Anda di halaman 1dari 3

Filsafat, Etika, dan Kearifan Lokal untuk

Konstruksi Moral Kebangsaan


Nama: Fatiha Kurnia Putri

NIM : 151911813042a

Prodi: D3 Bahasa Inggris

Manifestasi ide/gagasan pada ranah kenyataan yang mewujud dalam tata-aturan


tentang mana yang baik dan mana yang buruk, untuk kemudian distandarisasi sesuai
dengan paradigma dan ideologi, cara pandang, ataupun konsensus yang berlaku. Etika
sendiri memiliki cara pandang yang hampir sama dengan nilai, norma, ataupun moralitas.
Hubungan manusia yang sudah berikatan inilah yang menjadi dasaran bagi
terciptanya sistematika organisasi dalam birokrasi dengan keseluruhan legalitas dan
legitimasi yang melingkupi. Saat ini tantangan demi hambatan yang menghadang
sistematika tersebut, mulai dari ketidakjelasan implementasi, kegamangan sistem
etika/filsafat yang berawal dari disfungsi konsensus dan berakhir pada ketidakberpihakan
birokrasi itu sendiri kepada masyarakat.
Birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self
serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan
kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih
mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan.
Reformasi Birokrasi bukan hanya sekadar mengatur absensi pegawai di
Kementerian Keuangan, melainkan dibutuhkan alat ukur yang lebih tajam dalam
memperhitungkan kinerja birokrasi saat ini. Namun, disisi lain identifikasi muramnya
kinerja birokrasi ditambah pula dengan tindakan korupsi yang melingkupi mereka.
Penelitian yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) TII 2005-2007
menempatkan kepolisian, parlemen, partai politik dan lembaga peradilan dalam daftar
teratas institusi yang paling korup. Satu sisi arus global mengkondisikan bagaimana sebuah
iklim keterbukaan, demokratisasi, serta transaparansiakuntabilitas disertakan di setiap lini
kepemerintahan, termasuk penyelenggaraan organisasi kemasyarakatan, tata-aturan
masyarakat, sampai pengaturan pihak swasta. Sehingga, aspek keberpihakan pelayanan
menjadi titik sentral dalam melihat kesetaraan antara negara, pasar, dan masyarakat.
Pancasila menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lewat nilai,
moral, norma dan etika yang ditanamkan sebagai bagian dari landasan filosofis serta
kepribadian negara-bangsa. Dengan begitu, ditemukan kesesuaian nilai kepribadian tersebut
dengan wilayah birokrasi pada ranah Governance, sekaligus “penjaga” regulasi pada level
etika bernegara-berbangsa.

Perihal Etika
Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan
berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Yang mana dapat disimpulkan bahwa etika
adalah: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan terutama tentang hak dan
kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) nilai
mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika memiliki tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat moral,
yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Sebagai sistem pemikiran tentunya konsep dasar
filsafat digunakan dalam mengkaji etika dalam sebuah hubungan keseimbangan antara cipta,
rasa, dan karsa. Hubungan tersebut didasari landasan pemikiran bahwasanya ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi yaitu apakah hakikat pemikiran tersebut, Epistemologi yaitu mengapa ada
pemikiran tersebut, sementara Aksiologi adalah bagaimana cara untuk melaksanakan
pemikiran tersebut. Khazanah pemikiran akan dibagi dalam empat bagian: (1) filsafat
sebagai kajian yang mempelajari tentang hakikat pemikiran; (2) etika sebagai kajian yang
mempelajari tentang bagaimana sebaiknya manusia berperilaku; (3) estetika sebagai kajian
yang mempelajari tentang keteraturan antara makhluk hidup; (4) metafisika sebagai kajian
yang melihat hubungan manusia dengan unsur di luar nalarnya.
Teori etika yang ada hanyalah cara pandang atau sudut pengambilan pendapat
tentang bagaimana harusnya manusia tersebut bertingkah laku. Meskipun pada akhirnya
akan mengacu pada satu titik yaitu kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran, dan
harmonisasi terlepas sudut pandang mana yang akan melihat, baik dari tujuan/, teleologis,
ataupun kewajiban (deontologis).

