerita tersebut serta membuat rencana menetapkan apa yang
diminta dari data yang diketahui. Dikalangan siswa, soal cerita cenderung lebih sulit
untuk dipecahkan dibanding soal yang hanya mengandung bilangan. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Kennedy, dkk (dalam Hudojo, 1990:187) yang menyatakan
bahwa soal yang berhubungan dengan bilangan tidak begitu menyulitkan peserta
didik, tetapi soal yang menggunakan kalimat sangat menyulitkan peserta didik yang
berkemampuan kurang. Siswa cenderung merasa sulit dalam mengubah soal cerita
ke dalam bentuk matematika. Salah satu materi yang banyak disajikan dalam
bentuk soal cerita adalah pecahan, karena banyak permasalahan sehari-hari yang
perlu menggunakan materi ini dalam menyelesaikannya. Namun banyak siswa yang
merasa sulit dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan ini. Hal tersebut
terjadi karena kemampuan pemecahan masalah siswa masih kurang.
Masalah kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada
soal cerita juga menjadi salah satu problematika yang di hadapi siswa di SD Integral
Hidayatullah. Berdasarkan hasil dialog yang dilakukan oleh calon peneliti dengan
salah satu guru mata pelajaran matematika di sekolah tersebut yaitu pak Satmar,
S.Pd., diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa yang kesulitan dalam
menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan. Ketika siswa diberikan soal
pecahan secara langsung, mereka bisa menyelesaikannya. Namun ketika siswa
diberikan soal dalam bentuk cerita, mereka kesulitan karena kurang memahami
bagaimana mengubah soal cerita tersebut ke dalam bentuk kalimat matematika. Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di SD
Integral Hidayatullah masih kurang.
Satu diantara permasalahan yang juga menyebabkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa sulit berkembang ialah metode pembelajaran yang
digunakan,pada pembelajaran matematika tingkat Sekolah Dasar, guru didominasi
oleh penggunaan metode ceramah dan pemberian tugas. Hal ini diperkuat dari hasil
penelitian Tim P4TK Matematika bahwa sebagian besar guru SD menggunakan
metode ceramah dalam pembelajaran, yaitu 70% dari responden (Sri Wulandari
Danoebroto, 2008: 70). Kondisi pembelajaran seperti ini cenderung menggunakan
pendekatan yang konvensional, memuat konsep-konsep abstrak dan rumus-rumus
yang diperkenalkan tanpa memperhatikan kandungan maknanya. Siswa cenderung
pasif, akibatnya siswa sulit mengembangkan kemampuan intelektual dan
motoriknya secara optimal. Siswa juga menerima pengetahuan dari guru tanpa ada
kesempatan untuk mengelola sendiri pengetahuan yang diperolehnya, sehingga
menurunkan daya kreativitas dan daya nalar terutama pada saat menghadapi
permasalahan matematika yang belum dikenal sebelumnya.sehingga diperlukan
adanya variasi metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampaun pemecahan
masalah matematika pada siswa.
Selanjutnya SD Integral Hidayatullah yang merupakan sekolah yang berbasis
keagamaan dimana sekolah SD Integral HIdayatullah sebagai sekolah yang berciri
khas Islam para siswa memerlukan bimbingan dan arahan melalui penanaman
keyakinan atas prinsip-prinsip ajaran Islam. Penanaman akan pembiasaan dalam
kehidupan sehari-hari sangat diperlukan agar anak-anak tidak mengambil
keputusan yang salah dan dapat mengontrol diri mereka sendiri serta dapat
memberikan makna pada setiap perbuatan yang dilakukannya. Salah satu cara
yakni dengan kegiatan tahfidz pagi untuk siswa dapat mencintai dan menghafal
Al-Qur’an serta dapat mengamalkanya. Melalui Tahfidz Pagi dapat membuat
siswa dekat dengan Allah SWT sehingga memiliki nilai-nilai, serta memiliki
kemampuan menghadapi kesulitan hidup yang membuat mereka mampu
mencapai makna-makna dalam kehidupan yang dijalani. Selain itu dalam agama
juga terdapat batasan bagi pemeluknya untuk dapat melakukan berbagi kegiatan
yang diperintahkan dalam agama maupun menjauhi yang dilarang.
Kemampuan siswa dalam melakukan ritual ibadah sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya ini yang dinamakan kecerdasan spiritual. Kecerdasan
spiritual merupakan landasan yang penting dalam memfungsikan kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional. Bahkan ini dianggap sebagai kecerdasan
yang tertinggi (Zohar dan Marshall, 2001: 12-13). Selanjutnya kecerdasan
spiritual oleh Zohar dan Marshall didefinisikan sebagai kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang
menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna daripada yang lain (Mizan, 2001: 4).
Merujuk pada penjelasan sebelumnya, pembelajaran matematika yang
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
adalah model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dan Realistic
mathematic education (RME). Sehingga calon peneliti tertarik untuk melaksanakan
penelitian yang berjudul “Penerapan Model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL) dan Realistic mathematic education (RME) terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi pecahan Di kelas IV SD
Integral Hidayatullah ditinjau dari Kecerdasan Spiritual “

B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat di identifikasikan
masalah-masalah berikut ini
1. Siswa menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang
membosankan, susah dan sulit dipahami
2. Siswa kesulitan dalam mengerjakan soal matematika berbentuk pemecahan
masalah yang membutuhkan penyelesaian lebih rumit
3. Kurangnya kemampuan siswa dalam memahami permasalahan dalam soal
matematika
4.Kurangnya pengetahuan siswa tentang strategi yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah matematika
5. Siswa cenderung lebih sulit menerjemahkan dan menyelesaikan soal cerita
6. Guru masih menggunakan metode konvensional
7.Guru jarang menggunakan model pembelajaran yang bervariasi

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah agar permasalahan yang dikaji lebih terarah
maka masalah-masalah tersebut peneliti batasi sebagai berikut:
1. Pendekatan pembelajarn yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
pendekatan contextual Teaching and learning (CTL) dan pendekatan
Realistic Mathematic education (RME). Di mana dari data yang diperoleh
dari peneletian sebelumnya disimpulkan bahwa pembelajaran matematika
yang menerapkan ke dua pendekatan ini menghasilkan tingkat pemecahan
masalah matematika lebih baik dari pada pendekatan konvensional.
2. Kemampuan pemecahan masalah matematika berasal dari kata mampu
yang berarti sanggup dan bisa melakukan sesuatu. Kemampuan
pemecahan masalah dalam hal ini adalah kesanggupan siswa dalam
memecahkan masalah matematika soal cerita pada materi pecahan di kelas
IV SD INTEGRAL HIDAYATULLAH
3. Kecerdasan spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai
yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita pada makna
yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan ini menilai bahwa tindakan atas
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan oranglain .
D. Rumusan Masalah
1.Apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) menghasilkan tingkat pemecahan masalah matematika
lebih baik dibandingkan dengan pendekatan Realistic Mathematic
Education (RME)?
2. Apakah siswa yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi memiliki
kemampuan pemecahan masalah matematika lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang memiliki kecerdasan spiritual sedang dan rendah?
3. Apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) menghasilkan tingkat pemecahan masalah yang lebih
baik dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic
education (RME) pada siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, sedang
dan rendah?
4. Apakah pada pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching
and Learnig (CTL) siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi , lebih baik
daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang dan rendah ,serta
apakah siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada
siswa dengan kecerdasan spiritual rendah?
5. Apakah pada pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic
education (RME) siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, lebih baik
daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta
apakah siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada siswa
dengan kecerdasan spiritual rendah?
E. Tujuan penelitian
Bertolak dari perumusan masalah penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) menghasilkan kemampuan pemecahan
masalah lebih baik dari pada pendekatan pembelajaran Realistic
Mathematic Education (RME)
2. Untuk mengetahui apakah siswa–siswa dengan kecerdasan spiritual lebih
tinggi mempunyai kemampuan pemecahan masalah lebih baik daripada
siswa-siswa dengan kecerdasan spiritual yang sedang dan rendah serta
siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada siswa
dengan kecerdasan spiritual rendah.
3. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) menghasilkan kemampuan pemecahan
masalah lebih baik dibandingkan pembelajaran Realistic Mathematic
education (RME) pada siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, sedang
dan rendah
4. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL), siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi
lebih baik tingkat pemecahan masalahnya daripada siswa dengan
kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta siswa dengan kecerdasan
spiritual sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual
rendah.
5. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Realistic
Mathematic education (RME), siswa dengan kecerdasn spiritual tinggi
lebih baik tingkat pemecahan masalahnya daripada siswa dengan
kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta siswa dengan kecerdasan
spiritual sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual
rendah.
F. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Sebagai bahan pengembangan ilmu pendidikan khususnya tentang
model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau Contextual
Teching and Learning (CTL) dan Realistic Mathematic Educatiun (RME)
dalam pembelajaran matematika.

2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian , antara lain:
a. Bagi Dinas pendidikan
Sebagai masukan dalam pembinaan yang berkaitan dengan motivasi
mengajar guru melalui kompetensi pedagogik dan perhatian
pimpinan.
b. Bagi sekolah
Agar menjadi pertimbangan bagi sekolah untuk menerapkan model
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
matematka.
c. Bagi guru
Hasil penelitian ini ditawarkan salah satu alternatif model
pembelajaran yang diterapkan dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran yang bervariatif Dan inovatif.
d. Bagi penulis
Mengetahui keefektifan model pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual dan problem posing , menambah wawasan serta
pengalaman penulis .
BAB II
LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI
1. Model pembelajaran pendekatan kontekstual atau contextual teaching
and learning (CTL)
1.1 pengertian model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching and learning CTL
adalah konsep belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi
pelajaran yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan
dari proses mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Konsortium pusat Washington
untuk pembelajaran kontekstual (the state consortium of CTL), yaitu sebuah
proyek yang dibiayai Departemen Pendidikan Amerika serikat untuk
meningkatkan perhatian pada pengajaran kontekstual dalam program persiapan
guru-guru,mendefenisikan pembelajaran kontekstual sebagai pengajaran yang
memungkinkan siswa-siswa sekolah dari tingkat pra-sekolah sampai menengah
atas mendapat penguatan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan
ketrampilan akademiknya dalam berbagai macam situasi disekolah maupun diluar
sekolah agar mampu memecahkan masalah dikelas maupun di dunia nyata (Tatag
Yuli, 2002).
Pendekatan dengan pembelajaran kontekstual menurut Sugiyanto (2010:4)
adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan suatu
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliknya dan penerapannya dalam
kehidupan mereka sendiri. Hal tersebut sesuai dengan yamg dikemukakan Hadi
(2002:5) yang mengemukakan bahwa : “pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan kehidupan mereka sehari-hari.
Johnson (2002:25) berpendapat bahwa system pembelajaran kontekstual
adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa mengetahui
makna yang ada di dalam materi akademik, mereka belajar dengan menghubungkan
subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks
pribadi, social, dan keadaan kebudayaan mereka.
Menurut Talbert ( 1999: 1) Pembelajaran kontekstual merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan
dari guru ke siswa. Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and learning)
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme
(Constructivisme), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assesment).
Pendidikan matematika berbasis kompetensi yang menekankan pada
pengembangan pengalaman belajar tangan pertama, Contextual Teaching and
Learning (CTL), meaningful teching, dengan memperhatikan kecakapan hidup (life
skill) baik berupa generik skill (kecakapan personal, kecakapan sosial) maupun
spesific skill (kecakapan akademik, dan kecakapan ketrampilan). Usaha mengatasi
berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya
inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika
yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical
meaning reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem
penilaian. Kecenderungan pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal
mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics).
Menurut John Dewey (1916) dalam tatag yuli (2002) Contextual Teaching
and Learning (CTL) adalah suatu teori pembelajaran berakar dari filosofi
pendididkan yang menganjurkan suatu kurikulum dan metode belajar yang
mendasarkan pada pengalaman-pengalaman dan minat anak. Defenisi operasional
pembelajaran contextual berakal dari teori progresifisme Dewey dan hasil-hasil
temuan reset yang menunjukkan bahwa siswa akan belajar dengan baik, ketika
apa yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika
mereka secara aktif belajar mandiri.
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Lynch dalam Predmore
(2005) “Ninety-four percent of students said that they learned a lot more in CTL-
aprroach classes than in other traditional courses in that same subject area”.
Sembilan puluh empat persen siswa mengatakan bahwa pada mata pelajaran yang
sama, mereka belajar lebih banyak dikelas yang menerapkan pendekatan CTL
daripada dikelas yang menggunakan pendekatan tradisional lebih lanjut predmore
(2005) mengungkapkan, “some students learn best through CTL approaches and
they really need more hands on real world experience”. Beberapa siswa belajar
sangat baik dengan pendekatan CTL dan mereka benar-benar membutuhkan lebih
banyak belajar tentang pengalaman didunia nyata.
1.2 Prinsip-prinsip Contextual teaching and learning (CTL)
Menurut Johnson (2002:86) terdapat tiga prinsip ilmiah dalam CTL yaitu :
a. CTL mencerminkan prinsip kesaling bergantungan
Kesalinbergantungan mewujudkan diri misalnya ketika para siswa
bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru
mengadakan pertemuan dengan rekannya.
b. CTL mencerminkan prinsip diferensiasi
Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang siswa untuk
saling saling menghormati Keunikan masing-masing, untuk
menghormati perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja
sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda,
dan untuk menyadar bahwa keragaman adalah tanda kemantapan
dan kekuatan.
c. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri
Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan
menemukan kemampuan dan minat mereka yang berbeda,
mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian
autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntutan dan tujuan
yang jelas dan standar yang tinggi dan berperan serta dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati
mereka bernyanyi.
System CTL mencakup delapan komponen berikut ini:
a. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
b. Melakukan pekerjaan yang berarti
c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
d. Bekerjasama
e. Berpikir kritis dan kreatif
f. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
g. Mencapai standar tinggi
h. Menggunakan penilaian autentik
(Johnson, 2002:86)
1.3 perbedaan pendekatan kontekstual dan pembelajaran konvensional
Belajar kontekstual (CTL) adalah belajar yang akan terjadi bila
dihubungkan dengan pengalaman nyata sehari-hari Blanchard (2001)
menejelaskan sebuah hasil penelitian kognitif yang menunjukan bahwa sekolah-
sekolah (yang pengajarannya dikelola secara tradisional) tidak membantu siswa
dalam menerapkan pemahamannyan terhadap bagaimana seseorang itu harus
belajar dan bagaimana menerapkan sesuatu yang dipelajari pada situasi baru.
Selain itu dijelaskan juga perbedaan pembelajaran konvensional (CTL) dan
pembelajaran yang kontekstual sebagai berikut:
Perbedaan pengajaran konvensional dan kontekstual
Pengajaran Konvensional Pengajaran Kontekstual (CTL)

1. Mengandalkan pada hapalan 1. Mengandalkan pada berpikir


spasial

2. Memfokuskan secara khusus pada 2. Memadukan secara khusus


satu subjek(materi pelajaran) materi-materi pelajaran yang lain
(multiple subjects)

3. Nilai-nilai informasi ditentukan 3. Nilai informasi didasarkan pada


oleh guru kebutuhan siswa sendiri
(individual siswa)

4 .Memberikan kepada siswa semua 4. Menghubungkan dengan


informasi-informasi yang ada, tanpa pengetahuan awal
menghubungkan dengan
pengetahuan awalnya.

5 Penilaian dalam belajar hanya 5. .Penilaian autentik melalui


bersifat formal akademis, seperti kegiatan-kegiatan aplikasi atau
ujian memecahkan masalah nyata.

(Tatag Yuli,2002: 66)


1.4 Langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual
Secara umum penerapan pembelajaran kontekstual melibatkan bermacam
langkah pembelajaran sebagai berikut.

a. Pembelajaran aktif. Siswa diaktifkan untuk mengkonstruksi pengetahuan


dan memecahkan masalah.
b. Multi konteks. Pembelajaran dalam konteks yang ganda (multi konteks)
memberikan siswa pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari
dan mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah dalam konteks yang
baru (terjadi transfer).
c. Kooperasi dan diskursus (penejelasan ceramah); siswa belajar dari orang
lain melalui kooperasi (kerjasama), diskursus (penjelasan-penjelasan), kerja
tim dan mandiri (self reflection).
d. Berhubungan dengan dunia nyata; pembelajaran yang menghubungkan
dengan isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman diluar kelas
dan simulasi
e. Pengetahuan prasyarat/awal : pengalaman awal siswadan situasi
pengetahuan yang di dapat mereka akan berartiatau bernilai dan Nampak
sebagai dasar dalam pembelajaran.
f. Ragam nilai; pengajaran yang fleksibel menyesuaikan kebutuhan dan
tujuan-tujuan dari siswa yang berbeda.
g. Kontribusi masyarakat: suatu cara yang dapat meningkatkan pemberdayaan
masyarakat melalui pembelajaran atau akibat prosesnya harus di utamakan .
h. Penilaian autentik : proses belajar siswa perlu dinilai dalam konteks ganda
yang bermakna.
i. Pemecahan masalah: berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam
memecahkan masalah nyata harusditekankan dalam hal kebermaknaan
memorisasi dan pengulangan-pengulangannya.
j. Mengarahkan sendiri (self-direction): siswa ditantang dan dimungkinkan
diperbolehkan membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternative-
alternatif dan diarahkan sendiri, berbagi dengan guru. Dengan demikian
mereka bertanggung jawab sendiri dalam belajarnya.
k. Melibatkan kerjasama: melibatkan kerjasama antara guru dengan siswa
dikelas sehingga membantu/mendukung proses pembelajaran.

Secara sederhana pembelajaran dengan pendekatan CTL digambarkan


dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Guru menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran dan melakukan


apersepsi
b. Guru memberikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan materi
yang dipelajari.
c. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil.
d. Siswa bekerja sama dalam kelompok untuk mendiskusikan permasalahan
yang diberikan.
e. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
f. Guru dan siswa mengadakan refleksi terhadap kejadian , aktivitas atau
pengetahuan yang baru diterima.
g. Guru memberikan kesimpulan, penguatan dan tes kepada siswa.
1.5 Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL)
Ada beberapa kelebihan dalam penggunaan model pembelajaran
CTL yaitu:
a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil.
b. Pembelajaran kontekstual ndapat menjadikan siswa belajar bukan
dengan menghafal, melainkan proses pengalamannya dalam kehidupan
nyata.
c. Kelas dalam kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh
informasi, melainkan sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan
mereka di lapangan
d. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan
konsep kepada siswa, karena seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri.

Sedangkan dalam penggunaan model pembelajaran CTL juga terdapat


beberapa kekurangan yaitu:

a. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode


CTL,guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi.
b. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide mereka.
c. Penerapan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
kompleks dan sulit dilaksanakan, selain itu juga membutuhkan waktu
yang lama.
2. Pendekatan Pembelajaran Realistic Mathematic and Education (RME)
2.1 Pengertian pembelajaran RME
Realistic Mathematics Education (RME) RME dikembangkan berdasarkan
pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan
aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas.
Berdasarkan pemikiran tersebut, RME mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam
proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali (toreinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan
kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia real” (Gravemeijer, 1994).
1. Konsepsi tentang siswa
RME mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika
yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan
itu untuk dirinya sendiri
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi
penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan
penolakan;
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal
dari seperangkat ragam pengalaman;
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu
memahami dan mengerjakan matematika.
2. Peran Guru
RME mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
a. Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu
siswa dalam menafsirkan persoalan nyata;
d. Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum,
melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia nyata, baik fisik
maupun sosial.

3.Konsepsi tentang pengajaran.


Pengajaran matematika dengan pendekatan RME meliputi aspek-aspek
berikut (DeLange,1995):
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa
sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa
segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan
alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya
(siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan,
mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap
setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Pembelajaran Matematika Realistik (RME) di sekolah dilaksanakan
dengan menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau dapat dibayangkan dengan baik
oleh siswa dan digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-
pengertian matematika yang semakin meningkat. Jadi pembelajaran tidak dimulai
dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-
contoh, namun sifat, definisi, teorema itu diharapkan “seolah-olah ditemukan
kembali” oleh siswa (R.Soedjadi, 2001:2). Jelas bahwa dalam pembelajaran
matematika realistik siswa ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan agar
dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan
diperolehnya.
2.1 prinsip-prinsip metode RME
Prinsip dalam Belajar Mengajar yang Berdasarkan pada Metode RME Menurut
Freudenthal sebagaimana dikutip oleh Aris Shoimin dalam buku 68 Model
Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013 ada beberapa prinsip utama dalam
belajar mengajar yang berdasarkan pada pengajaran realistik sebagai berikut:
"Constructing and concretizing, Levels and models, Reflection
and special assignment, Social context and interaction,
Structuring and intertwining".
a) Constructing and concretizing
Konstruksi dalam pembelajaran yaitu siswa menemukan sendiri prosedur
untuk dirinya sendiri. Pengkonstruksian akan lebih menghasilkan apabila
menggunakan pengalaman dan benda-benda konkret.
b) Levels and models
Belajar konsep matematika atau keterampilan adalah proses yang panjang
dan bergerak pada level abstraksi yang bervariasi. dalam hal ini
pembelajaran diperlukan menggunakan model untuk menjembatani antara
konkret dan abstrak.
c) Reflection and special assignment
Belajar matematika ditingkatkan melalui refleksi, penilaian terhadap
seseorang tidak hanya dari hasil, tetapi juga melalui proses berfikir
seseorang.
d) Social context and interaction
Belajar tidak hanya terjadi secara individu, tetapi juga terjadi dalam
masyarakat dengan konteks sosiokultural. Maka dalam proses
pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk bertukar pikiran, adu
argumen dan sebagainya
e) Structuring and intertwining
Belajar matematika tidak hanya penyerapan pengetahuan yang tidak
berhubungan. Melainkan suatu kesatuan yang terstruktur, sehingga dalam
pembelajaran diupayakan agar ada keterkaitan antara yang satu dan yang
lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya prinsip metode RME (Realistic
Mathematic Education) adalah siswa diberi kesempatan untuk menemukan
kembali ide-ide matematika. yang tidak berhubungan.
2.2 Karakteristik pendekatan RME
Gravermeijer (dalam Yansen Marpaung, 2001), ide utama dari RME
adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan bimbingan orang dewasa. Usaha untuk membangun kembali
ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan-persoalan realistik, dalam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang
ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan.
RM E di Indonesia diadaptasi dengan nama Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI). Yansen Marpaung (2003) menyatakan bahwa PMRI
dijabarkan menjadi 10 karakteristik yaitu ;
1. Murid aktif, guru aktif.
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan masalah-masalah
dengan cara sendiri.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah
dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok atau secara
individual
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negoisasi, baik antara
guru dan siswa, maupun antara siswa dengan siswa.
8. Siswa bebas memilih representasi yang sesuai dengan struktur
kognitifnya sewaktu menyelesaikan masalah.
9. Guru bertindak sebagai fasilitator.
10. Menghargai pendapat siswa, termasuk pendapat itu betul atau
salah.
2.3 Implementasi Pembelajaran RME
Menurut Suyitno (2004: 38), implementasi pembelajaran RME di sekolah
adalah sebagai berikut.
a. Guru menyiapkan beberapa soal realistik (ada kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari) yang akan dikerjakan siswa secara informal
atau coba-coba karena langkah penyelesaian formal untuk
menyelesaikan soal tersebut belum diberikan.
b. Guru memeriksa hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada
penghargaan terhadap keberagaman jawaban dan kontribusi siswa .
c. Guru menyuruh siswa untuk menjelaskan temuannya di depan
kelas.
d. Dengan tanya jawab, guru mungkin perlu mengulang jawaban
siswa terutama jika ada pembiasan konsep .
e. Guru baru menunjukkan langkah formal yang diperlukan untuk
menyelesaikan soal tersebut. Bisa didahului dengan penjelasan
tentang materi pendukungnya.
2.4 Kelebihan dari Metode Pembelajaran RME
a. Pembelajaran RME lebih memberikan makna pada siswa karena
dikaitkan dengan kehidupan nyata.
b. Siswa lebih senang dan lebih termotifasi karena pembelajaran
menggunakan realitas kehidupan.
c. Memupuk kerjasama dalam kelompok. d) Melatih keberanian
siswa, karena harus menjelaskan yang telah ditemukan.
d. Melatih siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan pendapat.
e. Aplikasi mata pelajaran benar-benar terdemonstrasikan. Disamping
adanya beberapa kelebihan tentu ada kelemahannya. Karena setiap
metode pembelajaran tidak selalu sempurna dan selalu baik untuk
digunakan.

