Secara bahasa, kha¯±bah atau khu¯bah berasal dari kata ب بييطبط ب- ب
بخطبط ب
َ بخبطاَبطبطة, َ بخطيبطبطة- yang berarti berbicara atau berceramah (to speak, to make a
speech). Orang yang melakukan aktivitas kha¯±bah disebut kha¯³b
(biasanya disebut dengan khatib). Sedangkan secara istilah, kha¯±bah
berarti :
1
- pemilihan tema yang sesuai dan menyentuh persoalan hidup di
masyarakat. Jika banjir bandang sedang melanda masyarakat,
seorang khatib (di masjid misalnya) harus menyampaikan tema
tentang perlunya pemeliharaan lingkungan dan larangan
menebang hutan secara serampangan;
- pemilihan bahasa yang lugas, cermat, dan mudah dicerna
khalayak;
- tema yang disampaikan harus spesifik dan terfokus pada satu
persoalan. Karena itu, “pola tematik” yang banyak dikaji dalam
berbagai disiplin ilmu, perlu dikembangkan dalam konteks
khu¯bah;
- tema yang disampaikan harus tertib dan logis, tidak sporadis dan
ganjil.
2
Berbeda dengan syair yang lebih menekankan pada gubahan kata-
kata romantis dan cenderung abstrak serta tidak selalu diikuti untuk
mempengaruhi khalayak, kha¯±bah justru memerlukan kemampuan
persuasif dan artikulatif dari sang khatib, di samping kemampuan
menyuguhkan runutan berpikir yang logis dan analitis. Salah satu yang
menarik untuk dikutip adalah khu¯bah terakhir yang disampaikan
Rasulullah saw sebelum wafat :
3
banyak didominasi oleh atmosfer sosial-politik. Demikian juga dengan
faktor yang lainnya.
Sebagai bagian dari seni berbicara (retorika), kha¯±bah memiliki
beberapa ciri dan tradisi yang sebagian besar masih tetap dipelihara sejak
masa pra Islam (Jahiliyah), masa-masa awal Islam, dan masa sekarang.
Para khatib di masa Jahiliyah yang akan menyampaikan isi khu¯bahnya,
biasanya berdiri di atas sesuatu atau tanah yang lebih tinggi daripada
khalayak. Hal ini dimaksudkan agar mereka bisa melihat keadaan
khalayak, begitu juga sebaliknya. Dengan begitu, mereka bisa
menyampaikan isi khu¯bah-nya secara persuasif dan atraktif, ditambah
dengan mimik wajah dan gerakan tangan yang menarik perhatian
khalayak.
Kegiatan yang mirip dengan para khatib di masa Jahiliyah juga
dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat haji al-wad±‘ (haji perpisahan) di
padang ‘Arafah. Beliau memilih menunggang kuda dalam menyampaikan
materi khu¯bahnya. Tujuannya tidak jauh berbeda dengan para khatib di
masa sebelum Islam. Sedangkan bila berada di masjid, sang khatib
biasanya menempati sebuah mimbar yang posisinya lebih tinggi daripada
khlayak atau jama’ah masjid.
Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman, penyampaian
materi khu¯bah juga mengalami beragam model dan metode yang
signifikan. Pada masa sekarang yang dikenal sebagai “era alam maya”
(cyber era), ruang gerak kha¯±bah juga mengalami pemekaran. Melalui
televisi, telewicara, dan internet, kha¯±bah bisa disampaikan dengan lebih
efektif dan efisien ke hadapan khalayak. Kha¯±bah juga bisa menjangkau
berbagai pelosok negeri tanpa harus memerlukan waktu dan biaya yang
besar, karena kecanggihan teknologi informasi telah mampu memanjakan
masyarakat luas. Kini, tergantung pada para khatib (khu¯ab±’) untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas materi khu¯bah mereka,
sehingga mampu membawa perubahan yang lebih baik dan produktif di
tengah-tengah masyarakat.
Daftar Pustaka :
‘Abdul ‘A§³m, ‘Ali, al-Da‘wah wa al-Kha¯±bah, Ras±’il al-Da‘wah, 1977.
Al-Mawrid: Multi-Media Encyclopedia (CD ROM, 1999)
¬aif, Syauqiy, al-Syi‘r wa al-Ghin±’ f³ al-Mad³nah wa Makkah, Mesir: D±r
al-Ma‘±rif, 1992, cet V (revisi).
Fai¡al (al-), ‘Abdul ‘Az³z Mu¥ammad, al-’Adab al‘Arabiy wa T±r³khuh,
Makkah: J±mi‘ah al-Im±m Mu¥ammad Ibn Sa‘d al-Isl±miyyah, 1402 H.
4
Syalabiy, ‘Abdul Jal³l, al-Kha¯±bah wa I‘d±d al-Kha¯³b, Kairo: Mu’assasah
al-Khal³j al-‘Arabiy, 1991, cet V (revisi).
##########