Pancasila sebagai landasan etika

Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup, kepribadian,


dan kebudayaan negara-bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta manifestasi
norma, dalam aspek moralitas pikiran- tindakan-ucapan. “Relasi imajiner” yang akan
membentuk sebuah kesepakatan bersama dalam kehidupan sosial, atau konsensus bersama
dalam bingkai kesatuan ideologi ataupun karakter. Kesatuan inilah yang membentuk ikatan
antara manusia-manusia yang bermukim dalam satu wilayah tertentu dalam bangunan
kesadaran sebagai bangsa.
Keberadaan kekuasaan dan legitimasi ideologi inilah yang memberikan “ruang-kuasa”
wacana/diskursus untuk mengatur mana yang baik dan buruk serta rumusan antropologi
ke”warga”an. Dengan begitu, dimensi etika disini sangat dibutuhkan untuk menjadi
landasan bagi beroperasinya “kuasa” ideologi serta kekuasaan negara yang mewujud dalam
ISA.
Fenomena demokrasi, metode perwakilan, model permusyawaratan pada ranah
perencanaan serta pengambilan keputusan adalah rasionalisasi dari adanya hakikat
kebangsaan, nilai kemanusiaan, serta sarana pencapaian tujuan dari negara tersebut. Pada
akhirnya, interpretasi etika sebagai sistem kebudayaan dibangun pada adanya
kenyataan/realita bahwa Indonesia dibangun atas nilai kepribadian serta rangkaian sejarah
peradaban.
Dilema profesionalitas birokrasi dan (fungsi) politik

Birokrasi secara umum sering disebut sebagai konsekuensi dari lahirnya organisasi
modern sesuai dengan perkembangan masyarakat. Telaah ilmiah yang dilakukan Evers
(1987) mengelompokkan birokrasi
ke dalam tiga pola: yaitu: (1) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses
rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (2) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi
sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri; dan (3) Orwelisasi
yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah\ dengan
maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau
perlu dengan paksaan.
Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintah yang mengekspresikan
kepentingan publik, yang bisa dilakukan dengan adanya partisipasi dari masyarakat
sepenuhnya dalam birokrasi pemerintah. Masyarakatlah yang menjadi konsumen dari
birokrasi itu sendiri, jadi masyarakat lebih tahu kekurangan-kekurangan pelayanan tersebut
sehingga birokrasi bisa introspeksi dan membenahi kualitas pelayanan.

Aspek Pancasila dalam Governance

Pada akhirnya diskursus etika, birokrasi, dan idiom keberpihakan kepada pelayanan
publik akan berjalan pada paradigma baruke’administrasi-negara’an yaitu Governance.
Dalam level pembahasan Governance, penulis coba untuk menganalisa terlebih dahulu
pertautan antara epistema dari Governance itu sendiri dalam ranah birokrasi serta
pandangan etika sebagai hasil dari produk kebudayaan manusia.
Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan
di dalam suatu negara termasuk: (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan; (2)
kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif,
dan (3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur
interaksi antara mereka.
Governance dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai pelaksanaan
kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan bangsa,
mengelola mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks antarwarga negara dan
kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar hak
dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan- perbedaan di
antara mereka.
Pancasila sebagai penyemangat persatuan dan nasionalisme bangsa yang harus
dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga masyarakat,
dan warga negaranya, selain itu sebagai tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial,
ekonomi, dan sebagainya. Pancasila juga sebagi referensi dasar bagi sistem dan proses
pemerintahan, yang prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugastugas legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, serta sebagai rujukan untuk kebijakan politik, pemerintahan,
hukum, dan HANKAM.

Anda mungkin juga menyukai