Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup,
maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk tenaga
medis, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Farmakologi mencakup
pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan
biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan
obat. Seiring berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah
berkembang menjadi ilmu tersendiri (Setiawati dkk,1995)
Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi ialah cabang ilmu farmakologi yang
memepelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat, farmasi
ialah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan, dan
menyediakan obat. farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek
obat pada manusia. farmakoterapi cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan
obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit, toksikologi ialah ilmu yang mempelajari
keracunan zat kimia, termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, pestisida
dan lain-lain serta farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya dan farmakodinamik
yang mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai oran tubuh serta
mekanisme kerjanya. Pada penulisan makalah ini akan di bahas tentang aspek farmakologi
yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan farmakokinetika ?
2. Apa yang dimaksud dengan farmakodinamika?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui apa itu farmakokinetik dan farmakodinamik dalam
cabang farmakologi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui nasib obat di dalam tubuh melalui absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresinya

1
b. Untuk mengetahui efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh
serta mekanismenya
D. Manfaat Penulisan
a. Sebagai khazanah ilmu pengetahuan
b. Meningkatkan motivasi belajar bagi mahasiswa dalam lingkup STIK Immanuel
c. Menambah pola berfikir kritis dan instruktif bagi mahasiswa dalam lingklup STIK
Immanuel

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Agar dapat
diserap lebih efisien dari usus, obat sebaiknya dalam keadan lipofilik. Setelah diserap, jika
tetap dalam keadaan lipofilik, setelah melewati saringan glomerulus, atau diekresi melalui
empedu, sebagian besar akan diserap kembali dan tetap berada dalam tubuh untuk waktu
yang lama. Proses metabolik akan membuat obat lebih hidrofilik agar tidak diserap
kembali oleh tubuh.
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh
terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi
(D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi
bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat (Gunawan, 2009).
1. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran
gastrointestinalke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau
pinositosis.Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan
vili mukosa yang luas. Jika sebagain dari vili ini berkurang, karena pengangkatan
sebagian dariusus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai
dasar protein,seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus
oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi
(pergerakan darikonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat
tidak memerlukan energi untuk menembus membran. Absorpsi aktif membutuhkan
karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim
atauprotein dapat membawa obat-obat menembus membran. Pinositosis berarti
membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan protein,
sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membran
gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier,baik berupa
enzim maupun protein,untuk melalui membran. Partikel-partikel besar menembus
membran jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif
atau negatif). Obat-obat asam lemah, seperti aspirin,menjadi kurang bermuatan di
dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat.

3
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah,rasa nyeri,
stres,kelaparan,makanan dan Ph. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri,stres,dan makanan
yang padat, pedas,dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung,
sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran
darah dengan mengalihkan darh lebih banyak mengalir ke otot , sehingga menurunkan
sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih cepat
di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada
otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambat
pada jaringan yang demikian.
2. Distribusi
Distribusi adalah proses dimana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan
jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan
penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan
protein (terutama albumin) dalam derajat (presentase) yang berbeda-beda. Obat-obat
yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein di kenal sebagai obat-obat yang
berikatan dengan tinggi protein. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak
berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan menimbulkan respons farmakologik.
Dengan menurunnya kadar obat bebas yang berada dalam ikatan dibebaskan dari
ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk
bebas.
Jadi penting sekali untuk memeriksa persentase pengikatan dengan protein dari semua
obat–obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas
obat.
3. Metabolisme atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebayakan obat
diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh
enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk
diekskresikan . tetapi beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif,
menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti
sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolise obat.

4
Waktu paruh dilambangkan dengan t1⁄2 , dari suatu obat adalah waktu yang
dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk di eliminasi. Metabolisme dan
eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat.waktu paruh selam 4-8 jam dianggap
singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap panjang. Jika suatu obat memiliki waktu
paruh yang panjang (seperti digoksin:26 jam), maka diperlukan beberapa hari agar
tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya.
4. Ekskresi atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu,feses,paru-paru,saliva,keringat,dan air susu ibu. obat bebas yang tidak
berikatan, yang larut dalam air, dan obat –obat yang tidak dapat di ubah, difiltrasi oleh
ginjal. Obat- obat yang berikatan dengan protein tidak difiltrasi oleh ginjal. Sekali
obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya
akan diekresikan menjadi urin. pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin
bervariasi dari 4,5-8.urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat
basa lemah.
B. Farmakodinamika
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya (setiawati dkk,1995) Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat
ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan
mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan
yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis
obat baru.
1. Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel suatu
organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi
dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup
2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh.
Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi
fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini
masih berlaku sampai sekarang, setiap komponen makromolekul fungsional dapat
berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan
sebagai reseptor untuk ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang
efeknya menyerupai senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak

5
mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis
ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis.
2. Reseptor Obat
a. Sifat kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein (
mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting misalnya untuk sitostatika.iaktan
obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau
kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu
diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lama
kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikian ikatan non
kovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.
b. Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap
reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam
sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas
bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio
terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.
c. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk
menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler
yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon,
neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang
sesuai (oleh ligand binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor domain
) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar tidak
langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang
dikenal sebagai second messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein
seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan respons.
Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase
sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second messenger. Dalam sistem ini
protein G lah yang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut.

6
Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai penghantaran yang lain
berfungsi sebagai penghamabatan sinyal.
3. Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi
extra seluler ( extracellular chemical ) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis
yang spesifik. Sistem penghantaran ini di mulai dengan pendudukan reseptor yang
terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan
messengger ini bersifat polar. Contoh transmitor untuk reseptor yang terdapat di
membran sel ialah katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk reseptor yang terdapat di
dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin D.
Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang sesuai
kemudian meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung ke intrasel
atau dengan cara memproduksi molekul pengatur lainnya ( second messenger ) di
intrasel. Suatu reseptor mungkin memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk
dapat berfugsi ( sistem reseptor-efektor ) misalnya adenilat siklase. Pada sistem ini,
reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, dan efektor mensintesis, siklik-AMP.
Yang merupakan second messenger.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat
DNA (solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu.
Pendudukan reseptor oleh hormon yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein
tertentu. Reseptor hormon peptida yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan
perkembangan (dan dalam keadaan akut juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah
suatu protein kinase yang mengkatalisis fosforilasi protein target pada residu tirosin.
Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth factor,
p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida yang
terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya yang berupa
protein kinase intrasel, melalui rantai pendek asam amino hidrovobik yang menembus
membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel ini
bukan protein kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-GMP.
Sejumlah reseptor untuk neutrotransmitor tertentu membentuk kanal ion
selektif di membran plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara
mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah
nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin. Reseptor ini

7
merupakan protein multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali
membentuk kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang
terdapat di bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein efektor
tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang di kenal sebagai
protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk aminbiogenik,
eikosanoik,dan hormon protein lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu
terikatnya GTP pada protein G spesifik yang selanjutnya mengatur aktivitas efektor-
efektor spesifik seperti adenilat siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+ , K2 atau
Na+ , dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi. Suatu sel dapat
mempunyai 5 atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan respon
terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor yang berbeda
pula.
Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam sitoplasma
dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa cAMP, ion Ca2+ ,
dan yang akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan
diasilgliserol (DAG). Substansi ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu
diproduksi dengan sangat cepat, bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah
sinyal ekstenalnya tidak ada mengalami penyingkiran secara spesifik. Siklik-AMP
ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan melalui
stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap respon terhadap aktivitas
bermacam-macam reseptor.

4. Interaksi Obat – Reseptor


Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim,
biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van der waals) dan jarang
berupa ikatan kovalen
a. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek
Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy), intensitas efek obat
berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan
intensitasnya efek mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat.
b. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat
Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah
sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek.

