Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penerapan Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SD,
SMP, dan SMA
Belajar merupakan inti dari semua proses pendidikan, karena setiap proses pendidikan
pasti melibatkan kegiatan belajar-mengajar. Lebih lanjut, seiring dengan perkembangan
zaman, pendidikan terus mengalami perubahan, demikian juga dengan paradigma yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Perubahan paradigma dalam kegiatan pembelajaran
dari yang semula terpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa (student
centered) serta perubahan dari paradigm teaching (mengajar) menjadi learning (belajar)
tentunya berdampak pada pilihan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru. Perubahan
paradigma pendidikan ini menyebabkan proses pendidikan berubah menjadi proses bagaimana
“belajar bersama antar guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam
proses belajar. Dengan demikian, lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat
belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa) tapi learner
(pebelajar).
Paradigma pendidikan baru yakni pendidikan yang berpusat pada siswa (student
centered) serta perubahan dari paradigma paradigma teaching (mengajar) menjadi learning
(belajar), ternyata memperoleh dukungan yang besar, salah satunya dari UNESCO (United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Organisasi ini merupakan instansi
di bawah naungan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Salah satu bentuk filosofi nyata dari dukungan UNESCO
tersebut tertuang dalam bentuk empat pilar pendidikan UNESCO yang meliputi: learning to
know, learning to do, learning to be dan learning to live together.
a. Learning to know
Learning to know (belajar untuk mengetahui) secara harfiah atau terminologis berarti
proses belajar untuk mengetahui. Pada dasarnya kegiatan belajar apapun maksud tujuannya
adalah mengetahui bahan-bahan yang dipelajari agar seseorang mempunyai banyak informasi
yang kelak berguna. Inti dari filosofi pertama ini adalah mengetahui yang tidak sebatas
memiliki materi informasi yang sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-
lamanya dengan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah diberikan,
akan tetapi kemampuan memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya (Matuhu,
2003). Lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa maksud utama dari filosofi learning to know
adalah memahami makna tersirat dari yang tersurat dari proses pembelajaran.
b. Learning to do
Learning to do (belajar bertindak/berbuat/berkarya) erat hubungannya dengan belajar
mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Lebih lanjut, inti dari learning to do
adalah bagaimana pendidikan mengajarkan perserta didik untuk mempraktekkan apa yang
sudah dipelajarinya dan mengarahkan pada kemampuan profesional terhadap dunia pekerjaan
di masa depannya (Delor, 1996).
Implementasi dari filosofi belajar ini merupakan konsekuensi logis dari learning to
know,yang berarti bahwa pendidikan melalui proses belajar mengajarnya tidak sekedar transfer
knowledge (memberi ilmu pengetahuan) kepada peserta didik tapi diarahkan pada semangat
berbuat, semangat mengamalkan ilmu dan semangat-semangat lain yang searah dengan
bertindak sesuai ilmu yang didapatnya. Lebih lanjut, hal penerapan filosofi ini dalam
kehidupan sehari-hari dapat diindikasikan dengan berbuat dengan berpikir (thinking in action).
Implementasi filosofi learning to do mengharapkan peserta didik untuk mampu belajar
berkaya. Hal ini sejalan dengan tuntutan perusahaan saat ini yang membutuhkan tenaga kerja
