BATUGAMPING (LIMESTONE )
OLEH
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah Bahan Galian Non Logam dan Batuan yang berjudul
pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.
phil. Nat. Sri Widodo ST., MT. selaku dosen pengajar mata kuliah Bahan Galian Non
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi peningkatan
penulisan makalah berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
Penulis
i
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
3.1 Kesimpulan................................................................................... 16
ii
DAFTAR GAMBAR
Hal
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari
50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat
kristalin hasil presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986). Bates & Jackson (1987)
mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah
mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari 50 %. Sedangkan batugamping
menurut definisi Reijers &Hsu (1986) adalah batuan yang mengandung kalsium
karbonat hingga 95 %. Sehingga tidak semua batuan karbonat adalah batugamping.
Ciri utama batuan karbonat adalah batuan yang memiliki material dengan unsur kimia
karbonat ( CO3 ) lebih dari 50%.
Batuan karbonat terbentuk melalui proses biologis, biokimia dan presipitasi
anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan (Scoffin, 1987). Menurut (Pirson,
1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan laut dangkal, dimana pada
lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan material asal daratan. Hal ini
memungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya Koral, Ganggang, Bryozoa, dan
sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut mengandung mineral
aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral Kalsit. Proses pembentukan batuan
karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut relatif dangkal. Hal ini dapat terjadi
bila ada keseimbangan antara pertumbuhan organisme dan penurunan dasar laut
tempat terbentuknya batuan tersebut, sehingga dapat menghasilkan batuan karbonat
yang tebal.
Batugamping adalah batuan sedimen yang utamanya tersusun oleh kalsium
disebut juga dengan istilah batu kapur, sedangkan istilah luarnya biasa disebut
yang terbentuk dari akumulasi cangkang, karang, alga, dan pecahan-pecahan sisa
1
organisme. Batugamping juga dapat menjadi batuan sedimen kimia yang terbentuk
oleh pengendapan kalsium karbonat dari air danau ataupun air laut.
mengandung setidaknya 50% berat kalsium karbonat dalam bentuk mineral kalsit.
mineral lempung, pirit, siderit dan mineral-mineral lainnya. Bahkan Batugamping juga
dapat mengandung nodul besar rijang, nodul pirit ataupun nodul siderit.
Pada makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai Batugamping mulai dari
2
BAB II
Batuan karbonat merupakan salah satu jenis batuan sedimen non silisiklastik.
Pada batuan ini terkandung fraksi karbonat yang lebih besar jumlahnya daripada
fraksi non karbonat, jumlah fraksi karbonatnya lebih dari 50%. Selama
pembentukannya, batuan karbonat melalui serangkaian proses-proses yang disebut
diagenesa. Dengan kata lain diagenesa adalah perubahan yang terjadi pada sedimen
secara alami, sejak proses pengendapan awal hingga batas (onset) dimana
metamorfisme akan terbentuk. Setelah proses pengendapan berakhir, sedimen
karbonat mengalami proses diagenesa yang dapat menyebabkan perubahan kimiawi
dan mineralogi untuk selanjutnya mengeras menjadi batuan karbonat (Alwin, 2011).
Proses diagnesa sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir
batuan sedimen yang dihasilkannya. Proses diagenesa akan menyebabkan perubahan
material sedimen. Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik, mineralogi dan
kimia. Pada batuan karbonat, diagenesa merupakan proses transformasi menuju
batugamping atau dolomit yang lebih stabil. Faktor yang menentukan karakter akhir
produk diagenesa antara lain :
1. Komposisi sedimen mula-mula
2. Sifat alami fluida interstitial dan pergerakannya
3. Proses kimia dan fisika yang bekerja selama diagenesa
Dengan melihat faktor-faktor tersebut dapat diketahui bahwa batuan karbonat
dengan komposisi utama kalsit akan mengalami proses diagenesa yang berbeda
dibandingkan dengan batuan karbonat yang berkomposisi dominan aragonit maupun
juga dolomit. Lingkungan pelarutan dan lithifikasi yang berbeda, misal di lingkungan air
laut dan air tawar akan menghasilkan batuan yang berbeda. Demikian juga halnya
dengan tekstur semen dan butiran batuan, juga akan bervariasi bergantung pada
tekanan dan temperatur lingkungan diagenesanya (Alwin, 2011).
Lingkungan diagenesa yang berbeda akan memiliki proses kimia dan fisika yang
relatif berbeda pula, sehingga produk diagenesanya pun akan berbeda. Hal inilah yang
3
dapat dijadikan indikator untuk mengetahui lingkungan diagenesa yang bersangkutan.
Ada beberapa lingkungan diagenesa beserta produknya, yaitu:
1. Marine (dicirikan oleh kehadiran semen aragonit, High Mg-Calcite)
2. Lagoon (dicirikan oleh adanya dolomititsasi akibat proses evaporasi)
3. Phreatic (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)
4. Vadose (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)
5. Burial (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan tekanan/pressure solution
4
justru banyak terjadi pada lingkungan darat atau manapun yang ada perkolasi
(rembesan) dari air meteorik (air hujan maupun air tawar). Bentang alam karst
merupakan hasil dari proses pelarutan batuan karbonat. Pembentukkannya
dipengaruhi oleh proses pelarutan yang sangat tinggi di bandingkan dengan batuan di
tempat lainnya dimanapun. Proses pelarutan tersebut umumnya dibarengi dengan
proses-proses lainnya seperti runtuhan, transport dalam bentuk larutan melalui saluran
bawah tanah, juga longsoran dan amblesan dipermukaan. Pelarutan yang terjadi
secara terus menerus, pada akhirnya menciptakan bentukan alam yang sangat
beragam. Proses pelarutan tersebut dapat digambarkan dalam reaksi kimia yaitu :
CaCO3 + CO2+H2O ==> Ca2- + 2HCO3-
(Batugamping) (air hujan) (larutan Batugamping)
Salah satu bentangan Karst yang ada di Indonesia yaitu Kawasan Karst Gunung
Sewu, dimana daerah ini memiliki topografi Karst yang terbentuk oleh proses pelarutan
batuan kapur. Kabupaten Wonogiri merupakan bagian dari bentangan Karst Gunung
Sewu yang dimana daerah ini memiliki topografi karst yang terbentuk oleh proses
pelarutan batuan kapur.
Secara umum, pelarutan karena pergerakan air melewati batuan karbonat akan
melarutkan mineral karbonat yang dilewatinya, maka imbasnya: (1) air akan berubah
kimianya (karena adanya konsentrasi ion karbonat di dalamnya), (2) air akan masuk ke
litologi berbeda atau sebaliknya air datang membawa material ”asing” dari batuan lain
sebelum menerobos karbonat dan membawa sistem baru, (3) perilaku pelarutan
bergantung pada variabel kontrol kelarutannya (misalnya P, T, Eh, PCO2, dll)
(Raymond, 2002).
Pelarutan karbonat lebih intensif terjadi di daerah permukaan, sedangkan hal
sebaliknya terjadi di daerah bawah permukaan. Hal ini disebabkan karena peningkatan
temperatur pada kedalaman cenderung akan menurunkan tingkat kelarutan karbonat.
Kelarutan karbonat akan meningkat di kedalaman atau dimanapun asalkan ada
penambahan gas CO2 dalam air pori (yang bisa saja berasal dari hasil pembusukan
jasad organisme yang tertimbun), maka meskipun temperatur meningkat kalau
terdapat konsentrasi gas CO2 dalam air pori, mineral-mineral karbonat yang ada tetap
akan larut.
5
Gambar 2.2. sayatan batuan karbonat yang memperlihatkan
bentukan akibat proses pelarutan
B. Sementasi (Cementation)
Merupakan proses presipitasi yang terjadi pada saat lubang antar pori batuan
karbonat terisi oleh fluida jenuh karbonat. Dalam proses ini butiran-butiran sedimen
direkat oleh material lain yang terbentuk kemudian, dapat berasal dari air tanah atau
pelarutan mineral-mineral dalam sedimen itu sendiri. Proses ini merupakan proses
diagenetik yang penting untuk semua jenis batuan sedimen, termasuk didalamnya
batuan karbonat. Di lantai laut, sementasi terjadi di air hangat dalam pori dari butiran
ruangan antar butiran karbonat. Di meteoric realm (lingkungan meteorik dimana
pengaruh air yang hadir hanya dari hujan saja) sementasi juga hadir disini, semennya
dominan kalsit. Meskipun kondisi yang mengontrol sementasi pada kedalaman kurang
dipahami pasti, tapi beberapa faktor dapat diketahui mengontrol hal ini. Air pori,
peningkatan temperatur, dan penurunan tekanan parsial dari karbondioksida
merupakan faktor-faktor yang diperlukan untuk presipitasi semen kalsit ini. Pada
proses sementasi ini diperlukan suplai kalsium karbonat secara mutlak. Sifat sementasi
ini berlawanan dengan pelarutan, dimana sementasi membuat mineral semen
(karbonat) terpresipitasi, sementara pelarutan akan merusak struktur mineral yang
telah terbentuk.
C. Dolomitisasi (Dolomitization)
Merupakan proses penggantian mineral-mineral kalsit menjadi dolomit. Dolomit
mempunyai komposisi CaMg(CO3)2 dan secara kristalografi serupa dengan kalsit,
namun lebih besar densitasnya, sukar larut dalam air, dan lebih mudah patah (brittle).
6
Secara umum, dolomit lebih porous dan permeable dibandingkan limestone. Dalam
proses dolomitisasi, kalsit (CaCO3) ditransformasikan menjadi dolomite (CaMg(CO3)2)
menurut reaksi kimia :
2CaCO3 + MgCl3 ==> CaMg(CO3)2 + CaCl2
Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitasi mempunyai porositas yang
lebih besar dari pada batugamping itu sendiri. Dolomitisasi bisa terjadi dilaut dangkal-
campuran fresh dan sea water, tidal flat, di danau, lagoon, dll, apalagi kalau ada
batuan yang mengandung Mg yang dilewati sungai-sungai dan membawanya ke
lingkungan dimana Batugamping berada atau terjadi.
D. Aktivitas Organisme (Microbial Activity)
Aktifitas organisme akan mempercepat atau memacu terjadinya proses
diagenesis lainnya. Organisme yang menyebabkan proses ini merupakan organisme
yang sangat kecil (mikrobia) dimana aktivitas jasad renik sangat berhubungan dengan
proses dekomposisi material organik. Proses dekomposisi material organik akan
mempengaruhi pH air pori sehingga mempercepat terjadinya reaksi kimia dengan
mineral penyusun sedimen. Aktifitas mikrobia antara lain fermentasi, respirasi,
pengurangan nitrat, besi, sulfat dan pembentukan gas metana. Organisme dalam
lingkungan pengendapan karbonat merework sedimen dalam bentuk jejak boring,
burrowing, dan sedimen-ingesting activity (memakan dan mencerna sedimen).
Aktivitas ini akan merusak struktur sedimen yang berkembang pada sedimen karbonat
dan meninggalkan jejak-jejak aktivitasnya saat organisme ini beraktivitas. Kebanyakan
bioturbasi terjadi pada sedikit di bawah permukaan pengendapan, setelah
pengendapan material sedimen dengan kedalaman beberapa puluh sentimeter. Proses
ini akan membentuk kenampakan yang khas pada batuan sedimen yang disebut
struktur sedimen.
Semua jenis organisme kecil macam fungi bakteri, dan alga, membentuk
microboring dalam fragmen skeletal dan butiran karbonat lainnya yang berukuran
besar. Boring dan presipitasi mikrit dapat intensif di lingkungan yang berair hangat
dimana butiran karbonat menjadi berkurang dan terubah menjadi mikrit, proses pada
kondisi ini dikenal sebagai mikritisasi (Boggs, 2006). Di beberapa kasus, aktivitas
organisme ini dapat meningkatkan kompaksi batuan dan biasanya merusak struktur
sedimen yang halus seperti paralel laminasi (Purdy, 1965). Selama proses ini beberapa
organisme melepaskan material presipitasi yang bisa menjadi fase semen dalam
batuan (Raymond, 2002).
7
E. Mechanical Compaction
Merupakan proses diagenesa yang terjadi akibat adanya peningkatan tekanan
overburden. Seperti halnya pada batuan silisiklastik, kompaksi terjadi karena adanya
pembebanan sedimen yang berada diatasnya. Proses kompaksi ini menyebabkan
berkurangnya porositas batuan, karena terjadi juga thining (penipisan) dari bed
(perlapisan batuan) pada kedalaman dangkal. Seiring bertambahnya kedalaman,
tekanan juga akan bertambah, sedangkan porositas karbonat berkurang sampai
setengahnya atau lebih (porositas saat batuan mengendap) sekitar 50-60% pada
kedalaman sekitar 100 m (Boggs, 2006). Proses kompaksi ini terjadi karena adanya
gaya berat/gravitasi dari material-material sedimen yang semakin lama semakin
bertambah sehingga volume akan berkurang dan cairan yang mengisi pori-pori akan
bermigrasi ke atas, menyebabkan hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan juga
air yang dikandung dalam pori terperas keluar. Kompaksi menyebabkan berkurangnya
porositas batuan karena adanya rearangement (penyusunan ulang) dari butiran butiran
yang jarang (tidak bersentuhan) menjadi saling bersentuhan atau makin rapat. Ketika
sedimen pertama kali terendapkan tentu saja berupa material lepas (loose) dan
sifatnya porous (berpori), ketika kompaksi terjadi material lepas ini akan menjadi lebih
rapat dan padat yang otomatis akan mengurangi porositasnya.
