Anda di halaman 1dari 8

FRADELLA ULANI

Namaku Fradella Ulani. Aku lahir dibulan februari yang dipenuhi musim hujan dan ditahun terakhir
angkatan sembilan puluhan. Mungkin kalian bakal berpikir kalau aku akan selalu gembira dan
membawa kedamaian. Seperti arti namaku selalu gembira dan membawa kedamaian. Jika benar
kalian berpikir seperti itu, aku hanya bisa tersenyum. Kalian harus tau Aku sangat menyesal
memiliki nama itu, nama yang benar benar membuat aku muak seperti aku muak dengan orang
yang memberi nama itu untukku.

Aku benci dilahirkan, kalau hanya untuk menjadi orang yang tak berguna. Aku benci untuk hidup,
kalau semua hanya sebuah kehancuran. Dan aku benci dengan sebuah hubungan, kalau hanya
untuk perpisahan. Aku benci dengan semuanya..semua yang bersangkutan dengan hidupku.

Kalau aku bisa memilih untuk tetap ada atau menghilang. Aku akan dengan cepat menjawab
menghilang. Mungkin dengan menghilangnya diriku orang tuaku bisa bersatu. Aku ikhlas tidak ada
didunia ini demi orang tuaku. Aku ikhlas tidak ada didunia ini asalkan mereka bisa kembali
berangkulan.

Aku ingin sekali Berteriak. Memberitahu seluruh dunia kalau aku ada disini. Aku butuh secercah
cahaya, beri aku sebuah harapan untuk hidup.

"Lan! Lan! hei?" tegur Adhwa yang sedari tadi memandangi Ulani melamun.

"Hah?" Ulani terkejut mendengar suara Adwa yang membuyarkan lamunan mengenai kisah
hidupnya.

"Are you okey Lan? Dari tadi kamu melamun aja sih?" tanya Adhwa khawatir. Ia tau Ulani memang
sering melamun, tetapi kali ini tampak berbeda ada setetes air mengalir dari mata indah Ulani.

"Gak papa kok Wa, Aku lagi capek aja" Jawab Ulani berbohong. Sebenarnya tidak sepenuhnya
berbohong saat ini Ulani memang benar benar capek.

"oh... Eh kamu uda lihat hasil SNMPTN mu" Tanya Adhwa antusias. Adhwa sengaja mengalihkan
pembicaraan, karna Adhwa tau Ulani akan lebih terpuruk lagi jika mereka membahas masalah itu
lagi.

Ulani hanya membalas pertanyaan Adhwa dengan gelengan kepala.

"ihhhh sini" Perempuan itu mengambil tas Ulani dan mengeluarkan handpone Ulani.
"Nih buka" Lanjutnya dengan menyodorkan handpone ke Ulani. Ulani hanya memandangi Adhwa
yang menyodorkan handpone ke hadapannya.

"Buruaann" paksa perempuan bersuara cempreng yang selalu bersamanya dalam susah maupun
senang. Ulani berterimakasih pada Tuhan telah memberikannya sahabat yang sangat baik
terhadapnya. Setidaknya masih ada hal yang buat ia percaya Tuhan masih menyayanginya setelah
apa yang diberiNya selama ini sangat menyakitkan bagi Ulani.

Akhirnya Ulani membuka website yang sangat ia hindari sedari tadi. Ia tidak ingin melihat
sahabatnya kecewa dengan sifat tidak tau dirinya. Ya Ulani memang menganggap dirinya seperti
itu. Dengan sifat acuh tak acuh, bahkan terlihat seperti manusia tak bernyawa yang sering
mengabaikan lawakan lawakan kecil sahabatnya, namun Adhwa tidak pernah meninggalkan
dirinya.

Ulani kembali memandangi ponselnya dengan serius. Dahinya berkerut. Matanya masih menatap
layar handponenya.

"Gimana lan?" seru perempuan yang berada disampingnya, ya itu adalah Adhwa yang sedari tadi
berisik memaksa Ulani untuk membuka website pengumuman.

"Apanya?" Ulani berbalik bertanya.

"Ya hasilnya lah. Kalau akuuu lulus yeee" ucap perempuan itu dengan senang.

"Oh" Ulani hanya ber oh saja menanggapi perkataan Adhwa.

"Oh doang! Yaelah" Adhwa merebut handpone yang ada ditangan Ulani. Mata Adhwa langsung
membulat membaca pengumuman hasil SNMPTN yang mereka ikuti.

"Yahhh kamuuu..... Lulussss yeeee" teriak Adhwa sambil berloncat loncat kecil.