2.5 Kelemahan dari Metode Pembelajaran RME


a. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
b. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih
kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya.
c. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
d. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar menunggu siswa yang belum
selesai.
e. Belum ada pedoman penulisan, sehingga guru merasa kesulitan dalam
evaluasi memberi nilai.
Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran metode RME, seorang
pendidik harus dapat memfasilitasi siswa dalam menghadapi masalah, membatasi
waktu siswa dalam meneyelesaikan pekerjaan, meminimalis dan menyiadakan
peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, menciptakan
suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga merasa nyaman dalam proses
pembelajaran.
3.Kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ)
3.1 Pengertian Kecerdasan Spiritual atau spiritual quotient (SQ)
Istilah spiritual berasal dari kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal
dari kata latin Spiritus yang berarti bernafas. Karena itu spiritual bisa diartikan
sebagai roh dan nafas karena berfungsi sebagai energi kehidupan yang membuat
seseorang menjadi hidup. Selanjutnya, istilah spiritual berfungsi sebagai sifat dari
suatu bentuk kecerdasan selain intelektual dan emosional. Kecerdasan Spiritual
berarti kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami diri
sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta.
Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna
dan hakikat kehidupan yang akan dituju. Menurut Zohar & Marshal (2000).
Wilcox (2013:331) mengemukakan kecerdasan spiritual adalah
kepercayaan terhadap kekuatan yang bersifat ketuhanan, ekspresi dari
kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang khusus (baik yang bersifat suci maupun
profan), jalan hidup dalam merasakan rasa cinta dan kepercayaan terhadap Tuhan,
dan masih banyak lagi. Pendapat tersebut juga didukung oleh Suyadi (2010: 182)
menuliskan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk merasakan
keberagamaan seseorang. Jadi kecerdasan spiritual dapat diasah ketika seseorang
memeluk agama percaya terhadap keberadaan Tuhan. Maka dari itu bagi setiap
agama memiliki kewajiban bagi pemeluknya untuk melakukan ibadah sesuai
dengan ajarannya.
Kecerdasan spiritual diartikan sebagai kemampuan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, sehingga kecerdasan ini berfungsi untuk
menempatkan perilaku dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, dengan
kata lain kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membedakan
kebermaknaan tindakan atau jalan hidup seseorang dari yang lain. Keberadaan
SQ secara umum dalam kehidupan manusia adalah memberikan pemahaman
mengenai makna diri kita, makna segala sesuatu yang kita lakukan. SQ juga
digunakan untuk memahami mengapa kita harus melakukan suatu tindakan
tertentu. Sehingga aktivitas yang kita kerjakan tersebut akan bermakna dan bukan
hanya sekedar aktifitas yang percuma.
Menurut Maslow pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau,the
farthest reaches of human nature. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi
yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberdaannya
sebagai mahluk spiritual, pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi
manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati
hierarki kebutuhan manusia.
3.2 Aspek-aspek kecerdasan spiritual
Zohar & Marshal (2000) menyebutkan tanda-tanda dari kecerdasan
spiritual yang berkembang dengan baik adalah:
1. .Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan
3. Kemampuan untuk menghadapi dan melampuai rasa sakit.
4. Kualitas kehidupan yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
5. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
6. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
7. Kecenderungan untuk bertanya, dan bertanggung jawab untuk
membawakan misi dan nilai pada orang lain.
3.3 Ciri-ciri atau Kriteria kecerdasan spiritual
Tischler & McKeage (2002) yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual
dicirikan dengan adanya lima kemampuan inti, yaitu:
1. Kemampuan Transendental yang ditandai dengan tercukupinya
kebutuhan batin, ke damaian hati, dan keten, traman jiwa dengan
merasa bahwa tuhan selalu menyertai dan membimbing hidup individu;
2. Kemampuan untuk memasuki kon disi spiritual yang dicirikan pa da
komitmen individu untuk menjalin hubungan yang dalam dengan tuhan,
kekuatan iman, serta kepasrahan individu;
3. Kemampuan menanamkan nilai,nilai religius yang ditam, pakkan dalam
aktivitas,aktivitas individu selalu merasa dalam koridor agama;
4. Kemampuan untuk memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam kehi dupan;
5. Kapasitas untuk berperilaku saleh yang ditunjukkan dengan sikap yang
mu dah memberikan maaf, mensyukuri nikmat, kese derhanaan, serta
mengasihi sesama.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Emmons dan Myers (2003) yang
menyatakan bahwa komponen dari kecerdasan spiritual adalah:
b. Kemampuan untuk mentransendensi;
c. Kemampuan untuk mensucikan pengalaman sehari-hari;
d. Kemampuan untuk mengalami kondisi, kondisi kesa daran
puncak;
e. Kemampuan untuk menggunakan potensi,potensi spiritual
untuk memecahkan masalah;
f. Kemampuan untuk terlibat dalam berbagai kebajikan.
Menurut penulis, pendapat diatas masih belum tegas dalam mencirikan
kecerdasan spiritual, karena itu dengan memperhatikan teori diatas dibuat definisi
lain untuk memberikan kriteria kecerdasan spiritual. Menurut penulis kecerdasan
spiritual adalah suatu bentuk kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang
dicirikan dengan adanya kemampuan yang bersifat internal dan eksternal. Ciri dari
kemampuan tersebut adalah:
1) Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang
berhubungan diri dan Allah (hablun minalallah), cirinya adalah kesadaran
terhadap sesuatu yang transenden, adanya visi yang bersifat spiritual, dan
kemampuan untuk mengambil hikmah dari penderitaan;
2) Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan yang
berhubungan dengan sesama manusia (hablun minannas), cirinya adalah
keengganan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain dan kecenderungan
untuk mengajak pada kebaikan.
3.4 Karakteristik anak yang memiliki kecerdasan spiritual
Kemudian, Wilcox (2012: 331) menuliskan bahwa james menjelaskan
tentang karakter anak yang memiliki kecerdasan spiritual adalah
a. Bahwa dunia yang terlihat ini merupakan bagian dari semesta yang
lebih spiritual yang memiliki signifikansi utama.
b. Bahwa kesatuan tau hubungan harmonis dengan semesta yang lebih
tinggi itu adalah tujuan akhir kita yang sesungguhnya.
c. Bahwa doa atau komunikasi internal dengan kekuatan spiritual bisa
berupa Tuhan atau hukum, merupakan proses di mana suatu pekerjaan
benar-benar dilakukan, energi spiritual mengalir di dalamnya, dan
menghasilkan efek psikologis atau material dalam dunia fenomenal.
Dalam agama, tercakup juga karakteristik-karakteristik psikologi
tertentu.
d. Adanya semangat baru yang selalu bertambah seperti hadiah bagi
kehidupan, yang mengambil bentuk sebagai kata-kata pujian yang
mempesona ataupun seruan terhadap kesungguhan dan heroisme.
e. Adanya kepastian terhadap keamanan dan kedamaian, serta perasaan
cinta yang besar dalam hubungan dengan orang lain.
3.5 Manfaat kecerdasan spiritual (SQ)
Manfaat kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ) antara lain:
a. Keberadaan SQ membuat manusia menjadi lebih kreatif
b. Keberadaan SQ membuat manusia mampu berpikir secara luas dan
mendalam
c. SQ digunakan untuk memecahkan persoalan yang amat mendasar
d. SQ digunakan sebagai sarana untuk cerdas beragama
e. SQ membuat manusia memahami siapa dirinya, memberikan arti dari
setiap tindakan yang dilakukan, menerima keberadaan orang lain, serta
memberikan arti orang lain bagi diri kita
Jadi kecerdasan spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kemampuan untuk memberi makna yang luas dan dalam pada setiap
perilaku atau keadaan tertentu. Sehingga segala aktifitas yang dilakukan
lebih bermakna dan bernilai.
4. Kemampuan pemecahan masalah matematika
4.1 Pengertian kemampuan pemecahan masalah
Menurut Wena (2009), pemecahan masalah sebagai proses untuk menemukan
kombinasi dari sejumlah aturan yang bisa diaplikasikan untuk mengatasi situasi
baru. Pemecahan masalah bukan sekedar bentuk mampu menerapkan peraturan
yang telah dikuasai melalui pembelajaran masa lalu, tapi lebih dari itu, adalah
proses mendapatkan seperangkat aturan yang lebih tinggi tingkatannya. Sejalan
dengan pendapat Woolfolk (2007) pemecahan masalah biasanya didefinisikan
sebagai merumuskan jawaban baru, di luar aturan sebelumnya untuk mencapai
tujuan. Sedangkan menurut Beetlestone (1998) pemecahan masalah memberi
kesempatan kepada siswa untuk menggunakan imajinasi mereka, mencoba
mewujudkannya ide, dan pikirkan kemungkinan. Pemecahan masalah sebagai
kemampuan intelektual, ditujukan untuk perbaikan umum di Indonesia kemampuan
intelektual (Gredler, 2009).
Kemampuan memecahkan masalah adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan oleh siswa terutama proses perkembangan siswa. Pemecahan
masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi
atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas
dan tidak memiliki alat atau aluryang nyata untuk memperoleh pemecahan
(Dindyal, 2005).
Hudojo (1988) menyatakan bahwa di dalam matematika suatu
pertanyaan akan merupakan masalah apabila tidak terdpat aturan atau hokum
tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban tersebut. Dari
beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pertanyaan merupakan
suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat dengan segera menjawab pertanyaan
tersebut atau dengan kata lain siswa tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut
dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahuinya. Pemecahan masalah
matematika adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi dengan
menggunakan kegiatan matematik untuk memecahkan masalah dalam
matematika, masalah dalam ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari
(Soedjadi, 1994).

4.2 Langkah-langkah Pemecahan Masalah Matematika


Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam matematika, bukan
saja bagi mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari
matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam
bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari (Russefffendi, 2006). Mata
pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh
(Depdiknas, 2006).
Menurut Shadiq (2014), ada empat langkah proses pemecahan masalah,
yaitu memahami masalahnya, merancang cara penyelesaiannya, melaksanakan
rencana, dan menafsirkan hasilnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa indikator
yang diukur untuk mengetahui pemecahan masalah matematika siswa adalah
memahami masalah, membuat rencana model pemecahan masalah, menyelesaikan
rencana model pemecahan masalah, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Polya (1973), secara eksplisit menjabarkan langkah-langkah pemecahan
masalah, yaitu: (1) understand the problem, (2) make a plan, (3) carryout
our plan, dan (4) look back at the completed solution, yang dijabarkan sebagai
berikut.
1. Memahami masalah (understand the problem)
Dalam tahap ini, masalah harus diyakini benar, dengan cara dibaca berulang-
ulang, dan dapat ditanyakan sendiri beberapa hal, seperti apa yang diketahui,
apa yang tidak diketahui, bagaimana hubungan antara yang diketahui dan apa yang
tidak diketahui, dan lain-lain, untuk meyakinkan diri, bahwa masalah sudah
dipahami dengan baik.

2. Membuat rencana pemecahan masalah (make a plan)


Mencari hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak
diketahui, dan memungkinkan untuk dihitung variabel yang tidak diketahui
tersebut. Sangat berguna untuk membuat pertanyaan, bagaimana hal yang
diketahui akan saling dihubungkan untuk mendapatkan hal yang tidak diketahui.
3. Melaksanakan rencana (carry out our plan)
Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, maka
harus diperiksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail
untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar.
4. Memeriksa kembali jawaban (look back at the completed solution)
Dalam langkah ini, setiap jawaban ditinjau kembali, apakah sudah
diyakini kebenarannya, dan ditinjau ulang apakah solusi yang digunakan dievaluasi
terhadap kelemahan-kelemahannya.
4.3 Indikator Pemecahan Masalah Matematika
Adapun dalam penelitian ini, untuk mendeskripsikan pemeahan masalah
matematika siswa mengacu pada langkah-langkah pemecahan masalah
matematika menurut Polya (1973), yaitu sebagai berikut :
a. memahami masalah (Mengidentifikasi informasi yang diktahui dari soal
dan mengidentifikasi apa yang ditanyakan dari soal);
b. membuat rencana pemecahan masalah (menuliskan sketsa/gambar/model/
rumus/algoritma untuk memecahkan masalah, menentukan cara penyelesaian
yang sesuai, menggunakan informasi yang diketahui untuk mengembangkan
informasi baru);
c. melaksanakan rencana pemecahan masalah (menyelesaikan masalah dari
soal matematika dengan benar dan lengkap, mensubstitusi nilai yang diketahui
dalam cara penyelesaian yang digunakan);
d. memeriksa kembali pemecahan masalah (menjawab apa yang ditanyakan
atau menuliskan kesimpulan).
Tahapan pemecahan masalah berdasarkan teori Polya, digunakan sebagai
indikator dalam memecahkan masalah sehingga siswa dapat lebih runtut dan
terstruktur dalam memecahkan masalah matematika. Hal ini dimaksudkan
supaya siswa lebih terampil dalam menyelesaikan masalah, yaitu suatu
ketrampilan siswadalam menjalankan prosedur-prosedur dalam menyelesaikan
masalah secara cepat dan cermat (Hudojo, 2005).

B. Penelitian yang relevan


Banyak penelitian yang dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran
matematika, diantaranya adalah:
1. penelitian yang dilakukan oleh Parsiati dengan judul “Pengaruh Model
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Berbasis Interactive
Handout terhadap Hasil Belajar pada Siswa Kelas VIII di MTs Negeri
Tulungagung”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan
jenis penelitian quasi eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pada hasil belajar. Kesimpulan pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan model pembelajaran CTL dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa.
2. penelitian yang dilakukan oleh Edy Haryana (2004) yang menyatakan bahwa
pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual memberikan prestasi
yang lebih baik daripada pembelajaran matematika dengan pendekatan
konvensional.
3. Wahyu Wijayanti (2009) dalam tesisnya berjudul “Efektifitas penerapan
pendekatan kontekstual bermedia VCD terhadap pencapaian kompetensi belajar
matematika ditinjau dari minatbelajar siswa SMP kabupaten Karanganyar”.
Menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas anatar pendekatan
pembelajaranbermedia VCD dan pendekatan pembelajaran bermedia LKS terhadap
kompetensi belajar matematika siswa.
4. Tri Andari (2010), menyatakan bahwa peserta didik yang mengikuti
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan kontekstual
mempunyai prestasi lebih baik daripada peserta didik yang mengikuti pembelajaran
matematika dengan pendekatan konvensional baik secara umum maupun kalu
ditinjau dari kategori kemampuan awal siswa tinggi,sedang dan rendah
5. Indah Riani dalam penelitiannya “Pengaruh Kecerdasan Intelegensi Dan
Kecerdasan Spiritual Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII MTsN
Kandat Balong Ringinrejo Kediri Tahun Pelajaran 2012/2013”.
6. Sri Rejeki (2010) dalam penelitiannya “Eksperimentasi pembelajaran
matematika dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan
problem posing dinjau dari keaktifan belajar siswa”.
C.Kerangka berpikir
Berawal dari rendahnya tingkat kemampuan pemecahan masalah dari siswa
atau peserta didik pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi pecahan,
disebabkan oleh model pembelajaran yang diterapkan guru yang kurang
menyenangkan sehingga proses pembelajaran membosankan, yang berdampak pada
anggapan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, dan siswa
menjadi malas untuk mempelajarinya.
Kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa menjadi
cambuk bagi dunia pendidikan matematika. Guru harus mengusahakan
pembelajaran efektif yang menjadikan siswa sebagai problem solver. Guru dapat
membimbing siswanya agar membangun pengetahuan mereka sendiri, serta
mencari pemecahan masalah.Tidak demikian halnya dengan pembelajaran
konvensional yang diberikan guru melalui ceramah dan tugas dimana dalam proses
pembelajaran siswa kurang aktif, dan hanya guru yang aktif sehingga menyebabkan
siswa kurang termotivasi untuk aktif dalam belajar sehingga usaha untuk
memaksimalkan pembelajaran siswa kurang terpenuhi.
Hal ini menunjukan bahwa perlunya variasi dalam pembelajaran. Dan diantara
model pembelajaran yang cocok diterapkan dalam upaya menigkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika pada siswa yaitu Contextual Teaching and Learnig
(CTL) dan Realistic Mathematic education (RME). Dalam pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (TCL) dan Realistic Mathematic Education (RME). Guru
menerapkan pemecahan masalah sesuai dengan tahap pemecahan masalah pada
Polya. Hal ini dimaksudkan supaya siswa lebih terampil dalam menyelesaikan
masalah matematika, yaitu terampil dalam menjalankan prosedur-prosedur dalam
menyelesaikan masalah secara cepat dan cermat. Tahap pemecahan masalah
menurut Polya juga digunakan secara luas di kurikulum matematika di dunia
merupakan tahap pemecahan masalah yang jelas. Dengan demikian dapat di duga
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa yang diberi
perlakuan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Realistic
Mathematic Education (RME) lebih baik daripada siswa yang diberi perlakuan
pembelajaran konvensional. Namun kali ini peneliti ingin membandingkan
pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan
Realistic Mathematic education (RME)
Selain itu di SD Integral Hidayatullah yang menerapkan konsep islami yang di
wujudkan dengan berbagai kegiatan rohani yang dalam hal ini bertindak sebagai
Kecerdasan spiritual (SQ). Dimana kecerdasan spiritual ini akan membuat
seseorang mampu berpikir secara luas dan mendalam. Kecerdasan ini membuat kita
kreatif dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sehingga dengan adanya SQ
akan membuat seseorang terbiasa berpikir luas, mendalam dan membentuk karakter
kreatif matematika. Tentunya hal itu akan banyak mempengaruhi tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dapat digambarkan sebagai
berikut:
Model pembelajaran
Contextual Teaching and
Kecerdasan Kemampuan
Learning (CTL)
spiritual pemecahan masalah
Model pembelajaran matematika
Realistic Mathematic
Education
D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas peneliti mengajukan
hipotesis sebagai berikut:
1. Hipotesis penelitian
1. Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
menghasilkan tingkat pemecahan masalah matematika lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic
Education (RME)
2. Siswa yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi memiliki kemampuan
pemecahan masalah matematika lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
memiliki kecerdasan spiritual sedang dan rendah dan siswa yang memiliki
kecerdasan spiritual sedang memiliki tingkat kemampuan pemecahan masalah
matematika lebih baik daripada siswa yang memiliki yang memiliki kecerdasan
spiritual rendah
3. Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
menghasilkan tingkat pemecahan masalah yang lebih baik dibandingkan
pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
pada siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, sedang dan rendah.
4. pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
pada siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi lebih baik tingkat pemecahan
masalah matematika nya daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang
dan rendah, serta siswa dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik
pemecahan masalahnya daripada siswa dengan kecerdasan spiritual rendah
5. pembelajaran dengan pendekatan RME pada siswa dengan kecerdasan
spiritual tinggi memiliki kemampuan pemecahan masalah lebihbaik daripada
siswa dengan kecerdasan spiritual sedang, serta siswa dengan kecerdasan
spiritual sedang memiliki kemampuan pemecahan masalah matematika lebih
baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual rendah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimen semu (quasi
experiment).Tujuan penelitian ekperimen semu adalah untuk mengetahui dan
mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan
demikian validitas internal dapat menjadi tinggi. Ciri utama true eksperiment adalah
sampel yang digunakan untuk kelas eksperimen diambil secara random dari
populasi. Peneliti menggunakan dua kelas, yaitu kelas dengan model pembelajaran
Contekstual Teaching and Learning (CTL) sebagai kelas eksperimen 1 dan kelas
yang menggunakan model pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)
sebagai kelas eksperimen 2.
Sebelum memulai perlakuan, terlebih dahulu dilakukan uji keseimbangan
dengan menggunakan uji T. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah ke dua
kelas eksperimen dalam keadaan seimbang atau tidak. Data yang digunakan untuk
menguji keseimbangan adalah nilai ujian sekolah (UAS) kelas IV Sekolah Dasar
tahun ajaran 2019/2020 untuk mata pelajaran matematika pada ke dua kelas
eksperimen. Pada akhir eksperimen, kedua kelas tersebut diukur dengan
menggunakan alat ukur yang sama, yaitu soal-soal tes prestasi belajar matematika
pada materi pecahan semester 1 kelas IV SD.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
factorial 2x3. Rancangan penelitian ini tergambar pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Rancangan penelitian
Kecerdasan spiritual Tinggi (𝑏1 ) Sedang (𝑏2 ) Rendah (𝑏3 )
(B)

Metode
Pembelajaran (A)
Model pembelajaran 𝑎1 𝑏1 𝑎1 𝑏2 𝑎1 𝑏3
Contextual Teaching and
Learning (𝑎1 )
Model pembelajaran Realistic 𝑎2 𝑏1 𝑎2 𝑏2 𝑎2 𝑏3
Mathematic Education (𝑎2 )

2. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Integral Hidayatullah dengan
subjek penelitian adalah siswa kelas IV semester ganjil tahun ajaran
2019/2020.
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian adalah pada semester ganjil tahun ajaran
2019/2020

B.Populasi, Sampel dan Sampling


1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV yang ada di SD
Integral Hidayatullah semester ganjil tahun ajaran 2019/2020 yang berjumlah 52
orang siswa dengan distribusi kelas sebagai berikut:

Table 3.2
Distribusi siswa kelas IV SD Integral Hidayatullah
No Kelas Jumlah siswa
1. IV A 28 siswa
2. IV B 24 siswa
Jumlah populasi 52 iswa

