PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains di SD,
SMP, dan SMA
Belajar merupakan inti dari semua proses pendidikan, karena setiap proses pendidikan
pasti melibatkan kegiatan belajar-mengajar. Lebih lanjut, seiring dengan perkembangan
zaman, pendidikan terus mengalami perubahan, demikian juga dengan paradigma yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Perubahan paradigma dalam kegiatan pembelajaran
dari yang semula terpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa (student
centered) serta perubahan dari paradigm teaching (mengajar) menjadi learning (belajar)
tentunya berdampak pada pilihan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru. Perubahan
paradigma pendidikan ini menyebabkan proses pendidikan berubah menjadi proses bagaimana
“belajar bersama antar guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam
proses belajar. Dengan demikian, lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat
belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa) tapi learner
(pebelajar).
Paradigma pendidikan baru yakni pendidikan yang berpusat pada siswa (student
centered) serta perubahan dari paradigma paradigma teaching (mengajar) menjadi learning
(belajar), ternyata memperoleh dukungan yang besar, salah satunya dari UNESCO (United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Organisasi ini merupakan instansi
di bawah naungan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Salah satu bentuk filosofi nyata dari dukungan UNESCO
tersebut tertuang dalam bentuk empat pilar pendidikan UNESCO yang meliputi: learning to
know, learning to do, learning to be dan learning to live together.
a. Learning to know
Learning to know (belajar untuk mengetahui) secara harfiah atau terminologis berarti
proses belajar untuk mengetahui. Pada dasarnya kegiatan belajar apapun maksud tujuannya
adalah mengetahui bahan-bahan yang dipelajari agar seseorang mempunyai banyak informasi
yang kelak berguna. Inti dari filosofi pertama ini adalah mengetahui yang tidak sebatas
memiliki materi informasi yang sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-
lamanya dengan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah diberikan,
akan tetapi kemampuan memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya (Matuhu,
2003). Lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa maksud utama dari filosofi learning to know
adalah memahami makna tersirat dari yang tersurat dari proses pembelajaran.
b. Learning to do
Learning to do (belajar bertindak/berbuat/berkarya) erat hubungannya dengan belajar
mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Lebih lanjut, inti dari learning to do
adalah bagaimana pendidikan mengajarkan perserta didik untuk mempraktekkan apa yang
sudah dipelajarinya dan mengarahkan pada kemampuan profesional terhadap dunia pekerjaan
di masa depannya (Delor, 1996).
Implementasi dari filosofi belajar ini merupakan konsekuensi logis dari learning to
know,yang berarti bahwa pendidikan melalui proses belajar mengajarnya tidak sekedar transfer
knowledge (memberi ilmu pengetahuan) kepada peserta didik tapi diarahkan pada semangat
berbuat, semangat mengamalkan ilmu dan semangat-semangat lain yang searah dengan
bertindak sesuai ilmu yang didapatnya. Lebih lanjut, hal penerapan filosofi ini dalam
kehidupan sehari-hari dapat diindikasikan dengan berbuat dengan berpikir (thinking in action).
Implementasi filosofi learning to do mengharapkan peserta didik untuk mampu belajar
berkaya. Hal ini sejalan dengan tuntutan perusahaan saat ini yang membutuhkan tenaga kerja
dengan ketrampilan, kompetensi teknis dan kompetensi professional yang baik. Lebih lanjut,
praktik dari filosofi ini dapat dilakukan dengan cara membelajarkan peserta didik untuk dapat
menganalisis dan memecahkan berbagai permasalahan yang ditemuinya dalam kehidupan
sehari-hari, dengan menggunakan ilmu yang dimilikinya.
c. Learning to be
Learning to be (belajar menjadi diri sendiri) diartikan sebagai proses pemahaman
terhadap kebutuhan dan jati diri. Pendidikan melalui proses pembelajaran juga harus
mengarahkan peserta didik pada penemuan jati dirinya yang utuh, sehingga mempunyai
pijakan kuat dalam bertindak dan tidak mudah terbawa arus. Pendidikan untuk menemukan jati
diri bertujuan untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia secara optimal dan
berimbang, baik intelektual, emosi, sosial, fisik, moral maupun religiusitas (Sukmadinata,
2003). Pada akhirnya, belajar menjadi diri sendiri akan membentuk peserta didik berperilaku
sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil yang sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri dan dapat dijadikan
sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungannya dimana dia tinggal dan sekaligus
mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya (Delor, 1996).
d. Learning to live together
Learning to live together (belajar hidup bersama) merupakan pilar terakhir yang
mempunyai arti belajar untuk hidup bersama, bermasyarakat dan bersosial. Kenyataan
kehidupan yang terjadi di dunia ini adalah kehidupan yang plural, majemuk dan beraneka
ragam baik ras, agama, etnik dan sekte sehingga tidak mungkin mengajarkan anak untuk hidup
sendiri atau untuk diri sendiri. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang
dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sangat membutuhkan orang lain. Lebih lanjut,
tujuan dari filosofi belajar ini adalah membelajarkan siswa agar dapat bersosial dan bermanfaat
di lingkungannya.
Anak perlu dibelajarkan untuk dapat bekerja sama dengan individu dari berbagai
kelompok yang berlatar belakang pendidikan, kebudayaan, dan tradisi serta individu dengan
tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerja sama dan hidup rukun (Sukmadinata,
2003). Lebih lanjut, anak perlu dibelajarkan tentang cara hidup bersama secara social atau
being sociable (berusaha membina kehidupan bersama). Sukmadinata (2003) menjabarkan
bahwa konteks learning to live together terkait dengan kemampuan peserta didik berperan serta
dan bekerja sama dengan orang lain dalam semua kegiatan manusia. Fungsi strategis
implementasi filosofi pembelajaran utamanya pada masyarakat majemuk, adalah
berkembangnya peserta didik yang tidak hanya cerdas secara mental, tetapi juga perlu cerdas
secara sosial bahkan spiritual (Sukmadinata, 2003).
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization menjelaskan bahwa
filosofi belajar ini merupakan salah satu persoalan yang besar dalam pendidikan dewasa ini,
karena atmosfer persaingan, perselisihan atau pertengkaran begitu kental sehingga sering
terjadi chaos hanya karena masalah-masalah sepele yang pada akhirnya manusia lebih memilih
egonya sendiri dari pada kepentingan hidup bersama (Delor, 1996). Lebih lanjut pendidikan
tampaknya harus menumpuh dua jalan yang saling melengkapi untuk menghindarkan atau
menyelesaikan perselisihan maupun pertengakaran, yaitu menemukan orang lain dalam arti
bersosial dan berkerjasama ke arah tujuan bersama. Pada praktiknya, maka proses pendidikan
yang diharapkan muncul adalah proses pendidikan yang membelajarkan arti kebersamaan,
menghargai orang lain, kepedulian, serta kepekaan sosial terhadap kehidupan orang lain.
(a) (b)
Gambar 5. (a) Peluncuran buku Dolanan Gresik karya siswa; (b) Pameran Literasi
yang dihadiri Wakil Bupati Gresik
Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Muhardi. 2012. Aktualisasi dan Aplikasi Empat Pilar Pendidikan UNESCO. Padang:
Pascasarjana Unversitas Negeri Padang.
Sukmadinata, N. S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya.