TINJAUAN PUSTAKA
Ulkus kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronis dari penyakit
diabetes melitus berupa luka pada permukaan kulit kaki penderita diabetes disertai
dengan kerusakan jaringan bagian dalam atau kematian jaringan, baik dengan
ataupun tanpa infeksi, yang berhubungan dengan adanya neuropati dan atau
penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus (Alexiadou dan Doupis,
2012).
karena perubahan gaya hidup, kurangnya aktifitas fisik, dan obesitas. Amerika
Serikat mencatat pada tahun 2013 didapatkan hampir 2,9 juta penduduk menderita
53% dari tahun 2006 sampai tahun 2013, yaitu dari 1,9 juta penderita menjadi 2,9
juta orang. Masa harapan hidup (life expectancy) penderita diabetes memendek
sampai dengan 15 tahun dan 75% meninggal akibat dari komplikasi miksovaskular
8
9
penderita diabetes tipe 1 dan 2 mencapai 3% dari total jumlah populasi penduduk
Negara besar berikut memiliki prevalensi DM dan jumlah penderita DM usia 29-70
Tabel 2.1
Jumlah Penderita Diabetes Usia 20-79 tahun di Sepuluh Negara Besar tahun 2010
dan tahun 2030
2010 2030
Dikutip dari: Zubair, M., Malik, A., Ahmad, J., 2015. Diabetic Foot Ulcer: A
review. American Journal of Internal Medicine 3(2): 28-49, Feb,
2015.
penyakit diabetes melitus yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
meningkat menjadi 5,7% pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi 6,0% pada
mengalami komplikasi berupa ulkus kaki diabetik (Zubair et al., 2015). UKD
antara populasi penderita diabetes melitus, dengan insiden mengalami ulkus selama
masa hidup penderitanya mencapai 25% (Pemayun et al., 2015) Di Amerika Serikat
prevalensi ulkus diabetik adalah sebesar 11,6% pada tahun 2003 seperti dilaporkan
oleh Centres For Disease Control and Prevention (CDCP). Pada tahun yang sama
prevalensinya di Inggris juga tinggi yaitu mencapai 7,4% (Zubair et al, 2015). Di
Indonesia sendiri prevalensi ulkus diabetik mencapai 24%, setelah komplikasi lain
Ulkus kaki diabetik yang kronis dan sulit disembuhkan menjadi penyebab
penderita diabetes melitus, yaitu mencapai 82%. Adanya infeksi pada ulkus
kejadian amputasi kaki meningkat pada ulkus diabetik derajat berat (Wagner grade
≥3) Data penelitian kohort di Turki juga menyebutkan bahwa derajat keparahan
ulkus diabetik menjadi faktor prediktor kuat terjadinya amputasi kaki. Penelitian
diabetik Wagner derajat 3 sebanyak 15,9% dan Wagner derajat 4 sebanyak 31,9%
(Pemayun et al., 2015). Prevalensi ulkus diabetik yang tinggi juga ditunjukkan oleh
(debridement) pada 256 penderita ulkus kaki diabetik tahun 2014, dimana 92 orang
Ulkus Kaki Diabetik pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik yaitu
a. Neuropati
Sebanyak 60% penyebab terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes adalah
menjadi sorbitol dan fruktosa. Produk gula yang terakumulasi ini mengakibatkan
saraf. Hal ini menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan inervasi saraf
pada otot kaki. Penurunan sensasi ini mengakibatkan pasien memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk mendapatkan cedera ringan tanpa disadari sampai berubah
menjadi suatu ulkus. Resiko terjadinya ulkus pada kaki pada pasien dengan
12
penurunan sensoris meningkat tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien
b. Vaskulopati
istirahat, hilangnya pulsasi perifer, penipisan kulit, serta hilangnya rambut pada
c. Immunopati
menurunkan fungsi dari sel-sel polimorfonuklear, gula darah yang tinggi adalah
medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri yang dominan pada infeksi
kaki adalah aerobik gram positif kokus seperti S. aureus dan β-hemolytic
streptococci .Pada telapak kaki banyak terdapat jaringan lunak yang rentan terhadap
infeksi dan penyebaran yang mudah dan cepat kedalam tulang, dan mengakibatkan
osteitis. Ulkus ringan pada kaki dapat dengan mudah berubah menjadi
al., 2013).
13
neuropati diabetika merupakan salah satu faktor yang paling berperan. Menurunnya
perlukaan dan cenderung berulang. Selain neuropati, komplikasi diabetes yang lain
tekanan oksigen gradien di jaringan. Keadaan hipoksia dan trauma berulang ini
Gambar 2.1
Patofisiologi Ulkus Kaki Diabetik
Dikutip dari: Frykberg, R.G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., Driver, V.R., Giurini,
J.M., et al. 2006. Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice
Guideline (2006 revision). J Foot Ankle Surg. 45(Suppl.):S1-S66.
14
terjadi edema. Selain itu, kaki penderita menjadi kering dan mudah timbul fisura
kelemahan otot sehingga terjadi biomekanik abnormal pada kaki dan menimbulkan
deformitas seperti Hammer toes, claw toes, dan Charcot. Bersama dengan adanya
Gambar 2.2
A. Claw toe deformity, B. Charcot arthropathy
Dikutip dari: Clayton, Elasy. 2009. A review of The Pathophysiology, Classification
and Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clinical Diabetes.
Volume 27, Number 2.
Di samping neuropati perifer, angiopati diabetika merupakan faktor yang
makroangiopati tampak sebagai obstruksi pada pembeuluh darah besar yaitu arteri
penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) pada ekstremitas
bawah. PAD sendiri merupakan faktor resiko yang meningkatkan kejadian ulkus
adalah penebalan membrane basal kapiler dan disfungsi endotel yang mengganggu
pertukaran nutrien dan oksigen sehingga terjadi iskemia di jaringan (Ho, T.K et al.,
2012).
Klasifikasi Wagner-Meggitt’s
Sistem klasifikasi ini telah dikembangkan sejak tahun 1970 dimana terdapat
6 grading untuk menentukan derajat lesi pada kaki diabetik. Derajat 0,1,2, dan 3
adalah berdasarkan kedalaman luka dan keterlibatan jaringan lunak pada kaki,
sedangkan derajat 4 dan 5 adalah berdasarkan ada tidaknya gangren (Jain et al.,
2012). Klasifikasi ini telah dipergunakan secara luas hingga saat ini dan
Texas Wound Classification) yang terdiri dari empat derajat dan menilai ada
tidaknya infeksi dan atau iskemia. Sistem ini dapat memprediksi outcome dari
tentang lamanya onset diabetes melitus, adanya keluhan polifagi, polidipsi, dan
poliuria, keluhan neuropati dan penyakit vascular perifer, riwayat ulkus maupun
keadaan umum penderita didapatkan status gizi kurang dan pemeriksaan lokal pada
kaki meliputi inspeksi adanya deformitas (Hammar toes,claw toes, charcot join),
kulit yang kering, fisura, ulkus, vena-vena yang tampak prominen disertai oedem.
Perabaan pulsasi arteri perifer, ankle brachial index, dan capillary refill time harus
dasar ulkus dan tepinya. Permukaan ulkus dinilai adakah jaringan granulasi atau
slough serta tanda-tanda inflamasi seperti kemerahan, hangat, nyeri dan adanya
(HbA1c), serta fungsi hati dan ginjal sebagai monitoring status metabolik penderita.
Bila terdapat infeksi maka pemeriksaan kultur mikrobiologi dapat dilakukan untuk
vaskuler adalah ankle brachial index atau toe brachial index. Nilai ABI kurang dari
0,9 menandakan adanya obtruksi vaskuler dan skor yang kurang dari 0,4
dapat digunakan sebagai indikator perfusi di sekitar luka atau ulkus untuk
sering dipilih pada ulkus kaki diabetik karena biayanya lebih murah dan mudah
osteomielitis dan adanya pembentukan gas pada jaringan lunak. Tetapi bila
akumulasi gas minimal maka sulit untuk menilai adanya perubahan pada jaringan
lunak seperti selulitis, fasciitis atau abses. Peranan imaging lainnya seperti CT scan
dibandingkan foto polos, yaitu: lebih sensitif dan spesifik dalam menilai erosi
kortek tulang, adanya sequester, gas pada jaringan lunak dan kalsifikasi. Sedangkan
modalitas pemeriksaan imaging yang paling baik dalam menilai perubahan pada
jaringan lunak dan sumsum tulang penderita kaki diabetik adalah MRI.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya edema dan osteomielitis sebagai tahap
awal dari neuroartropati dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (90-100%
yang tinggi pada jaringan lunak sehingga dapat menilai ada tidaknya infeksi
(Sanverdi, 2012).
Pemeriksaan lain yang memiliki sensitifitas lebih baik untuk menilai adanya
biayanya mahal dan waktunya lama. Metoda bone scan yang paling sering
digunakan adalah nuclear medicine scintigraphy (NMS) yaitu scintigraphy tiga fase
tiga fase tersebut untuk menilai adanya hiperperfusi fokal, hiperemia fokal dan
memiliki sensitifitas 94% dan spesifisitas 95%. Prosedur radionuklida yang sering
dikombinasi dengan bone scan ini adalah labeled leucocytes imaging, yaitu
mendeteksi akumulasi leukosit pada jaringan lunak dan tulang dengan adanya
yang adekuat, debridemen luka, off-loading, kontrol infeksi, antibiotika yang tepat,
dan penanganan komorbid yang menyertai. Pengobatan ulkus kaki diabetik dengan
standar perawatan saja seringkali memberi hasil yang tidak maksimal sehingga
dikombinasi juga dengan terapi adjuvant. Beberapa terapi adjuvan yang digunakan
faktor pertumbuhan (growth factor therapy) dan bioengineered tissue, serta terapi
Luka akut adalah gangguan integritas kulit meliputi epidermis dan dermis,
dari 4 minggu. Sedangkan luka kronis adalah luka yang tidak dapat sembuh dalam
waktu yang sesuai dengan waktu penyembuhan normal. Luka kronis ini dalam
patofisiologinya terhenti pada satu fase penyembuhan luka dalam waktu yang lama.
Luka yang tidak sembuh selama lebih dari 3 bulan dapat disebut luka kronis
Proses fisiologis ini berjalan saling berhubungan dan ditunjukkan pada gambar 2.3.
21
Gambar 2.3
Fase Penyembuhan luka
Dikutip dari: Thackham, J.A., McElwain, S., Long, R.J. 2007. The Use of
Hyperbaric Oxygen Therapy to Treat Chronic Wounds: A review.
Wound Repair and Regeneration, June, 2007.
Dalam setiap fase biologis ini oksigen merupakan nutrient yang sangat
diperlukan untuk mencapai kesembuhan luka. Pada fase inflamasi, peran oksigen
ditekan melalui mekanisme interselular oksidatif. Kadar oksigen pada jaringan luka
juga sangat menentukan fungsi kerja neutrofil untuk mencegah terjadinya infeksi
karena dalam keadaan hipoksia neutrofil menjadi tidak aktif. Pada fase proliferasi,
et al., 2007). Kondisi jaringan luka yang hipoksia atau mengalami defisiensi
22
oksigen harus dikoreksi (Heyneman et al., 2016). Adapun peran oksigen dalam
Menurut Thackham empat fase dalam proses penyembuhan luka atau wound
a. Hemostasis
beberapa jam. Tahap ini dimulai dengan adanya cedera akut atau perlukaan pada
jaringan yang memicu darah dari sistem kapiler mengalir ke daerah luka tersebut
pembentukan blood clot dan mencegah kehilangan darah lebih lanjut. Selain itu,
platelet juga melepaskan stimulus kimia seperti platelet derived growth factor
23
(PDGF), transforming growth factor β (TGF β), dan vascular endothelial growth
factor (VEGF).
b. Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung selama beberapa hari dan diawali dengan sampainya
neutrofil di daerah luka dalam 24 jam pertama setelah terjadinya cedera. Neutrofil
akan segera memulai proses fagositosis terhadap materi asing, bakteri, dan blood
clot. Growth factor sebagai stimulus kimia yang dilepaskan pada fase hemostasis
juga akan menarik monosit ke daerah luka. Pada tahap ini monosit dikenal sebagai
deposit matrik, dan epitelialisasi. Makrofag secara aktif bermigrasi di daerah luka
factor seperti: macrofag derived growth factor (MDGF), VEGF, endothelial growth
c. Proliferasi
Pada tahap proliferasi komponen sel yang dominan adalah fibroblast. Proliferasi
fibroblast bersifat oxygen-dependent, dimana sel ini akan bertahan dan berfungsi
bersama dengan makrofag pada saat fagositosis. Stimulasi kimiawi oleh platelet
kolagen sebagai komponen utama pada matrik ekstraselular (ECM) yang baru.
tersusun dalam satu baris pada matrik selular baru tersebut. Formasi mifibroblast
ini merupakan kontruksi sel yang tegang dan kuat. Struktur ini berfungsi sebagai
24
bed luka dimana sel-sel endotel bemigrasi untuk membentuk pembuluh darah yang
lainnya seperti: VEGF, TGF β, dan PDGF, yang menstimulasi keratinosit untuk
sehingga bisa dilewati oleh sel-sel endotel. Growth factor juga ikut menstimulasi
tersusunnya sel-sel endotel sebagai cabang kapiler yang baru. Proses ini merupakan
sinyal untuk memulai angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru dari
jaringan vaskuler yang sudah ada. Angiogenesis merupakan proses yang paling
mikronutrisi lebih banyak, serta membawa makrofag dan fibroblast lebih dalam ke
daerah cedera. Makrofag, fibroblast, ECM dan cabang kapiler baru disebut sebagai
satu kesatuan healing unit. Bila pembuluh darah telah terbentuk diseluruh jaringan
luka, kadar oksigen kembali mencapai normal maka proses healing akan berhenti.
d. Remodeling
Fase remodeling berlangsung selama beberapa bulan bahkan tahun dan ketiadaan
oksigen selama fase ini mengakibatkan penurunan densitas pembuluh darah dan
meningkatnya apoptosis sel. Pada fase akhir penyembuhan luka, jaringan granulasi
25
Gambar 2.4
Fisiologi penyembuhan luka
Dikutip dari: Mendes, J.J., Neves, J., 2012. Diabetic Foot Infection: Current
Diagnosis and Treatment. The Journal of Diabetic Foot
Complications, Vol 4, No 1, p26-45, 2012.
Pada luka yang kronis proses healing jaringan gagal mencapai integritas
fungsi dan anatomi kembali seperti normal, walaupun telah melalui seluruh fase
faktor yang menyebabkan luka menjadi kronis masih belum banyak diketahui,
namun salah satu faktor yang paling penting adalah terjadinya defisiensi oksigen
(ECM) juga menjadi kurang karena produksi fibroblast dan remodeling kolagen
kronis, proses healing dapat terhenti pada setiap fase, terutama pada tahap inflamasi
menjadi rapuh (Thackham et al, 2007). Pada diabetes, fase inflamasi persisten
reduksi paralel dari tensile strength. (McLennan, 2006). Perbedaan waktu tahap
penyembuhan luka akut dan kronis ditunjukkan pada gambar 2.5 dan gambar 2.6.
27
Gambar 2.5.