dengan ketrampilan, kompetensi teknis dan kompetensi professional yang baik. Lebih lanjut,
praktik dari filosofi ini dapat dilakukan dengan cara membelajarkan peserta didik untuk dapat
menganalisis dan memecahkan berbagai permasalahan yang ditemuinya dalam kehidupan
sehari-hari, dengan menggunakan ilmu yang dimilikinya.
c. Learning to be
Learning to be (belajar menjadi diri sendiri) diartikan sebagai proses pemahaman
terhadap kebutuhan dan jati diri. Pendidikan melalui proses pembelajaran juga harus
mengarahkan peserta didik pada penemuan jati dirinya yang utuh, sehingga mempunyai
pijakan kuat dalam bertindak dan tidak mudah terbawa arus. Pendidikan untuk menemukan jati
diri bertujuan untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia secara optimal dan
berimbang, baik intelektual, emosi, sosial, fisik, moral maupun religiusitas (Sukmadinata,
2003). Pada akhirnya, belajar menjadi diri sendiri akan membentuk peserta didik berperilaku
sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil yang sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri dan dapat dijadikan
sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungannya dimana dia tinggal dan sekaligus
mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya (Delor, 1996).
d. Learning to live together
Learning to live together (belajar hidup bersama) merupakan pilar terakhir yang
mempunyai arti belajar untuk hidup bersama, bermasyarakat dan bersosial. Kenyataan
kehidupan yang terjadi di dunia ini adalah kehidupan yang plural, majemuk dan beraneka
ragam baik ras, agama, etnik dan sekte sehingga tidak mungkin mengajarkan anak untuk hidup
sendiri atau untuk diri sendiri. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang
dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sangat membutuhkan orang lain. Lebih lanjut,
tujuan dari filosofi belajar ini adalah membelajarkan siswa agar dapat bersosial dan bermanfaat
di lingkungannya.
Anak perlu dibelajarkan untuk dapat bekerja sama dengan individu dari berbagai
kelompok yang berlatar belakang pendidikan, kebudayaan, dan tradisi serta individu dengan
tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerja sama dan hidup rukun (Sukmadinata,
2003). Lebih lanjut, anak perlu dibelajarkan tentang cara hidup bersama secara social atau
being sociable (berusaha membina kehidupan bersama). Sukmadinata (2003) menjabarkan
bahwa konteks learning to live together terkait dengan kemampuan peserta didik berperan serta
dan bekerja sama dengan orang lain dalam semua kegiatan manusia. Fungsi strategis
implementasi filosofi pembelajaran utamanya pada masyarakat majemuk, adalah
berkembangnya peserta didik yang tidak hanya cerdas secara mental, tetapi juga perlu cerdas
secara sosial bahkan spiritual (Sukmadinata, 2003).
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization menjelaskan bahwa
filosofi belajar ini merupakan salah satu persoalan yang besar dalam pendidikan dewasa ini,
karena atmosfer persaingan, perselisihan atau pertengkaran begitu kental sehingga sering
terjadi chaos hanya karena masalah-masalah sepele yang pada akhirnya manusia lebih memilih
egonya sendiri dari pada kepentingan hidup bersama (Delor, 1996). Lebih lanjut pendidikan
tampaknya harus menumpuh dua jalan yang saling melengkapi untuk menghindarkan atau
menyelesaikan perselisihan maupun pertengakaran, yaitu menemukan orang lain dalam arti
bersosial dan berkerjasama ke arah tujuan bersama. Pada praktiknya, maka proses pendidikan
yang diharapkan muncul adalah proses pendidikan yang membelajarkan arti kebersamaan,
menghargai orang lain, kepedulian, serta kepekaan sosial terhadap kehidupan orang lain.

Teori tentang Literasi Sains

2.1.1 Penerapan Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SD

Aplikasi Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SD N 22


Donggala

Pemerintah Indonesia berupaya memperbaiki kualitas pendidikan dan


memeratakan pendidikan sesuai dengan SDGs (Sustainable Development Goals
(SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Nomor 4 yang bertujuan untuk
memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas dan
kesempatan untuk belajar seumur hidup. Untuk mengetahui aplikasi prinsip
pendididikan yang dikemukakan oleh UNESCO tersebut, dilakukan wawancara
serta observasi di SDN 22 DONGGALA. Sekolah ini merupakan salah satu SD
negeri di Kabupaten DONGGALA yang berdiri sejak 1992.
Hasil wawancara terhadap salah satu guru serta observasi di sekolah tersebut
menunjukkan bahwa SDN 22 DONGGALA telah menerapkan prinsip pendidikan
kesejagatan UNESCO serta literasi sains. Berikut aplikasi prinsip pendidikan
kesejagatan UNESCO yang diterapkan di SDN 22 DONGGALA:
1. Learning to know
Menurut konsep learning to know, guru mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang
dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara seksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi
siswanya, dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Guru dapat dikatakan unggul
dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan tidak
banyak bergantung pada orang lain. Konsep learning to know ini menyiratkan
makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai sumber belajar,
fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, mediator, evaluator
Sekolah ini telah mengaplikasikan konsep learning to know dengan cara
melakukan pengorganisasian kelas secara baik yang memungkinkan siswa dapat
belajar dengan nyaman. Dalam hal ini, sekolah dalam melakukan
pengorganisasian kelas memperhatikan karakteristik siswa, khususnya terkait
minat dan bakatnya. Selain itu, guru di sekolah ini telah mengenal dan
menggunakan metode, model, atau strategi pembelajaran yang inovatif agar
siswa dapat memahami konsep yang diajarkan oleh guru.
SDN 22 DONGGALA memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan karakter yang mereka miliki, disamping terkait dengan materi
pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Sekolah ini juga mengajarkan siswa
untuk mengembangkan sikap spiritual dan sikap sosialnya melalui beberapa
kegiatan, diantaranya adalah kegiatan Jumat Berkah, dimana siswa akan
berkumpul di musolah bagi yang muslim dan di pura bagi yang beragama hindu
untuk melakukan kegiatan keagamaan seperti menghafalkan surat pendek,
bersedekah dan bagi agama hindu latihan membuat sajen untuk
persembahayangan . Guru berperan aktif dalam penerapan program-program
ini.
2. Learning to do
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sekolah telah memfasilitasi siswa
untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, sesuai dengan bakat dan
minatnya. Salah satu caranya adalah melalui ketersediaan program
ekstrakulikuler yang beragam. Sekolah ini mempunyai 2 macam
ekstrakulikuler. Siswa diwajibkan salah satu ekstrakulikuler pramuka dan 1
ekstrakulikuler tekondow.
3. Learning to be
4. Learning to live together

Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat beberapa kegiatan yang


telah dilakukan oleh sekolah berkaitan dengan literasi. Kegiatan tersebut antara
lain adalah:
1. GLS (Gerakan Literasi Sekolah)
Pada kegiatan ini, siswa secara bergilir berkumpul di lapangan untuk
membaca buku dengan tema bebas secara bersama-sama selama 30 menit
sebelum pembelajaran dimulai. Setelah kegiatan tersebut, siswa diminta
mengumpulkan ringkasan dari buku yang mereka baca.
2. One Class One Book
Kegiatan ini merupakan suatu program yang mewajibkan satu kelas untuk
membuat satu buku, biasanya berupa antalogi cerpen, karya fiksi, dsb. yang
berisi karya seluruh siswa dalam satu kelas. Buku karya siswa tersebut
selanjutnya direview oleh guru Bahasa Indonesia dan direvisi. Setelah itu,
buku yang siap cetak akan di-ISBN kan dan dipamerkan pada kegiatan
Bulan Bahasa.
3. Kegiatan Pembelajaran
Pada kegiatan pembelajaran juga sudah mengintegrasikan literasi sains ini
dalam semua mata pelajaran dengan memanfaatkan Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) dalam kegiatan pembelajaran. Pada beberapa mata
pelajaran, misalnya pada mata pelajaran biologi, guru telah memberikan
tugas kepada siswa untuk membuat artikel berdasarkan hasil riset atau
observasi mereka.
Selain dalam bentuk kegiatan atau program sekolah, literasi juga
digiatkan dalam beberapa macam kebijakan yang diterapkan sekolah. Kebijakan
tersebut antara lain adalah:
1. Membentuk Komunitas Penulis dan Duta Baca
2. Membangun budaya Literasi fasilitas sudut baca tiap kelas dan ruang
baca non perpustakaan.
3. Menanamkan budaya Literasi dengan pembiasaan membaca buku non
pelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai tiap dan menyajikan dalam
tulisan yang disatukan dalam buku
4. Kerjasama dengan Surat Kabar Radar Gresik memberikan pelatihan
menulis buku “Dolanan Gresik”

yang didanai oleh PT. Smelting.