Berikut adalah gambaran butiran sedimen karbonat sebelum dan sesudah mengalami
kompaksi:
F. Chemical Compaction
Pada kedalaman burial sekitar 200-1500 m, kompaksi kimia dari sedimen
karbonat dimulai. Tekanan larutan pada kontak antar butiran seperti pada diagenesa
sedimen klastik lainnya akan melarutkan permukaan butiran mineral dan pada
karbonat dapat membentuk kontak bergerigi. Pada skala yang lebih besar pressure
8
solution pada batuan karbonat membentuk pola bergerigi (zig-zag) yang kita kenal
sebagai struktur styolite. Styolite umumnya hadir pada batuan karbonat berbutir halus.
Jadi pressure solution pada batuan karbonat diikuti perkembangan strktur styolite,
mencirikan hilangnya porositas dan thining (penipisan) dari bed (perlapisan batuan).
Pada batuan karbonat terkadang tidak mengalami semua proses diagenesa tersebut,
namun biasanya justru hanya melalui beberapa proses diagenesa saja. Proses
diagnesa ini akan sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir
batuan sedimen yang dihasilkannya
9
ini dikenal sebagai stalaktit. Jika tetesan jatuh ke lantai dan menguap serta
tumbuh/berkembang ke atas (dari lantai gua) depositnya disebut dengan stalakmit.
Batugamping yang membentuk formasi gua ini dikenal sebagai “travertine” dan
masuk dalam kelompok batuan sedimen kimia.
10
Mikrit merupakan matriks yang biasanyaberwarna gelap. Pada batugamping
hadir sebagai butir yang sangat halus. Mikrit memiliki ukuran butir kurang dari 4
mikrometer. Pada studi mikroskop elektron menunjukkan bahwa mikrit tidak
homogen dan menunjukkan adanya ukuran kasar sampai halus dengan batas
antara kristal yang berbentuk planar, melengkung, bergerigi ataupun tidak teratur.
Mikrit dapat mengalami alterasi dan dapat tergantikan oleh mozaik mikrospar yang
kasar (Boggs, 2009).
4. Semen
Semen terdiri dari material halus yang menjadi pengikat antar butiran dan
mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks. Semen dapat
berupa kalsit, silika, oksida besi ataupun sulfat.
11
Gambar 2.4 Klasifikasi batuan karbonat Menurut Embry & Klovan (1971)
13
5. Oolitic Limestone: merupakan sebuah Batugamping yang t erutama tersusun
oleh kalsium karbonat “oolites”, berbentuk bulatan kecil yang terbentuk oleh
hasil presipitasi konsentris kalsium karbonat pada butir pasir atau cangkang
fragmen.
14
Beberapa jenis Batugamping banyak digunakan karena sifat mereka yang kuat
dan padat dengan sejumlah ruang/pori. Sifat fisik ini memungkinkan batugamping
dapat berdiri kokoh walaupun mengalami proses abrasi. Meskipun batugamping tidak
sekeras batuan berkomposisi silikat, namun batugamping lebih mudah untuk
ditambang dan tidak cepat mengakibatkan keausan pada peralatan tambang maupun
crusher (alat pemecah batu).
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian isi makalah, maka kesimpulan yang dapat diambil
adalah:
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Alwin, 2011, Studi Pemanfaatan Batu Gamping, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
Boggs, 2009, Petrology of Sedimentary Rocks, Cambridge University, USA
Endarto Danang, 2005, Pemanfaatan Batu Gamping Sebagai Bahan Baku Pembuatan
Semen, LPP UNS, Surakarta
Folk Rober, 1974, Petrology of Semidentary, Cambridge University, Press, USA
Hamblin, 2012, Pengenalan Geologi Dasar, Erlangga, Jakarta
Raymond, 2002, Klasifikasi Batuan Karbonat, Direktorat Jenderal Pertambangan
Umum, Jakarta.
17