Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ulkus Kaki Diabetik

2.1.1. Definisi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronis dari penyakit

diabetes melitus berupa luka pada permukaan kulit kaki penderita diabetes disertai

dengan kerusakan jaringan bagian dalam atau kematian jaringan, baik dengan

ataupun tanpa infeksi, yang berhubungan dengan adanya neuropati dan atau

penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus (Alexiadou dan Doupis,

2012).

2.1.2. Epidemiologi Ulkus Kaki Diabetik

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis metabolik yang paling umum

dijumpai di seluruh dunia dengan prevalensi yang cenderung meningkat, oleh

karena perubahan gaya hidup, kurangnya aktifitas fisik, dan obesitas. Amerika

Serikat mencatat pada tahun 2013 didapatkan hampir 2,9 juta penduduk menderita

diabetes melitus. Di Inggris tercatat jumlah penderita diabetes melitus meningkat

53% dari tahun 2006 sampai tahun 2013, yaitu dari 1,9 juta penderita menjadi 2,9

juta orang. Masa harapan hidup (life expectancy) penderita diabetes memendek

sampai dengan 15 tahun dan 75% meninggal akibat dari komplikasi miksovaskular

(NICE Guidelines, 2015). Organisasi kesehatan dunia (World Health

Organization/WHO) memperkirakan pada tahun 2000, jumlah total populasi

8
9

penderita diabetes tipe 1 dan 2 mencapai 3% dari total jumlah populasi penduduk

di seluruh dunia. Berdasarkan penelitian dari Zubair et al didapatkan bahwa sepuluh

Negara besar berikut memiliki prevalensi DM dan jumlah penderita DM usia 29-70

tahun yang ditunjukkan pada tabel 2.1:

Tabel 2.1
Jumlah Penderita Diabetes Usia 20-79 tahun di Sepuluh Negara Besar tahun 2010
dan tahun 2030

2010 2030

Negara Juml. Penderita DM Negara Juml. Penderita


(juta) DM (juta)

1 India 50,8 India 87,0

2 China 43, China 62,6

3 USA 26,8 USA 36,0

4 Russian 9,6 Russian 13,8

5 Brazil 7,6 Brazil 12,7

6 Germany 7,5 Germany 12,0

7 Pakistan 7,1 Pakistan 11,9

8 Japan 7,1 Japan 10,4

9 Indonesia 7,0 Indonesia 10,3

10 Mexico 6,8 Mexico 8,6

Dikutip dari: Zubair, M., Malik, A., Ahmad, J., 2015. Diabetic Foot Ulcer: A
review. American Journal of Internal Medicine 3(2): 28-49, Feb,
2015.

Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara yang memiliki prevalensi

penyakit diabetes melitus yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Pada tahun 1983 prevalensi DM di Indonesia mencapai 1,63% yang terus


10

meningkat menjadi 5,7% pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi 6,0% pada

tahun 2030 (Yusuf et al., 2016).

Pada populasi penderita diabetes diperkirakan sebanyak 15% akan

mengalami komplikasi berupa ulkus kaki diabetik (Zubair et al., 2015). UKD

merupakan penyebab tersering pasien mendapat perawatan di rumah sakit dan

meningkatkan kejadian amputasi non traumatik. Prevalensinya sekitar 4-10% di

antara populasi penderita diabetes melitus, dengan insiden mengalami ulkus selama

masa hidup penderitanya mencapai 25% (Pemayun et al., 2015) Di Amerika Serikat

prevalensi ulkus diabetik adalah sebesar 11,6% pada tahun 2003 seperti dilaporkan

oleh Centres For Disease Control and Prevention (CDCP). Pada tahun yang sama

prevalensinya di Inggris juga tinggi yaitu mencapai 7,4% (Zubair et al, 2015). Di

Indonesia sendiri prevalensi ulkus diabetik mencapai 24%, setelah komplikasi lain

berupa neuropati dan mikrovaskular (Yusuf et al., 2016).

Ulkus kaki diabetik yang kronis dan sulit disembuhkan menjadi penyebab

tersering dilakukannya non traumatik amputasi (lower leg amputation/LEA) pada

penderita diabetes melitus, yaitu mencapai 82%. Adanya infeksi pada ulkus

ditambah dengan gangguan aliran darah ke bagian distal ekstremitas menyebabkan

ulkus menjadi resisten terhadap terapi konvensional dan meningkatkan resiko

penderita diabetes mengalami amputasi kaki. Penelitian di Pakistan melaporkan

kejadian amputasi kaki meningkat pada ulkus diabetik derajat berat (Wagner grade

≥3) Data penelitian kohort di Turki juga menyebutkan bahwa derajat keparahan

ulkus diabetik menjadi faktor prediktor kuat terjadinya amputasi kaki. Penelitian

observasional terhadap 94 penderita diabetes di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang


11

menemukan bahwa kejadian amputasi ekstremitas bawah meningkat pada ulkus

diabetik Wagner derajat 3 sebanyak 15,9% dan Wagner derajat 4 sebanyak 31,9%

(Pemayun et al., 2015). Prevalensi ulkus diabetik yang tinggi juga ditunjukkan oleh

data penelitian observasional cross sectional study di RSUP Sanglah Denpasar ,

dimana didapatkan dari 32 penderita diabetes yang menjadi subyek penelitian

sebanyak 12% mengalami komplikasi ulkus diabetik Wagner derajat 4 (Dwikayana

et al., 2016). Data lainnya juga menunjukkan tingginya tingkat pembedahan

(debridement) pada 256 penderita ulkus kaki diabetik tahun 2014, dimana 92 orang

atau sebanyak 35,9% mengalami amputasi ektresmitas bawah (Semadi, 2016).

2.1.3. Etiologi Ulkus Kaki

Ulkus Kaki Diabetik pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik yaitu

neuropati, iskemia, dan infeksi (Singh et al., 2013).

a. Neuropati

Sebanyak 60% penyebab terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes adalah

neuropati. Peningkatan gula darah mengakibatkan peningkatan aldose reduktase

dan sorbitol dehidrogenase dimana enzim-enzim tersebut mengubah glukosa

menjadi sorbitol dan fruktosa. Produk gula yang terakumulasi ini mengakibatkan

sintesis myoinositol pada sel saraf menurun sehingga mempengaruhi konduksi

saraf. Hal ini menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan inervasi saraf

pada otot kaki. Penurunan sensasi ini mengakibatkan pasien memiliki resiko yang

lebih tinggi untuk mendapatkan cedera ringan tanpa disadari sampai berubah

menjadi suatu ulkus. Resiko terjadinya ulkus pada kaki pada pasien dengan
12

penurunan sensoris meningkat tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien

diabtes tanpa gangguan neuropati (Singh et al., 2013)

b. Vaskulopati

Keadaan hiperglikemi mengakibatkan disfungsi dari sel-sel endotel dan

abnormalitas pada arteri perifer. Penurunan nitric oxide akan mengakibatkan

konstriksi pembuluh darah dan meningkatkan resiko aterosklerosis, yang akhirnya

menimbulkan iskemia. Pada DM juga terjadi peningkatan tromboksan A2 yang

mengakibatkan hiperkoagulabilitas plasma. Manifestasi klinis pasien dengan

insufisiensi vaskular menunjukkan gejala berupa klaudikasio, nyeri pada saat

istirahat, hilangnya pulsasi perifer, penipisan kulit, serta hilangnya rambut pada

kaki dan tangan (Singh et al, 2013).

c. Immunopati

Sistem kekebalan atau imunitas pada pasien DM mengalami gangguan

(compromise) sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada luka. Selain

menurunkan fungsi dari sel-sel polimorfonuklear, gula darah yang tinggi adalah

medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri yang dominan pada infeksi

kaki adalah aerobik gram positif kokus seperti S. aureus dan β-hemolytic

streptococci .Pada telapak kaki banyak terdapat jaringan lunak yang rentan terhadap

infeksi dan penyebaran yang mudah dan cepat kedalam tulang, dan mengakibatkan

osteitis. Ulkus ringan pada kaki dapat dengan mudah berubah menjadi

osteitis/osteomyelitis dan gangrene apabila tidak ditangani dengan benar (Singh et

al., 2013).
13

1.1.4. Patofisiologi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik terbentuk dari berbagai mekanisme patofisiologi dan

neuropati diabetika merupakan salah satu faktor yang paling berperan. Menurunnya

input sensorik pada ekstremitas bawah menyebabkan kaki mudah mengalami

perlukaan dan cenderung berulang. Selain neuropati, komplikasi diabetes yang lain

adalah vaskulopati baik pada mikrovasular maupun makrovasular. Hal ini

menyebabkan aliran darah ke ekstremitas bawah berkurang dan terhambatnya

tekanan oksigen gradien di jaringan. Keadaan hipoksia dan trauma berulang ini

menyebabkan ulkus berkembang menjadi luka kronis (Heyneman et al., 2016).

Hubungan neuropati, vaskulopati dan trauma pada patofisiologi terbentuknya UKD

ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1
Patofisiologi Ulkus Kaki Diabetik
Dikutip dari: Frykberg, R.G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., Driver, V.R., Giurini,
J.M., et al. 2006. Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice
Guideline (2006 revision). J Foot Ankle Surg. 45(Suppl.):S1-S66.
14

Neuropati perifer merupakan faktor predisposisi yang paling awal muncul

meliputi disfungsi sensoris, autonom dan neuropati motorik. Gangguan serabut

sensoris menyebabkan menurunnya sensasi nyeri sehingga kaki penderita diabetik

dapat dengan mudah mengalami perlukaan tanpa disadari. Disfungsi autonom

menyebabkan perubahan aliran mikrovaskuler dan terjadi arteri-vena shunting

sehingga mengganggu perfusi ke jaringan, meningkatkan temperatur kulit dan

terjadi edema. Selain itu, kaki penderita menjadi kering dan mudah timbul fisura

karena menurunnya fungsi kelenjar keringat sehingga cenderung menjadi

hiperkeratosis dan mudah timbul ulkus. Neuropati motorik menyebabkan

kelemahan otot sehingga terjadi biomekanik abnormal pada kaki dan menimbulkan

deformitas seperti Hammer toes, claw toes, dan Charcot. Bersama dengan adanya

neuropati memudahkan terbentuknya kalus (Hobizal, K.B., 2012; Clayton, 2009).

Deformitas pada kaki diabetik ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2
A. Claw toe deformity, B. Charcot arthropathy
Dikutip dari: Clayton, Elasy. 2009. A review of The Pathophysiology, Classification
and Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clinical Diabetes.
Volume 27, Number 2.
Di samping neuropati perifer, angiopati diabetika merupakan faktor yang

paling sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada penderita. Manifestasi


15

makroangiopati tampak sebagai obstruksi pada pembeuluh darah besar yaitu arteri

infrapopliteal dan terganggunya sirkulasi darah kolateral. Hal ini menimbulkan

penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) pada ekstremitas

bawah. PAD sendiri merupakan faktor resiko yang meningkatkan kejadian ulkus

diabetik terinfeksi (diabetik foot infection). Sedangkan akibat dari mikroangiopati

adalah penebalan membrane basal kapiler dan disfungsi endotel yang mengganggu

pertukaran nutrien dan oksigen sehingga terjadi iskemia di jaringan (Ho, T.K et al.,

2012).

2.1.5. Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik

Derajat ulkus diabetik dapat ditentukan dengan beberapa sistem klasifikasi

yang telah banyak dikembangkan, antara lain:

Klasifikasi Wagner-Meggitt’s

Sistem klasifikasi ini telah dikembangkan sejak tahun 1970 dimana terdapat

6 grading untuk menentukan derajat lesi pada kaki diabetik. Derajat 0,1,2, dan 3

adalah berdasarkan kedalaman luka dan keterlibatan jaringan lunak pada kaki,

sedangkan derajat 4 dan 5 adalah berdasarkan ada tidaknya gangren (Jain et al.,

2012). Klasifikasi ini telah dipergunakan secara luas hingga saat ini dan

ditunjukkan pada tabel 2.2.


16

Tabel 2.2. Klasifikasi Wagner

Grade 0 Tidak terdapat ulkus,


Grade 1 Ulkus superficial yang mengenai seluruh lapisan kulit tapi
tidak mengenai jaringan dibawahnya
Grade 2 Ulkus dalam, penetrasi ke dalam sampai ligament dan otot,
tapi tidak mengenai tulang atau terdapat abses
Grade 3 Ulkus dalam dengan selulitis atau abses, sering dengan
osteomyelitis
Grade 4 Gangren yang terlokalisasi pada fore foot
Grade 5 Gangren yang mengenai seluruh kaki

Dikutip dari: Jain, A.K., 2012. A New Classification of Diabetic Foot


Complications: A Simple and Effective Teaching Tool. The Journal
of Diabetic Foot Complication, vol 4, issue 1, No.1, 2012

Modifikasi dari klasifikasi Wagner adalah Klasifikasi Texas (University of

Texas Wound Classification) yang terdiri dari empat derajat dan menilai ada

tidaknya infeksi dan atau iskemia. Sistem ini dapat memprediksi outcome dari

penderita ulkus diabetik karena meningkatnya derajat ulkus menandakan kesulitan

kesembuhan dan meningkatnya resiko amputasi. Penjabaran klasifikasi Texas

ditunjukkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Sistem Klasifikasi University of Texas

Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3


Stage A Lesi pre- atau Luka superfisial, Luka Luka
post- ulserasi tidak melibatkan melibatkan melibatkan
dengan tendon, kapsul, tendon atau tulang atau
atau tulang kapsul sendi
epitelisasi
sempurna

Stage B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi


Stage C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
Stage D Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan
iskemia iskemia iskemia iskemia
Dikutip dari: Singh, S., Pai, D.R., Yuhhui, C., 2013. Diabetic Foot Ulcer –
Diagnosis and Management. Clinical Research on Foot and
Ankle, vol 1, issue 3, 2013.)
17

2.1.6. Diagnosis Ulkus Kaki Diabetik

Diagnosis ulkus kaki diabetik ditegakkan berdasarkan anamnesa yang baik

tentang lamanya onset diabetes melitus, adanya keluhan polifagi, polidipsi, dan

poliuria, keluhan neuropati dan penyakit vascular perifer, riwayat ulkus maupun

amputasi sebelumnya, serta penurunan berat badan. Pemeriksaan fisik meliputi

keadaan umum penderita didapatkan status gizi kurang dan pemeriksaan lokal pada

kaki meliputi inspeksi adanya deformitas (Hammar toes,claw toes, charcot join),

kulit yang kering, fisura, ulkus, vena-vena yang tampak prominen disertai oedem.

Perabaan pulsasi arteri perifer, ankle brachial index, dan capillary refill time harus

diperiksa. Pemeriksaan ulkus kaki meliputi lokasinya, ukuran ulkus, kedalaman,

dasar ulkus dan tepinya. Permukaan ulkus dinilai adakah jaringan granulasi atau

slough serta tanda-tanda inflamasi seperti kemerahan, hangat, nyeri dan adanya

eksudasi (Singh et al., 2013).

Adanya neuropati sensoris dapat dinilai dengan menggunakan monofilamen

dan biothesiometer. Semmes-Weinstein monofilament bahkan dikatakan dapat

memprediksi resiko terjadinya ulserasi dan amputasi. Pemeriksaan laboratorium

standar yang diperiksa adalah kadar glukosa darah, glycosylated hemoglobin

(HbA1c), serta fungsi hati dan ginjal sebagai monitoring status metabolik penderita.

Bila terdapat infeksi maka pemeriksaan kultur mikrobiologi dapat dilakukan untuk

menentukan agen kuman penyebab (Singh et al., 2013).


18

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk menentukan gangguan

vaskuler adalah ankle brachial index atau toe brachial index. Nilai ABI kurang dari

0,9 menandakan adanya obtruksi vaskuler dan skor yang kurang dari 0,4

menandakan adanya nekrosis jaringan serta merupakan resiko yang siginifikan

terjadinya amputasi. Pemeriksaan pulse oksimetri juga merupakan parameter yang

efektif dalam menilai perfusi ke jaringan. Pengukuran kadar oksigen transkutaneus

dapat digunakan sebagai indikator perfusi di sekitar luka atau ulkus untuk

menentukan kesembuhan luka. TcPo2 yang kurang dari 20 mmHg menandakan

penyembuhan luka yang sulit (Singh et al., 2013).

Pemeriksaan foto polos radiologi adalah pemeriksaan imaging yang paling

sering dipilih pada ulkus kaki diabetik karena biayanya lebih murah dan mudah

dikerjakan. Pemeriksaan ini dapat memberi informasi adanya perubahan artropati,

osteomielitis dan adanya pembentukan gas pada jaringan lunak. Tetapi bila

akumulasi gas minimal maka sulit untuk menilai adanya perubahan pada jaringan

lunak seperti selulitis, fasciitis atau abses. Peranan imaging lainnya seperti CT scan

masih terbatas pada kaki diabetik tetapi memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan foto polos, yaitu: lebih sensitif dan spesifik dalam menilai erosi

kortek tulang, adanya sequester, gas pada jaringan lunak dan kalsifikasi. Sedangkan

modalitas pemeriksaan imaging yang paling baik dalam menilai perubahan pada

jaringan lunak dan sumsum tulang penderita kaki diabetik adalah MRI.

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya edema dan osteomielitis sebagai tahap

awal dari neuroartropati dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (90-100%

dan 40-100%). MRI memiliki kemampuan multiplanar imaging dengan kontras


19

yang tinggi pada jaringan lunak sehingga dapat menilai ada tidaknya infeksi

(Sanverdi, 2012).

Pemeriksaan lain yang memiliki sensitifitas lebih baik untuk menilai adanya

perubahan awal neuroartropati maupun osteomielitis adalah radioisotope , tetapi

biayanya mahal dan waktunya lama. Metoda bone scan yang paling sering

digunakan adalah nuclear medicine scintigraphy (NMS) yaitu scintigraphy tiga fase

pada tulang menggunakan 99m-technetium (99mTc) phosphonates. Pengambilan

tiga fase tersebut untuk menilai adanya hiperperfusi fokal, hiperemia fokal dan

imaging dari tulang untuk mengetahui adanya oesteomielitis. Pemeriksaan ini

memiliki sensitifitas 94% dan spesifisitas 95%. Prosedur radionuklida yang sering

dikombinasi dengan bone scan ini adalah labeled leucocytes imaging, yaitu

mendeteksi akumulasi leukosit pada jaringan lunak dan tulang dengan adanya

uptake 99mTc. Akurasi pemeriksaan ini meningkat dengan sensitifitasnya menjadi

72-100% dan spesifitasnya menjadi 72-98% (Sanverdi, 2012).

2.1.7. Penanganan Ulkus Kaki Diabetik

Standar perawatan ulkus kaki diabetik meliputi kontrol glikemia, perfusi

yang adekuat, debridemen luka, off-loading, kontrol infeksi, antibiotika yang tepat,

dan penanganan komorbid yang menyertai. Pengobatan ulkus kaki diabetik dengan

standar perawatan saja seringkali memberi hasil yang tidak maksimal sehingga

dikombinasi juga dengan terapi adjuvant. Beberapa terapi adjuvan yang digunakan

antara lain: penggunaan granulocyte colony stimulating factors (GCSF), pemberian


20

faktor pertumbuhan (growth factor therapy) dan bioengineered tissue, serta terapi

oksigen hiperbarik (Schaper et al., 2007).

2.2. Penyembuhan luka

2.2.1. Definisi Luka

Luka akut adalah gangguan integritas kulit meliputi epidermis dan dermis,

dimana tahapan proses penyembuhan jaringan berlangsung dalam waktu kurang

dari 4 minggu. Sedangkan luka kronis adalah luka yang tidak dapat sembuh dalam

waktu yang sesuai dengan waktu penyembuhan normal. Luka kronis ini dalam

patofisiologinya terhenti pada satu fase penyembuhan luka dalam waktu yang lama.

Luka yang tidak sembuh selama lebih dari 3 bulan dapat disebut luka kronis

(Schaper et al, 2007).

2.2.2. Proses Penyembuhan Luka Akut

Jaringan yang mengalami perlukaan akut akan segera memulai proses

healing melalui 4 fase yaitu hemostatis, inflamasi, proliferasi dan remodeling.

Proses fisiologis ini berjalan saling berhubungan dan ditunjukkan pada gambar 2.3.
21

Gambar 2.3
Fase Penyembuhan luka
Dikutip dari: Thackham, J.A., McElwain, S., Long, R.J. 2007. The Use of
Hyperbaric Oxygen Therapy to Treat Chronic Wounds: A review.
Wound Repair and Regeneration, June, 2007.

Dalam setiap fase biologis ini oksigen merupakan nutrient yang sangat

diperlukan untuk mencapai kesembuhan luka. Pada fase inflamasi, peran oksigen

adalah mengatur migrasi dan proliferasi fibroblast. Pertumbuhan bakteri juga

ditekan melalui mekanisme interselular oksidatif. Kadar oksigen pada jaringan luka

juga sangat menentukan fungsi kerja neutrofil untuk mencegah terjadinya infeksi

karena dalam keadaan hipoksia neutrofil menjadi tidak aktif. Pada fase proliferasi,

proses angiogenesis mutlak membutuhkan oksigen. Demikian pula pada fase

remodeling, produksi kolagen bergantung pada kadar oksigen jaringan (Thackham

et al., 2007). Kondisi jaringan luka yang hipoksia atau mengalami defisiensi
22

oksigen harus dikoreksi (Heyneman et al., 2016). Adapun peran oksigen dalam

penyembuhan luka dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Peran Oksigen dalam Penyembuhan Luka

Angiogenesis: Neovaskularisasi terjadi lebih cepat


pada jaringan bertekanan oksigen
tinggi ke tekanan rendah
Hidroksilasi dan pembentukan kolagen: Proses ini bergantung kepada
tekanan partial oksigen lokal di
jaringan
Modifikasi kolagen: Oleh fibroblast membutuhkan
tekanan partial oksigen yang tinggi
Sintesis asam hyaluronat dan proteoglikan: Meningkat dengan adanya suplai
oksigen jaringan yang cukup
Mengontrol epitelialisasi Mempercepat wound healing
Mekanisme oksidasi oleh leukosit Efek bakterisidal

Dikutip dari: Heyneman, C.A., Lawless, C-Liday., 2016. Using Hyperbaric


Oxygen to Treat Diabetic Foot Ulcers: Safety and Effectiveness.
Critical Care Nurse, vol 22, No.6, Dec, 2002.

Menurut Thackham empat fase dalam proses penyembuhan luka atau wound

healing berjalan saling berhubungan dan dijabarkan sebagai berikut:

a. Hemostasis

Fase hemostasis pada penyembuhan luka yang normal berlangsung selama

beberapa jam. Tahap ini dimulai dengan adanya cedera akut atau perlukaan pada

jaringan yang memicu darah dari sistem kapiler mengalir ke daerah luka tersebut

dengan mengangkut platelet dan fibrinogen. Platelet akan menempel pada

komponen matriks ekstraseluler (ECM) dan melepaskan faktor pembekuan untuk

pembentukan blood clot dan mencegah kehilangan darah lebih lanjut. Selain itu,

platelet juga melepaskan stimulus kimia seperti platelet derived growth factor
23

(PDGF), transforming growth factor β (TGF β), dan vascular endothelial growth

factor (VEGF).

b. Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung selama beberapa hari dan diawali dengan sampainya

neutrofil di daerah luka dalam 24 jam pertama setelah terjadinya cedera. Neutrofil

akan segera memulai proses fagositosis terhadap materi asing, bakteri, dan blood

clot. Growth factor sebagai stimulus kimia yang dilepaskan pada fase hemostasis

juga akan menarik monosit ke daerah luka. Pada tahap ini monosit dikenal sebagai

makrofag yang fungsinya sangat penting dalam proses terbentuknya angiogenesis,

deposit matrik, dan epitelialisasi. Makrofag secara aktif bermigrasi di daerah luka

untuk memakan materi-materi nekrotik sambil melepaskan berbagai macam growth

factor seperti: macrofag derived growth factor (MDGF), VEGF, endothelial growth

factor (EGF), PDGF, dan TGF β.

c. Proliferasi

Pada tahap proliferasi komponen sel yang dominan adalah fibroblast. Proliferasi

fibroblast bersifat oxygen-dependent, dimana sel ini akan bertahan dan berfungsi

apabila kadar oksigen jaringan mencukupi. Fibroblast dibawa ke daerah luka

bersama dengan makrofag pada saat fagositosis. Stimulasi kimiawi oleh platelet

derived growth factor (PDGF) mengaktifkan fibroblast untuk memproduksi

kolagen sebagai komponen utama pada matrik ekstraselular (ECM) yang baru.

Fibroblast kemudian berdiferensiasi menjadi miofibroblast, yang selanjutnya

tersusun dalam satu baris pada matrik selular baru tersebut. Formasi mifibroblast

ini merupakan kontruksi sel yang tegang dan kuat. Struktur ini berfungsi sebagai
24

bed luka dimana sel-sel endotel bemigrasi untuk membentuk pembuluh darah yang

baru. Fibroblast selanjutnya akan memproduksi berbagai macam growth factor

lainnya seperti: VEGF, TGF β, dan PDGF, yang menstimulasi keratinosit untuk

bermigrasi di daerah luka. Keratinosit akan berproliferasi membentuk lapisan epitel

untuk menutup luka.

Bersama dengan fibroblast dan makrofag di daerah luka, keratinosit

menstimulasi sel-sel endotel dari jaringan sehat sekitarnya untuk melepaskan

matrix metalloproteinase (MMPs). MMPs selanjutnya mencerna membran basal

sehingga bisa dilewati oleh sel-sel endotel. Growth factor juga ikut menstimulasi

tersusunnya sel-sel endotel sebagai cabang kapiler yang baru. Proses ini merupakan

sinyal untuk memulai angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru dari

jaringan vaskuler yang sudah ada. Angiogenesis merupakan proses yang paling

penting dalam penyembuhan luka dan bersifat oxygen dependent. Ekstensi

pembuluh darah baru ke daerah luka memudahkan transport oksigen dan

mikronutrisi lebih banyak, serta membawa makrofag dan fibroblast lebih dalam ke

daerah cedera. Makrofag, fibroblast, ECM dan cabang kapiler baru disebut sebagai

satu kesatuan healing unit. Bila pembuluh darah telah terbentuk diseluruh jaringan

luka, kadar oksigen kembali mencapai normal maka proses healing akan berhenti.

d. Remodeling

Fase remodeling berlangsung selama beberapa bulan bahkan tahun dan ketiadaan

oksigen selama fase ini mengakibatkan penurunan densitas pembuluh darah dan

meningkatnya apoptosis sel. Pada fase akhir penyembuhan luka, jaringan granulasi
25

mengalami remodeling untuk meningkatkan tensile strength. Adapun keseluruhan

proses biologis ini ditunjukkan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4
Fisiologi penyembuhan luka
Dikutip dari: Mendes, J.J., Neves, J., 2012. Diabetic Foot Infection: Current
Diagnosis and Treatment. The Journal of Diabetic Foot
Complications, Vol 4, No 1, p26-45, 2012.

1.2.3. Penyembuhan Luka Kronis

Pada luka yang kronis proses healing jaringan gagal mencapai integritas

fungsi dan anatomi kembali seperti normal, walaupun telah melalui seluruh fase

penyembuhan. Luka kronis seringkali merupakan suatu manifestasi klinis dari

berbagai penyakit dasar seperti insufisiensi vena,penyakit arteri atau diabetes.

Perawatan terhadap luka kronis cenderung terfokus pada perawatan ulkus di

permukaannya saja sehingga tidak berhasil mencapai penyembuhan. Berbagai


26

faktor yang menyebabkan luka menjadi kronis masih belum banyak diketahui,

namun salah satu faktor yang paling penting adalah terjadinya defisiensi oksigen

yang berkepanjangan (prolonge wound hypoxia). Deposit matriks ekstra seluler

(ECM) juga menjadi kurang karena produksi fibroblast dan remodeling kolagen

sangat bergantung pada kecukupan oksigen jaringan. Pada perkembangan luka

kronis, proses healing dapat terhenti pada setiap fase, terutama pada tahap inflamasi

atau proliferasi. Terhambatnya fase proliferasi menyebabkan menumpuknya

produksi neutrofil di jaringan yang sebaliknya akan menghancurkan growth factor

dan mendegradasi komponen matrik ekstraseluler. Hal ini menyebabkan jaringan

menjadi rapuh (Thackham et al, 2007). Pada diabetes, fase inflamasi persisten

menyebabkan terjadinya pemanjangan waktu maturasi jaringan granulasi dan

reduksi paralel dari tensile strength. (McLennan, 2006). Perbedaan waktu tahap

penyembuhan luka akut dan kronis ditunjukkan pada gambar 2.5 dan gambar 2.6.
27

Gambar 2.5.
Tahapan penyembuhan luka kronis
Dikutip dari: Flanagan, M., 2007. The Physiology of Wound Healing. Journal of
Wound Care, Vol 9, No 6, Jun, 2007

Gambar 2.6
Tahapan Penyembuhan luka akut
Dikutip dari: Flanagan, M., 2007. The Physiology of Wound Healing. Journal of
Wound Care, Vol 9, No 6, Jun, 2007
28

1.3. Terapi Oksigen Hiperbarik

2.3.1. Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik

Selama lebih dari 40 tahun yang lalu terapi oksigen hiperbarik telah

direkomendasi untuk berbagai kondisi medis, namun sampai tahun 1960 belum ada

data penelitian yang menunjukkan efektifitasnya. Terapi Hiperbarik okigen pertama

kali digunakan pada penyakit dekompresi yaitu suatu penyakit yang dialami oleh

penyelam dan pekerja tambang bawah tanah akibat penurunan tekanan saat naik ke

permukaan secara mendadak. Pada masa itu penggunaan oksigen hiperbarik adalah

berdasarkan pengalaman klinis dan didukung oleh suatu badan komite yang disebut

The Undersea and Hyperbaric Medical Society (Leach et al., 1998;Peter et al.,

2000). Komite ini berhasil menetapkan beberapa indikasi penggunaan hiperbarik

untuk keadaan patologi pada ekstremitas bawah yaitu: clostridial myonecrosis,

iskemia akibat trauma akut, penyembuhan luka, infeksi nekrotikan pada jaringan

lunak (soft tissue), osteomielitis berulang, skin graft atau flap yang rusak, dan luka

bakar. Pada tahun 1970 dimulailah penggunaan oksigen hiperbarik sebagai terapi

tambahan pada penderita kaki diabetik setelah adanya laporan keberhasilan

pengobatan ini yang ditunjukkan oleh beberapa data penelitian (Goldman, 2009).

Data penelitian prospektif dari Faglia et al melaporkan kejadian amputasi

mayor (transtibial atau lebih proksimal) pada 70 orang penderita kaki diabetik yang

diberi terapi oksigen hiperbarik adalah lebih rendah daripada kelompok yang

mendapat terapi standar (Duzgun, A.P., et al., 2008). Efektifitas oksigen hiperbarik

pun semakin banyak dibuktikan melalui beberapa uji klinis pada penderita kaki

diabetik dan dapat dilihat pada tabel berikut (Heyneman, C.A., et al., 2016).
29

2.3.2. Prinsip Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik merupakan pemberian oksigen 100% secara

intermiten dalam suatu ruangan bertekanan di atas 1 atmosfer absolut (ATA).

Atmosphere absolute (ATA) adalah tekanan atmosfer di atas permukaan laut yang

setara dengan 101,3 kiloPa. Pemberian oksigen hiperbarik dapat dilakukan dalam

monoplace chamber maupun multiplace chamber. Monoplace chamber digunakan

oleh satu orang pasien dan tekanan dalam ruangan ini mencapai 2 sampai 2,5 ATA

dengan oksigen 100%. Multiplace chamber juga mempunyai tekanan yang sama

tetapi dapat digunakan oleh beberapa orang pasien. Terapi oksigen hiperbarik

biasanya diberikan selama 5 hari dalam seminggu, dengan minimal pemberian

sebanyak 20 kali. Jumlah total pemberian terapi berkisar antara 20 sampai 60 kali

(Carls, C., et al., 2013). Prinsip oksigen hiperbarik adalah berdasarkan hukum

Henry, yaitu jumlah gas yang dapat terlarut dalam cairan adalah sesuai dengan

tekanan partial gas.

2.3.2.1. Efek Mekanik Terapi Oksigen Hiperbarik

Pasien yang diberikan terapi di dalam chamber mendapat paparan gas yang

bertekanan 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari tekanan atmosfer normal sehingga

jumlah gas yang terlarut dalam plasma darah akan meningkat dari 0,32% menjadi

6,8% dari volume darah. Hiperbarik tidak berefek pada jumlah oksigen yang terikat

dengan hemoglobin karena kadarnya sudah mencapai 97% pada ruangan dengan

tekanan atmosfer yang sama dengan permukaan laut. Maka dari itu, pemberian
30

oksigen 100% selama terapi hiperbarik menimbulkan kedaan hipersaturasi yang

mempermudah oksigen sampai ke jaringan. Pada kedaan hiperbarik difusi oksigen

dari pembuluh darah ke jaringan juga meningkat.

Tekanan partial oksigen pada jaringan yang hipoksia setelah terapi

hiperbarik dapat meningkat mencapai 200 mmHg, sedangkan pada kondisi

normobarik hanya meningkat dari 10 menjadi 20 mmHg. Respon jaringan terhadap

oksigen dapat diukur pada bagian distal dari ekstremitas bawah melalui

trancutaneous oxymetri (TcPO2). Nilai normal yang terbaca pada pengukuran

adalah 30 mmHg (Heyneman et al., 2016).

Tingginya tekanan oksigen dalam darah memudahkan difusinya ke jaringan.

Pada tekanan gas 3 atmosfer (300 kPa), kelarutan oksigen dalam plasma darah dapat

mencapai 60 ml/plasma sehingga dapat mencukupi suplai oksigen ke berbagai

macam jaringan. Semakin tinggi tekanan gas yang diberikan maka kadar oksigen

dalam arteri juga meningkat dan ditunjukkan pada tabel 2.4:

Tabel 2.4. Hubungan tekanan oksigen di arteri dan jumlah oksigen yang
terlarut dalam darah

Oksigen % level ATA Tekanan oksigen Milliliter


arteri (mmHg) oksigen dalam
plasma per dL
darah
21 1 100 0,31
100 1 660 2,0
100 2 1400 4,3
100 3 2200 6,8
Dikutip dari: Thackham, J.A., McElwain, S., Long, R.J. 2007. The Use of
Hyperbaric Oxygen Therapy to Treat Chronic Wounds: A
review. Wound Repair and Regeneration, June, 2007.
31

2.3.2.2. Efek Biokimiawi Terapi Oksigen Hiperbarik

Keadaan hiperoksia yang diciptakan oleh gas bertekanan tinggi tersebut

memberi keuntungan karena dapat meningkatkan angiogenesis dan pembentukan

matrik kolagen yang sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.

Tabel 2.5. Efek Biokimiawi terapi hiperbarik oksigen

Meningkatkan promosi angiogenesis


Membunuh bakteri anaerob
Menhambat pertumbuhan species bakteri tertentu seperti
pseudomonas
Mencegah pembentukan toksin alfa clostridial
Mengembalikan fungsi neutrofil dalam membunuh bakteri pada
jaringan yang hipoksia
Mengurangi adesi leukosit dengan menghambat produksi radikal
bebas
Mengurangi edema
Mempromosikan proliferasi sel
Memodulasi sistem imun

Dikutip dari: Heyneman, C.A., Lawless, C-Liday., 2016. Using Hyperbaric


Oxygen to Treat Diabetic Foot Ulcers: Safety and Effectiveness.
Critical Care Nurse, vol 22, No.6, Dec, 2002.

Adapun Peningkatan kadar oksigen pada luka yang hipoksia disebut sebagai

efek yang menguntungkan dari penggunaan terapi oksigen hiperbarik karena dapat

mempercepat proses penyembuhan luka. Penggunaan TOH sebagai terapi

tambahan pada luka yang kronis yang sulit sembuh dilaporkan dalam beberapa

penelitian dari The Centers for Medicare and Madicaid (Wang, 2003). Penelitian

tersebut di atas terdiri dari randomized controlled trials, nonrandomized

comparison studies, dan case series, yang mana melakukan evaluasi pemberian

TOH pada ulkus diabetik. TOH diberikan dengan tekanan 2-2,8 ATA selama 5 hari

dalam seminggu dengan durasi lama setiap terapi adalah 45-90 menit. Dari hasil
32

penelitian tersebut diketahui bahwa TOH memberi efek yang bermakna terhadap

menurunnya ukuran ulkus diabetik dibandingkan dengan perawatan konvensional

saja. Meningkatnya kesembuhan luka berpengaruh terhadap menurunnya resiko

amputasi kaki (Wang, 2003).

2.3.3. Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan Terapi Oksigen Hiperbarik

Berdasarkan guideline yang ditetapkan oleh Centers for Medicare and

Medicaid Service penggunaan terapi hiperbarik diberikan pada ulkus diabetik

Wagner derajat 3 atau lebih pada penderita diabetes tipe 2, yang gagal dengan terapi

konvensional saja (Carls et al, 2013). The American Diabetes Association

merekomendasikan penggunaan terapi hiperbarik pada luka di ekstremitas bawah

yang mengancam (limb or life-threatening) dan tidak respon terhadap semua terapi,

iskemia yang tidak dapat dikoreksi melalui pembedahan vaskuler (Heyneman et al,

2016).

Tabel 2.6. Indikasi TOH berdasarkan UHMS

1. Emboli gas atau udara 8. Kerusakan radiasi (nekrosis tulang


2. Insufisiensi arteri dan jaringan lunak)
a. Oklusi arteri retina sentral 9. Kehilangan pendengaran
b. Peningkatan kesembuhan pada sensorineural mendadak idiopatik
luka 10. Abses intrakranial
3. Keracunan karbon monoksida 11. Infeksi jaringan lunak nekrotisasi
4. Mionekrosis klostridia (gas gangren) 12. Osteomielitis refraktori
5. Graft dan flap 13. Anemia berat
6. Crush injuries dan sindrom 14. Luka bakar termal
kompartemen otot skeletal
7. Gangguan dekompresi
Dikutip dari:Weaver, L.K., editor. 2014. Hyperbaric Oxygen Therapy Indications.
13th Ed. USA: Undersea and Hyperbaric Medical Society
33

Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi absolut

dan relatif dijabarkan oleh Duzgun sebagai berikut:

1. Kontraindikasi absolut: pneumothorax, pasien yang mendapat terapi

bleomycin, disulfiram, doxorubicin dan mafenide acetate

2. Kontraindikasi relatif: emfisema, demam, riwayat pneumothorax spontan,

neuritis optika, infeksi saluran napas atas, kehamilan, hipoglikemia, kejang,

pasien yang mendapat terapi kortikosteroid

2.3.4. Efek Samping Terapi Oksigen Hiperbarik

Pemberian terapi dengan tekanan yang tidak melebihi 300 kPa dan durasi

terapi yang kurang dari 120 menit tidak menimbulkan efek yang berbahaya. Efek

samping dari terapi ini biasanya ringan dan reversible. Miopia yang reversible

merupakan efek samping yang paling sering dijumpai dan dapat berlangsung

selama beberapa minggu atau bulan. Efek samping lainnya adalah keracunan

oksigen, yang dapat dicegah dengan cara memberikan udara biasa di dalam

chamber setiap 30 menit selama 5 menit (Leach et al, 1998). Pada penderita

diabetes, terapi oksigen hiperbarik dapat menimbulkan kondisi hipoglikemia karena

selama terapi kadar glukosa darah dapat turun di bawah 50 mg/dl (Carls et al, 2013).

2.4. Metoda Pengukuran Luka

Penilaian luka dilakukan secara holistik yang meliputi faktor lokal pada luka

itu sendiri dan faktor-faktor umum yang mempengaruhi kesembuhan luka tersebut.

Penilaian luka dilakukan bersamaan dengan proses perawatan luka untuk


34

mengevaluasi kemajuan penyembuhan luka. Secara garis besar ada 4 parameter

yang digunakan dalam pengukuran luka yaitu: panjang, lebar, kedalaman, dan

diameter. Untuk mendapatkan ukuran luka yang akurat maka sebaiknya

pengukuran luka dilakukan secara konsisten dari satu titik pada tepi luka ke tepi

lainnya. Terdapat dua teknik pengukuran luka yang konvensional menurut Benbow,

yaitu:

1. Two dimensional assessment

Adalah teknik mengukur permukaan luka dalam dimensi panjang dan lebar.

Alat ukur yang digunakan adalah mistar atau penggaris. Dapat juga dipakai alat

bantu seperti plastik transparan yang diletakkan di atas luka dengan mengikuti

(tracing) tepi luka tersebut.

Gambar 2.7.
Teknik Pengukuran luka Two Dimensional Assesment
Dikutip dari: Benbow, 2016. Best Practice in Wound Assesment. Nursing
Standard,Vol 30, N0 27, p40-47, March, 2016

2. Three dimensional assessment

Adalah teknik pengukuran luka yang dalam atau full thickness maupun

fistel atau sinus, dalam dimensi panjang, lebar dan dalam. Panjang merupakan

ukuran terjauh dari arah proksimal ke distal, sedangkan lebar adalah jarak terjauh

dari sisi kanan ke kiri. Kedalaman luka merupakan jarak dari dasar atau bed luka
35

ke arah kulit atau permukaan luka. Luka yang berupa fistel dapat diukur dengan

cara menginstilasi cairan kedalam fistel kemudian diaspirasi dan dihitung

volumenya.

Gambar 2.8
Teknik Pengukuran luka Three Dimensional Assesment
Dikutip dari: Benbow, 2016. Best Practice in Wound Assesment. Nursing
Standard,Vol 30, N0 27, p40-47, March, 2016

Keterbatasan teknik pengukuran luka two dimensional assessment adalah

interpretasi subyektif dan pengukuran berbagai variasi bentuk disamakan dalam

dimensi panjang kali lebar, yang mana penghitungan panjang kali lebar secara

matematis hanya akurat pada ulkus yang berbentuk bujur sangkar atau segi empat,

sehingga terdapat kelebihan perhitungan sebesar 40% dari perhitungan sebenarnya

(Rogers, 2010).

Teknik pengukuran luka dengan teknologi yang lebih maju dapat

menggunakan beberapa metode berikut:

1. Metode planimetri, memakai film transparan yang ditempelkan diatas

ulkus, kemudian tepi ulkus dijiplak pada film dan film discan secara

digital, jumlah kotak yang terisi dihitung secara manual, selanjutnya

dikalkulasi melalui computer. Teknik ini hasilnya lebih akurat


36

dibanding dengan teknik standar memakai penggaris sederhana

(Rogers, 2010)

Gambar 2.9
Teknik Planimetri
Dikutip dari: Rogers, L.C., Bevilacqua, N.J., Armstrong, D.G., Andros., 2010.
Digital planimetry results in more accurate wound measurement:
a comparison to standard ruler measurements. J Diabetes Sci
Technol 1;4(4):799-802, Jul, 2010

2. Metode fotografi merupakan sebuah alternatif yang akurat untuk

mengukur area luka. Dengan teknik ini luka tetap bersih dan tidak

terkontaminasi, karena kontak dengan dasar luka dapat dihindarkan.

Teknik pada metode ini adalah luka difoto, dimana pada gambar dari

hasil foto tersebut terdapat bingkai pengukur untuk mengihtung

kalibrasi gambar, kemudian gambar di-upload ke komputer

selanjutnya dibuka dengan image J. Tepi luar luka ditentukan secara

digital kemudian dengan software image J luas area luka dapat

dinilai.
37

Gambar 2.10
Digital Planimetry
Dikutip dari: Rogers, L.C., Bevilacqua, N.J., Armstrong, D.G., Andros., 2010.
Digital planimetry results in more accurate wound measurement:
a comparison to standard ruler measurements. J Diabetes Sci
Technol 1;4(4):799-802, Jul, 2010

Berkurangnya ukuran ulkus, bisa dipakai untuk meramalkan penyebuhan

ulkus. Ulkus yang mencapai pengurangan area sebesar ≥ 60% pada minggu

keempat, memiliki kemungkinan sembuh sebesar 77%. Besarnya perubahan area

ulkus pada awal minggu pertama pengobatan dapat memperkirakan kemungkinan

sembuh pada minggu ke 16, serta dapat mengetahui secara rasional untuk

mengevaluasi kembali ulkus dan mengubah jenis terapi. (Bien, 2014).


38

Anda mungkin juga menyukai