Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu gangguan pada sistem saraf pusat yang
cukup sering terjadi di dunia. Angka kejadiannya epilepsi tinggi terutama di
negara berkembang dengan angka 114 per 100.000 penduduk per tahun,
sedangkan pada negara maju ditemukan sekitar 50 per 100.000. Prevalensi
epilepsy pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan
pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut. ( PERDOSSI,
2011).
Epilepsi menurut PERDOSSI 2011 adalah suatu keadaan yang ditandai
oleh bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neurpn-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi,
bukan disebabkan oleh penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsy
bukanlah merupakan penyakit, melainkan suatu kumpulan gejalan. Gejala yang
paling umum adalah kejang, karena itu epilepsy sering dieknal sebagai penyakit
kejang.
Penderita epilepsy cenderung sulit dalam penyembuhan dan membutuhkan
terapi jangka panjang. Kualitas hidup menjadi penting sebagai indicator
keberhasilan perawatan kesehatan pada penderita epilepsy. Peran dalam
meningkatkan kualitas hidup penderita tidak hanya fokus pada parahnya epilepsy,
namun juga efek sosial dan psikologis dari epilepsy itu sendiri.

1.2 Tujuan
Memilih jenis terapi yang sesuai dengan diagnosis pasien yaitu epilepsi
berdasarkan efek farmakodinamik, farmakokinetik, efek samping, indikasi dan
kontraindikasi, dan biaya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANTIEPILEPSI DAN ANTIKONVULSI

1. Pendahuluan
Antikonvulsi (antikejang) digunakan untuk mencegah dan mengobati
bangkitan epilepsi dan bangkitan non-epilepsi. Bromida, obat pertama yang
digunakan untuk terapi epilepsi telah ditinggalkan karena ditemukannya berbagai
antiepilepsi baru yang lebih efektif. Fenobarbital diketahui memiliki efek
antikonvulsi spesifik, yang berarti efek antikovulsinya tidak berkaitan langsung
dengan efek hipnotiknya. Fenitoin (difenilhidantoin), sampai sekarang masih tetap
merupakan obat utama antiepilepsi, khususnya untuk bangkitan parsial dan
bangkitan umum tonik-klonik. Di samping itu karbamazepin semakin banyak
digunakan, karena dibandingkan dengan fenitoin efek sampingnya lebih sedikit
dan lebih banyak digunakan untuk anak-anak karena tidak menyebabkan wajah
kasar dan hipertrofi gusi. Pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku maupun
kemampuan kognitif lebih kecil.

1.1 Epilepsi
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit
susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat
(disebut bangkitan berulang); dengan gejala utama kesadaran menurun sampai
hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik,
gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG
(abnormal dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat
diagnostik. Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia
serebral yang bersifat paroksismal.
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan
letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu fokus
dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan

2
neuron epileptik yang sensistif terhadap rangsang disebut neuron epileptik.
Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi.
Letupan depolarisasi dapat terjadi di daerah korteks. Penjalaran yang terbatas
di daerah korteks akan menimbulkan bangkitan parsial misalnya epilepsi fokal
Jackson; letupan depolarisasi tersebut dapat menjalar ke area yang lebih luas dan
menimbulkan konvulsi umum (epilepsi umum; generalized epilepsy). Letupan
depolarisasi di luar korteks motorik antara lain di korteks sensorik, pusat
subkortikal, menimbulkan gejala aura prakonvulsi antara lain adanya penghiduan
bau wangi-wangian, gangguan parkosismal terhadap kesadaran/kejiwaan;
selanjutnya penjalaran ke daerah korteks motorik menyebabkan konvulsi.
Berdasarkan tempat asal letupan depolarisasi, jenis bangkitan dan penjalaran
depolarisasi tersebut, dikenal berbagai bentuk epilepsi.

1.1.1 Klasifikasi Bangkitan Epilepsi


Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
I. Bangkitan umum primer (epilepsi umum) terdiri dari
1) Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal)
Merupakan jenis bangkitan paling dramatis, terjadi pada 10%
populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase: fase tonik, fase klonik dan
fase pasca kejang. Terapi sama dengan terapi pada bangkitan
parsial.

2) Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

3
Terjadi secara mendadak dan hilang secara mendadak (10-45
detik). Manifestasi klinis berupa kesadaran menurun sementara,
namun kendali atas postur tubuh masih baik (pasien tidak jatuh);
biasanya disertai automatisme (gerakan-gerakan berulang),
berkedip, gerakan-gerakan ekstremitas berulang, gerakan
mengunyah. Terjadi sejak masa kanak-kanak (4-8 tahun). Remisi
spontan 60-70% pasien pada masa remaja. Seringkali disertai oleh
bangkitan umum sekunder.

3) Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences), bangkitan


tonik, bangkitan klonik, bangkitan atonik, bangkitan infantil
(spasme infantil)
Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih
lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental. Lebih
refrakter terhadap terapi.
II. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau fokal)
1) Bangkitan parsial sederhana
a. Berasal dari lobus motor frontal: tonik, klonik, tonik-
klonik, Jacsonian’s
b. Berasal dari somatosensoris: visual, auditorik, olfaktorius,
gustatorius, vertiginosa
c. Autonom
d. Psikis murni

