Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayahnya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku
umatnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
Tidak lupa penyusun ucapkan kepada Bapak/Ibu guru yang telah membimbing dan
memberikan ilmunya kepada penyusun, dan juga teman-teman yang ikut menyumbang
pikirannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penyusun mohon kepada bapak/Ibu guru khususnya, dan umumnya kepada para
pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik
dari segi bahasanya maupun isinya, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah – makalah yang akan datang.
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia
yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut antropologi budaya,
belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari
India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis
dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di
pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih
berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Pembahasan
Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah
Indonesia dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara umum ada dua proses yang mungkin
telah terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian
menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal secara
tetap di suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak abad 14
sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana proses masuknya
islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam, siapa yang membawa serta
pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut. Banyak para ahli yang mengemukakan
teori tentang kapan islam datang, dari mana asalnya, serta siapa pembawa islam tersebut.
Berikut adalah beberapa teori yang di kemukakan oleh para ahli yang menjelaskan tentang
darimana, siapa yang membawa, serta bukti yang ada tentang masuknya islam ke nusantara.
Pijnappel mengemukakan bahwa asal islam adalah dari Gujarat/ Malabar, yang dibawa
oleh Orang-orang yang bermadzhab syafi’i yang berimigarasi dan menetap di wilayah India.
Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke nusantara pada abad ke-12, yan berasal dari
anak benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang sebagai perantara perdagangan Timur
Tengah dengan nusantara datang ke dunia Melayu, kemudian di susul dengan orang-orang arab
yang kebanyakan keturunan Nabi. Moquette, menerangkan bahwa islam berasal dari Gujarat,
yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan mengimpor batu nisan ini
maka orang nusantara mengambil islam,
Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama, fase
kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan abad Masehi
kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi apakah
ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam Islam? Meskipun ada dugaan bahwa dalam
abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang muslim dengan
penduduk setempat, sehingga mereka memeluk agama Islam. Pada abad ke 1-4 H / 7-10 M
Jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam
Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk maesan dan
jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi berpendapat bahwa
nisan itu ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang muslim Jawa, tetapi seorang pendatang
yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima
agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H /
1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi Sumatera
penduduk Sumatera Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam dan
adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al Malik al-Saleh yang berangka tahun
wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatera.
Adapun teori yang mengatakan Islam masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak lebih realitas
“masuknya” yang dibawa oleh para pedagang muslim karena dalam perjalanan pelayaran
dagang mereka ke dan dari Cina selalu singgah
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan
kerajaan-kerajaan Budha yang cukup kokoh dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil
peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan
peninggalan Budha Mahayana dan kelompok candi Roro Jonggrang di desa Prambanan dan
peninggalan-peninggalan lainnya yang tersebar di Jawa.Setelah agama Islam datang di Jawa
dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di masyarakat, terjadilah pergeseran di
bidang politik.
Menurut Sartono, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai
hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping
kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang
memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi raja-raja
Hindu di pedalaman.
D. Persialangan Budaya di Nusantara
Indonesia secara tepat digambarkan Bung Karno sebagai “taman sari dunia”. Sebagai “negara
kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan
antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia sejak lama
menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban.
Menurut Denys Lombard (1996: I, 1), “Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali
mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua
kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.” Dia melukiskan adanya
beberapa ‘nebula sosial-budaya’ yang secara kuat mempengaruhi peradaban Nusantara (secara
khusus Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan China), serta arus pembaratan.
Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan
dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian berkembang secara
luas dan dalam hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15), terutama di Sumatra, Jawa dan
Bali. Struktur konsentris kosmologi India berpengaruh pada mentalitas orang-orang di wilayah
tersebut, terlebih di Jawa dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir dan sistem tata susila, juga
dalam upacara-upacara dan ungkapan seni.
Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan
kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Dari ujung
Barat Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur meresapi wilayah-
wilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang akselarasinya dipercepat justru oleh
penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran Islam membawa
perubahan penting dalam pandangan dunia (world view) dan etos masyarakat Nusantara,
terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi
modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam
hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’ (nafs, personne) yang mengarah pada
pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang ‘linear’, menggantikan
konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II, 149-242).
Pengaruh China hampir bersamaan dan saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam,
yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China), ketika
imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan segera membaur ke
dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti (Coppel, 1983). Kehadiran
anasir China berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan teknik produksi
berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain), pemanfaatan laut untuk perikanan,
pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan garam, pengadopsian teknik serta
perlengkapan perdagangan, gaya hidup (arsitektur, perhiasan, hiburan, tontonan, beladiri, dan
romannya), peran sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam
proses Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337).
Pengaruh pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh
Belanda dan Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak kedatangan
armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596, yang disusul
oleh operasi ’Serikat Perseroan Hindia Belanda’ (VOC) sejak 1602, secara berangsur proses
pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC pada tahun 1799, hegemoni atas Hindia
diserahkan dari ‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Negara
kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris
selama perang Napoleon (1811-1816).
Sejak itu, sebagian besar kepulauan Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda
diintegrasikan ke dalam satu wilayah kekuasaan kolonial, yang mentransformasikan pusat-
pusat kekuasaan yang terpencar ke dalam suatu negara kesatuan kolonial. Intensifikasi proses
pembaratan terjadi selama masa rezim ‘Liberal’ pada paruh kedua abad ke-19 yang dilanjutkan
oleh rezim ‘Politik Etis’ pada awal ke-20 (Latif, 2005).
Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam
menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh Barat
memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern, pemakaian besi,
perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern. Pada bidang sosial-
politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola negara dan masyarakat, klub
sosial, organisasi, dan bahasa politik modern. Pada bidang sosial-budaya, pengaruhnya tampak
pada kehadiran lembaga pendidikan dan penelitian modern, perkembangan tulisan latin,
percetakan dan pers, dan gaya hidup (Lombard, 1996: I).
Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat
persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh
dari luar. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996), situasi demikian tidak
perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri pada persilangan jalan, pada titik
pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan, jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolusi
sejarahnya bisa membawa keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi lebih
merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa yang
akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat Islam ber-pijak dan
berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi tersendiri yang tertanam dalam
konteks
Agama Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai
daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami
proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai
tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat setempat, sehingga
kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam
dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam karena di
Indonesia telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan
maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana
dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan
menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya,
terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.