Ini yang paling Ulani takutkan, kalau ia lulus diUniversitas negeri ternama siapa yang bakal
membiayai keperluan kuliahnya. Orang tuanya? Mana mungkin, mereka aja tak ingat dengan Ulani
sebagai anaknya.

Sebenarnya Ulani sudah menolak untuk daftar masuk Universitas negeri. Ia berencana untuk
bekerja setelah tamat sekolah. Ia tidak ingin menyusahkan sahabatnya yang selalu membantu
keperluan SMAnya. Sudah cukup ia menyusahkan Adhwa.
"Yaelah lan. Kamu tuh lulus diUniversitas yang orang banyak impikan loh. Kok ekspresi kamu datar
datar aja" suara Adhwa membuyarkan lamunan Ulani.

"Aku bingung harus ambil Undangan itu atau tidak" Ungkap Ulani. Kini ia benar bingung. Jika ia
tidak mengambil undangan Universitas tersebut, Ancamannya adalah sekolahnya yang akan
diblacklist dan akan berdampak pada adik kelas yang tidak akan bisa mengikuti seleksi Universitas
negeri melalui jalur SNMPTN. Karna jalur ini sangat mengutungkan jika lulus, peserta tidak perlu
repot repot mengikuti ujian seleksi lagi.

"Yah kamu harus ambillah. Nanti kamu kena marah kepala sekolah kalau tidak kamu ambil. Karna
sekolah jadi jaminannya" balas Adhwa yang kesal dengan sifat sahabatnya yang satu ini. Selama ini
hanya Adhwa yang tahan berteman dengan Ulani. Sifatnya yang seperti orang tidak punya tujuan
hidup itu sangat menyebalkan. Apalagi Adhwa sering sekali bahkan setiap hari melihat Ulani
melamum. Adhwa sangat benci itu.

Bel pulang sekolah sudah berdering sejak lima belas menit yang lalu. Namun Ulani tampak tidak
ingin beranjak dari kursi yang sudah ia duduki hampir satu tahun belakangan ini. Disamping gadis
itu Adhwa memasang wajah lesuh menatapi sahabatnya yang satu ini. Sudah dari sepuluh menit
yang lalu ia mengajak Ulani pulang. Namun Ulani tetap tak menghiraukan kebisingan dirinya.

Adhwa bangkit dari duduknya dengan sangat kesal ia menendang meja yang jadi penopang kepala
Ulani saat melamun.

"Hey Lan!" serunya kuat.

"Kamu itu harus bersyukur! Allah masih sayang sama kamu. Kamu masih bisa bersekolah hingga
lulus" Ucap Adhwa dengan kesal. Adhwa tau masalah Ulani sangat berat tetapi Ulani tidak boleh
bersikap seperti ini. Dan yang paling Adhwa kesalkan Ulani selalu menganggap Allah itu tidak ada
untuknya.

"Wa jangan bawa bawa Tuhan. Aku gak percaya Tuhan" balas Ulani.

"Lan! Allah Lan, ALLAH!" Adhwa Menekankan nama Allah sambil memandang Ulani tak percaya.

"Kamu tidak boleh melupakan Allah. Allah yang memberi semua yang kamu miliki selama ini Lan"
lanjutnya
"Dan Dia juga yang menghancurkan kehidupan ku. Aku percaya Tuhan itu cuma karna kamu Wa"
balas Ulani.

"Kamu bisa mengabaikan aku, tapi gak boleh mengabaikan Allah Lan!" Adhwa tidak masalah sering
diabaikan Ulani, tapi Adhwa tidak bisa membiarkan sahabatnya itu terus terusan mengabaikan
Allah.

"UDA WA! aku capek harus membahas Tuhan denganmu. Aku gak mau kita ribut" ucap Ulani
meninggalkan Adhwa.

Sesampainya Ulani diambang pintu Adhwa berteriak

"DASAR CEWEK GAK TAU DIRI! AKU BENCI KAMU LAN! BENCI!" Teriak Adhwa sambil menangis. Ia
tidak membenci Ulani. Tidak! Ia sangat menyayangi Ulani.

Ulani hanya berhenti sejenak lalu kembali melangkahkan kakinya kembali meninggalkan Adhwa
sendiri diruang kelas.

Ulani menyusuri jalanan dengan pandangan kosong. Ia terus berjalan mengikuti langkah kakinya
yang tak memiliki tujuan. Ia berhenti ketika sampai dijembatan yang begitu besar. Ia melihat air
sungai yang mengalir deras, ia tersenyum. Lalu ia menatap langit mendung sore hari.

"ck bahkan Dia(Allah) mengirim awan hitam untuk menemaniku" decaknya.

Ulani terus memandangi air sungai.

"Maafkan aku Wa" ia masih setia memandangi air dengan menyumbangkan air matanya.

Kini keputusannya sudah bulat. Sudah seharusnya ia lakukan ini dari dulu agar ia tidak menyulitkan
Adhwa. Saat ini Ulani sudah berdiri di atas tembok jembatan. Ia merentangkan tangannya dan
menghitung dalam hati.

Satu... Dua.... Ti..

"Bugh" suara benda yang mendarat tepat dikepala Ulani.

Ulani memalingkan wajahnya untuk melihat siapa yang melemparnya. Ternyata berdiri seorang
anak kecil dengan tumpukkan koran di tangannya.

"Tepat sasaran" Ucap anak kecil itu meniup tangan bekas melempar koran Kekepala Ulani.
Lalu anak kecil itu menghampiri Ulani.

"Putus cinta ya kak?" tanya anak itu. Ulani tidak menjawab

"Anak remaja jaman now mentalnya lemah, ada masalah sedikit langsung bunuh diri" lanjut anak
kecil itu. Ulani masih setia berdiri memandang lurus kedepan mengabaikan anak kecil itu.

"Kak bunuh diri bukan cara yang terbaik" ucap anak kecil itu sambil membalikkan tubuhnya
mengikuti arah pandang ulani.

"Mati bukan akhir kehidupan" lanjutnya

Ulani memang mengabaikannya tetapi bukan berarti Ulani tidak mendengar kan suara anak kecl
itu.

"kehidupan setelah mati itu baru awal hidup dimulai"

Ulani kini melihat kearah anak kecil yang menceramahinya. Dan sekarang anak kecil itu sudah
duduk tepat disamping ia berdiri menatap kedepan dengan pandangan yang Ulani tidak bisa
mengerti. Kini Ulani juga ikut duduk disamping anak itu.

"Apa yang kamu inginkan? Uang?" Ulani bertanya pada anak kecil itu. Anak itu menatap ulani
dengan serius. Beberapa detik kemudian ia tertawa. Melihat itu Ulani mengeluarkan uang yang ada
disakunya lalu disodorkan ke anak kecil itu.

"Ambil" ucapnya

Anak kecil itu semakin tertawa kencang hingga matanya berair.

"kakak pikir anak jalanan kayak aku ini selalu menginginkan uang?" Tanya anak kecil itu balik. Ulani
tidak menjawab ia hanya memandangi anak kecil itu.

"Kami anak jalanan memang butuh uang. Tetapi kami juga butuh teman. Orang orang kayak kakak
ini kalau berselisih dengan kami pasti menjauh" Ungkap anak kecil itu

"Bahkan kami sering dicaci, dimaki dan dituduh pencuri. Padahal kami mendekati kalian karna ingin
berteman"

Ulani menatap anak itu ibah tanpa sadar matanya memanas. Memang benar yang diucapkan anak
ini, anak anak jalanan sangat sering diperlakukan sangat kejam.
"Kami ingin berteman dengan kalian agar kami bisa belajar dengan kalian yang bersekolah tinggi.
Kadang irih dengan mereka yang setiap pagi berseragam rapi, bersekolah diantarkan sama Ibu dan
bapaknya." anak kecil itu tersenyum. Kini matanya menatap langit.

"Ibu sama Bapak uda disana sejak lama" ucapnya menunjuk langit mendung.

Ulani mengikuti arah yang ditunjuk anak itu dan kembali melihat wajah anak itu tersenyum lebar
seperti tak memiliki beban. Ulani sangat iri dengan anak ini. Ia memiliki jiwa dan mental yang kuat.
Ulani dengan cepat putus asa karena orang tuanya pergi, tetapi Ulani masih bisa melihat mereka
sementara anak ini? Tidak sama sekali.

"Aku tidak bisa benci sama Allah, karna Allah sekarang yang merawat Ibu sama Bapak. Walaupun
aku harus sendiri disini. Aku tau pasti Allah punya rencana yang baik buat aku" ucap anak kecil itu
sambil tertawa sumbang.

"Kakak ada masalah apa?" anak kecil itu menatap Ulani.

Ulani hanya tersenyum menahan tangisnya. Tapi ia tidak bisa menahannya air matanya mengalir
sendiri dengan derasnya. Lihatlah sekarang ia sangat cengeng didepan anak kecil yang kuat.

"Keluarga kakak hancur sejak 2 tahun lalu" akhirnya Ulani membuka suara.

"Papa kakak pergi entah kemana. Mama juga pergi gak tau dimana" ucapnya terisak

Anak kecil itu memeluk Ulani.

"Kakak benci Tuhan" Ia semakin terisak "sangat membencinya"

"Papa pergi dengan wanita lain dan menjual rumah. Mama juga uda nikah lagi. Selama ini kakak
tinggal dengan sahabat kakak. Kakak sangat malu karena selalu menyusahkan Adhwa"

Anak kecil itu memasang ekspresi seperti bertanya. Ulani menyeka air matanya sambi tersenyum.

"Adhwa nama sahabat kakak. Adhwa Fatimah. Adhwa sangat baik banget sama kakak. Papa
Mamany juga". Ulani melanjutkan cerita

"Terus kenapa kakak mau bunuh diri?" Skakmat

Pertanyaan anak kecil ini membuat Ulani terdiam. Ulani sekarang sadar bukan cuma dia yang
memiliki masalah besar. Tetapi masih banyak diluar sana anak yang kurang beruntung.
"Kak! Kakak harus bersyukur, Allah masih memberi kakak kenikmatan yang banyak orang ingin
diposisi kakak. Aku aja iri dengan kakak yang berseragam sekolah, punya tas, sepatu, buku,
sementara aku? Untuk memegang buku aja aku tak pernah" ucap anak itu.

"Jangan untuk bersekolah tempat untuk kami istirahat aja kami tak punya" anak kecil itu menghela
napas panjang.

"Anak seperti aku ini hanya dianggap sampah" anak itu tersenyum miring.

Hati Ulani sangat sakit mendengar cerita anak ini. Kini air matanya menetes kembali. Ulani takjub
dengan anak ini sedari tadi menceritakan kisah hidupnya setetes air mata pun tak jatuh dari
matanya.

Ulani mengeluarkan buku serta pensil dari tasnya. Lalu ia beri ke anak itu

"Ambil! Buat kamu"

Anak itu menatap Ulani dengan mata berkaca kaca

"Makasih kak" air mata anak itu kini jatuh

"Nanti kita belajar bersama ya setelah kakak pulang sekolah. Ajak teman yang lainnya. Besok kakak
bakal bawa buku buku yang lebih banyak lagi" ucap Ulani menyeka air mata anak itu. Anak itu
mengangguk

"Janji ya kak" anak itu menunjukkan jari kelingkingnya

"Janji" Ulani menautkan kelingkingnya di kelingking anak itu.

Ulani melihat koran yang tergeletak disamping anak itu

"Kamu jualan koran" tunjuk Ulani pada koran tersebut.

"Iya kak"

"Kakak beli ya" Ulani Mengeluarkan uang.

"Semuanya, nih ambil"

"Makasih kak" ucap anak itu berbinar

"Sama sama" Ulani mengusap kelapa anak itu


"Besok kita jumpa disini jam 4 oke. Ajak temannya semua. Besok kakak bawa temen kakak" ucap
Ulani sambil turun dari tembok.

"Dadah" Ulani mengucapkan salam perpisahan. Ia ingin segera minta maaf dengan Adhwa. Ulani
lari menuju rumah Adhwa.

Sampai digerbang rumah Adhwa, Napas Ulani ngos ngosan. Ia melihat Adhwa berdiri modar
mandir sambil menggigiti kukunya. Saat mata mereka bertemu Adhw langsung berlari memeluk
Ulani sambil menangis

"Kamu dari mana saja" ucapnya terisak. Ulani membalas pelukan Adhwa ia juga menangis.

"Maafkan aku Wa. Maaf" Adhwa menggeleng "Gak Lan kamu gak salah! Seharusnya aku gak
bersikap..."

"Gak Wa ini salah aku yang selalu kurang bersyukur. Aku yang gak mau mendengarkan kamu. Aku
juga yang sudah melupakan Allah" potong Ulani terisak..

Adhwa tersenyum. Adhwa sangat bersyukur akhirnya sahabatnya sudah sadar. "Makasih ya Allah"

"Wa ayo sama sama berjuang meraih masa depan. Aku mau buktikan keorang tua aku bisa. Dan
aku bakal menyatukan mereka"

Adhwa mengangguk "Ayo Lan kita buktikan. Sekarang kita masuk bersih bersih dan shalat magrib
berjamaah. Berdoa sama Allah agar orang tua mu diketuk hatinya"

Ulani mengangguk. Mereka berangkulan masuk kerah sambil tersenyum lebar.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai