Anda di halaman 1dari 20

TUGAS SEMINAR PEMASARAN

“When Showrooming Increases Retail Profit”

DISUSUN OLEH :
Emeralda Houdini 130216022
Adita ramadhani 130216179
Hasbi nur agusti 130216220
Irfan galih R. 130216230
Dara genvil aldania H. 130216238

FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMIKA


UNIVERSITAS SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Jurnal “When Showrooming Increases Retailer Profit” mencoba menjelaskan


bagaimana fenomena yang terjadi ketika Showrooming yang seharusnya dapat
merugikan retailer sebaliknya dapat meningkatkan keuntungan retailer. Showrooming
adalah fenomena dimana seorang konsumen datang ke toko “brick and store” atau
BM (toko offline) hanya untuk mencari informasi mengenai produk, tetapi tidak
melakukan pembelian di toko retail tersebut, namun melakukan pembelian melalui
toko online untuk mencari harga yang lebih murah. Berdasarkan laporan Accenture
73% responden survey mengatakan bahwa mereka pernah melakukan showrooming.
Laporan lain dari SecureNet mengatakan bahwa 55% konsumen pernah
menggunakan gadget ketika berada didalam toko retail untuk mencari informasi
sebuah produk. 21% konsumen melakukan pembelian online untuk produk yang
sama seperti di retail. Menurut teori Balakrishnan (2014), Jing (2016), Mehra et al
(2017), Jing (2017) mengenai Showrooming, selalu mengatakan bahwa showrooming
merugikan toko retail/offline. Tetapi yang seringkali tidak diperhitungkan adalah
peran perusahaan manufaktur terhadap showrooming. Karena perusahaan manufaktur
tidak dapat memberikan layanan informasi kepada konsumen, maka retail memiliki
peran sebagai penyalur informasi kepada konsumen, karena di beberapa kategori
produk, interaksi langsung dengan produk sangatlah penting. Konsumen melakukan
showrooming karena mereka membutuhkan informasi lebih mengenai suatu produk,
karena mereka kurang yakin dengan fitur dari produk, seperti ukuran, kualitas bahan,
dan kecocokan produk secara umum. Jika perusahaan manufaktur tidak menyediakan
barang secara offline, maka ekpektasi konsumen terhadap produk tersebut akan
menurun. Keenggangan konsumen untuk membeli sebuah produk tanpa melakukan
pemeriksaan secara fisik di beberapa kategori produk mengindikasikan bahwa
layanan yang diberikan retail sangat berharga bagi perusahaan manufaktur. Sebagai
contoh, perusahaan manufaktur mobil memberikan insentif kepada dealer mobil
untuk menyediakan test drive produknya kepada konsumen. Contoh kasus yang ada
di jurnal adalah GM (General Motors) menawarkan insentif sebesar $5000 kepada
dealer yang menambahkan layanan test drive untuk mobil ELR Cadillac.

1.1 FENOMENA

Fenomena 1

Di toko retail yang menjual produk produk kecantikan (makeup) banyak


konsumen yang hanya datang ke toko tersebut untuk mencari informasi dan mencoba
produk baru. Informasi yang dicari biasanya adalah tekstur, warna, dan kualitas dari
produk tersebut. Setelah merasa cocok dengan produk yang telah dicoba, konsumen
akan membandingkan harga yang ada di toko retail dengan harga online. Seringkali
ditemukan bahwa harga produk yang dijual secara online cenderung lebih murah
dibandingkan harga retail.
Fenomena 2

Fenomena ini terjadi untuk konsumen yang ingin membeli smartphone.


Sebagai contoh iBox merupakan toko retail yang menjual jajaran produk Apple. Di
toko tersebut, sales iBox memberikan layanan berupa pemberian informasi secara
mendetail mengenai produk yang dicari oleh konsumen seperti iPhone dengan model
terbaru. Selain informasi secara mendetail, karena harga produk Apple yang cukup
mahal, konsumen juga perlu berinteraksi secara langsung dengan produknya, untuk
menentukan apakah produk yang ingin dibelinya sudah sesuai dengan apa yang ia
butuhkan
Fenomena 3

Seringkali konsumen ingin membeli sepatu melalui online shop namun


konsumen ragu dengan ukuran yang akan dibeli. Contohnya pada merk sepatu vans
dengan converse, ukuran sepatu 40 pada vans berbeda dengan ukuran 40 pada
converse , dengan begitu kebanyakan konsumen datang ke toko retail hanya untuk
mencoba dari segi ukuran dan membandingkan harga antara toko retail dan online
Reasech gap

Research gap yang kami temukan di penelitian ini adalah kontradiksi antara
hasil penelitian penelitian sebelumnya. Sebagian besar penelitian yang membahas
topik ini mengatakan bahwa fenomena showrooming akan merugikan toko retail
(Brick and Mortar). Namun, yang sering dilewatkan oleh penelitian sebelumnya
adalah bagaimana peran produsen dalam fenomena showrooming. Retail masih bisa
menarik keuntungan dari fenomena showrooming jika produsen mau memberikan
insentif kepada retail karena telah menyediakan layanan yang hanya bisa didapatkan
melalui toko retail. Wu et al. (2004) mengatakan bahwa menyediakan layanan di toko
retail bisa memberikan competitive advantage dan keuntungan yang lebih tinggi. Shin
(2007) berpendapat bahwa fenomena free-riding dapat menguntukan kedua pihak
dengan cara mengurangi kompetisi harga.
BAB II

DASAR TEORI

Showrooming

showrooming merupakan perilaku pelanggan dengan pembeli menggunjungi


toko hanya untuk memeriksa barang dengan cara pribadi sebelum membeli barang
secara online, pada jurnal kami membahas tentang implikasi yang terjadi
showrooming terhadap toko retail. Menurut Balakrishnan et al. (2014) an lyze
dimana kesetimpangan konsumen terlibat melakukan kegiatan showrooming :Jing
(2017) yang menunjukkan bahwah showrooming tidak hanya menguntungkan toko
online saja namun dapat meneingkatkan kompetisi , dalam hal tersebut Mehra et al.
(2017) mempertimbangkan beberapa strategi yang dapat menyaingin terjadinya
perilaku konsumen terhadap showrooming yaitu pencocokan harga yang di anggapt
strategi jangka pendek dan membuat produk menjadi lebih bagus untuk membuat
strategi jangka panjang tetapi menurut chen et al (2001) jaminan penyesuaian harga
dapat meningkatkan persaingan yang intensif dan berkurangnya laba. Dengan begitu
dari ke-4 teory yang digunakan di atas , tetap saja showrooming sama-sama
merugikan toko retail dalam persaingan harga

Service Retail

seperti yang kita tau toko retail offline selalu memberikan layanan terhadap
konsumen, yang dimana tidak bisa di berikan oleh wholsale atau pabrik kepada
konsumen. Disini merupakan peran retail dalam memberikan layanan, baik informasi
produk, kegunaan produk, dan segala hal mengenai produk. Menurut Jeuland and
shugan (1983) dimana mempertimbangkan tentang layanan yang diberikan retail
dibawah dari ketentuan dan kemampuan dalam memenuhi kontrak untuk
memberikan insentif dalam meningkatkan layanan . menurut Jeuland and Shugan
1983, Mathewson and Winter 1984) produsen dapat memeberikan harga rendah di
bawah harga grosir , namun menurut (Lal 1990, Shaffer 1991, Desai 1997) pabrik
atau wholsale memberikan uang saku kepada toko retail, memberikan insentif kepada
toko retail, menjaga harga wholsale, dan membuat kontrak terhadap toko retail dalam
meningkatkan layanan yang di berikan dengan cara mencapai target yang sudah
disepakati. Menurut Shin 2007, Kuksov and Lin 2010, Gu and Xie 2013) dengan
memberikan layanan yang berbeda dan informasi yang di inginkan konsumen maka
akan meningkatkan perbedaan dan kompetisi dari toko offline retail dan toko online.