2. Sampel
Sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan
prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Dalam
penelitian ini sampel yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah beberapa siswa
kelas IV Di SD Integral Hidayatullah tahun ajaran 2019/2020.
3. Sampling atau Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random
sampling yang dilakukan dengan cara sampel diambil dari populasi dengan cara
acak tanpa memperhatikan strata atau tingkat yang ada dalam populasi.
Pengambilan sampel diambil dari 2 kelas untuk membandingkan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan model pembelajaran
Realistic Mathematic education(RME). Dimana kelas yang diberi perlakuan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan kelas yang
bertindak sebagai kelas eksperimen 1 dan kelas dengan perlakuan Realistic
mathematic Education (RME) sebagai kelas eksperimen 2.
C.Defenisi operasional variabel
Berdasarkan kerangka pemikiran, dalam penelitian ini terdapat dua variabel
bebas dan satu varibel terikat. variabel Pendekatan dalam pembelajaran adalah
suatu jalan, cara atau kebijakan yang di tempuh oleh guru atau siswa dalam
mencapai tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran
atau materi pembelajaran itu umum atau khusus dikelola variabel tersebut adalah
1. Variabel bebas
a. Pendekatan pembelajaran
1) Defenisi operasional
2) Indikatornya adalah pembelajaran dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan pendekatan Realistic Mathematic
education.
3) Skala pengukurannya adalah nominal.
4) Simbol pendekatan pembelajaran A, Contextual Teaching and Learning
(CTL) simbolnya 𝑎1 dan Realistic Mathematic education (RME) simbolnya
𝑎2
b. Kecerdasan spiritual
1) defenisi Operasional
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan siswa bersikap fleksibel,
kesadaran diri yang tinggi,Kecenderungan berpikir kritis, kemampuan
menghadapi dan memanfaatkan penderitan, kualitas hidup yang di ilhami
dengan visi dan misi, keengganan menyebabkan kerugian,kecenderungan
untuk mengaitkan dengan berbagai hal.
2) Indikatornya adalah skor angket kecerdasan spiritual.
3) Skala pengukurannya adalah skala interval yang di ubah kedalam skala
ordinal, yang terdiri dari tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah.
1
a) kecerdasan spiritual siswa tinggi jika nilai >> −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
− 1
b) kecerdasan spiritual sedang jika 𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total≤ nilai ≥
− 1
𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
1
c) kecerdasan spiritual rendah jika nilai < −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total
b) simbolnya B
2. Variabel terikat
Variabel terikatnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematika
a. Defenisi Operasional
Kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini menggunakan
langkah polya yaitu: 1. Memahami masalah. 2. Merencanakan
pemecahannya. 3. Menyelesaikan sesuai dengan rencana kedua. 4.
Memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
b. Indikatornya adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika
c. Skala pengukuran adalah skala Interval
d. Simbolnya adalah AB
C.Metode Pengumpulan data
a.Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk
memperoleh data tentang keadaan awal siswa yang diambil dari nilai siswa
kelas IV pada pokok bahasan sebelumnya yang diperoleh, digunakan untuk
menguji keseimbangan rerata kemampuan awal dari kelompok eksperimen.
b.Metode Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan
untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat
yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto, 2006:150)
Dalam menggunakan tes, peneliti menggunakan instrument berupa item soal
tes yang masing-masing mengukur satu jenis variabel. Pada penelitian ini metode
tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kemampuan pemecahan
masalah matematika pada pokok bahasan pecahan stelah dikenai perlakuan. Tes ini
berupa soal-soal mengenai materi pecahan. Tes yang digunakan berbentuk tes
objektif berbentuk pilihan ganda dimana terdapat 4 alternatif jawaban.
c.Metode angket
Angket atau kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memproleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya,
atau hal-hal yang ia ketahui (Suharsimi Arikunto, 2006:151).
Metode ini merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak
langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrument
yang dipakai dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner langsung tertutup.
Yaitu angket yang dirancang sedemikian rupa untuk merekam data yang dialami
oleh responden sendiri kemudian alternative jawaban yang harus dijawab telah
tertera dalam angket tersebut. Angket ini berisi soal-soal untuk mengukur
kecerdasan spiritual.

D. Instrumen Penelitian
a. Instrumen dalam penelitian
pada penelitian ini, metode tes yang digunakan untuk memperoleh data
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa bentuk tes yang digunakan
yaitu objektif.
Langkah-langkah dalam membuat tes terdiri dari:
1) Menyusun materi yang akan digunakan dalam membuat soal
2) Membuat kisi-kisi soal tes
3) Menyusun soal
4) Prosedur pemberian skor untuk jawaban tes sebagai berikut nilai 1 jika
benar, 0 jika salah
5) Mengadakan uji coba tes
Sedangkan untuk mengetahui tingkat kecerdasan spiritual siswa, digunakan
metode angket. Dalam penelitian ini digunakan angket langsung tertutup berbentuk
objektif yaitu suatu bentuk angket dimana siswa memilih jawaban yang disediakan
Langkah-langkah membuat angket:
1) Menyusun materi yang akan digunakanuntuk membuat angket
2) Membuat kisi-kis angket
3) Menyusun Angket
Adapun kisi-kisi angket kecerdasan spiritual yaitu:
Tabel 3.3 kisi-kisi angket kecerdasan spiritual
Variabel Sub variabel Indicator Banyak Butir No Butir
Kemampuan 1. Memiliki 4 1,2,3,4
bersikap pandangan
fleksibel yang luas.
2. adaptif 3 5,6,7

Tingkat 1. kesadaran diri 4 8,9,10,11


kesadaran yang
tinggi

Kecerdasan Kemampuan 1. Mampu 3 12,13,14


spiritual untuk menghadapi
menghadapi penderitaan
dan 2. Mampu 3 15,16,17
memanfaatkan mengambil
penderitaan hikmah.

Kualitas hidup 1. Memiliki visi 4 18,19,20,21


yang diilhami atau
dengan visi dan pandangan
misi.

2. Memiliki nilai- 4 22,23,24,25


nilai yang
dianggap
benar
Keengganan 1. Tidak ingin 5 26,27,28,29,30
untuk membuat
menyebabkan kerugian
kerugian yang
tidak perlu

Kecenderungan 1. Memahami 4 31,32,33,34


untuk melihat sebab akibat
keterkaitan dari setiap
antara yang peristiwa
berbagai hal

Kecenderungan 1. Sering 1 35
nyata untuk bertanya
bertanya “mengapa”
“mengapa” dan peristiwa dapat
“bagaimana terjadi
jika” untuk
mencari
jawaban yang 2. Sering 2 36,37
mendasar “bertanya”
peristiwa dapat
terjadi.

4) Menentukan cara pemberian skors


Dalam menentukan skor angket setiap alternative jawaban mempunyai skor
berbeda-beda pemberian untuk tiap-tiap alternative jawaban disesuaikan
dengan kriteria item.
Pemebrian bobot nilai pernyataan positif adalah sebagai berikut:
 Nilai 4 untuk jawaban a
 Nilai 3 untuk jawaban b
 Nilai 2 untuk jawaban c
 Nilai 1 untuk jawaban d
Sedangkan bobot nilai pernyataan negative adalah sebagai berikut:
 Nilai 1 untuk jawaban a
 Nilai 2 untuk jawaban b
 Nilai 3 untuk jawaban c
 Nilai 4 untuk jawaban d
5) Mengadakan uji coba angket

b. Ujicoba instrument
1. Ujicoba soal tes
a) uji validitas
berdasarkan tujuan diadakannya tes kemampuan pemecahan masalah matematika
yaitu untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah secara individual
dapat ditampakan pada keseluruhan situasi, maka uji validitas dapat pula dilakukan
pada tes ini adalah uji validitas isi dengan langkah-langkah sperti yang
dikemukakan Crockers dan Algina dalam Budiyono (2003:60) sebagai beikut;
1) Mendefenisikan domain kerja yang akan diukur (pada tes kemampuan
pemecahan masalahberupa serangkaian tujuan pembelajran atau pokok-
pokok bahasan yang diwujudkan dalam kisi-kisi).
2) Membentuk sebuah panel yang ahli (qualified) dalam domain-domain
tersebut.
3) Menyediakan kerangka terstruktur untuk proses pencocokan butir-butir soal
dengan domain performan yang terkait.
4) Mengumpulkan data dan menyimpulkan berdasarkan data yang diperoleh
dari proses pencocokan pada langkah (3).
Penilaian validitas isi ini biasanya dilakukan oleh para pakar, sperti yang
dikemukakan oleh Budiyono (2003:59) beikut:
Penilaian apakah instrument mempunyai validitas ini yang tinggi biasanya
dilakukan melalui ekspert judgment (penilaian yang dilakukan oleh para
pakar atau validator). Dalam hal ini para penilai (yang sering disebut
subject-matter ekspert), menilai apakah kisi-kisi yang dibuat oleh
pengembang tes telah menunjukan bahwa klasifikasi kisi-kisi telah
mewakili isi (substansi) yang akan diukur.
b.Uji reliabilitas
Dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengukuran tersebut dapat
memberikan hasil relative tidak berbeda bila dilakukan kembali pada subjek yang
sama pada waktu yang berbeda. Untuk mengetahui tingkat reliabilitas
menggunakan teknik kuder-richardson biasa disebut dengan KR-20 (digunakan
untuk mencari reliabilitas yang skornya bukan 1 atau 0) yaitu sebagai berikut:

𝑛 𝑠𝑡 2 − ∑ 𝑝𝑖 𝑞𝑖
𝑟11= ( )( )
𝑛−1 𝑠𝑡 2

Dengan:
𝑟11 = indeks reliabilitas instrument
n = banyaknya butir instrument
𝑝𝑖 = proporsi subjek yang menjawab benar pada butir ke- i
𝑞𝑖 =1 - 𝑝𝑖 , i=1,2…,n
𝑠𝑡 2 = variasi total
Adapun instrument dikatakan reliable jika 𝑟11 ≥0,7
(Budiyono, 2003:69)
c .Tingkat kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang mempunyai tingkat kesukaran
yangmemadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Untuk
𝐵
menentukan tingkat kesukaran tiap-tiap butir tes digunakan rumus: P = 𝐽
𝑖
Dengan:
P = indeks kesukaran
B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar tiap butir soal
𝐽𝑖 = banyaknya peserta tes yang memberi jawaban
Dalam penelitian ini soal dianggap baik jika 0,30 ≤ 𝑝 ≤ 0,70
(Suharsimi Arikunto, 1998:208)
d. Daya pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
Daya pembeda masing-masing butir dilihat dari korelasi antar skor masing-masing
butir soal dilihat dari korelasi antar skorbutir-butir soal tersebut dengan skor
totalnya. Daya pembeda menggunakan rumus korelasi momen produk dari Karl
perarson sebagai berikut:
𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥)(∑ 𝑦)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑𝑥 2)(∑ 𝑥)2 (𝑛 ∑𝑌 2−(∑ 𝑌)2 )
Dengan :
𝑟𝑥𝑦 = indeks daya pembeda untuk butir tes ke-i
n = banyak subjek yang dikenai tes
X = skor butir ke- i
Y = skor total
Dalam penelitian ini soal tes dikatakan mempunyai daya pembeda yang baik jika
=𝑟𝑥≥ 0,3
(Budiyono, 2003:65)
2) Ujicoba Angket
a. validitas Isi
validitas dari suatu instrument biasanya dinilai oleh para pakar (Budiyono,
2003:65). Sehingga validitas dari instrument yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan oleh para pakar.
b.Reliabilitas Angket
uji reliabilitas angket digunakan rumus Alpha. Adapun rumus Alpha adalah
sebagai beikut:
∑𝑠𝑡 2
𝑟11 = 𝑛 (1 − )
𝑛−1 𝑠𝑡2
Dengan:
𝑟11 = indeks reliabilitas instrument
n = banyaknya butir instrument
𝑆𝑡 2 = variasi butir ke –i , i = 1,2….,n
𝑆𝑡 2 = variansi skor total yang diperoleh subjek ujicoba
Adapun suatu instrument dikatakan reliable jika 𝑟11≥ 0,7
(Budiyono, 2003: 70)
c. Konsistensi Internal
Untuk mengetahui korelasi butir soal angket digunakanrumus korelasi momen
produk dari Karl pearson sebagai berikut :