4
Dapat menyebabkan gejala motorik, sensorik, otonom dan psikis
tergantung korteks serebsi yang aktivasi, namun kesadaran tidak
terganggul penyebaran cetusan listrik abnormal minimal, pasien
masih sadar.
2) Bangkitan parsial kompleks, misalnya epilepsi psikomotor
(epilepsi lobus temporalis)
Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak. Biasanya
terjadi dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap
hipoksi/infeksi. Klinis: ada tanda peringatan/aura yang disertai
oleh perubahan kesadaran, diikuti oleh automatisme yakni gerakan
otomatis yang tidak disadari seperti menjilat bibir, menelan,
menggaruk, berjalan, yang biasanya berlangsung selama 30-120
detik. Kemudian, biasanya pasien kembali normal yang disertai
kelelahan selama beberapa jam.
3) Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II).
Kejang demam: kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
tanpa disertai kelainan neurologis, bersifat umum dan singkat (<15
menit), terjadi bersamaan dengan demam, hanya terjadi 1x dalam
waktu 24 jam. Anak-anak dengan infeksi susunan saraf pusat atau
kejang tanpa demam sebelumnya tidak dapat disebut kejang
demam.
Status epileptikus: suatu bangkitan yang terjadi berulang-ulang.
Pasien belum sadar setelah episode pertama,s erangan berikutnya
sudah dimulai. Merupakan suatu kegawatdaruratan. Ada berbagai
jenis sstatus epileptikus, tapi yang paling sering adalah jenis status
epileptikus umum, tonik-klonik (grandmal). Dapat dsiebabkan oleh
penghentian terapi yang mendadak, terapi yang tidak memadai,
penyakit dalam otak (ensefalitis, tumor dalam otak, kelainan
serebrovaskular), keracunan alkohol, kehamilan.

1.1.2 Mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi

5
Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-
kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan
umum bila neuron normal di sekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut.
Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan
depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang
dapat dibuktikan.
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya
cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang
inhibisi neuron di sekitarnya, kemudian menyebar melalui hubungan sinaps
kortiko-kortikall. Tidak ada gejala klinis yang tampak, abnormalitas EEG tetap
terekam pada periode antar kejang. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar
ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks.
Gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya salivasi, midriasis,
takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya
sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan
listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal
sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi fase
tonik-klonik berualng kali dan akhirnya timbul kelelahan neuron apda fokus
epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi.

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni
fase inisiasi dan fase propagasi.
1) Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi drekuensi tinggi yang
melibatkan peranan kanal ion Ca2+ dan Na+ serta hiperpolarisasi-
hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau kanal ion K+.
2) Fase propagasi. Dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan
dihambat oleh neuron-neuron inhibisi di sekitanya yang mengadakan
hiperpolarisasi. Namun pada fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel
(yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca2+ pada ujung
akhir presinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmittor), serta menginduksi
reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca2+ sehingga tidak terjadi
inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan

6
penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsi
umum/epilepsi sekunder.

1.2 Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi


Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi
dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung
bersifat membatasi proses penyebaran kejang daripada mencegah proses inisiasi.
Dengan demikian secara umum ada dua mekanisme kerja, yakni: peningkatan
inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi
konduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmittor, meliputi:
1) Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson
Contoh: fenitoin dan karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan
asam valproat (dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid.
2) Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai
pace-maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks)
Contoh: etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
3) peningkatan inhibisi GABA
a. langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-
contoh: benzodiazepin, barbiturat
b. menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi
reuptake dan metabolisme GABA
contoh: tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin
4) Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui:
a. blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin
b. blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat

2. Anti Epilepsi
Hingga kini, ada 16 obat antiepilepsi dan obat tersebut digolongkan dalam 5
golongan kimiawi yakni hidantoin, barbiturat, oksazolidindion, suksimid dan
asetil urea.
Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting
dalam pengobatan epilepsil karbamazepin untuk bangkitan parsial sederhana

7
maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan lena
maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik-klonik.
Pada umumnya, sebagian besar obat antiepilepsi dimetabolisme di hati,
kecuali vigabatrin dan gabapentin yang dieliminasi oleh ekskresi ginjal. Fenitoin
mengalami metabolisme hepar yang tersaturasi. Banyak obat antiepilepsi bekerja
pada beberapa tempat.

2.1 Golongan Hidantoin


Dalam golongan hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi: fenitoin
(difenilhidantoin), mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai prototipe.
Kini juga telah tersedia fosfenitoin, yakni bentuk fenitoin yang lebih mudah
larut dan dipakai untuk penggunaan parenteral. Fenitoin yang semula merupakan
obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena, searang
telah tergeser oleh obat yang profil keamanannya lebih baik yaitu valproat dan
lamotrigin. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk
efek pengendalian bangkitan tonik-klonikl sedangkan gugus alkil bertalian dengan
efek sedasi, sifat yang terdapat pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak pada
fenitoin. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas
misalnya mefenitoin, dan hasil N-demetilasi oleh enzim mikrosom hati
menghasilkan metabolit tidak aktif.

Farmakodinamik
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP.
Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditasi
deserebrasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan apda penghambatan penjalaran
rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh
fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga terlihat
pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel
sistem konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem fisiologik;
dalam hal ini, khususnya konduktans Na+, K+, Ca2+ neuron, potensial membran
dan neurotransmitter norepinefrin, asetilkolin, dan GABA. Pengaruh terhadap
konduktans Na+ juga terjadi dengan karbamazepin, lamotrigin dan valproat.

8
Farmakokinetik
Absorpsi fenitorin yang diberikan secara per oral berlangsung lambat,
seskali tidak lengkap; 1-% dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk
utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Bila dosis muat
(loading dose) perlu diberikam, 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam,
kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 ja,. Pemberian fenitoin secara
IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsi
erotik. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan
jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar
ludah.
Peningkatan fenitoin oleh albumin plasma kira-kira 90%. Pada keadaan
hipoalbuminemia/uremia terjadi penurunan protein plasma,, kadar plasma fenitoin
total menurun, tetapi fenitoin bebas tidak jelas menurun, sehingga bila pada
keadaan ini dosis fenitoin ditambah, maka toksisitas dapat terjadi. Pada orang
sehat, termasuk wanita hamilda n wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi
bebas kira-kira 10%, sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati
atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata diatas 15%. Pada
pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8%-12,6%. Fenitoin terikat kuat
pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi mula kerja lebih
lambat daripada fenobarbital. Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara
hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanya ialah deribat
parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami
kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan meningkatkan kadar
fenitoin dalam serum secara tidak proporsional dan menyebabkan intoksikasi.
Oksidasi pada satu gugus fenil sudah menghilangkan efek antikonvulsinya.
Sebagai besar metabolit fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian
mengalam reabsorpsi dan absorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi
melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli,
sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabropsi.

Interaksi Obat

9
Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dan beberapa sulfonamid tertentu,
karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan
sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan
potein plasma fenitoin sehingga meninggikan kadar obat bebas dalam plasma.
Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena
teofilin meningkatkan biotransformasi fenitoin dan mengurangi absorpsinya.
Interaksi fenitoin dengan fenobarbital dan karbamazepin komplks.
Fenitoin akan menurun kadarnya karena fenobarbital menginduksi enzim
mikrozom hati, tetapi kadang-kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat
inhibisi kompetitif dalam metabolisme. Hal yang sama berlaku untuk kombinasi
fenitoin dengan karbamazepin. Karena itu terapi kombinasi harus dilakukan
secara hati-hati, sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.

Intoksikasi dan efek samping


Perhatian. Bila timbul gejala hepatoktoksisitas berupa ikterus atau
hepatitis, anemia megaloblastik, atau kelainan darah jenis lain, pengobatan perlu
dihentikan.
Fenitoin bersifat teratogenik. Kemungkinan melahirkan bayi dengan cacat
kongenital meningkat 3 kali, bila ibunya mendapatkan terapi fenitoin selama
trimester pertama kehamilan. Cacat kongenital yang menonjol adalah sindroma
fetal-hidantoin, yakni bibir sumbing, langitan sumbing, penyakit jantung
kongenital, pertumbuhan lambat, dan defisiensi mental. Pada kehamilan lanjut,
fenitoin menyebabkan abnormalitas tulang pada neonatus. Penggunaan fenitoin
pada wanita hamil tetap diteruskan berdasarkan pertimbangan bahwa bangkitan
epilepsi sendiri dapat menyebabkan cacat pada anak, sedang tidak semua ibu yang
minum fenitoin mendapat anak cacat.

Indikasi
Terutama untuk bangkitan tonik-klonik dan bangkitan parsial atau fokal.
Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia masih menyukai penggunaan fenobarbital
karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempitl efek samping dan efek

10
toksik, sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak.
Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks. Indikasi lain ialah
neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung.

Sediaan dan posologi


DD: 300 mg/hari
DA: 5 mg/kgBB/hari
BSO: caps 100 mg, ampul 100 mg/2 ml

Pasien yang baru pertama kali mendapat fenitoin, tidak segera memperoleh
efek, karena adanya tenggang waktu (time lag). Oleh karena itu, terapi secara
periodik umpamanya pada bangkitan yang berkaitan dengan haid, seyogyanya
tidak menunggu sampai datangnya aura. Untuk mengganti terapi epilepsi dari
fenobarbital juga harus berangsur-angsur, sebab enghentian secara tiba-tiba dapat
menyebabkan bangkitan berupa status epileptikus yang berbahaya.

2.2 Golongan Barbiturat


Biasanya yang digunakan adalah barbiturat kerja lama (long acting
barbiturates). Disini dibicarakan efek antipeilepsi prototip barbiturat yaitu
fenobarbital dan primidon yang struktur kimianya mirip dengan barbiturat.
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi.
Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi
pembentukan fosfat berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis
neurotransmittor misalnya Ach, dan untuk repolarisasi membran sel neuron
setelah depolarisasi.

Fenobarbital
Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Fenobarbital masih meruapkan obat antikonvulsi pilihan karena
cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini

11
dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral
tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang
demam pada anak
DD: 120-250 mg/hari, 2x1.
DA: 3-5 mg/kgBB/hari
Untuk kejang demam yang berulang pada anak dapat diberikan dosis muat
(loading dose) 6-8 mg/kgBB dan ditambah dengan dosis pemeliharaan 3-4
mg/kgBB. Untuk mengendalikan epilepsi disarankan kadar plasma optimal,
berkisar antara 10-40 µg/mL. Kadar plasma di atas 40 µg/mL sering disertai
gejala toksik yang nyata. Penghentikan pemberian fenobarbital harus secara
bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan
kembali, atau malahan bangkitan status epileptikus.
Penggunaan fenobarbital menyebabkan berbagai efeksamping seperti
sedasi, psikosis akut dan agitasi, sehingga yang lebih sering dipakai adalah
turunan fenobarbital seperti metabarbital atau mefobarbital.
Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena
fenobarbital meningkatkan aktivitas enzim mikrosom hati. Kombinasi dengana
sam valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat 40%.

Primidon
Bersifat antikonvulsi seperti fenobarbital, tetapi lebih efektif terutama
untuk terapi kejang parisal dan kejang umum tonik klonik. Potensi
antikonvulsinya lebih lemah sebab oksigen karbonil bagian urea diganti dengan
hidrogen. Primidon dalam badan sebagian mengalami oksidasi menjadi
fenobarbital, sebagian mengalami dekarboksilasi oksidatif pada atom C2 menjadi
feniletil malonamid (FEMA) yang tetap aktif.
Efek samping pada SSP; kantuk, ataksia, pusing sakit kepala, mual.
Biasanya tidak berbahaya dan menghilang dengan sendirinya walaupun
pengobatan diteruskan. Kelainan kulit yang lebih jarang terjadi berupa ruam
morbiliform, pitting edema. Selain itu dapat terjadi anoreksia, impotensi, dan

12
aktivasi psikotik, terutama pada pasien epilepsi psikomotor. Leukopenia dan
anemia megaloblastik pernah dilaporkan.
Hiperaktivitas dapat terjadi dan dapat dikurangi dengan dosis awal rendah.
DD: 3 x 50 mg sehari, kemudian dinaikkan 0,75-1,5 g sehari untuk 3 kali
pemberian.
Primidion efektif untuk semua bentuk bangkitan atau epilepsi, kecuali
bangkitan lena. Efeknya baik untuk bangkitan tonik-klonik yang telah refrakter
terhadap terapi yang lazim, dan lebih efektif dalam kombinasi dengan fenitoin.
Untuk bangkitan dalam kompleks dan bangkitan akinetik minor (suatu varian
bangkitan lena), primidon merupakan obat terpilih sedangkan terhadap bangkitan
lena sendiri efeknya tidak memuaskan.
Fenitoin dilaporkan meningkatkan konversi primidon menjadi fenobarbital,
sebaliknya INH menghambat konversi primidon menjadi fenobarbital dan FEMA.

2.3 Golongan Oksazolidindion

Trimetadion
Trimetadion merupakan obat antiepilepsi tipe absence, namun setelah
etoksksimid dipakai secara luas pada tahun 1960, trimetadion sudah jarang
digunakan.

2.4 Golongan Suksinimid


Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah
etosuksimid, metsuksimid, dan fensuksimid. Etosuksimid paling efektif dan sama
dengan Trimetadion bila dibandingkan yang lain. Sifat yang menonjol dari
etosuksimid trimetadion adalah mencegah bangkitan konvulsi pentilenterazol.
Merupakan obat paling selektif terhadap bangkitan lena.

Etoksuksimid
Diabsorpsi lengkap melalui saluran cerna. Setelah dosis tunggal oral,
diperlukan waktu antara 1-7 jam untuk mencapai kadar puncak dalam plasma.
Distribusi merata ke segala jaringan, dan kadar cairan serebrospinal sama dengan

13
kadar plasma. Efek samping yang sering timbul ialah mual, sakit kepala, kantuk
dan ruam kulit. Gejala yang lebih berat berupa agranulositosis dan pansitopenia.
Efek samping ini dapat diatasi dengan memberikan dosis rendah pada awalnya
dan meningkatkan dosis secara perlahan. Etoksuksimid dapat pula diperlukan
pengobatan untuk mengatasi bangkitan tonik-klonik. Komponen bangkitan tonik-
klonik dapat muncul akibat pengobatan etoksuksimid sehingga pengobatan
tambahan diperlukan. Merupakan obat terpilih untuk bangkitan lena tetapi tidak
tersedia di Indonesia.

2.5 Karbamazepin
Obat ini efektif untuk bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik-klonik.
Saat ini, karbamazepin merupakan antiepilepsi utama di Amerika Serikat untuk
mengatasi berbagai bangkitan lena. Selain mengurangi kejang, efeknya nyata pada
perbaikan psikis yaitu perbaikan kewaspadaan dan perasaan, sehingga dipakai
juga untuk mengobati kelainan psikiatri seperti mania-bipolar. Perbaikan psikis
diduga berdasarkan pengaruhnya terhadap amigdala karena memberikan hasil
yang sama dengan amigdalatomi bilateral.
Karbamazepin memperlihatkan efek analgesik selektif misalnya pada tabes
dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi dengan analgesik biasa. Atas
pertimbingan untung rugi karbamazepin tidak dianjurkan untuk mengatasi nyeri
ringan yang dapat diatasi dengan analgesik biasa.
Efek samping cukup sering terjadi. Setelah pemberian obat jangka lama
berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi
bangkitan dapat meningkat akibat dosis berlebih. Efek ssamping lainnya berupa
mual, muntah, diskrasia darah yang berat dan reaksi alergi berupa dermatitis,
eosinofilia, limpfadenopati, dan splenomegali. Steven Johnson relatif sering
dilaporkan. Umunya penghentian obat dan kortikosteroid dapat mengatas efek
samping ini. Gehala intoksikasi akut berupa stupor atau koma, pasien iritabel,
kejang dan depresi napas. Efek samping jangka panjang berupa retensi air yang
dapat menjadi masalah bagi pasien usia lanjut dengan gangguan jantung.
Karena potensinya untuk menimbulkan efek samping sangat luas, maka pada
pengobatan dengan karbamazepin dianjurkan pemeriksaan nilai basal dari darah

14
dan melakukan pemeriksaan ulangan selama pengobatan. Karbamazepin
menurunkan kadar asam valproat, fenobarbital, dan fenitoin.
Fenobarbital dan fenitoin dapat meningkatkan metabolisme karbamazepin,
dan biotransformasi karbamazepin dapat dihambat oleh eritromisin. Konversi
primidon menjadi fenobarbital ditingkatkan oleh karbamazepin, sedangkan
pemberian karbamazepin bersama asam valproat akan menurunkan kadar asam
valproat. Kadar terapi dalam serum umumnya tercapat dalam 6-8 µg/mL.
DD: dosis awal 2x 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditingkatkan secara
bertahap. Dosis pemeliharaan 800-1200 mg sehari.
DA: <6 tahun 100 mg sehari, 6-12 tahun 2x 100 mg sehari. Dosis pemeliharaan
20-30 mg/kgBB

2.6 Golongan Benzodiazepin


Diazepam
Terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status
epileptikus. Juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana mislanya
bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia dan refrakter terhadap terapi lazim.
Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan
ombak yang terjadi dalam satu detik.
Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa,
disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara
lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit
sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. sedangkan pada anak-anak
dapat diberikan dizepam intravena dengan dosis 0,15-0m3 mg/kgBB selama 2
menit dan dosis maksimal 5-10 mg. diazepam dapat mengendalikan 80-90%
pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1
mg/kgBB diazepam untuk bayi dan anak dibawah 11 tahun dapat menghasilkan
kadar 500 µg/mL dalam waktu 2-6 menit. Bagi anak yang lebih besar dan orang
dewasa pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi keadaan kejang akut,
karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya rendah. Walaupun
diazepam telah sering digunakan untuk mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat
dipastikan kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain, seperti barbiturat atau

15
anestetik umum; untuk ini masih diperlukan suatu uji terkendali perbandingan
efektivitas.
Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan diazepam
IV ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Di samping ini
dapat terjadi depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung dan
kantuk.

Klonazepam
Merupakan benzodiazepin dengan masa kerja panjang. Penggunaan sendiri
atau tambahan, untuk terapi bangkitan mioklonik, bangkita akinetik, dan spasme
infantil. Efektif untuk terapi tambahan semua tipe kejang, kecuali kejang tonik-
klonik.
Merupakan terapi pilihan untuk bangkitan lena karena etosuksimid tidak
tersedia di Indonesia. Efek samping tersering ialah kantuk, ataksia dan gangguan
kepribadian. Dosis awal 1,5 mg sehari, dibagi untuk tiga kali pemberian. Jika
diperlukan dosis dinaikkan 0,5-1 mg setiap tiga hari, tetapi tidak melebih 20 mg
sehari. Dosis anak sampai 10 tahun BB 30 kg, adalah 0,01-0,03 mg/kgBB sehari,
diberikan terbagi. Peningkatan dosis harian adalah 0,25-0,5 mg setiap 3 hari.
Dosis pemeliharaan yang lazim 0,1-0,2 mg/kgBB dsehari. Toleransi dapat terjadi
terhadap efek antiepilepsinya, sehingga efeknya hilang walaupun diberikan dosis
besar, biasanya terjadi setelah 1-6 bulan pengobatan.

Nitrazepam
Untuk mengendalikan hipsaritmia, spasme infantil dan bangkitan
mioklonik. Namun kurang efektif dibandingkan klonazepam. Dosis yang biasa
digunakan 1 mg/kgBB sehari. Dengan dosis ini dapat dikendalikan 50% dari
spasien spasme infantil. Nitrazepam secara spesifik bermanfaat untuk terapi jenis
bangkitan tersebut diatas, bentuk bangkitan yang sebelumnya diobati dengan
AVTH atau prednison dan kortikosteroid lain tetapi hasilnya kurang memuaskan.
Bangkitan lena juga dapat bertambah berat bila diberikan nitrazepam. Obat ini
dapat mencetuskan triggeres bangkitan tonik-klonik, sehingga diperlukan
tambahan antikonvulsi lain.

16
Selain pencetusan bangkitan tonik klonik atau memberatnya bangkitan lena,
efek samping yang paling mengganggu adalah hipersekresi lendir saluran napas.
Gangguan terhadap SSP terutama berupa gejala letargi dan ataksia.

2.7 Asam Valproat


Terutama untuk terapi epilepsi tonik-klonik umum, terutama yang primer dan
kurang efektif terhadap epilepsi fokal. Valproat menyebabkan hiperpolarisasi
potensial istirahat membran neuron, akibat peningkatan daya konduksi membran
untuk kalium. Efek antikonvulsi valproat bersifat rumit didasarkan meningkatnya
kadar asam gama aminobutirat (GABA) didalam otak.
Pemberian valproat peroral cepat diabsorpsi dan kadar maksimal serum
tercapai setelah 1-3 jam. Makanan penghambat absorpsinya dengan masa paruh 8-
10 jam, kadar darah stabil setelah 48 jam terapi. Jika diberikan dalam bentuk
amida, depamida, kadar valproat dalam serum sepadan dengan pemberian dalam
bentuk asam valproat, tetapi masa paruhnya lebih panjang yaitu 15 jam.
Biotransformasi depamida menjadi valproat berlangsung in vivo, tetapi jika
dicampur dengan plasma in vitro perubahan tidak terjadi. Kira-kira 7% dari dosis
valproat diekskresi di urin dalam 24 jam.
Toksisitasi valproat beruapa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam
kulit, dan alopesia. Gangguan cerna berupa anoreksi, mual, dan muntah terjadi
pada 16% kasus. Efek terhadap SSP berupa kantuk, ataksia dan tremor,
menghilang dengan penurunan dosis. Gangguan pada hati berupa peninggian
aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosis hati yang sering berakibat
fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini.
Dari suatu klinik terkendali, dosis valproat 1200 mg sehari, hanya menyebabkan
kantuk, ataksia, dan mual selintasl. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa obat ini
aman dipakai karena penggunaan masih terbatas.
Valproat efektif terhadap epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai
oleh bangkitan tonik klonik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya
kurang memuaskan. Terapi dimulai dengan dosis 3x 200 mg/hari; jika perlu
setelah 3 hari dosis dinaikkan menjadi 3x 400mg/hari. Dosis harian lazim,
berkisar 0,8-1,4 g. dosis anak yang disarankan berkisar 20-30 mg/kgBB sehari.

17
Asam valproat akan meningkatkan kadar fenobarbital sebanyak 40% karena
terjadi peningkatan hidroksilasi fenobarbital, dapat menyebabkan stupor sampai
koma. Sedang interaksinya dengan fenitoin terjadi melalui mekanisme yang lebih
kompleks. Fenitoin total dalam plasma akan turun, karena biotransformasi yang
menignkat dan pergeseran fenitoin dari ikatan protein plasma, sedangkan fenitoin
bebas dalam darah mungkin tidak dipengaruhi. Kombinasi asam valproat dengan
klonazepam dihubungkan timbulnya status epileptikus bangkitan lena.

18
KASUS
Seorang anak perempuan berumur 12 tahun dibawa oleh orang tua nya ke IGD
Rumah Sakit setelah mengalami beberapa kali serangan kejang yang ditandai
dengan kehilangan kesadaran, seluruh tubuh kaku, mata mendadak kosong,
kadang-kadang mata berkedip kedip dengan cepat, kedua tangan dan kaki
tesentak-sentak yang tejadi selama kurang lebih 6 menit. Setelah sadar, pasien
ngompol di celana dan kebingungan. Keluhan serupa berulang 3 kali setiap
bulannya, dan hal ini sudah terjadi sejak setengah tahun yang lalu. Riwayat
benturan kepala, infeksi otak dan selaput otak sebelumnya disangkal. Selama ini
pasien belum pernah berobat ke dokter karena keluhan tersebut. Pada pemeriksaan
fisik di dapatkan keadaan umum baik, tekanan darah 110/70 mmHg, pernapasan
18 kali/menit, nadi 80 kali/menit, suhu aksiler 36,60C. Pada pemeriksaan
neurologi tidak didapatkan kelainan.

Jawaban:
Tahapan penentuan P-treatment: 1) problem pasien, 2) tujuan terapi, 3) pemilihan
terapi, 4) pemberian terapi (resep jika ada), 5) komunikasi terapi, 6) monitoring
dan evaluasi.
Keluhan utama : serangan kejang yang ditandai dengan kehilangan
kesadaran, seluruh tubuh kaku, mata mendadak kosong, kadang-kadang mata
berkedip kedip dengan cepat, kedua tangan dan kaki tesentak-sentak yang tejadi
selama kurang lebih 6 menit
Pemeriksaan fisik : Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Tidak didapatkan kelainan neurologis
Pemeriksaan lab. :-
Diagnosis : Epilepsi Genealisata (Umum) Tonik Klonik (Grand Mal)

19
BAB III
P-TREATMENT

1. Menentukan Problem Pasien


- Kejang
2. Menentukan Tujuan Terapi
- Membebaskan pasien dari epilepsi, tanpa mengganggu fungsi normal SSP
agar pasien dapat menjalankan aktivitas tanpa gangguan
- Megontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan penggunaan obat yang
minimal
3. Pemilihan Terapi
a. Terapi Non Farmakologis
i. Menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, seperti kelelahan,
kurang tidur, hormonal, minum alkohol, emosi, kelelahan fisik
maupun mental
ii. Hindakan barang-barang berbahaya di sekitar pasien ketika serangan
datang
iii. Hindarkan tindakan yang salah seperti member minum air saat tidak
sadar atau menahan kejang atau menyiram air
iv. Fisioterapi dan Psikoterapi

b. Terapi Farmakologis
Pilihan obat farmakologis adalah sebagai berikut:
JENIS BANGKITAN OBAT PILIHAN OBAT ALTERNATIF
UTAMA
Bangkitan Parsial
1. Parsial Sederhana Karbamazepin, feniton, Fenobarbital, lamotrigin,
valproat primidon, gabapentin,
levetirasetam, tiagabin,
topiramat, zonisamid
2. Parsial kompleks Karbamazepin, feniton, Lamotrigin, primidon,
valproat gabapentin, levotirasetam,
tiagabin, topiramat,

20
zonisamid

3. Parsial yang menjadi Karbamazepin, feniton, Gabapentin, lamotrigin,


umum valproat, fenobarbital, levetirasetam, tiagabin,
primidone topiramat, zonisamid

Bangkitan umum
1. Bangkitan umum Karbamazepin, fenitoin, Lamotrigin, topiramat,
tonik-klonik (Grand valproat, fenobarbital, zonisamid, felbamat
mal) primmido

2. Bangkitan lena (petit Valproat, etosuksimid Lamotrigin, klonazepam


mal/absans)

3. Bangkitan lena yang Valproat, klonazepam Lamotrigin, felbamat,


tidak khas (Atipikal) topiramate
Bangkitan tonik-
klonik-atonik
Obat-obat untuk keadaan konvulsi yang buruk
1. Kejang demam pada Fenobarbital Primidon
anak
2. Status epileptikus Diazepam, fenitoin, Fenobarbital, lidokain
tipe grand mal fosfenitoin

3. Status epileptikus Benzodiazepin Valproat IV


tipe absans

Golongan Efficacy Safety Suitability Cost


+++ ++ +++ +++
Farmakodinamik : Efek samping : Kontraindikasi Rp
Hidantoin konduktansi Na+, K+, dan CNS : Sedasi, : 26.843/250
2+
(Fenitoin) Ca pada neuron; potensial Penurunan tingkat Hipersensitif kapsul
membran; dan intektualitas, terhadap
neurotransmitter Diplopia,ataksia, fenitoin

21
norepinefrin, asetilkolin, nistagmus, disertai
serta GABA gangguan lain seperti
Farmakokinetik: A: :kantuk dan rasa lelah
absorbsi per oral berlangsung GIT : gangguan hati,
lambat, sesekali tidak mual,muntah
lengkap. Kulit : Kemerahan,
D: Kadar puncak dicapai 3- hirsutisme
12 jam. M: di hati. Endokrin :
E: diekskresi bersama tinja Hiperglikemia,
dalam bentuk utuh. tiroiditis
++ ++ ++ ++
Farmakodinamik: Efek samping : Kontraindikasi Rp.
Membatasi penjalaran Sedasi, Penurunan : 18.765/250
aktivitas bangkitan dan intektualitas, Pophiria, kapsul
menaikkan ambang Nistagmus, ataksia, depresi sistem
rangsang, menghambat efek diplopia, Neuropati pernapasan,
gaba. Menekan letupan di perifer, Osteomalasia, gangguan hati
fokus epilepsi, efektif untuk hipokalsemia, berat
serangan epilepsi berulang teratogenik, iritabilitas
Barbiturat
Farmakokinetik : paradoks, dan
Diabsorbsi dengan baik hyperkinesis
peroral, dapat penetrasi ke
otak, 75% diinaktivasi oleh
system mikrosom hepar.
Eksresi secara utuh oleh
ginjal.

+++ +++ +++ +++


Farmakodinamik : Efek samping : Kontraindikasi Rp.
Menurunkan influks ion Pusing, Vertigo, : Gangguan 33.271/100
Karbamaze natrium dan kalsium ke Sedasi, Penurunan konduksi AV, tablet
pin membran neuron, intektualitas, riwayat depresi
mengurangi aktivitas kejang. Nistagmus, ataksia, sumsum tulang,
Efektif untuk semua diplopia, Diskinesia, porfiria
serangan epilepsi parsial dan Perburukan epilepsi,

22
sangat efektif untuk Gangguan hati,
serrangan tonik klonik Penurunan asam folat,
Farmakokinetik : hiponatremia,
A: lengkap dan lambat, kemerahan,
disaluran cerna berikatan teratogenik
dengan protein 75%.
M: di hati.
E:urin.
Waktu paruh 25-65 jam.
++ +++ +++ +++
Farmakodinamik : Efek samping : Kontraindikasi Rp.
berikatan langsung sisi Sedasi, Penurunan :Depresi 4.304/100
spesifik (subunit Y) reseptor intektualitas, obstruksi pernafasan, tablet
GABAA (reseptor kanal saluran nafas oleh gangguan hati
kloroda kompleks) lidah akibat relaksasi berat, miastenia
sedangkan GABA berikatan otot, depresi nafas grafis
pada subunit α atau β. sampai henti nafas,
Pengikatan ini akan hipotensi, henti
menyebabkan pembukaan jantung, dan kantuk.
kanal klorida,
memungkinkan masuknya
Benzodiaze ion klorida ke dalam sel,
pine menyebabkan peningkatan
potensial elektrik sepanjang
membran sel dan
menyebabkan sel sukar
tereksitasi
Farmakokinetik :
Absorbsi sempurna dan
cepat, kecuali klorazepat.
Terikat kuat pada protein
plasma. Metabolisme di hati.
Ekskresi di urin.
Asam ++ ++ +++ +++
valproat Farmakodinamik : Efek samping : Kontraindikasi

23
Mamblokade kanal natrium Sedasi, Penurunan : Rp.
dan menyebabkan intektualitas, Tremor, Hipersensitif 15.922/50
hiperpolarisasi potensial mual muntah, tablet
istirahat membran neuron gangguan hati,
akibat peningkatan daya Trombositopenia, dan
konduksi membran untuk gangguan fungsi
kalium. Memiliki efek anti trombosit, Rambut
konvulsi dengan rontok, Teratogenik
meningkatkan GABA di otak
Farmakokinetik : diabsorbsi
cepat. Kadar maksimum
dicapai setelah 1-3 jam
dengan waktu paruh 8-10
jam. Metabolisme di hati.
Ekskresi di urin
+ +++ ++ -
Efektif untuk obat ES: mual. Sakit KI: hipersensitif
antiepilepsi tipe absence, kepala, kantuk, ruam suksinamid
tidak efektif untuk serangan kulit, agranulositosis
suksinamid tonik klonik umum, dan pansitopenia
bangkitan parsial kompleks
& pasial kejang dgn
kerusakan organik otak yang
berat
Efektif untuk obat - - -
oksazolidin antiepilepsi tipe absence
dion tetapi sekarang sudah jarang
digunakan

24
Berdasakan tabel diatas, maka terpilihlah golongan obat karbamazepine sebagai terapi
dari kasus ini.

Golongan Efficacy Safety Suitability Cost

+++ +++ +++ +++


Farmakodinamik : Efek samping : Pusing, Kontraindikasi : Rp.
Menurunkan influks ion Vertigo, Sedasi, Penurunan Gangguan 33.271/10
natrium dan kalsium ke intektualitas, Nistagmus, konduksi AV, 0 tablet
membran neuron, ataksia, diplopia, riwayat depresi
mengurangi aktivitas Diskinesia, Perburukan sumsum tulang,
kejang. epilepsi, Gangguan hati, porfiria
Efektif untuk semua Penurunan asam folat,
serangan epilepsi parsial hiponatremia, kemerahan, Indikasi: epilepsi
dan sangat efektif untuk teratogenik (bangkitan parsial
serrangan tonik klonik Dosis: sederhana,
Karbama
Farmakokinetik : DD : 1000-2000 mg/hari kompleks
zepin
A: lengkap dan lambat, DA:15-25 mg/kgBB/hari bangkitan parsial
disaluran cerna yang menjadi
berikatan dengan protein Posologi : umum, bangkitan
75%. Dosis anak dibawah 6 umum tonik-
M: di hati. tahun, 100 mg sehari. 6-12 klonik).
E:urin. tahun, 2 kali 100 mg sehari.
Waktu paruh 25-65 jam. Dosis dewasa : dosis awal 2
kali 200 mg sehari pertama,
selanjutnya dosis
ditingkatkan secara
bertahap.

Golongan obat yang dipilih yaitu Carbamazepine, karena ditinjau dari


Efficacy, cost, dan suitability-nya hampir sama dengan obat lainnya, namun safety
nya cukup baik. Dan juga obat ini merupakan terapi lini pertama dalam
pengobatan epilepsy grand mal
4. Pemberian Terapi
a. Terapi Non Farmakologis

25
i. Menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, seperti kelelahan,
kurang tidur, hormonal, minum alkohol.
ii. Menghindari kelelahan fisik maupun mental.
iii. pasien dirujuk ke bagian neurologi untuk dilakukan pemeriksaan EEG
iv. Fisioterapi dan Psikoterapi

b. Terapi Farmakologis
Carbamazepine 200 mg 2 x 1
Penulisan Resep

PRAKTER DOKTER BERSAMA


dr. Amalia Aswin, Sp.S
Jl. Pramuka 6A No 02 Telp.0541-744123
SIP. 1810029001
Samarinda, 12 Maret 2019

/ Carbamazepine tab 200 mg No. XXX


S 2 dd 1/2 tab

Pro : Nn. X
Umur : 12 thn
Alamat : Jl. Y No.Z

5. Komunikasi Terapi
a. Informasi Penyakit :
i. Epilepsi bukan suatu penyakit menular, bukan pula penyakit
keturunan, dapat terjadi pada setiap orang, dan dapat diobati serta
dapat dikendalikan.
ii. Penyakit ini adalah bentuk epilepsy yang paling sering ditemukan.
Serangan meyebabkan hilangnya kesadaran, jadi merupakan suatu hal

26
yang wajar jika pasien mengalami kehilangan kesadaran saat serangan
berlangsung.
iii. Tidak perlu panik karena kejang akan mereda sendiri
iv. Hindarkan barang-barang yang berbahaya di sekitar pasien ketika
serangaan datang
v. Hindarkan tindakan yang salah seperti member minum saat tidak sadar
atau menahan kejang serta disiram air.
vi. Ketika kejang pasien ditidurkan, pakaian dilonggarkan
vii. Cegah orang-orang menonton pasien.
viii. Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita
ix. Pendampingan pada pasien epilepsi utamanya anak-anak perlu
pendampingan sehingga lingkungan dapat menerima dengan baik
x. Pasienepilepsi dapat beraktivitas dengan baik
b. Informasi Terapi Non Farmakologis
i. Menjelaskan kepada pasien bahwa harus menghindari faktor-faktor
yang dapat mencetuskan bangkitan kejang, seperti kelelahan, kurang
tidur, hormonal, minum alkohol, emosi ataupun kelelahan fisik dan
mental
ii. Pasien penyandang epilepsy dianjurkan untuk secepatnya
menghubungi dokter dan mengikuti nasehat serta disiplin minum obat
yang diberikan
iii. Pasien tidak boleh putus obat dan mengurangi sendiri dosis obat.
iv. Pasien dan keluarganya sangat dianjurkan untuk membuat catatan
mengenai waktu datangnya bangkitan. Pemeriksaan neurologis disertai
EEG perlu dilakukan secara berkala.

c. Informasi Terapi Farmakologis


i. Indikasi : epilepsi (bangkitan parsial sederhana, kompleks bangkitan
parsial yang menjadi umum, bangkitan umum tonik-klonik)
ii. Kontraindikasi : Gangguan konduksi AV, riwayat depresi sumsum
tulang, porfiria

27
iii. Dosis : 1 tablet Karbamazepine 200 mg dibagi dua, diminum dua kali
sehari
iv. Cara pemakaian : oral
v. Efek samping obat : Pusing, Vertigo, Sedasi, Penurunan intektualitas,
Nistagmus, ataksia, diplopia, Diskinesia, Perburukan epilepsi,
Gangguan hati, Penurunan asam folat, hiponatremia, kemerahan,
teratogenik.
6. Monitoring dan Evaluasi
a. Kontrol pengobatan
Pasien diharuskan datang kembali untuk kontrol beserta meminta obat lagi
sebelum obat habis karena penyakit ini tidak boleh putus obat
b. Obat dihentikan minimal setelah dua – tiga tahun bebas kejang, aktivitas
paroksismal EEG telah menghilang dan tidak dijumpai retardasi
psikomotorik dan deficit neurologis, secara bertahap. Dengan cara
mengurangi dosis sebesar 25% tiap dua atau empat minggu
c. Monitoring obat anti epilepsi dalam serum

28
DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2014). Farmakologi Dasar dan
Klinik Edisi keduabelas. Jakarta: EGC.

Kelompok Studi Epiepsi. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. PERDOSSI.

Utama, H., & instiaty. (2016). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.

29

Anda mungkin juga menyukai