Tahapan penyembuhan luka kronis
Dikutip dari: Flanagan, M., 2007. The Physiology of Wound Healing. Journal of
Wound Care, Vol 9, No 6, Jun, 2007
Gambar 2.6
Tahapan Penyembuhan luka akut
Dikutip dari: Flanagan, M., 2007. The Physiology of Wound Healing. Journal of
Wound Care, Vol 9, No 6, Jun, 2007
28
Selama lebih dari 40 tahun yang lalu terapi oksigen hiperbarik telah
direkomendasi untuk berbagai kondisi medis, namun sampai tahun 1960 belum ada
kali digunakan pada penyakit dekompresi yaitu suatu penyakit yang dialami oleh
penyelam dan pekerja tambang bawah tanah akibat penurunan tekanan saat naik ke
permukaan secara mendadak. Pada masa itu penggunaan oksigen hiperbarik adalah
berdasarkan pengalaman klinis dan didukung oleh suatu badan komite yang disebut
The Undersea and Hyperbaric Medical Society (Leach et al., 1998;Peter et al.,
iskemia akibat trauma akut, penyembuhan luka, infeksi nekrotikan pada jaringan
lunak (soft tissue), osteomielitis berulang, skin graft atau flap yang rusak, dan luka
bakar. Pada tahun 1970 dimulailah penggunaan oksigen hiperbarik sebagai terapi
pengobatan ini yang ditunjukkan oleh beberapa data penelitian (Goldman, 2009).
mayor (transtibial atau lebih proksimal) pada 70 orang penderita kaki diabetik yang
diberi terapi oksigen hiperbarik adalah lebih rendah daripada kelompok yang
mendapat terapi standar (Duzgun, A.P., et al., 2008). Efektifitas oksigen hiperbarik
pun semakin banyak dibuktikan melalui beberapa uji klinis pada penderita kaki
diabetik dan dapat dilihat pada tabel berikut (Heyneman, C.A., et al., 2016).
29
Atmosphere absolute (ATA) adalah tekanan atmosfer di atas permukaan laut yang
setara dengan 101,3 kiloPa. Pemberian oksigen hiperbarik dapat dilakukan dalam
oleh satu orang pasien dan tekanan dalam ruangan ini mencapai 2 sampai 2,5 ATA
dengan oksigen 100%. Multiplace chamber juga mempunyai tekanan yang sama
tetapi dapat digunakan oleh beberapa orang pasien. Terapi oksigen hiperbarik
sebanyak 20 kali. Jumlah total pemberian terapi berkisar antara 20 sampai 60 kali
(Carls, C., et al., 2013). Prinsip oksigen hiperbarik adalah berdasarkan hukum
Henry, yaitu jumlah gas yang dapat terlarut dalam cairan adalah sesuai dengan
Pasien yang diberikan terapi di dalam chamber mendapat paparan gas yang
bertekanan 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari tekanan atmosfer normal sehingga
jumlah gas yang terlarut dalam plasma darah akan meningkat dari 0,32% menjadi
6,8% dari volume darah. Hiperbarik tidak berefek pada jumlah oksigen yang terikat
dengan hemoglobin karena kadarnya sudah mencapai 97% pada ruangan dengan
tekanan atmosfer yang sama dengan permukaan laut. Maka dari itu, pemberian
30
oksigen dapat diukur pada bagian distal dari ekstremitas bawah melalui
Pada tekanan gas 3 atmosfer (300 kPa), kelarutan oksigen dalam plasma darah dapat
macam jaringan. Semakin tinggi tekanan gas yang diberikan maka kadar oksigen
Tabel 2.4. Hubungan tekanan oksigen di arteri dan jumlah oksigen yang
terlarut dalam darah
Adapun Peningkatan kadar oksigen pada luka yang hipoksia disebut sebagai
efek yang menguntungkan dari penggunaan terapi oksigen hiperbarik karena dapat
tambahan pada luka yang kronis yang sulit sembuh dilaporkan dalam beberapa
penelitian dari The Centers for Medicare and Madicaid (Wang, 2003). Penelitian
comparison studies, dan case series, yang mana melakukan evaluasi pemberian
TOH pada ulkus diabetik. TOH diberikan dengan tekanan 2-2,8 ATA selama 5 hari
dalam seminggu dengan durasi lama setiap terapi adalah 45-90 menit. Dari hasil
32
penelitian tersebut diketahui bahwa TOH memberi efek yang bermakna terhadap
Wagner derajat 3 atau lebih pada penderita diabetes tipe 2, yang gagal dengan terapi
yang mengancam (limb or life-threatening) dan tidak respon terhadap semua terapi,
iskemia yang tidak dapat dikoreksi melalui pembedahan vaskuler (Heyneman et al,
2016).
Pemberian terapi dengan tekanan yang tidak melebihi 300 kPa dan durasi
terapi yang kurang dari 120 menit tidak menimbulkan efek yang berbahaya. Efek
samping dari terapi ini biasanya ringan dan reversible. Miopia yang reversible
merupakan efek samping yang paling sering dijumpai dan dapat berlangsung
selama beberapa minggu atau bulan. Efek samping lainnya adalah keracunan
oksigen, yang dapat dicegah dengan cara memberikan udara biasa di dalam
chamber setiap 30 menit selama 5 menit (Leach et al, 1998). Pada penderita
selama terapi kadar glukosa darah dapat turun di bawah 50 mg/dl (Carls et al, 2013).
Penilaian luka dilakukan secara holistik yang meliputi faktor lokal pada luka
itu sendiri dan faktor-faktor umum yang mempengaruhi kesembuhan luka tersebut.
yang digunakan dalam pengukuran luka yaitu: panjang, lebar, kedalaman, dan
pengukuran luka dilakukan secara konsisten dari satu titik pada tepi luka ke tepi
lainnya. Terdapat dua teknik pengukuran luka yang konvensional menurut Benbow,
yaitu:
Adalah teknik mengukur permukaan luka dalam dimensi panjang dan lebar.
Alat ukur yang digunakan adalah mistar atau penggaris. Dapat juga dipakai alat
bantu seperti plastik transparan yang diletakkan di atas luka dengan mengikuti
Gambar 2.7.
Teknik Pengukuran luka Two Dimensional Assesment
Dikutip dari: Benbow, 2016. Best Practice in Wound Assesment. Nursing
Standard,Vol 30, N0 27, p40-47, March, 2016
Adalah teknik pengukuran luka yang dalam atau full thickness maupun
fistel atau sinus, dalam dimensi panjang, lebar dan dalam. Panjang merupakan
ukuran terjauh dari arah proksimal ke distal, sedangkan lebar adalah jarak terjauh
dari sisi kanan ke kiri. Kedalaman luka merupakan jarak dari dasar atau bed luka
35
ke arah kulit atau permukaan luka. Luka yang berupa fistel dapat diukur dengan
volumenya.
Gambar 2.8
Teknik Pengukuran luka Three Dimensional Assesment
Dikutip dari: Benbow, 2016. Best Practice in Wound Assesment. Nursing
Standard,Vol 30, N0 27, p40-47, March, 2016
dimensi panjang kali lebar, yang mana penghitungan panjang kali lebar secara
matematis hanya akurat pada ulkus yang berbentuk bujur sangkar atau segi empat,
(Rogers, 2010).
ulkus, kemudian tepi ulkus dijiplak pada film dan film discan secara
(Rogers, 2010)
Gambar 2.9
Teknik Planimetri
Dikutip dari: Rogers, L.C., Bevilacqua, N.J., Armstrong, D.G., Andros., 2010.
Digital planimetry results in more accurate wound measurement:
a comparison to standard ruler measurements. J Diabetes Sci
Technol 1;4(4):799-802, Jul, 2010
mengukur area luka. Dengan teknik ini luka tetap bersih dan tidak
Teknik pada metode ini adalah luka difoto, dimana pada gambar dari
dinilai.
37
Gambar 2.10
Digital Planimetry
Dikutip dari: Rogers, L.C., Bevilacqua, N.J., Armstrong, D.G., Andros., 2010.
Digital planimetry results in more accurate wound measurement:
a comparison to standard ruler measurements. J Diabetes Sci
Technol 1;4(4):799-802, Jul, 2010
ulkus. Ulkus yang mencapai pengurangan area sebesar ≥ 60% pada minggu
sembuh pada minggu ke 16, serta dapat mengetahui secara rasional untuk