𝑛 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑋)2 )(𝑛 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2 )
Dengan:
𝑟𝑥𝑦 = indeks konsistensi internal untuk butir angket ke- i
n = banyak subjek yang dikenai angket
X = skor butir ke-i
Y = skor total (dari subjek ujicoba)
(Budiyono, 2003: 65)
F. Teknik Analisis Data
Setelah data diperoleh dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan
selanjutnya adalah pengujian terhadap data tersebut. Adapun pengujian data
adalah sebagai berikut :
Pada awal penelitian dilakukan uji keseimbangan dengan menggunakan
analisis uji t, dengan terlebih dahulu dilakukan uji pra syarat keseimbangan yaitu
uji normalitas dan uji Homogenitas nilai awal. Selanjutnya pada nilai hasil
penelitian dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas
baru kemudian dilakukan uji hipotesis dengan analisis variansi dua jalan dengan
sel tak sama. Setelah dilakukan uji Hipotesis, bila perlu dilakukan juga uji lanut
pasca anava dengan melakukan uji komparasi ganda.
1. Uji keseimbangan
Uji keseimbangan dilakukan pada saat ke dua kelompok belum dikenai
perlakuan bertujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok tersebut dalam
keadaan seimbang. Secara statistik untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan rataan yang berarti dari dua sampel yang independen. Sebelum
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk membuktikan bahwa smpel berasal dari
populasi yang berdistribus normal. Seperti dikemukakan Budiyon0
(2009:168) bahwa semua penggunaan uji statistik mengenai beda rerata dan
uji statistik lain menyaratkan sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Pada penelitian ini untuk uji normalitas menggunakan
metode Liliefors, yaitu:
1) Hipotesis
𝐻𝑜 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
𝐻1 : sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal
2) Taraf signifikan 𝛼 = 0,05
3) Statistik Uji
𝐿 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹(𝑧𝑖 ) − 𝑠(𝑧𝑖 )|
Dengan :
L = koefesien Liliefors dari pengamatan
𝐹(𝑍𝑖 ) = 𝑃(𝑍 ≤ 𝑧𝑖 ); 𝑍~𝑁(0,1)
𝑠(𝑧𝑖 ) = proporsi cacah 𝑍 ≤ 𝑧𝑖 terhadap seluruh cacah 𝑧𝑖
𝑋𝑖−𝑋
̅
𝑧𝑖= 𝑆
Keterangan :
𝑋𝑖 = skor ke-i
𝑥̅ = rataan sampel
𝑠 = variansi sampel
4) Daerah kritik
DK = {𝐿|𝐿 > 𝐿𝛼:𝑛 }yang diperoleh dari table liliefors pada tingkat
signifikansi dan derajat kebebasan n (dengan n : ukuran sampel)
5) Keputusan uji
a. Jika 𝐿 > 𝐿𝛼 maka 𝐻0 ditolak
b. Jika 𝐿 ≤ 𝐿𝛼 maka 𝐻0 diterima
6) Kesimpulan
a. Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal jika 𝐻0 diterima
b. Sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal 𝐻0 ditolak
(Budiyono, 2000:169)

b.Uji homogenitas
uji ini digunakan untuk mengetahui apakah populasi penelitian mempunyai
variansi yang sama atau tidak. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan statistic uji
yang akan digunakan dalam uji keseimbangan. Prosedur uji homogenitas populasi
dengan uji Barlett sebagai berikut:
1) Hipotesis
𝐻0 : 𝜎12 = 𝜎22 (variansi populasi homogen)
𝐻1 : tidak semua variansi sama
2) Taraf signifikan 𝜎 = 0.05
3) Statistik uji
2,303
𝑥2 = [𝑓 log 𝑅𝐾𝐺 − ∑ 𝑓𝑗 log 𝑠𝑗2 ]
𝑐
Dengan:
𝑥 2 ~𝑥 2 (k-1)
𝑘 = 2 untuk pendekatan pembelajaran
𝑘 = 3 untuk kemampuan pemecahan masalah
𝑓 = derajat kebebasan untuk RKG = 𝑁 − 𝑘
𝑓𝑗 = 𝑛𝑗 −1= derajat bebas untuk 𝑠𝑗2 ; 𝑗 = 1,2
𝑁 = banyaknya seluruh nilai (ukuran)
𝑛𝑗 = banyaknya nilai (ukuran) sampel ke-j = ukuran sampel ke-j
1 1 1
c = 1 + 3(𝑘−1) [∑ 𝑓 − 𝑗 ]
𝑗
∑ 𝑆𝑆𝑗
RKG = ∑ 𝑓𝑗
(∑ 𝑋)2
𝑆𝑆𝑗 = ∑ 𝑋𝑗2 − 𝑛𝑗
4) Daerah kritik
2
𝐷𝐾 = {𝑥 2 |𝑥 2 > 𝑥𝛼(𝑘−1) }

5) Keputusan uji
𝐻0 ditolak jika 𝑥 2 ∈ 𝐷𝐾 atau diterima jika 𝑥 2 ∉ DK
6) Kesimpulan
1) Populasi-populasi homogen jika 𝐻0 diterima
2) Populasi-populasi tidak homogeny jika 𝐻0 ditolak
(Budiyono, 2000:176-177)

Langkah-langkah dalam uji keseimbangan adalah sebagai berikut:


a. Hipotesis
𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2 (kedua kelompok memiliki kemampuan awal sama )
𝐻0 : 𝜇1 ≠ 𝜇2 (kedua kelompok memiliki kemampuan awal berbeda)
b. Taraf signifikansi 𝛼 = 0,05
c. Statistic uji yang digunakan:
1) Untuk populasi-populasi normal dan independen yang mempunyai
variasi yang sama digunakan statistic uji sebagai berikut:

̅̅̅̅
𝑋1 − 𝑥̅ 2
𝑡= ~𝑡(𝑛1 + 𝑛2 − 2)
𝑆 1 1
𝑝√ +
𝑛1 𝑛2
(𝑛1 −1)𝑠1 2 + (𝑛2 +1)𝑠1 2
𝑠𝑝 = √ 𝑛1 + 𝑛2 −2
2) Untuk populasi –populasi normal dan independen yang mempunyai
variansi yang berbeda digunakan statistic uji sebagai berikut:

𝑥̅ 1 − 𝑥̅ 2
t= 𝑠 2 𝑠 2
√ 1 + 2
𝑛1 𝑛2
2
(𝑠1 2 /𝑛1 + 𝑠 2 /𝑛 )
2 2
v= 2 2
(𝑠1 2 ) (𝑠 2 /𝑛2 )
+ 2
𝑛1 −1 𝑛2 −1

dengan:
t = t observasi
𝑥̅ 2 = rataan dari sampel kelompok kontrol
𝑥̅ 2 = rataan dari sampel kelompok ekperimen
𝑛1 = ukuran sampel kelompok eksperimen
𝑛2 = ukuran sampel kelompok kontrol
𝑠1 2 = variansi kelompok eksperimen
𝑠2 2 = variansi kelompok kontrol

a. Daerah kritik
𝐷𝐾 = {𝑡|𝑡 < 𝑡𝛼 , 𝑛1 + 𝑛2 − 2}atau 𝑡 > 𝑡𝛼 , 𝑛1 +𝑛2
2 2
−2
b. Keputusan uji
𝐻0 ditolak jika 𝑡 ∈ 𝐷𝐾

c. Kesimpulan
1) Kedua kelompok memiliki kemampuan awal sama jika 𝐻0
diterima
2) Kedua kelompok memiliki kemampuan awal berbeda jika 𝐻0
ditolak

(budiyono,
2009; 151)

2. Uji hipotesis
Menurut Budiyono (2009;185) , pada analisis variansi diprasyaratkan
dipenuhinya bahwa setiap populasi berdistribus normal(sifat normalitas
variansi) dan populasi-populasi mempunyai variansi yang sama (sifat
homogenitas variansi) prosedurnya sama dengan uji normalitas dari
homogenitas nilai awal. Untuk pengujian hipotesis digunakan analisis
variansi dua jalan dengan sel tak sama. Dengan model sebagai berikut:

𝑥𝑖𝑗𝑘 = 𝜇1 +𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + 𝛼𝛽𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘

Dengan :
𝑥𝑖𝑗𝑘 = data amatan ke- k pada baris ke-i dan kolom ke-j
𝜇 = rerata dari seluruh data amatan
𝛼1 = efek baris ke-i pada variabel terikat
𝛽2 = efek baris ke-j pada variabel terikat
𝛼𝛽𝑖𝑗 = kombinasi efek baris ke-I dalam kolom ke-j pada variabel terikat
𝜀𝑖𝑗𝑘 = deviasi data pengamatan terhadap rataan populasi (𝜇𝑖𝑗 ) yang
berdistribusi normal dengan rataan 0.
i = 1,2 ; 1= pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL); 2= pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
j = 1,2,3 ; 1= kecerdasan spiritual tinggi; 2 = kecerdasan spiritual sedang; 3 =
kecerdasan spiritual rendah.
k = 1,2,3,…𝑛𝑖𝑗 ; 𝑛𝑖𝑗 : cacah pengamatan pada sel ij
prosedur penilaian mengguanakan analisis variansi dua jalur:
a. Hipotesis

1) 𝐻0𝐴 : 𝛼1 = 0 untuk setiap i = 1,2,3


𝐻1𝐴 : paling sedikit ada satu 𝛼1 yang tidak 0

2) 𝐻0𝐵 : 𝛽𝑗 = 0 untuk setiap j = 1,2,3


𝐻1𝐵 = paling sedukit ada satu 𝛽1 yang tidak 0
3) 𝐻0𝐴𝐵 : (𝛼𝛽)𝜈 = 0 untuk setiap i= 1,2,3 dan j = 1,2,3
𝐻1𝐴𝐵 = paling sedikit ada satu (𝛼𝛽)𝜈 yang tidak 0

b. Komputasi
1) Menghitung komponen jumlah kuadrat

𝐺2
(1) = 𝑝𝑞

(2) = ∑𝑖𝑗 𝑠𝑠𝑖𝑗


𝐴𝑖 2
(3) = ∑𝑖 𝑞
𝐵𝑗 2
(4) = ∑𝑗 𝑝
2
̅̅̅̅ )𝜈
(5) = ∑𝑖,𝑗(𝐴𝐵
Dengan :
N = jumlah pengamatan semua sel
𝐺 2 = kuadrat jumlah rerata pengamatan semua sel
𝐴𝑖 2 = jumlah kuadrat rerata pengamatan pada baris ke- i
𝐵𝑗 2 = jumlah kuadrat rerata pengamatan pada kolom ke- j
𝐴𝐵𝑗 2 = jumlah kuadrat rerata pengamatan pada sel ij
2) Jumlah kuadrat

JKA = 𝑛̅ℎ {(3) − (1)}


JKB = 𝑛̅ℎ {(4) − (1)}
JKAB = 𝑛̅ℎ {(1) + (5) − (3) − (4)}
JKG = (2)
JKT = JKA + JKB + JKAB + JKG
3) Derajat kebebasan

dka = p – 1
dkb = q – 1
dkAB = (p - 1) (q - 1)
dkG = N – pq
dkT = N – 1

4) Rataan quadrat
Berdasarkan jumlah kuadrat dan derajat kebebasan masing-masing
diperoleh rataan kuadrat berikut ini:
𝐽𝐾𝐴
RKA = 𝑑𝑘𝐴
𝐽𝐾𝐵
RKB = 𝑑𝑘𝐵
𝐽𝐾𝐴𝐵
RKAB =
𝑑𝑘𝐴𝐵
𝐽𝐾𝐺
RKG = 𝑑𝑘𝐺
c. Statistik uji
𝑅𝐾𝐴
a) Untuk 𝐻0𝐴 adalah 𝐹𝑎 = 𝑅𝐾𝐺
𝑅𝐾𝐵
b) Untuk 𝐻0𝐵 adalah 𝐹𝑏 = 𝑅𝐾𝐺
𝑅𝐾𝐴𝐵
c) Untuk 𝐻0𝐴𝐵 adalah 𝐹𝑎𝑏 = 𝑅𝐾𝐺
Dengan :
𝐽𝐾𝐴 𝐽𝐾𝐴
RKA = 𝑑𝑘𝐴 = 𝑝−1
𝐽𝐾𝐴𝐵 𝐽𝐾𝐴𝐵
RKB = 𝑑𝑘𝐴𝐵 = (𝑃−1)(𝑞−1)
𝐽𝐾𝐺 𝐽𝐾𝐺
RKAB = 𝑑𝑘𝐺 = 𝑝𝑞 (𝑛−1)
d. Daerah kritik (DK)
𝐹𝑎 = {𝐹|𝐹 > 𝐹𝛼 ; 𝑝 − 1, 𝑁 − 𝑝𝑞}

𝐹𝑏 = {𝐹|𝐹 > 𝐹𝑎 ; 𝑞 − 1, 𝑁 − 𝑝𝑞}


𝐹𝑎𝑏 = {𝐹|𝐹 > 𝐹𝑎 ; (𝑝 − 1)(𝑞 − 1), 𝑁 − 𝑝𝑞}

e. Keputusan uji
𝐻0 ditolak apabila 𝐹𝑜𝑏𝑠 ∈ DK
f. Rumusan analisis
Table 3.4
Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel tak Sama

Sumber JK Dk RK 𝐹0𝑏𝑠 Keputusan uji


A (baris) JKA p-1 RKA 𝐹𝑎 𝐻0 diterima/𝐻0 ditolak
B (kolom) JKB q-1 RKB 𝐹𝑏 𝐻0 diterima/𝐻0 ditolak
AB (interaksi) JKAB (p-1)(q-1) RKAB 𝐹𝑎𝑏 𝐻0 diterima/𝐻0 ditolak
G (Galat) JKG (N-pq) RKG - -
Total JKT N-1 - - -

Keterangan untuk N > 120, 𝐹𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 dicari menggunakan software minitab


agar perhitungan lebih akurat
(Budiyono, 2000:201-
208)
3. Uji komparasi ganda
Komparasi ganda adalah tindak lanjut dari analisis variansi apabila analisi variansi
tersebut menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak. Untuk uji lanjutan setelah
analisis variabel digunakan metode Scheffe. Langkah-langkah dalam menentukan
metode Scheffe:
a. Mengidentifikasikan semua pasangan komparasi rataan dan merumuskan
hipotesis yang bersesuaian dengan komparasi tersebut.
b. Menentukan tingkat signifikansi
c. Mencari harga statistic uji F dengan rumus sebagai berikut:
1) Untuk komparasi rataan antar baris ke-i dan ke-j
Jika 𝐻0𝐴 pada uji hipotesis ditolak sehingga ada perbedaan efek antar
baris maka tidak perlu dilakukan uji lanjut pasca anava karena hanya
mempunyai 2 nilai ( pendekatan Contextual Teaching and Learning dan
pendekatan Realistic Mathematic education). Dengan demikian cukup
membandingkan rataan marginal diantara keduanya.
2) Untuk komparasi rataan antar kolom ke-i dan ke-j
Jika 𝐻0𝐴 pada uji hipotesis ditolak sehingga ada perbedaan efek antar
kolom maka dilakukan uji lanjut pasca anava yaitu uji komparasi antar
kolom . metode yang digunakan adalah uji Scheffe:
̅ 0j )2
̅ 0i − X
(X
Foi−0j = 1 1
RKG( + )
n01 n0j

dengan :
Foi−0j = nilai 𝐹𝑜𝑏𝑠 pada perbandingan kolom ke-i dan kolom ke-j
̅̅̅̅
𝑋 𝑜𝑖 = rataan pada kolom ke- i
̅̅̅̅
𝑋 𝑜𝑗 = rataan pada kolom ke- j

RKJ = rataan kuasrat galat dari perhitungan analisis variansi

𝑛0𝑖 = ukuran sampel kolom ke- i

𝑛0𝑗 = ukuran sampel kolom ke- j

3) Untuk komparasi rataan antar sel ij dan sel kj


2
̅̅̅̅
(𝑋 𝑖𝑗 − ̅̅̅̅̅
𝑋𝑘𝑗 )
𝐹𝑖𝑗−𝑘𝑗 = 1 1
𝑅𝐾𝐺( + )
𝑛𝑗 𝑛𝑘𝑗

Dengan :

𝐹𝑖𝑗−𝑘𝑗 = nilai 𝐹𝑜𝑏𝑠 pada perbandingan rataan pada sel ij dan rataan pada sel
kj

̅̅̅̅
𝑋𝑖𝑗 = rataan pada sel ke kj

𝑅𝐾𝐺 = rataan kuadrat galat perhitungan analisis variansi

𝑛𝑖𝑗 = ukuran sel ij

𝑛𝑘𝑗 = ukuran sel kj

4) Untuk komparasi rataan antar sel ij dan sel ik


2
̅̅̅̅
(𝑋 𝑖𝑗 − 𝑋𝑖𝑘 )
𝐹𝑖𝑗−𝑖𝑘 = 1 1
𝑅𝐾𝐺( + )
𝑛𝑦 𝑛𝑖𝑘
𝐹𝑖𝑗−𝑖𝑘 = nilai 𝐹𝑜𝑏𝑠 pada perbandingan rataan pada sel ij dan rataan pada sel
ik

̅̅̅̅
𝑋𝑖𝑗 = rataan pada sel ke ij

̅̅̅̅
𝑋𝑖𝑘 = rataan pada sel ik

𝑅𝐾𝐺 = rataan kuadrat galat perhitungan analisis variansi

𝑛𝑖𝑗 = ukuran sel ij

𝑛𝑖𝑘 = ukuran sel ik

d. Menentukan tingkat signifikansi (𝛼)


e. Menentukan daerah kritik (DK)

𝐷𝐾.𝑖−.𝑗= {𝐹 |𝐹 > (𝑝 − 1)𝐹 , 𝑝𝑞 − 1, 𝑁 − 𝑝𝑞 }


𝛼

𝐷𝐾𝑖𝑗−𝑘𝑗 = {𝐹|𝐹 > (𝑝𝑞 − 1)𝐹𝛼,𝑝𝑞−1,𝑁−𝑝𝑞 }

𝐷𝐾𝑖𝑗−𝑖𝑘 = {𝐹|𝐹 > (𝑝𝑞 − 1)𝐹𝛼−,𝑝𝑞.𝑁−𝑝𝑞 }

f. Menentukan keputusan uji (beda rerata) untuk setiap pasangan komparasi


rerata
g. Menyusun rangkuman analisis (komparasi ganda)
(Budiyono, 2009 : 215-217)

Anda mungkin juga menyukai