(a) (b)
Gambar 5. (a) Peluncuran buku Dolanan Gresik karya siswa; (b) Pameran Literasi
yang dihadiri Wakil Bupati Gresik

B. Kendala yang Dihadapi pada Aplikasi Prinsip Pendidikan Kesejagatan


(UNESCO) dan Literasi Sains di SMA Negeri 1 Gresik
Hasil wawancara menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit kendala yang
dihadapi oleh sekolah dalam menerapkan prinsip pendidikan kesejagatan menurut
UNESCO dan literasi sains. Hal ini disebabkan sekolah telah melakukan koordinasi
dengan baik, salah satunya dengan cara menetapkan koordinator untuk masing-
masing program atau kebijakan yang telah disepakati. Koordinator tersebut
selanjutnya bertugas menyusun tim koordinasi dan mensosialisasikan program yang
telah dirumuskan tersebut kepada seluruh warga sekolah. Namun, dalam penerapan
prinsip pendidikan kesejagatan menurut UNESCO dan literasi sains tetap
menghadapi kendala, diantaranya adalah tidak semua guru dapat menerima
kebijakan sekolah dengan baik. Beberapa guru mengeluh terkait dengan
keterbatasan waktu dalam kegiatan pembelajaran dan mempertanyakan urgensi atau
pentingnya program yang ditetapkan oleh sekolah. Selain itu, kendala lain yang
dihadapi adalah kurangnya motivasi siswa dalam mengikuti program yang telah
ditetapkan sekolah. Beberapa siswa bahkan membuat pelanggaran terkait dengan
program yang telah ditetapkan sekolah, misalnya dengan tidak hadir tanpa disertai
keterangan saat kegiatan dilaksanakan.
C. Upaya Mengatasi Kendala pada Aplikasi Prinsip Pendidikan Kesejagatan
(UNESCO) dan Literasi Sains di SMA Negeri 1 Gresik
Sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan upaya untuk mengatasi kendala
pada penerapan prinsip pendidikan kesejagatan menurut UNESCO dan literasi sains
dengan cara membangun komunikasi yang baik dengan semua warga sekolah. Cara
tersebut dilakukan dengan mengadakan sosialisasi secara berkala terkait program
yang akan dilaksanakan. Pada kegiatan ini, warga sekolah diberikan kesempatan
untuk bertanya atau mengajukan pendapat dan saran terkait program yang dijelaskan
sehingga diperoleh persamaan persepsi pada semua guru dan karyawan. Lebih lanjut,
sekolah memberikan motivasi kepada warga sekolah dengan memberikan reward
atau penghargaan apabila sekolah berhasil menerapkan program terkait prinsip
pendidikan kesejagatan dan literasi sains dengan baik. Dari sisi siswa, sekolah telah
mengupayakan untuk mengatasi kendala yang dihadapi dengan cara bekerjasama
dengan pihak Bimbingan dan Konseling (BK) untuk memberikan bimbingan dan
motivasi kepada siswa yang kurang berpartisipasi terhadap program yang telah
dicanangkan oleh sekolah.
2.1.2 Penerapan Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SMP
2.1.3 Penerapan Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SMA