8
Efek antihipertensi, misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung,
vaskular,dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat
diuraikan kedalam kurva-kurva sederhana untuk masing- masing komponennya.
Kurva sedrhana ini, bagaimana pun bentuknya, selalu mempunyai 4 variabel yaitu
potensi kecuramjan (slope), efek maksimal, dan variasi biologik.
Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya
ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat
farmakokinetik obat, dan afinitas obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif
tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis yang sesuai dengan
potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang
diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau
membayangkan bila obatnya mudah menguap atau di serap melalui kulit.
Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang ditimbulkan obat bila
diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh akyivitas intrinsik obat dan
di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di
batasi oleh timbulnya efek samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai
dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini
merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin berbeda dalam
efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang
hebat, sedangkan aspirin tidak. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan
dengan potensinya.
Slopeatau lereng log DEC merupakan variabel yang penting karena
menunjukan batas keamanan obat. Lereng yang curam, misalnnya untuk
fenobarbital, menunjukan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang menimbulkan sedasi/tidur.
Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap
dosis yang sama dari suatu obat. Suatu graded DEEC hanya berlaku untuk satu
orang pada satu waktu, tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi.
Dalam hal yang berakhir ini, variasi biologik dapat di perhatikan sebagai garis
horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan bahwa untuk menunjukan
efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi di perlukan suatu rentang
dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu
pada populasi akan menimbulkan suatu intensitas efek

9
5. Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-
obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion molekul kecil,
atau masuk komponen sel.
a. Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran
Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ), misalnya,
meningkatkan osmolaritas filtrat glomelurus sehingga mengurangi reabsorbsi air
di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik. Dengan demikian juga katartik
osmotik (MgSO4), gliserol yang mengurangi udem selebral, dan pengganti
plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler
Perubahan sifat asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid dalam menetralkan
asam lambung, NH4CL dalam mengasam kan urine, dan asam-asam organik
sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai antiseptik saluran kemih atau
sebagai spermisid topikal dalam saluran vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat
perusak nonspesofik digunakan sebagai antiseptik dan disenfektan, dan
kontrasepsi, contohnya, (1) detergen merusak integritas membran lipoprotein;(2)
halogen, peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik (3) denaturan merusak
integritas dan kapasitas sibseluler dan protein.
Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya
eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak
membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya menurun
b. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion
Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA
yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada kercunan Pb.
Demikian juga kerja penisilamin yang mengikat Cu2+ bebas pada penyakit
wilson dan dimerkaprol ( BAL= British antilewisite) pada keracuanan logam
berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yang terbentuk larut dalam air sehingga mudah
dikelurkan melalui ginjal.
c. Masuk ke dalam Komponen Sel
Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkoporasi ke
dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti
ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin
dan anti kanker atau anti mokroba lain.

10
6. Terminologi
a. Spesifisitas dan Selektivitas
Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu jenis reseptor,
dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek
lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu
selektif, tetapi obat yang tidak spesifik dengan sendirinya tidak selektif.
Klorpromazin bukan obat yang spesifik karena ia bekerja pada berbagai jenis
reseptor; kolinergik, adrenergik dan histaminergik, selain pada reseptor
dopaminergik di SSP. Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik,
tetapi tidak selektif karena reseptor ini terdapat di berbagai organ.salbutamol
ialah agonis bheta-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif, obat ini memblok
reseptor bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di bronkus.
Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara
pemberian. Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan meningkatkan
selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selektivitas obat ini pada reseptor bheta2
di bronkus di tingkatkan bila di berikan sebagai obat semprot langsung ke saluran
napas.
b. Istilah Lain
Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif, sedangkan dosis
tinggi sekali di butuhkan oleh penderita yang hiporeaktif. Istilah hipersensitif
digunakan untuk efek yang berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif
di gunakan untuk keadaan hiperaktif akibat denervasi atau akibat pemberian
kronik suatu bliker reseptor yang merupakan denervasi farmakologik. Istilah
toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat bersangkutan
sebelumnya.Toleransi yang terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya
beberapa dosis obat di sebut toleransi akut atau takifilaksis. Bila toleransi timbul
akibat pembentukan antibodi terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya
terhadap insulin. Istilah idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang aneh
(bizzare), ringan maupun berat, tidak tergantung dari besarnya dosis dan sangat
jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara simpang siur maka
sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari
dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik.
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi
obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk
meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan
peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi.
B. Saran
Pemahaman mahasiswa keperawat terhadap bidang ilmu farmakologi dalam hal ini
aspek farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus di tingkatkan dengan proses
pembelajaran yang kontinyu selain untuk meningkatkan pemahaman yakni sebagai
upaya meningkatkan displin ilmu yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan dan selalu
berfikir kritis terhadap ilmu tersebut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Kee,Joyce L.,dan Evelyn R Hayes,1996, Farmakologi pendekatan proses keperawatan,


Jakarta : EGC.

Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta. Gaya
Baru:1995

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai