Anda di halaman 1dari 30

GASTROINTESTINAL

A. Anatomi dan Fisiologi


Sistem pencernaan terdiri atas saluran pencernaan dan kelenjar-kelenjar
yang pencernaan. Sistem pencernaan merupakan suatu tatanan yangterbentuk
dari adanya hubungan antara bagianian yang tergabung dalam saluran
pencernaan orangan asesoris yang bertujuan untuk menyediakan nutrien,
elektrolit dan air secara terus menerus bagiani kebutuhan tubuh. Fungsi
sistem pencernaan adalah memperoleh zat-zat makanan yang dibutuhkan
bagiani tubuh. Regionisasi abdomen berdasarkan 4 kuadarian :
1. Regio kuadarian kanan atas (RUQ) :terdapathati, kandung empedu,
duodenum, pankreas, ginjal kanan, dan fleksura hepatica.
2. Regio kuadarian kiri atas (LUQ) : terdapat lambung, limfa, ginjal kiri,
pankreas dan fleksura lienalis
3. Regio kuadarian kanan bawah(RLQ) : terdapat seikum, appendiks,
ovarium dan tuba falopi
4. Regio kuadarian kiri bawah (LLQ) : terdapat kolon sigmoid, ovarium dan
tuba falopi

Berdasarkan prosesnya, pencernaan makanan dapat dibedakan menjadi dua


macam seperti berikut :
1. Proses mekanis, yaitu pengunyahan oleh gigi dengan dibantu lidah serta
peremasan yang terjadi di lambung.
2. Proses kimiawi, yaitu pelarutan dan pemecahan makanan oleh enzim-
enzim pencernaan dengan mengubah makanan yang bermolekul besar
menjadi molekul yang berukuran kecil.
Makanan mengalami proses pencernaan sejak makanan berada di dalam
mulut hingga proses pengeluaran sisa-sisa makanan hasil pencernaan. Adapun
proses pencernaan makanan meliputi hal-hal berikut :
1. Ingesti: pemasukan makanan ke dalam tubuh melalui mulut.
2. Mastikasi: proses mengunyah makanan oleh gigi.
3. Deglutisi: proses menelan makanan di kerongkongan.
4. Digesti: pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana
dengan bantuan enzim, terdapat di lambung.
5. Absorpsi: proses penyerapan, terjadi di usus halus.
6. Defekasi: pengeluaran sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk
tubuh melalui anus.

Saluran pencernaan pada manusia :


1. Mulut
Mulut adalah rongga yang diikat secara eksternal oleh bibir dan pipi dan
mengarah ke dalam faring. Bagian atasnya di bentukoleh palatum durum
dan mole, 2/3 bagian anterior lidah mengisi dasar mulut. Orangan -
orangan yang teerlibat dalam proses pencernaan di rongga mulut : lidah,
gigi geligi, kel. Saliva. Lidah adalahorangan muskular yang melekat pada
tulang hioid dan mandiula, ditutup oleh mukosa yang tampak sebagai
tonjolan untuk menaikkan area permukaan dan disebut “papila”. Daerah
pengecap (taste buds) tersebar hampir diseluruh area lidah.
2. Faring
Faring adalah rongga dibawah tenggorokan yangmerupakan sal bersama
untuk sist percernaan dan sist pernafasan. Didalam dinding sisi faring
terdapat tonsil (orangan limfoid yangmerupakanbagiandaritimpertahanan
tubuh). Motilitas yangberkaitan dengan faring dan esofagus adalah
menelan (deglution), yangmerupakan keseluruhan proses pemindahan
makanandari mulut mll esofagus ke dalam lambung. 3 tahap dalam
proses menelan : fase volunter/bukal, fase faringeal, fase esophageal.
3. Esophagus
Esofagus adalah kanal muskular yang dipersarafi oleh saraf vagus,
dengan P=25 cm, membentang dari faring ke lambung. Terletak mulai
dari vertebra servikalis ke -6 dan turun mll mediastinum didepan
columna vertebra dan dibelakang trachea. 2/3 bagian atas adalah otot
lurik volunter, 1/3 bagian bawah otot polos involunter. Peristaltik adalah
gelombag dilatasi yang diikuti olehgelombag kontraksi (dimana serat
otot rileks danberkontraksi), yang memerlukan wkt ±9 detik untuk satu
gelombag peristaltic. Fungsi :sebagai saluran sederhana yang
mengantarkan makanandari faring ke dalam lambung.
4. Lambung
Lambung adalah bagian sal cerna yang paling lebar danterletak
diantara ujung esofagus dan pangkal usus halus. Terletak dikuadarian kiri
atas abdomen, P=25 cm, L=10 cm. Bentuk dan posisi lambung
dipengaruhi olehperubahan didalam rongga abdomen danoleh isi
lambung (berada dibawah diafragma agak ke kiri dari garis tengah).
Tediri dari 4 bagian : kardia, fundus, korpus dan pylorus. Dilengkapi
dengan 2 sfingter; sfingter kardia (terletak dekat dengan lubang kardia,
dan sfingter pilorus (dekat dengan pilorus).
Kapasitas lambung padaorang dewasa ±1500 mL. Pada lapisan
mukosa lambung terdapat lipatan - lipatan yang disebut “Rugae” yang
meregang pada saat terjd penambahan volume / isi lambung. Mukosa
lambung juga mengandung banyak kelenjar yang mensekresi enzim -
enzim pencernaan (getah lambung, yang membuat makanan lebih cair
dan asam). Kandungan getah lambung : air, garam mineral, lendir, asam
hidariochlorida (Hcl), pepsinogen, renin. Makanan tetap dalam lambung
selama ½ - 3 jam atau lebih, sesuai dengan sifat makanandan
muskularitas lambung dan diperlukan 15 - 30 menit diujung kardia
lambung yangbertindak sebagaireservoir. Manfaat asam lambung :
a. Memberi reaksi asam yang diperlukan oleh enzim lambung.
b. Membunuh bakteri
c. Mengontrol pylorus
d. Menghentikan kerja ptyalin
e. Mengubah pepsinogen memjd pepsin
Fungsi lambung :
a. Mengaduk makanan, memecahnya lebih lanjut danmemcampurnya
dengan sekresi dari kel lambung
b. Melanjutkan percernaan makanandengan bantuan getah lambung
c. Mensekresi faktor intrinsik
5. Usus Halus
Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat - lipat yang
membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup
panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat
relaksasi). Usus ini mengisi bagianian tengah dan bawah rongga
abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm, tetapi
semakin ke bawah lambat laun garis tengahnya berkurang sampai
menjadi sekitar 2,5 cm. Struktur usus halus terdiri dari bagianian-
bagianian berikut ini:
a. Duodenum
Bentuknya melengkung seperti kuku kuda. Pada lengkungan ini
terdapat pankreas. Pada bagianian kanan duodenum
merupakantempat bermuaranya saluran empedu (duktus koledokus)
dan saluran pankreas (duktus pankreatikus), tempat ini dinamakan
papilla vateri. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang
banyak mengandung kelenjar brunner untuk memproduksi getah
intestinum.
b. Jejunum
Panjangnya 2 - 3 meter dan berkelok - kelok, terletakdi sebelah kiri
atas intestinum minor. Dengan perantaraan lipata peritoneum yang
berbentuk kipas (mesentrium) memungkinkan keluar masuknya
arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe, dan saraf ke
ruang antara lapisan peritoneum. Penampang jejunum lebih lebar,
dindingnya lebih tebal, dan banyak mengandung pembuluh darah.
c. Ileum
Ujung batas antara ileum dan jejunum tidak jelas, panjangnya ± 4
-5 m. Ileum merupakan usus halus yang terletak di sebelah kanan
bawah berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang
orifisium ileosekalis yang diperkuat sfingter dan katup valvula
ceicalis (valvula bauchini) yang berfungsi mencegah cairan dalam
kolon agar tidak masuk lagi ke dalam ileum.
6. Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai
kanalisani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus
kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya semakin kecil.
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir,
lapisan otot yang memanjang, dan jaringan ikat. Ukurannya lebih besar
daripada usus halus, mukosanya lebih halus daripada usus halus dan tidak
memiliki vili. Serabut otot longitudinal dalam muskulus ekterna
membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik kolon menjadi kantong-
kantong besar yang disebut dengan haustra.Bagianian – bagianian usus
besar terdiri dari :
a. Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area
katup ileosekal apendiks. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Apendiks vermiform,
suatu tabung buntu yang sempit yang berisi jaringan limfoit,
menonjol dari ujung sekum.
b. Kolon adalah bagianian usus besar dari sekum sampai rektum.
Kolon memiliki tiga divisi :
1) Colon Asenden :merentang dari sekum sampai ke tepi bawah
hati di sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada
fleksura hepatika.
2) Kolon trasfersum : merentang menyilang abdomen di bawah
hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya
memutar ke bawah fleksura splenik.
3) Kolon desenden : merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen
dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di
rectum.

7. Rectum
Rektum adalah bagianian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang
12 -13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior
di anus.
APENDISITIS

A. Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis
pada usia itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya
berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks
ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang
berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak
tertutup oleh peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah
UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada
infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir
tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat
kecil jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang
tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks
diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di saluran pencernaan,
namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun

B. Definisi dan Klasifikasi Apendisitis


Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010). Apendisitis adalah kondisi dimana
infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa
perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran
umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi
dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan
terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise dan demam ringan (Rukmono, 2011).
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan
edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney,
defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi
dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).
d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon
yang melekat erat satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-
5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut
apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya
pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

C. Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur
20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4
lebih banyak dari pada wanita (Sandy, 2010). Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

D. Morfologi Apendisitis
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di
seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa
mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular
ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap
menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini
menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk
diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria.
Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa (Crawford,
Kumar, 2007).

E. Etiologi Apendisitis
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor
primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan
bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan
langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan
lebih sering dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan
peran kebiasaan makan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi
antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi
akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda
asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan
juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang
diberikan oleh layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas,
selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat
yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Penelitian epidemologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Kontipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
(Sjamsuhidajat R, dan Jong Win de, 2004).

F. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
G. Manifestasi Klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

H. Komplikasi
Terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit,
dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada
orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum
lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung
pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi
oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran
klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis.

I. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-
38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi
(Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan
membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi
perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
abses (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan,
dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen
kuadran kanan bawah:
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
3. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
4. Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal
ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
5. Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada
daerah hipogastrium. (Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak
banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau
sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada
pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-
12 (Departemen Bedah UGM, 2010).

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb
(hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat
pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat
apakah terdapat infeksi pada ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara
peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam
untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
b. Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,
atau efusi pleura (Penfold, 2008)
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk
memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan
awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

K. Diagnosis Banding
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena
penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya :
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan
diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan
hematokrit yang meningkat.
4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan
siklusmenstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam
waktu 24 jam.
6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di
luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di
pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama.
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.

L. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan
drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila
diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan
besar infeksi intra-abdomen.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah langkah awal dari proses keperawatan yang
meliputi aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual serta komprehensif. Maksud
dari pengkajian adalah untuk mendapatkan informasi atau data tentang
pasien. Data tersebut berasal dari pasien (data primer), dari keluarga (data
sekunder), data dari catatan yang ada (data tersier), pengumpulan melalui
wawancara, observasi langsung dan mellihat secara medis, adapun data yang
diperlukan pasien pada klien dengan pendisitis adalah sebagai berikut :

1. Data Dasar
a. Identitas klien, digunakan untuk memudahkan mengenal dan
membandingkan antara klien yang satu dengan klien yang lain.
Identitas klien meliiputi umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, alamat, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b. Riwayat penyakit sekarang meliputi pekerjaan penyakitnya, awal
gejala yang dirasakan klien, keluhan timbul nyeri, secara bertahap
atau mendadak dibagian perut kanan bawah.
c. Riwayat penyakit terdahulu meliputi penyakit yang berhubungan
dengan penyakit sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat di
rumah sakit dan riwayat pemakaian obat.
d. Riwayat kesehatan keluarga meliputi anggota keluarga yang
mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti diabetes melitus,
asma, jantung, ginjal.
e. Riwayat kesehatan keluarga meliputi, mekanisme koping yang
digunakan klien untung mengatasi masalah dan bagaimana besarnya
motivasi kesembuhan dan cara klien menerima keadaannya.
f. Kebiasaan sehari-hari meliputi nutrisi, eliminasi, personal hygiene,
istirahat tidur, aktivitas dan latihan serta kebiasaan yang
mempengaruhi kesehatan.
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik secara umum dilakukan mulai dari ujung rambut


sampai dengan ujung kaki menggunakan empat tehnik, yaitu palpasi,
inspeksi, auskultasi, dan perkusi namun untuk pemeriksaan fisik
abdomen pada klien apendisitis memerlukan tehnik khusus antara lain :
a. Inspeksi, kesadaran composmentis, keadaan umum: lemah,
pucat, keringat, kesakitan, bentuk tubuh bungkuk, pernafasan
cepat.
b. Auskultasi, peristaltik usus dan suara tambah keras.
c. Palpasi, adanya nyeri tekan, nyeri lepas, terasa adanya benjolan
dikuadran kanan bawah abdomen, nadi cepat, suhu tubuh
meningkat (38-39ºC).
d. Perkusi, mengetuk jari diatas perut.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah lengkap, menunjukkan adanya leukositosis
diatas 10 ribu/ul (normal = 5 -10 ribu/ul) pada urinalisis biasanya normal
tetapi terkadang terdapat leukosit atau ertrosit, dan pada foto
Apendikskogram terlihat pada apendiks tidak terisi kontras

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi
- Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
- Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan
penurunan peritaltik.
- Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
- Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
2. Post operasi
- Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
- Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
- Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
- Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d kurang informasi.

C. Rencana Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama x jam di
harapkan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Klien melaporkan nyeri berkurang / hilang, klien rileks.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki
dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional: Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik dan
intervensi.
b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional: Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen
bawah atau pelvis, menghilangkan tekanan abdomen yang
bertambah dengan posisi telentang.
c. Berikan aktivitas hiburan.
Rasional: Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
d. Pertahankan puasa
Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini
dan iritasi gaster/ muntah.
e. Berikan kantong es pada abdomen.
Rasional: Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui
penghilangan rasa ujung saraf.
Catatan: jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan
kompresi jaringan.
f. Beritahukan penyebab nyeri.
Rasional: Membantu klien dalam mekanisme koping
g. Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasional: Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan
intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk

2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


pertahanan utama, perforasi/ruptur pada appendiks, pembentukan abses,
prosedur invasif insisi bedah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x jam
diharapkan infeksi berkurang.
Kriteria Hasil : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas
tanda infeksi/inflamasi, drainase purulen, eritema dan demam.
Intervensi :
a. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat,
perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
Rasional: Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
b. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein (bila
dimasukkan), adanya eritema.
Rasional: Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi atau
pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik.
Rasional: Menurunkan resiko penyebaran infeksi.
d. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada klien/ orang
terdekat.
Rasional: Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberi
kandukungan emosi, membantu menurunkan ansietas.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan
jumlah mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya)
untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhanya pada rongga
abdomen.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


penurunan intake oral mual muntah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x jam
diharapkan dapat meningkatkan nafsu makan.
Kriteria Hasil :Intake nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, albumin
batas normal.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi atau pantau masukan makanan tiap hari.
Rasional: Mengidenfikasi nutrisi.
b. Berikan makanan yang disukai pasien.
Rasional: Mengidentifikasi kebutuhan makan pasien.
c. Dorong pasien makan sedikit tapi sering.
Rasional: Memaksimalkan nutrisi masuk dalam tubuh.
d. Jelaskan perlunya kabohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan
cairan yang adekuat.
Rasional: Membangun jaringan untuk proses metabolisme tubuh.
e. Kolaborasi dengan ahli gisi untuk pemberian diet pada pasien.

Rasional: Memberikan bantuan dalam perencanaan diit dengan


nutrisi yang adekuat.

4. Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya luka operasi.

Tujuannya adalah kebutuhan rasa nyaman klien terpenuhi


Kriteria hasil : klien mengatakan nyeri berkurang, klien mampu
melakukan tehnik relaksasi napas dalam, klien mengerti penyebab
timbulnya nyeri, skala nyeri berkurang.
Intervensi :
a. Kaji keadaan nyeri klien yang meliputi lokasi, intensitas dan
keefektifan analgetik atau menyatakan terjadinya komplikasi,
jelaskan pada klien penyebab timbulnya nyeri.
b. Beri posisi yang nyaman bagi klien dengan menghindari
tertekannya daerah luka
c. Berikan analgetik sesuai indikasi, observasi tanda- tanda vital tiap 6
jam.

5. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan


muntah, diare.
Tujuannya adalah keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi
Kriteria hasil : hasil buang air besar dalam batas normal, keadaan umum
baik, tanda- tanda vital dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, N: 80
x/menit, S: 36,5-37,5ºC, RR: 20 x/menit).
Intervensi :
a. Pantau tanda- tanda vital, catat adanya hipotensi takikardi, takipnue,
demam
b. Pertahankan masukan dan haluan yang akurat dan berhubungan
dengan berat badan harian
c. Ukur berat badan dan berat jenis urine
d. Kaji tanda- tanda dehirasi setiap 4 jam
e. Catat intake dan output klien setiap 24 jam, monitor IVFD setiap 2
jam.

6. Kurang pengetahuan mengenai tindakan keperawatan luka dirumah


berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan :pasien mengerti tentang merawat luka operasi dirumah.
Kriteria hasil : pasien dapat menggunakan secara verbal mengenai
perawatan luka yang baik dan benar dirumah.
Intervensi :

a. Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi

b. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodic,


anjurkan menggunakan laktasif, diskusikan perawatan insisi.

7. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.

Tujuannya : tidak terjadi infeksi.


Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti dolor, color, rubor,
tumor, fungsiolera, suhu (36-37ºC).
Intervensi :
a. Kaji adanya tanda- tanda infeksi pada kulit sekitar luka operasi
b. Kaji keadaan balutan luka dan lakukan penggantian jika balutan
basah, observasi TTV tiap 4 jam, lakukan semua tindakan yang
berhubungan dengan luka menggunakan antiseptic
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tindakan pemberian asuhan keperawatan yang
dilakuakan untuk mencapai tujuan pada rencana tindakan keperawatan yang
telah disusun. Setiap tindakan keperawatan yang dilaksanakan dicatat dalam
catatan keperawatan agar tindakan keperawatan terhadap klien berkelanjutan.
Prinsip dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu cara pendekatan
pada klien efektif, tehnik komunikasi terapeutik serta penjelasan untuk setiap
tindakan yang diiberikan kepada pasien.
Dalam melakukan tindakan keperawatan melakukan tiga tahap, yaitu:
independent, dependent, dan interdependent. Tindakan keperawatan secara
independent adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa
petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Dependent
adalah tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan
medis. Sedangkan interdependent adalah tindakan keperawatan yang
menjelaskan suatu kegiatan dan memerlukan suatu kerjasama dengan tenaga
kesehatan lainnya, misalnya tenaga social, ahli gizi, fisioterapi, dan dokter.
Dalam melakukan tindakan keperawatan khususnya klien dengan
appendiktomi yang harus diperhatikan adalah penanganan terhadap nyeri
dengan melakukan tehnik relaksasi nafas dalam dan distraksi,
mengobservasi keadaan cairan, perawatan luka dengan cara ganti balutan,
serta melakukan tindakan denga tehnik septic dan antiseptic.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tingkatan aktual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana
tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai, kemungkinan yang
dapat terjadi pada tahap evaluasi adalah masalah dapat diatasi, masalah
teratasi sebagian, masalah belum teratasi atau timbul masalah yang baru.
Evaluasi yang dilakukan yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Evaluasi proses adalah evaluasi yang harus dilaksanakan segera
setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu keefektifan
terhadap tindakan, sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang
dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara keseluruhan sesuai
dengan waktu yang ada pada tujuan. Adapun keberhasilan asuhan
keperawatan pada klien dengan appendiktomi adalah klien mampu merawat
diri sendiri dan tidak ada komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Hasya MN. 2012. Apendisitits. Diakses pada 25 Oktober 2016, dari :


repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-
babii.pdf diakses pada 25 Oktober 2016 pukul 11.17

Ivan CP. 2011. Apendisitis. Diakses pada 25 Oktober 2016, dari :


repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21908/4/Chapter%20II.pdf
Sibue Sh. 2014. Apendiks. Diakses pasda 25 Oktober 2016, dari :
http://eprints.undip.ac.id/44874/3/Siti_Hardiyanti_Sibuea_2201011011006
9_Bab2KTI.pdf diakses pada 25 Oktober 2016 pukul 11.08

Sandy Widia. 2013. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Pada Pasien Post Operasi Laparatomi Apendiktomi Et Causa
Apendisitis Perforasi Di Rsup Fatmawati. Diakses 25 Oktober 2016, dari :
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351601-PR-Widia%20Sandy.pdf
WP Septiana. 2014. Kajian Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Kenyamanan : Nyeri Post Laparatomi Dengan Indikasi Apendiksitis Hari
Ke-1 Di Rsud Dr. Moewardi. Diakses pada 25 Oktober 2016, dari :
http://stikespku.com/digilib/files/disk1/2/stikes%20pku--septianawh-75-1-
septiana-i.pdf

Anda mungkin juga menyukai