Efek Internet

Berkembangnya online marketplace adalah salah satu faktor terbesar dari


penelitian jurnal ini, maka dari itu peneletian mengenai efek internet, multi-market
(online vs offline) digunakan sebagai acuan. Lal dan Sarvary (1999) menganalisa
kondisi dimana internet dapat menurunkan persaingan, Balasubramanian (1998)
menyelidiki bagaimana direct mail retailing dapat memengaruhi persaingan antara
perusahaan retail tradisional. Biyalogorsky dan Naik (2003) mempelajari bagaimana
efek penjualan online terhadap bisnis offline, Liu et al (2006) melihat bagaimana
ekspansi ke bisnis online dapat mengurangi profit dari toko brick and mortar (BM),
kecuali jika BM memiliki harga yang berbeda antara online dan offline. Gu dan Tayi
(2017) mempelajari bagaimana penyusunan barang yang dilakukan oleh retailer
online dan offline dapat dipengaruhi oleh pencarian informasi oleh konsumen.
BAB III

METODOLOGI RISET

1. 5 proposisi
2. Proposisi 1: Saat showrooming diizinkan
Proposisi 2: Efek showrooming terhadap keuntungan pengecer
Proposisi 3: Kemampuan konsumen untuk showroom dapat meningkatkan
laba keseimbangan pengecer ketika k tidak terlalu besar dan r berada dalam
kisaran menengah.
Proposisi 4: Ketika deteksi pabrikan adalah endogen dan k ≤ 1 32,
kemampuan konsumen untuk showroom meningkatkan keuntungan pengecer
Proposisi 5: perbedaan retail dengan
BAB V

HASIL PENELITIAN

4.1 Pengembangan proposisi 1 : Saat showrooming diizinkan.

(i) Keuntungan pengecer memiliki bentuk terbalik-U pada k dan r.

(ii) Baik keuntungan pabrik maupun total industri benar-benar berkurang dalam biaya
layanan k dan peningkatan dalam deteksi tingkat layanan r.

Gambar dibawah menggambarkan bagaimana pengecer, pabrikan dan


keuntungan total industri bergantung pada k dan r ketika konsumen dapat melakukan
showroom. Keuntungan pengecer meningkat dalam r dan k ketika nilai mereka
rendah. Intuisi untuk ketergantungan seperti itu pada r adalah kemampuan produsen
untuk mendeteksi tingkat layanan aktual.

Dua gambar tersebut memiliki efek pada sisi keuntungan dari pengecer. Di
satu sisi, dapat meningkatkan insentif produsen untuk mendorong tingkat layanan
yang lebih tinggi, yang memberikan peluang bagi pengecer untuk mencapai
keuntungan dari kompensasi karena deteksi tidak sempurna. Di sisi lain, seiring
dengan meningkatnya deteksi, pabrikan dapat mendorong tingkat layanan yang lebih
tinggi secara lebih efisien, mengurangi sewa informasi pengecer. Dengan demikian
dari sudut pandang pengecer, tingkat deteksi optimal berada dalam kisaran
menengah. Intuisi untuk efek k pada keuntungan pengecer adalah bahwa sampai titik
tertentu, pabrikan memilih untuk memberikan insentif yang cukup untuk menetapkan
tingkat layanan maksimal. Insentif ini harus lebih besar ketika k lebih tinggi.

4.2 Pengembangan proposisi 2: efek showrooming terhadap keuntungan


pengecer

(i) Kontribusi showrooming terhadap keseimbangan laba pengecer BM meningkat


dalam r jika r kecil dan penurunan r jika r besar. Ini meningkat dalam k untuk r besar.

(ii) Kontribusi showrooming terhadap laba pabrikan ekuilibrium meningkat di r.

Gambar dibawah ini mengilustrasikan bagaimana kontribusi keseimbangan


showrooming ke pengecer, produsen, dan laba industri bergantung pada k dan r untuk
beberapa nilai parameter:
Efek showrooming pada laba pengecer adalah bahwa kemampuan konsumen
untuk showroom menunjukan bahwa pengecer tidak dapat mencapai profitabilitas
melalui margin. Ini menjadi kurang penting ketika layanan mahal seperti dalam kasus
itu, profitabilitas pengecer berasal dari kompensasi pabrikan untuk layanan. Selain
itu, mengandalkan kompensasi langsung lebih bermanfaat bagi pengecer ketika
deteksi kurang sempurna (yaitu, ketika r kecil), tetapi tentu saja hanya jika produsen
tidak "menyerah" pada layanan penginduksian, yaitu, tidak ketika r terlalu kecil atau
k terlalu besar.

