Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Agroforestri di Desa Sumber Agung Ngantang

Dalam prakteknya agrofestri banyak diterpakan di Desa Sumber


Agung Ngantang dengan berbagai macam tegakan dan tanaman
dibawahnya. Dari petani yang kita wawancarai bapak gianto menanam
tanaman tegakan seperti durian, alpukat , kopi, duku, cengkeh, dan andong
dan menanam tanaman non berkayu yakni pisang, dan kelapa. Jika dilihat
dari hasil produksi nya rata rata adalah tanaman yang berbuah contohnya
yakni kopi dengan luas lahan ¼ ha menghasilkan 2 ton kopi. Menurut
Widianto (2003) Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan
petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka
produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan
bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara
kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb. Peningkatan
produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa.

Dalam pengelolaanya Pak Gianto menggunakan pola tanam


campuran dengan jarak yang tidak beraturan, penyiangan, pemangkasan,
pemupukan dengan pupuk anorganik ZA dan Phonska, Pemanfaatan
limbah kopi yang digunakan sebagai pupuk organic, sistem tambal sulam
yaitu pola tanam dengan cara menanam tanaman di daerah/tanah kosong
di sekitar lahan budidaya. Hal tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan
hasil panen untuk meningkatkan perekonomian petani. Menurut Widianto
(2003) Pengelolaan sistem agroforestri cukup kompleks karena merupakan
gabungan antara bidang kajian ilmu kehutanan dengan pertanian dan
bahkan peternakan, serta memadukan usaha kehutanan dengan
pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara
intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Dengan demikian diperlukan
pengetahuan yang cukup rinci mengenai setiap komponen yang terlibat
dalam sistem tersebut. Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan
penerapan agroforestri adalah interaksi antara pohon dengan tanaman
semusim atau dengan pohon lainnya, yang tidak mudah untuk dikaji.

4.2 Klasifikasi Sistem Agroforestry

4.2.1 Berdasarkan Komponen Penyusunnya

Tanaman yang ditanam oleh Pak Gianto yakni tanaman


tegakan seperti durian, alpukat , kopi, duku, cengkeh, dan andong
dan menanam tanaman non berkayu yakni pisang, dan kelapa.
Berdasarkan komponen penyusunannya dapat diklasifikasikan
menjadi Agrisilvikultur (Agrisilvicultural system) karena hanya
terdapat kombinasi antara tanaman berkayu dan tanaman non-
berkayu tanpa adanya kombinasi dengan sistem peternakan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hairiah (2003) Agrisilvikultur adalah
kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan,
perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian atau
Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara
sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam
satu sistem (pohon, tanaman dan/atau ternak) membuat sistem ini
memiliki karakteristik yang unik dalam hal jenis produk, waktu untuk
memperoleh produk dan orientasi penggunaan produk. Karakteristik
agroforestri yang sedemikian ini sangat mempengaruhi fungsi sosial-
ekonomi dari sistem agroforestri. Jenis produk yang dihasilkan sistem
agroforestri sangat beragam, yang bisa dibagi menjadi dua
kelompok. Kelompok yang pertama adalah produk untuk komersial
misalnya bahan pangan, buah-buahan, hijauan makanan ternak,
kayu bangunan, kayu bakar, daun, kulit, getah, dan lain-lain, dan
kelompok yang kedua adalah pelayanan jasa lingkungan, misalnya
konservasi sumber daya alam (tanah, air, dan keanekaragaman
hayati) (Widianto dkk, 2003).

4.2.2 Berdasarkan Kotrmplesitasnya

Agroforestri pada lahan Pak Gianto merupakan agroforestry


multi strata yakni terdiri dari tanaman tegakan seperti durian, alpukat
, kopi, duku, cengkeh, dan andong dan menanam tanaman non
berkayu yakni pisang, dan kelapa. Menurut Hairiah (2013)
agroforestri multistrata yakni system stratifikasi pohon yakni dengan
tajuk bertingkat pada suatu pengggunaan lahan agroforestry. Secara
umum, strata/tingkat tersebut terdiri dari strata semak (sayuran,
cabai, umbi-umbian), perdu (pisang, pepaya, tanaman hias), dan
strata pohon yang tingginya lebih dari 35 meter (damar, durian,
duku). Menurut Fiqa dan Laksono (2013), beberapa jenis tanaman
pada sistem agroforestri yang dapat digunakan di strata tertinggi
adalah durian (Durio zibethinus), strata tengah adalah melinjo
(Gnetum gnemon), dan strata terendah adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum). Pengelolaan sistem agroforestri ini perlu
dilakukan secara khusus agar antara satu tanaman dengan tanaman
lainnya tidak saling merugikan (Santoso dkk., 2004). Pemanfaatan
sistem agroforestri multistrata dengan berbagai jenis tanaman tajuk
bertingkat dinilai sebagai suatu langkah tepat dalam mitigasi tanah
longsor sekaligus konservasi tanah. Sistem agroforestri multistrata
juga dapat memberikan manfaat terutama bagi masyarakat yang
memiliki hewan ternak. Kebutuhan pakan ternak tentu menjadi suatu
hal yang sangat diperlukan bagi masyarakat yang memelihara dan
mengembangkan usaha peternakan.

4.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Teknik Pengembanganya

Pada lahan agroforestri milik pak gianto memiliki banyak jenis


tanaman lokal dan tanaman berasal dari permudaan local seperti
durian cengkeh, alpukat, duku, dan cengkeh. Jarak tanam yang
digunakan oleh pak gianto juga sangat tidak beraturan khususnya
pada tanaman berkayu dan juga hasil produksi belum bisa memenuhi
skala besar maka lahan agroforestry pak Gianto yakni agroforestry
tradisional atau sederhana. Menurut De Foresta dan Michon (1997),
agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana
pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih
jenis tanaman semusim. Pepohonan dapat ditanam sebagai pagar
mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak
lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan
sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam
juga sangat beragam, dapat yang bernilai ekonomi tinggi misalnya
kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai,
jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap,
lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar
pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai,
kacangkacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-
jenis tanaman lainnya.

Dalam perkembangannya, sistem agroforestry sederhana ini


juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa
adanya tanaman semusim. Sebagai contoh, kebun kopi biasanya
disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono disebut
juga gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur
tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah
Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus.

4.3 Kelembagaan
Rata- rata petani Desa Sumberagung berasisiasi dengan
LKDPH yaitu Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan dan KPSA
merupakan kelompok tani dahulu yang mengatur semua jalannya
usahani di desa tersebut. Saat ini petani merasa diuntungkan dengan
adanya kelembagaan tersebut dikarenakan petani merasa
diperhatikan dari aspek budidaya dan perawatan lahan pertaniannya,
dan petani merasa lebih mudah untuk menemukan akses dengan
bertukar informasi dengan petani lain. Menurut Tony (2013)
Organisasi di tingkat masyarakat (desa dan petani) sangat beragam
bisa berkaitan dengan adat, pemerintah desa, kelompok tani,
kelompok keagamaan, kelompok pemuda atau wanita (ibu-ibu).
Sebagian besar organisasi ini bersifat informal namun ada aturan
mainnya. Sebagian lembaga pembangunan sangat memperhatikan
upaya penguatan organisasi lokal ini baik dari segi kemampuan
teknis dan manajemen dan administrasi organisasi. Ada pula yang
membentuk lembaga baru karena ada tujuan khusus yang ingin
dicapai.

Daftar Pustaka
Fiqa, A.P., Laksono, R.A. 2013. Pengembangan Sistem Agroforestri Berbasis Indigenous Spesies dan
Kesesuaian Lahan di Wilayah Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri
2013

Hairiah, K., Sardjono, M. A., & Sabarnurdin, S. (2003). Pengantar agroforestri. Bogor: ICRAF, 32.

Hairiah, K. (2013). Plant functional types and traits as biodiversity indicators for tropical forests: two
biogeographically separated case studies including birds, mammals and termites. Biodiversity and
Conservation, 22(9), 1909-1930.

Michon, G., Mary, F., Bompard, J. 2000. Kebun Pepohonan Campuran di Maninjau, Sumatra Barat.
Dalam De Foresta, H, A Kusworo, G Michon dan WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan:
Agroforest Khas Indonesia, sebuah sumbangan masyarakat. International Centre for Research in
Agroforestry (ICRAF), Bogor, Indonesia, Institut de Recherhe pour le Developpement, France dan Ford
Foundation, Jakarta Indonesia.

Tony Djogo, Sunaryo, Didik Suharjito dan Martua Sirait. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam
Pengembangan Agroforestri. ICRAF

Widianto, Nurheni Wijayanto dan Didik Suprayogo. 2003. Pengelolaan dan Pengembangan
Agroforestri.ICRAF

Anda mungkin juga menyukai