A. Aplikasi Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SMA


Negeri 1 Gresik

Prinsip pendidikan kesejagatan oleh UNESCO dan literasi sains perlu


diaplikasikan di Indonesia untuk beberapa tujuan, diantaranya adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (Muhardi, 2012). Untuk mengetahui
aplikasi prinsip pendididikan yang dikemukakan oleh UNESCO tersebut, dilakukan
wawancara serta observasi di SMA Negeri 1 Gresik. Sekolah ini merupakan salah
satu SMA negeri di Kabupaten Gresik yang berdiri sejak 1964. Sekolah ini terpilih
sebagai salah satu sekolah rujukan di Indonesia.
Hasil wawancara terhadap salah satu guru yang merangkap sebagai Wakil
Kepala Sekolah Bidang Kurikulum serta observasi di sekolah tersebut menunjukkan
bahwa SMA Negeri 1 Gresik telah menerapkan prinsip pendidikan kesejagatan
UNESCO serta literasi sains. Berikut aplikasi prinsip pendidikan kesejagatan
UNESCO yang diterapkan di SMA Negeri 1 Gresik:
5. Learning to know
Menurut konsep learning to know, guru mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang
dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara seksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi
siswanya, dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Guru dapat dikatakan unggul
dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan tidak
banyak bergantung pada orang lain. Konsep learning to know ini menyiratkan
makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai sumber belajar,
fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, mediator, evaluator
Sekolah ini telah mengaplikasikan konsep learning to know dengan cara
melakukan pengorganisasian kelas secara baik yang memungkinkan siswa dapat
belajar dengan nyaman. Dalam hal ini, sekolah dalam melakukan
pengorganisasian kelas memperhatikan karakteristik siswa, khususnya terkait
minat dan bakatnya. Selain itu, guru di sekolah ini telah mengenal dan
menggunakan metode, model, atau strategi pembelajaran yang inovatif agar
siswa dapat memahami konsep yang diajarkan oleh guru.
SMA Negeri 1 Gresik mempunyai motto “PRIDE (Personal
Responsibility in Delivering ExcelIence)” yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan karakter yang mereka miliki, disamping
terkait dengan materi pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Sekolah ini juga
mengajarkan siswa untuk mengembangkan sikap spiritual dan sikap sosialnya
melalui beberapa kegiatan, diantaranya adalah kegiatan Jumat Berdoa, dimana
siswa akan berkumpul di lapangan pada hari Jumat minggu pertama setiap bulan
berdoa bersama dengan membaca surat Yasin Fadhilah. Sekolah ini juga
menerapkan budaya 4S (senyum, sapa, salam, dan salaman) agar siswa dapat
mengembangkan sikap sosial mereka, baik kepada guru maupun siswa lain.
Guru berperan aktif sebagai role model dalam penerapan program-program ini.

Gambar 1. Kegiatan doa bersama rutin setiap Jumat minggu pertama


6. Learning to do
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi
siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan yang dimiliki, serta bakat dan
minatnya agar learning to do dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah
kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan
pada masa yang akan dating, sedangkan minat adalah kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Bamawi
dan Arifin, 2009).
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sekolah telah memfasilitasi siswa
untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, sesuai dengan bakat dan
minatnya. Salah satu caranya adalah melalui ketersediaan program
ekstrakulikuler yang beragam. Sekolah ini mempunyai 36 macam
ekstrakulikuler. Siswa diwajibkan mengikuti 2 ekstrakulikuler, 1 ekstrakulikuler
wajib (pramuka) dan 1 ekstrakulikuler pilihan. Siswa juga diberikan kesempatan
untuk menampilkan bakatnya dalam suatu kegiatan penampilan ekstrakulikuler
yang secara rutin diadakan pada Jumat minggu ke-3 dalam kegiatan yang
disebut dengan What’s up extra.

Gambar 2. Kegiatan What’s up Extra di SMA Negeri 1 Gresik


7. Learning to be
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk
melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi (Muhardi, 2012).
Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam
masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari
proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Muhardi, 2012).
Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap
kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah
yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya
merupakan proses pencapain aktualisasi diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses pendidikan menurut Muhardi (2012) yaitu: 1) Motivasi; 2) Sikap; 3)
Minat; 4) Kebiasaan belajar; 5) Konsep diri.
Guru setiap mata pelajaran sebagai role of model memotivasi siswa
untuk menemukan jati dirinya sendiri, mengembangkan bakat dan minat siswa
lewat ekstrakulikuler, mendorong siswa menekuni bidang tertentu sesuai
dengan minat dan bakatnya, misalnya dengan mengikuti olimpiade atau
kejuaraan tertentu sesuai minat dan bakat mereka. Selain itu, sekolah
mempunyai program kewirausahaan yang unggul sehingga diharapkan dapat
memberikan bekal kepada siswa untuk menghadapi tantangan abad ke-21 yang
membutuhkan jiwa kreatif dan inovatif.

