7. Rectum
Rektum adalah bagianian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang
12 -13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior
di anus.
APENDISITIS
C. Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur
20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4
lebih banyak dari pada wanita (Sandy, 2010). Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
D. Morfologi Apendisitis
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di
seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa
mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular
ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap
menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini
menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk
diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria.
Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa (Crawford,
Kumar, 2007).
E. Etiologi Apendisitis
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor
primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan
bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan
langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan
lebih sering dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan
peran kebiasaan makan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi
antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi
akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda
asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan
juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang
diberikan oleh layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas,
selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat
yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Penelitian epidemologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Kontipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
(Sjamsuhidajat R, dan Jong Win de, 2004).
F. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
G. Manifestasi Klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
H. Komplikasi
Terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit,
dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada
orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum
lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung
pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi
oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran
klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis.
I. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-
38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi
(Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan
membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi
perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
abses (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan,
dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen
kuadran kanan bawah:
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
3. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
4. Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal
ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
5. Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada
daerah hipogastrium. (Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak
banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau
sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada
pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-
12 (Departemen Bedah UGM, 2010).
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb
(hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat
pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat
apakah terdapat infeksi pada ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara
peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam
untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
b. Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,
atau efusi pleura (Penfold, 2008)
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk
memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan
awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
K. Diagnosis Banding
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena
penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya :
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan
diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan
hematokrit yang meningkat.
4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan
siklusmenstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam
waktu 24 jam.
6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di
luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di
pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama.
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.
L. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan
drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila
diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan
besar infeksi intra-abdomen.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah langkah awal dari proses keperawatan yang
meliputi aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual serta komprehensif. Maksud
dari pengkajian adalah untuk mendapatkan informasi atau data tentang
pasien. Data tersebut berasal dari pasien (data primer), dari keluarga (data
sekunder), data dari catatan yang ada (data tersier), pengumpulan melalui
wawancara, observasi langsung dan mellihat secara medis, adapun data yang
diperlukan pasien pada klien dengan pendisitis adalah sebagai berikut :
1. Data Dasar
a. Identitas klien, digunakan untuk memudahkan mengenal dan
membandingkan antara klien yang satu dengan klien yang lain.
Identitas klien meliiputi umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, alamat, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b. Riwayat penyakit sekarang meliputi pekerjaan penyakitnya, awal
gejala yang dirasakan klien, keluhan timbul nyeri, secara bertahap
atau mendadak dibagian perut kanan bawah.
c. Riwayat penyakit terdahulu meliputi penyakit yang berhubungan
dengan penyakit sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat di
rumah sakit dan riwayat pemakaian obat.
d. Riwayat kesehatan keluarga meliputi anggota keluarga yang
mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti diabetes melitus,
asma, jantung, ginjal.
e. Riwayat kesehatan keluarga meliputi, mekanisme koping yang
digunakan klien untung mengatasi masalah dan bagaimana besarnya
motivasi kesembuhan dan cara klien menerima keadaannya.
f. Kebiasaan sehari-hari meliputi nutrisi, eliminasi, personal hygiene,
istirahat tidur, aktivitas dan latihan serta kebiasaan yang
mempengaruhi kesehatan.
2. Pemeriksaan Fisik
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi
- Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
- Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan
penurunan peritaltik.
- Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
- Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
2. Post operasi
- Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
- Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
- Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
- Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d kurang informasi.
C. Rencana Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama x jam di
harapkan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Klien melaporkan nyeri berkurang / hilang, klien rileks.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki
dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional: Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik dan
intervensi.
b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional: Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen
bawah atau pelvis, menghilangkan tekanan abdomen yang
bertambah dengan posisi telentang.
c. Berikan aktivitas hiburan.
Rasional: Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
d. Pertahankan puasa
Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini
dan iritasi gaster/ muntah.
e. Berikan kantong es pada abdomen.
Rasional: Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui
penghilangan rasa ujung saraf.
Catatan: jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan
kompresi jaringan.
f. Beritahukan penyebab nyeri.
Rasional: Membantu klien dalam mekanisme koping
g. Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasional: Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan
intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tingkatan aktual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana
tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai, kemungkinan yang
dapat terjadi pada tahap evaluasi adalah masalah dapat diatasi, masalah
teratasi sebagian, masalah belum teratasi atau timbul masalah yang baru.
Evaluasi yang dilakukan yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Evaluasi proses adalah evaluasi yang harus dilaksanakan segera
setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu keefektifan
terhadap tindakan, sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang
dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara keseluruhan sesuai
dengan waktu yang ada pada tujuan. Adapun keberhasilan asuhan
keperawatan pada klien dengan appendiktomi adalah klien mampu merawat
diri sendiri dan tidak ada komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-
babii.pdf diakses pada 25 Oktober 2016 pukul 11.17