Anda di halaman 1dari 4

Untuk mencukupi kebutuhan di negaranya, Portugis melakukan pelayaran ke timur dengan maksud

untuk mencari rempah-rempah. Pada 15 Agustus 1511, mereka berhasil merebut Malaka,[2] dan
kemudian mengalihkan perhatiannya ke Malukukarena mereka telah mengetahui
bahwa Maluku merupakan penghasil rempah-rempah besar. Setelah itu, mereka membangun kerja
sama dagang dengan Kesultanan Ternateketika kesultanan Ternate dan Tidore saling bermusuhan.
Bersamaan dengan itu, Armada Laut Spanyol datang ke Maluku pada Tanggal 1521. Spanyol yang
sedang bersaing dengan Portugis diterima di Tidore. Karena diangap melanggar perjanjian
Tordesillas, maka Armada Spanyol pergi dari Maluku dan menetap di Filipina.

Perang Ternate-Portugis adalah peperangan antara Kesultanan Ternate dan Portugis yang
dilancarkan oleh Sultan Baabullah untuk membalas pembunuhan Sultan Hairun dan mengusir
Portugis dari Ternate.[1]

Penyerangan terhadap Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian
antara raja Pakuan penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan tugu peringatan
yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda
Kelapa dan Portugis juga akan mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh Portugis, tahun 1526 Demak mengirimkan pasukannya
menyerang Sunda Kelapa, di bawah pimpinan Fatahillah. Dengan penyerangan tersebut maka tentara
Portugis dapat dipukul mundur ke Teluk Jakarta.

Kemenangan gemilang Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan
pergantian nama menjadi Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi.
Sedangkan penyerangan terhadap Blambangan (Hindu) dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan
Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan
berhasil direbut Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan.
Dengan meninggalnya Sultan Trenggono, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar
Sedolepen (saudara Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggono) dan Arya Penangsang (putra
Sekar Sedolepen).
Perang saudara tersebut diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng
Pemanahan, sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak
ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti bergesernya pusat
pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.

1. Perlawanan Rakyat Mataram Pertama

Perlawanan rakyat Mataram pertama terhadap VOC di Batavia dilakukan pada bulan Agustus 1628 yang
dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Walaupun pasukan Mataram kelelahan akibat menempuh jarak
yang sangat jauh dengan persediaan bahan makanan yang mulai menipis, pasukan Mataram mampu
melakukan serangan terhadap VOC di Batavia sepanjang hari.

Sebagian pasukan Mataram melakukan serangan mendadak melalui perairan laut Batavia serta sebagian
lagi mendarat dan bermukim di daerah Marunda (terletak di sebelah timur Cilincing, Jakarta) untuk
membangun benteng darurat yang terbuat dari bambu yang dianyam. Namun, benteng pertahanan
darurat milik pasukan Mataram dan perkampungan rakyat untuk berlindung tersebut banyak dibakar
kompeni.

Pada saat situasi demikian, datanglah pasukan bantuan dari Mataram yang dipimpin oleh Suro Agul-
Agul, Dipati Uposonto, Dipati Mandururejo, dan Dipati Ukur mulai bergerak menyerang kota tetapi
mendapat kesulitan karena tembakan yang gencar dilakukan oleh kompeni. Upaya yang dilakukan
pasukan Mataram berikutnya adalah membendung Sungai Ciliwung agar penghuni benteng (Belanda)
kekurangan air. Strategi ini ternyata cukup efektif, terbukti bangsa Belanda kekurangan air dan terjangkit
wabah penyakit malaria dan kolera yang sangat membahayakan jiwa manusia.

Kondisi pasukan Mataram yang kelelahan dan terserang penyakit memaksa pasukan Mataram
mengundurkan diri sehingga perlawanan rakyat Mataram saat itu mengalami kegagalan.
2. Perlawanan Rakyat Mataram Kedua

Perlawanan rakyat Mataram kedua terhadap VOC di Batavia dilaksanakan tahun 1629 dan dipimpin oleh
Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Meskipun persediaan bahan pangan sudah mulai menipis, pasukan
Mataram tetap menyerbu Batavia dan berhasil menghancurkan benteng Hollandia. Penyerbuan
berikutnya dilanjutkan ke benteng Bommel tetapi belum berhasil karena pasukan Mataram sudah mulai
kelelahan dan kekurangan bahan makanan. Perlawanan pasukan Mataram yang kedua terpaksa
mengalami kegagalan lagi karena kekurangan bahan pangan, senjata, terserang wabah penyakit, dan
kelelahan setelah menempuh jarak yang jauh.

Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dibangkitkan oleh Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa) dan puteranya
bernama Pangeran Purbaya (Sultan Haji). Sultan Ageng Tirtayasa dengan tegas menolak segala bentuk aturan
monopoli VOC dan berusaha mengusir VOC dari Batavia. Pada tahun 1659, perlawanan rakyat Banten mengalami
kegagalan, yaitu ditandai oleh keberhasilan Belanda dalam memaksa Sultan Ageng Tirtayasa untuk menandatangani
perjanjian monopoli perdagangan.

Pada tahun 1683, VOC menerapkan politik adu domba (devide et impera) antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan
puteranya yang bernama Sultan Haji, sehingga terjadilah perselisihan antara ayah dan anak, yang pada akhirnya
dapat mempersempit wilayah serta memperlemah posisi Kerajaan Banten. Sultan Haji yang dibantu oleh VOC dapat
mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa. Kemenangan Sultan Haji atas bantuan VOC tersebut menghasilkan
kompensasi dalam penandatanganan perjanjian dengan kompeni.

Perjanjian tersebut menandakan perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dapat dipadamkan, bahkan Banten dapat
dikuasai oleh VOC. Pertikaian keluarga di Kerajaan Banten menunjukkan bahwa mudahnya rakyat Banten untuk
diadu domba oleh VOC.

Pada tahun 1750, terjadi perlawanan rakyat Banten terhadap Sultan Haji (yang menjadi raja setelah menggantikan
Sultan Ageng Tirtayasa), atas tindakan Sultan Haji (rajanya) yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Perlawanan rakyat Banten ini dapat dipadamkan oleh Sultan Haji atas bantuan VOC. Sebagai imbalan jasa, VOC
diberi hak untuk memonopoli perdagangan di seluruh wilayah Banten dan Sumatera Selatan.

Anda mungkin juga menyukai