Gambar 3. Kegiatan Program Kewirausahaan SMA Negeri 1 Gresik


8. Learning to live together
Penerapan konsep learning to live together mengacu pada pembelajaran
social models yang mengkombinasi antara belajar (learning) dan masyarakat
(society). Kedudukannya ke arah pengajaran dengan prilaku yang kooperatif
(cooperative behavior) menstimulasi tidak hanya secara sosial tapi juga
intelektual, dan karenanya tugas interaksi sosial dapat di desain untuk
meningkatkan studi akademik. Sesuai dengan penekanan dan titik beratnya
aplikasi model ini adalah untuk mengembangkan kecakapan individu pelajar
dalam berhubungan dengan orang lain atau masyarakat. Individu siswa dalam
hal ini dihadapkan oleh guru dalam situasi yang demokratis didorong untuk
berperilaku produktif dalam bermasyarakat.
Sekolah ini menerapkan pembelajaran yang berbasis masyarakat,
misalnya, dengan melibatkan masyarakat untuk membagikan ilmu yang mereka
miliki untuk dibagikan di kelas, juga melibatkan alumni secara aktif untuk
sharing pengalaman dan perjalanan hidup mereka dengan harapan siswa
memahami pentingnya kebermanfaatan bagi sesama dan networking. Selain itu,
dalam pembelajaran, guru-guru dihimbau untuk menerapkan cooperative dan
collaborative learning sehingga memungkinkan siswa untuk belajar bekerja
sama, berdiskusi, dan menerima perbedaan diantara teman.

Gambar 4. Seminar motivasi sukses dari alumni SMA Negeri 1 Gresik


Pemerintah Indonesia pada tahun 2017 mencanangkan Gerakan Literasi
Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi
Pekerti, dimana literasi sains sebagai salah satu kunci utama untuk menghadapi
berbagai tantangan abad ke-21. Literasi sains berarti dalam kurikulum dituntut
untuk siswa melek terhadap sains atau ilmu pengetahuan namun sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam kerja ilmiah.
Konsep kurikulum 2013 yang telah dirumuskan oleh pemerintah telah
cukup baik untuk mengemas suatu pembelajaran sains yang lebih interaktif,
inovatif dan kreatif bagi siswa. Hal ini yang membuat siswa lebih mampu
memahami materi namun dengan kemasan pembelajaran yang berbeda. Selama
ini, terdapat kekeliruan persepsi bahwa literasi sains hanya terbatas pada
pembelajaran IPA dan pada pembelajaran IPA sendiri belum diterapkan secara
tepat. Hal ini disebabkan oleh adanya interpretasi sempit terkait dengan PP No.
13 Tahun 2015 Pasal I ayat 23 yang menjelaskan bahwa “buku teks pelajaran
adalah sumber pembelajaran utama untuk mencapai kompetensi dasar dan
kompetensi inti”. Sebagian besar memahami bahwa buku teks pelajaran menjadi
satu-satunya bahan ajar sehingga pembelajaran IPA belum menerapkan
pendekatan saintifik dan inkuiri. Jika dalam konteks pelajaran IPA saja literasi
sains belum diterapkan secara tepat dan komprehensif, penerapannya dalam
pembelajaran lain perlu dipertanyakan. Fakta ini membuat banyak orang
Indonesia tidak terbiasa mencari beragam sumber.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat beberapa kegiatan yang
telah dilakukan oleh sekolah berkaitan dengan literasi. Kegiatan tersebut antara
lain adalah:
4. GLS (Gerakan Literasi Sekolah)
Pada kegiatan ini, siswa secara bergilir berkumpul di lapangan untuk
membaca buku dengan tema bebas secara bersama-sama selama 30 menit
sebelum pembelajaran dimulai. Setelah kegiatan tersebut, siswa diminta
mengumpulkan ringkasan dari buku yang mereka baca.
5. One Class One Book
Kegiatan ini merupakan suatu program yang mewajibkan satu kelas untuk
membuat satu buku, biasanya berupa antalogi cerpen, karya fiksi, dsb. yang
berisi karya seluruh siswa dalam satu kelas. Buku karya siswa tersebut
selanjutnya direview oleh guru Bahasa Indonesia dan direvisi. Setelah itu,
buku yang siap cetak akan di-ISBN kan dan dipamerkan pada kegiatan
Bulan Bahasa.
6. Kegiatan Pembelajaran
Pada kegiatan pembelajaran juga sudah mengintegrasikan literasi sains ini
dalam semua mata pelajaran dengan memanfaatkan Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) dalam kegiatan pembelajaran. Pada beberapa mata
pelajaran, misalnya pada mata pelajaran biologi, guru telah memberikan
tugas kepada siswa untuk membuat artikel berdasarkan hasil riset atau
observasi mereka.
Selain dalam bentuk kegiatan atau program sekolah, literasi juga
digiatkan dalam beberapa macam kebijakan yang diterapkan sekolah. Kebijakan
tersebut antara lain adalah:
5. Membentuk Komunitas Penulis dan Duta Baca
6. Membangun budaya Literasi fasilitas sudut baca tiap kelas dan ruang
baca non perpustakaan.
7. Menanamkan budaya Literasi dengan pembiasaan membaca buku non
pelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai tiap dan menyajikan dalam
tulisan yang disatukan dalam buku
8. Kerjasama dengan Surat Kabar Radar Gresik memberikan pelatihan
menulis buku “Dolanan Gresik”

yang didanai oleh PT. Smelting.


(a) (b)
Gambar 5. (a) Peluncuran buku Dolanan Gresik karya siswa; (b) Pameran Literasi
yang dihadiri Wakil Bupati Gresik

B. Kendala yang Dihadapi pada Aplikasi Prinsip Pendidikan Kesejagatan


(UNESCO) dan Literasi Sains di SMA Negeri 1 Gresik
Hasil wawancara menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit kendala yang
dihadapi oleh sekolah dalam menerapkan prinsip pendidikan kesejagatan menurut
UNESCO dan literasi sains. Hal ini disebabkan sekolah telah melakukan koordinasi
dengan baik, salah satunya dengan cara menetapkan koordinator untuk masing-
masing program atau kebijakan yang telah disepakati. Koordinator tersebut
selanjutnya bertugas menyusun tim koordinasi dan mensosialisasikan program yang
telah dirumuskan tersebut kepada seluruh warga sekolah. Namun, dalam penerapan
prinsip pendidikan kesejagatan menurut UNESCO dan literasi sains tetap
menghadapi kendala, diantaranya adalah tidak semua guru dapat menerima
kebijakan sekolah dengan baik. Beberapa guru mengeluh terkait dengan
keterbatasan waktu dalam kegiatan pembelajaran dan mempertanyakan urgensi atau
pentingnya program yang ditetapkan oleh sekolah. Selain itu, kendala lain yang
dihadapi adalah kurangnya motivasi siswa dalam mengikuti program yang telah
ditetapkan sekolah. Beberapa siswa bahkan membuat pelanggaran terkait dengan
program yang telah ditetapkan sekolah, misalnya dengan tidak hadir tanpa disertai
keterangan saat kegiatan dilaksanakan.
C. Upaya Mengatasi Kendala pada Aplikasi Prinsip Pendidikan Kesejagatan
(UNESCO) dan Literasi Sains di SMA Negeri 1 Gresik
Sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan upaya untuk mengatasi kendala
pada penerapan prinsip pendidikan kesejagatan menurut UNESCO dan literasi sains
dengan cara membangun komunikasi yang baik dengan semua warga sekolah. Cara
tersebut dilakukan dengan mengadakan sosialisasi secara berkala terkait program
yang akan dilaksanakan. Pada kegiatan ini, warga sekolah diberikan kesempatan
untuk bertanya atau mengajukan pendapat dan saran terkait program yang dijelaskan
sehingga diperoleh persamaan persepsi pada semua guru dan karyawan. Lebih lanjut,
sekolah memberikan motivasi kepada warga sekolah dengan memberikan reward
atau penghargaan apabila sekolah berhasil menerapkan program terkait prinsip
pendidikan kesejagatan dan literasi sains dengan baik. Dari sisi siswa, sekolah telah
mengupayakan untuk mengatasi kendala yang dihadapi dengan cara bekerjasama
dengan pihak Bimbingan dan Konseling (BK) untuk memberikan bimbingan dan
motivasi kepada siswa yang kurang berpartisipasi terhadap program yang telah
dicanangkan oleh sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Bamawi dan Arifin, M. 2009.Etika dan Profesi Pendidikan.Yogyakarta:ArRuz Media.

Delor, J. 1996.Belajar: Harta Karun di Dalamnya, UNESCO, Komisi Nasional Indonesia

Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Muhardi. 2012. Aktualisasi dan Aplikasi Empat Pilar Pendidikan UNESCO. Padang:
Pascasarjana Unversitas Negeri Padang.
Sukmadinata, N. S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai