Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sherlly Natalie Angel

NIM : 175100100111011
Kelas :A
No. Absen :7

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 1 TAHUN 2018


TENTANG PENGAWASAN PANGAN OLAHAN UNTUK KEPERLUAN GIZI KHUSUS

Berdasarkan pasal 1 ayat 2 tentang Pengawasan Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi
Khusus, yang dimaksud Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus (PKGK) adalah Pangan
Olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk memenuhi kebutuhan gizi tertentu
karena kondisi fisik/fisiologis dan penyakit/ gangguan tertentu. Pangan dapat digunakan melalui
2 cara yaitu parenteral atau enteral. Penggunaan secara parenteral adalah pemberian pangan
yang dilakukan dengan menyuntikan pangan ke jaringan tubuh, dapat berupa subkutan,
intramuskular, atau intravena. Sedangkan penggunaan secara enteral adalah pemberian pangan
melalui saluran pencernaan dapat diberikan secara oral atau menggunakan selang makanan
(naso gastric tube).
Menurut pasal 2 bab II tentang Jenis PKGK, PKGK dikelompokkan menjadi PDK (Pangan
Olahan Diet Khusus) dan PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus). PDK untuk
kelompok bayi dan anak berupa formula bayi, formula lanjutan, formula pertumbuhan, dan MP-
ASI. Sedangkan PDK untuk kelompol dewasa berupa minuman khusus ibu hamil/menyusui,
pangan olahragawan, dan pangan untuk kontrol berat badan. PKMK juga dikelompokkan menjadi
2 yaitu untuk kelompok bayi dan anak serta untuk kelompok dewasa.
Menurut bab III tentang Persyaratan, setiap orang yang memproduksi dan/atau
mengimpor PKGK untuk diperdagangkan wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi
sesuai dengan lampiran 1. PKGK tidak boleh diberikan secara parenteral, sedangkan PKMK
dapat diberikan secara enteral. PKMK dapat digunakan sebagai makanan pengganti dan/atau
makanan tambahan. PKMK sebagai makan pengganti harus sesuai dengan ketentuan dokter.
Menurut bab IV tentang Produksi, PKGK wajib diproduksi dengan Cara Produksi Pangan
Olahan yang Baik (CPPOB) dan dengan pengendalian HACCP. Penerapan CPPOB dibuktikan
dengan berita acara hasil audit sarana produksi atau sertifikat CPPOB atau sertifikat Program
Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh BPOM. Sedangkan penerapan sistem pengendalian
bahaya pada titik kritis dibuktikan dengan sertifikat dari lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
Menurut pasal 10, PKGK yang diperuntukkan bagi bayi, anak, ibu hamil dan ibu menyusui tidak
boleh mendapatkan perlakuan iradiasi.
Menurut bab V tentang Label dan Iklan, PKGK wajib mencantumkan label dengan
keterangan nama jenis, peruntukan, cara penyiapan (jika produk memerlukan penyiapan
khusus), cara penyajian, cara penyimpanan, peringatan bagi yang dipersyaratkan, dan informasi
nilai gizi. Pada label PDK wajib dicantumkan tulisan “KONSULTASIKAN DENGAN TENAGA
KESEHATAN”. Sedangkan pada label PKMK wajib dicantumkan keterangan “HARUS DENGAN
RESEP DOKTER” dan “Produk bukan untuk Penggunaan Secara Parenteral”. Ketentuan
pelabelan khusus untuk setiap jenis PKGK tercantum dalam lampiran 1. Menurut bab VI tentang
Peredaran, produk PKMK hanya dapat diedarkan di apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
dan/atau puskesmas. PKGK yang belum diatur dalam peraturan ini harus mendapat persetujuan
tertulis dari KBPOM. Pelanggaran terhadap ketentuan dapat dikenai sanksi administratif berupa
denda, penghentian sementara dari kegiaan, produksi, dan/atau peredaran, penarikan pangan
dari peredaran, dan/atau pencabutan izin.
Nama : Sherlly Natalie Angel
NIM : 175100100111011
Kelas :A
No. Absen :7

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN


NOMOR 3 TAHUN 2018 TENTANG PANGAN IRADIASI

Peraturan KBPOM No. 3 Tahun 2018 tentang Pangan Iradiasi adalah peraturan
penyesuaian dari peraturan KBPOM No. 26 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pangan Iradiasi.
Peraturan ini terdiri dari 18 pasal yang terbagi dalam 9 bab. Menurut pasal 1 No. 3 Tahun 2018
tentang Pangan Iradiasi, yang dimaksud dengan pangan iradiasi adalah setiap pangan yang
dengan sengaja dikenai radiasi ionisasi tanpa memandang sumber atau jangka waktu iradiasi
ataupun sifat energi yang digunakan. Sedangkan iradiasi pangan merupakan metode
penanganan pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk
mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan pangan dari jasad renik
patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa tujuan dari
perlakuan iradiasi pada produk pangan adalah mencegah penurunan kualitas pangan dan
memperpanjang umur simpan produk pangan.
Pangan iradiasi harus memenuhi persyaratan yang berlaku sesuai dengan Bab II tentang
Persyaratan. Menurut pasal 3, sumber radiasi yang diperbolehkan adalah irradiator gamma
dengan kobalt-60 atau sesium-137, mesin pembangkit sinar-X dengan energi ≤7,5 MeV, dan
mesin berkas elektron dengan energi ≤10 MeV. Kemasan pangan iradiasi wajib menggunakan
bahan kontak pangan yang diizinkan sesuai yang tercantum dilampiran 1, dimana terdapat 17
bahan kontak pangan yang diizinkan seperti kertas kraft, kertas glasin, nilon 6, PET, dan lain-lain.
Dosis Serap Maksimum Jenis Pangan yang diradiasi juga harus sesuai dengan batas maksimum
(dalam satuan kGy) yang telah ditentukan untuk masing – masing jenis pangan sesuai dengan
lampiran 1. Menurut pasal 7, pangan iradiasi dilarang diiradiasi ulang kecuali untuk pangan
berkadar air rendah yang diradiasi untuk membasmi serangga. Menurut pasal 9, iradiasi pangan
hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Iradiasi yang telah memiliki izin pemanfaatan tenaga nuklir
dari BAPETEN dan dalam pelaksanaannya iradiasi pangan wajib memenuhi Cara Iradiasi
Pangan yang Baik yang diatur pada ayat (2) Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Menurut pasal 12, pangan iradiasi yang tersebar di Indonesia harus diberi Keterangan
Iradiasi yang diterbitkan oleh Kepala Badan. Setiap pangan iradiasi wajib mencantumkan
informasi mengenai iradiasi pada label yang memuat (1) tulisan “IRADIASI” yang dicantumkan
setelah nama jenis Pangan; (2) tulisan “TIDAK BOLEH DIIRADIASI ULANG” apabila tidak boleh
diiradiasi ulang (3) tanggal, bulan, dan tahun iradiasi; (4) nama negara tempat iradiasi dilakukan;
dan (5) Logo Pangan Iradiasi. Pengawasan keamanan, mutu, gizi, label, dan iklan Pangan
Iradiasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut pasal 16,
setiap orang yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan akan dikenai sanksi administratif
berupa denda, penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran, penarikan pangan
dari peredaran; dan/atau pencabutan izin.
Berdasarkan Bab IX pasal 18, pada saat Peraturan KBPOM No. 3 Tahun 2018 tentang
Pangan Iradiasi mulai berlaku, maka peraturan KBPOM No. 26 Tahun 2013 tentang Pengawasan
Pangan Iradiasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Nama : Sherlly Natalie Angel
NIM : 175100100111011
Kelas :A
No. Absen :7

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 5 TAHUN 2018


TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN

Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari peredaran pangan


olahan yang mengandung cemaran logam berat melebihi ambang batas maksimum. Oleh karena
itu, ditetapkan Peraturan KBPOM No. 5 Tahun 2018 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam
Berat dalam Pangan Olahan. Peraturan ini merupakan peraturan penyesuaian dari Peraturan
KBPOM No. 23 Tahun 2017 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan
Olahan. Peraturan ini terdiri dari 6 Bab dan 10 pasal. Menurut pasal 1 No. 5 Tahun 2018 tentang
Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan Olahan, yang dimaksud pangan olahan
adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau
tanpa bahan tambahan. Yang dimaksud logam berat adalah elemen kimiawi metalik dan
metaloida, memiliki bobot atom dan bobot jenis yang tinggi, yang bersifat racun bagi makhluk
hidup. Sedangkan batas maksimum adalah konsentrasi maksimum cemaran logam berat yang
diizinkan dapat diterima dalam pangan olahan. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pangan
yang tercemar logam berat melebihi batas maksimum akan berdampak bahaya bagi kesehatan
tubuh apabila dikonsumsi.
Menurut pasal 2 bab II tentang pesyaratan, setiap orang yang memproduksi dan/atau
mengedarkan pangan olahan di wilayah Indonesia wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu
dan gizi pangan olahan. Persyaratan keamanan ini termasuk Batas Maksimum Cemaran Logam
Berat (dalam satuan mg/kg). Logam berat terdiri dari arsen (As), timbal (Pb), kadmium (Cd),
merkuri (Hg), dan timah (Sn). Batas maksimum cemaran logam berat dalam masing – masing
jenis pangan olahan tercantum dalam lampiran peraturan ini yang berisi kategori pangan dengan
batas maksimum masing – masing jenis logam berat. Pemenuhan batas maksimum cemaran
logam berat pada pangan olahan dibuktikan dengan sertifikat hasil pengujian secara kuantitatif
yang dilakukan oleh laboratorium yang memiliki akreditasi dengan metode analisis yang
tervalidasi atau terverifikasi.
Menurut bab III tentang pengawasan, pengawasan terhadap persyaratan batas
maksimum cemaran logam berat dalam pangan olahan dilaksanakan oleh Kepala Badan
sedangkan untuk industri rumah tangga dilaksanakan oleh Kepala Badan dan/atau bupati / wali
kota secara mandiri atau bersama. Pengawasan yang dilakukan meliputi pengawasan sebelum
beredar dan pengawasan selama beredar. Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal
2 akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal 9 Bab VI tentang Ketentuan Penutup, pada saat Peraturan KBPOM
No. 5 Tahun 2018 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan Olahan mulai
berlaku, maka peraturan KBPOM No. 23 Tahun 2017 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam
Berat dalam Pangan Olahan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Nama : Sherlly Natalie Angel
NIM : 175100100111011
Kelas :A
No. Absen :7

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN

UU RI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan merupakan peraturan penyesuaian dari UU RI


No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti. UU RI
No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan terdiri dari 154 pasal yang terbagi dalam 17 bab. Dalam UU
ini, yang dimaksud Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Penyelenggaraan pangan dilakukan dengan berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian,
ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan, dan keadilan. Penyelengaraan
pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sedangkan perencanaan pangan
dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan kearah kedaulatan pangan, kemandirian
pangan, dan ketahanan pangan yang diwujudkan dalam rencana pangan.
Menurut bab VI tentang Ketersediaan Pangan, pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab atas ketersediaan pangan dimana pemerintah daerah menetapkan jenis
pangan lokalnya. Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan
cadangan pangan nasional. Cadangan pangan nasional terdiri atas cadangan pangan
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang digunakan untuk mengantisipasi
kekurangan dan kelebihan ketersediaan pangan, gejolak harga pangan, dan/atau keadaan
darurat. Pangan dapat diekspor maupun impor. Ekspor pangan pokok hanya dapat dilakukan
setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional.
Sedangkan impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri
dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Pemerintah menetapkan kebijakan dan
peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani,
peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha
pangan mikro dan kecil.
Berdasarkan pasal 53, pelaku usaha pangan dilarang menimbun atau menyimpan pangan
pokok melebihi jumlah maksimal dimana akan dikenai sanksi administratif. Pemerintah juga
mengatur tentang keamanan pangan untuk mecegah kemungkinan terjadinya cemaran biologis,
kimia, dan benda lain. Oleh karena itu dilakukan sanitasi pangan agar aman untuk dikonsumsi
dimana sanitasi dilakukan pada proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
peredaran pangan. Bahan tambahan pangan juga diatur dimana BTP tidak boleh melebihi
ambang batas maksimal yang ditetapkan. Iradiasi pangan dapat dilakukan dengan menggunakan
zat radiaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan pangan
serta mencegah pertumbuhan tunas.
Sistem informasi pangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,
penyimpanan, dan penyajian serta penyebaran data dan informasi pangan dengan sistem
informasi pangan yang terintegrasi. Penelitian dan pengembangan pangan dilakukan untuk
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan serta menjadi dasar dalam merumuskan
kebijakan pangan yang mampu meningkatkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan
ketahanan pangan.

Anda mungkin juga menyukai