Showrooming dapat menguntungkan produsen karena dapat memecahkan


masalah marginalisasi ganda serta memperluas pasar. Efek k pada perbedaan laba
dengan dan tanpa showrooming dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, ketika k
kecil, mendorong layanan bukan masalah besar dengan atau tanpa showrooming,
tetapi pengurangan masalah penggandaan ganda adalah nilai tambah. Oleh karena itu,
produsen lebih baik dengan showrooming ketika biaya layanan (k) kecil. Dengan
meningkatnya biaya layanan, maka dapat menghasilkan kemampuan yang lebih
rendah untuk memberikan layanan dengan showrooming. Dengan demikian, efek
showrooming menjadi kurang positif. Akhirnya, k → ∞, semua laba cenderung ke nol
dan perbedaannya harus cenderung ke nol juga. Sehingga menurun atau
meningkatnya keuntungan tergantung pada nilai k yang menunjukkan bahwa nilai
tersebut negatif atau tidak. Sehingga dapat dikatakan bahwa showrooming dapat
memberi manfaat bagi produsen, pengecer atau keduanya. Hasil tersebut diperkuat
oleh pengamatan bahwa efek positif showrooming terhadap laba pengecer tidak
selalu datang dengan biaya penurunan laba pabrikan.
4.3 Pengembangan proposisi 3 : Kemampuan konsumen untuk showroom dapat
meningkatkan laba keseimbangan pengecer ketika k tidak terlalu besar dan r
berada dalam kisaran menengah.

ketika k tidak terlalu besar, itu meningkatkan baik peritel dan laba
keseimbangan pabrikan untuk perantara r. Parameter-parameter ini diilustrasikan dan
persamaan yang mendefinisikan batas kurva dilaporkan dalam pada gambar 3
dibawah ini.

Dengan demikian, showrooming selalu menjadi ancaman bagi pengecer,


analisis di atas menunjukkan bahwa ketika keputusan pabrikan ditambahkan ke dalam
pertimbangan (yaitu, ketika kontrak pabrikan-pengecer bersifat endogen),
kemampuan konsumen untuk terlibat dalam showrooming dapat membuat pengecer
menjadi lebih baik. Jika showrooming menguntungkan bagi konsumen, industri yang
terkoordinasi dengan baik harus dapat mengambil keuntungan dari hal itu dan
mencapai profitabilitas yang lebih tinggi secara keseluruhan. Masalahnya terletak
pada alokasi peningkatan laba sehingga koordinasi tercapai dan semua anggota
saluran individu menjadi lebih baik. Seperti yang telah kami tunjukkan, tergantung
pada kondisi pasar, daripada memerangi showrooming, pengecer mungkin lebih baik
mengambil keuntungan dari perannya sebagai penyedia layanan.

Jika pabrikan dapat mendeteksi tingkat layanan pengecer dengan sempurna


(mis., Jika r = 1), pengecer tidak dapat menjadi lebih baik karena showrooming.
Karena dengan showrooming, pengecer tidak dibeda-bedakan dan tidak mendapatkan
kompensasi langsung dari pabrikan, sehingga pengecer tidak mendapatkan
keuntungan. Jadi, jika r = 1, pabrikan dapat memberikan kompensasi langsung tepat
di atas biaya layanan dan keuntungan pengecer adalah nol. Namun, jika pengecer
dibedakan, intuisi ini tidak berlaku lagi seperti yang dibahas di bagian 5.3, pengecer
dapat menjadi lebih baik karena showrooming bahkan ketika r = 1.

4.4 Pengembangan Proposisi 4 : Ketika deteksi pabrikan adalah endogen dan k


≤ 1 32, kemampuan konsumen untuk showroom meningkatkan keuntungan
pengecer

Ketika d kecil, pabrikan memiliki kontrol yang baik atas layanan pengecer
tanpa membayar banyak kompensasi. Dalam hal ini, pengecer dipengaruhi oleh
showrooming, tetapi pabrikan mendapat manfaat dari penghapusan masalah
marginalisasi ganda. Ketika d lebih besar, pabrikan memilih untuk mendeteksi
layanan ritel dengan probabilitas lebih rendah, dikarenakan perlu memberikan
kompensasi yang lebih besar untuk memastikan bahwa tingkat layanan yang
disarankan lebih sering ditawarkan. Akibatnya, pengecer mendapat keuntungan dari
kompensasi yang lebih tinggi.

Saat ini, karena adanya biaya deteksi, setiap kali pengecer lebih baik karena
showrooming. Tetapi batas bawah pada biaya deteksi yang diperlukan untuk
membuat pengecer menjadi lebih baik adalah batas saat pabrikan menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, mempertimbangkan biaya deteksi cembung sebagai fungsi dari
probabilitas deteksi dapat memungkinkan produsen dan pengecer menjadi lebih baik.
Biaya deteksi yang cembung (berlawanan dengan linier) sebenarnya lebih realistis
karena praktis dan lebih mudah untuk diperiksa pada beberapa waktu dalam sehari
daripada yang lain dan karena beberapa komplikasi yang mungkin lebih sulit untuk
mencegah pasti.

4.5 Pengembangan Proposisi 5 :

Ketika retailer online dibedakan, kekuatan konsumen menunjukkan hasil yang


dapat meningkatkan keuntungan dari pengecer, jika perusahaan pengecer hanya
dibatasi oleh harga grosir saja (tidak diizinkan memberi kompensasi untuk layanan
secara langsung). Selain itu, hasil tersebut menunjukkan sangat kuat untuk
memungkinkan pengecer dalam menetapkan harga grosir yaang berbeda untuk
pengecer online. Kemudian selanjutnya memperkecil asumsi biaya pencarian dan
ketidakmampuan dari pengecer online untuk menyediakan beberapa layanan.
Discussion and Conclusion

Dalam makalah ini, kami berpendapat bahwa menyatukan masalah pesaing


baru dengan masalah showrooming tidak selalu dibenarkan. Kebutuhan konsumen
akan ruang pamer adalah alasan penting bagi para pengecer untuk eksis di tempat
pertama dan dapat digunakan sebagai pendorong profitabilitas ritel. Jika pesaing
online tidak dapat memberikan layanan penting, pengecer harus dapat memanfaatkan
keunggulan mereka. Berdasarkan definisi showrooming, masalahnya adalah tentang
konsumen yang membeli secara online produk yang telah mereka identifikasi sebagai
yang terbaik, dan oleh karena itu, ini adalah tentang alokasi penjualan produsen
tertentu. Oleh karena itu, pabrikan adalah penerima manfaat dari meningkatnya
permintaan karena penjualan online dan pada ancaman runtuhnya permintaan jika
pengecer tidak memberikan layanan yang memadai. Pabrikan juga berada dalam
posisi untuk menawarkan kontrak untuk mengoordinasikan persaingan vs layanan
perdagangan. Makalah ini berpendapat bahwa efek dari kemajuan teknologi yang
mengarah ke showrooming dapat mengakibatkan peningkatan profitabilitas pengecer.
Tentu saja, ini hanya berlaku jika showrooming itu penting, tidak jika konsumen
beralih ke pembelian online karena mereka lebih terdidik tentang pasar online dan
tidak memerlukan showroom. Dengan kata lain, walaupun persaingan dari etailers
mungkin buruk untuk pengecer, showrooming itu sendiri mungkin baik {dalam arti
bahwa mencegah showrooming akan semakin mengurangi keuntungan pengecer.

Kebetulan, intuisi yang diformalkan dalam model kami hanya saran di salah
satu esaipress populer merinci berbagai cara untuk berurusan dengan showrooming:
mungkin, sebagai tanggapan terhadap pelanggan yang ingin showroom, pengecer
harus menyediakan layanan nirkabel gratis (yaitu, untuk memfasilitasi
showrooming). 20 Memang, alih-alih menutupi langit-langit dengan jaring untuk
memblokir penerimaan ponsel, banyak pengecer (misalnya, Barnes & Noble, Best
Buy, Macy's, dan Nordstrom) sekarang menyediakan akses internet nirkabel gratis.
Tentu saja, model yang disajikan dalam makalah ini juga menunjukkan kemungkinan
bahwa showrooming dapat merugikan pengecer, dan kemudian mungkin ingin
mempertimbangkan strategi untuk mencegah showrooming, seperti meminta produk
eksklusif dari produsen, membatasi penggunaan ponsel oleh pelanggan di tokonya,
menggabungkan produk-produk umum dengan produk atau layanan unik, dll.
Perhatikan bahwa apakah showrooming diinginkan atau tidak, pengecer mungkin
juga ingin menggunakan strategi yang tidak secara langsung berurusan dengan
showrooming tetapi dirancang untuk mengurangi persaingan, seperti kebingungan
harga (mis. bundel, diskon, atau poin loyalitas) atau pencocokan harga.

Sementara model tertentu membutuhkan banyak asumsi untuk traktabilitas,


kami telah menunjukkan bahwa ide dasarnya kuat untuk sejumlah variasi. Satu
kemungkinan yang tidak kami izinkan adalah etailer untuk membuka lokasi fisik
untuk juga menawarkan layanan showrooming. Misalnya, Amazon membuka
beberapa toko. Kemungkinan ini bisa menarik untuk dipertimbangkan dalam
penelitian masa depan. Pada pandangan pertama, strategi semacam itu bisa tampak
suboptimal: mengapa membuka showroom ketika Anda bisa naik secara gratis ke
pengecer lain? Namun, jika produsen mendorong layanan, etailer juga mungkin
menginginkan sepotong kue itu. Hasilnya kemungkinan akan tergantung pada
bagaimana layanan dari dua pengecer berinteraksi dalam mempengaruhi penilaian
konsumen.

Kemungkinan lain adalah bahwa produsen mungkin ingin membuka


showroom itu sendiri dan menghindari insiensi saluran sama sekali. Misalnya, Tesla
dan Apple terkenal karena membuka showroom ritel. Dalam situasi seperti itu,
pertimbangan dan hasil tulisan ini tidak berlaku. Namun, dalam banyak kategori,
keuntungan dari pengalaman ritel dalam memberikan layanan (dan mungkin,
kredibilitas bantuan penjualan sebagai tenaga penjualan pengecer tampaknya tidak
tampak bagi konsumen yang berpotensi bias seperti pabrikan) dan manfaat dari one-
stop shopping dapat lebih besar daripada manfaat integrasi vertikal. Kami mengamati
secara empiris bahwa saluran distribusi sering kali terdesentralisasi dan tanpa insentif
yang selaras.

Sebagai kesimpulan, kami ingin mengomentari beberapa strategi yang dapat


digunakan pengecer untuk memanfaatkan showroom yang tidak kami pertimbangkan.
Yaitu, menagih pelanggan untuk penggunaan showroom (mis., Biaya masuk), dan
memanfaatkan peningkatan lalu lintas toko dengan menjual produk yang lebih unik
(atau, setidaknya, produk yang tidak nyaman untuk dibeli secara online). Strategi
sebelumnya terdengar menarik, terutama dalam kerangka model yang kami
pertimbangkan, dan memang, itu mungkin berhasil dalam beberapa kasus, tetapi
dalam banyak situasi, konsumen mungkin menghadapi ketidakpastian tentang nilai
kecocokan terbaik yang dapat mereka temukan. Dalam hal ini, jika pengecer memiliki
kendali atas kecocokan terbaik (mis., Ia memilih jumlah produk atau kualitasnya)
atau memiliki informasi yang unggul tentang kemungkinan kecocokan, konsumen
yang dihadapkan dengan biaya masuk dapat mempertimbangkan masalah penahanan.
Dengan kata lain, dalam beberapa situasi, biaya masuk bisa menandakan nilai barang
yang rendah di toko. Di sisi lain, pengecer secara tradisional menggunakan harga
pemimpin kerugian untuk menarik pelanggan. C. Showrooming dapat dilihat sebagai
peluang yang tepat: toko dengan tampilan yang bagus dan konektivitas nirkabel /
internet yang baik dapat menarik pelanggan tanpa kehilangan penjualan produk
kehilangan pemimpin (mis. Toko buku Barnes dan Nobles juga menerima pendapatan
dari penjualan warnet).
Kritik & Saran

Untuk kritik dan saran yang dapat kelompok kami berikan adalah bahwa
penelitian ini tidak bisa di aplikasikan ke semua jenis produk. Sebagai contoh untuk
produk makanan dan minuman, konsumen tidak dapat melakukan showrooming
tetapi tetap bisa membeli produk makanan dan minuman secara online. Sama halnya
dengan produk otomotif seperti mobil dan motor, karena sangat jarang konsumen
membeli mobil atau motor secara online. Selain itu, di jurnal ini hanya menggunakan
proposisi, bukan eksperimen secara langsung. Tidak ada data yang jelas dan cukup
sulit untuk membacanya.

Anda mungkin juga menyukai