Anda di halaman 1dari 17

Referat

Kehamilan dengan Tirotoxicosis dalam Kehamilan

Disusun Oleh :
Deviat Astriana Amir
11.2018.018

Pembimbing :
H.dr.Achmad Djainuddin, SpOG

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kandungan


Periode 25 November 2019 – 01 Februari 2020
RSUD CENGKARENG
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jakarta
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama
kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan,
menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan
yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan dari
kebutuhan tubuh. 1

Disfungsi tiroid termasuk dalam gangguan metabolisme yang salah satunya


merupakan penyakit sebelum kehamilan dan yang paling umum pada wanita hamil.
Tirotoksikosis yang muncul saat kehamilan sangat membahayakan , mengingat perubahan
fisiologis normal yang terjadi dan juga perubahan laboratorium. Penegakkan diagnosis yang
akurat dan penatalaksanaan yang tepat dari tirotoksikosis selama kehamilan yaitu mengurangi
risiko terjadi pada ibu dan janin. 2

Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme


pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita muda dan dapat
mempersulit kehamilan. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave,
struma nodusa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada
umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme
akibat struma nodusa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60
tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir
selalu hipertiroidisme dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula
disebabkan karena tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi
hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari
semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-
laki dengan ratio 5:1. Kejadiannya diperkirakan 2:1000 dari semua kehamilan, namun bila
tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian
janin. Tiroiditis postpartum adalah penyakit tiroid autoimun yang terjadi selama tahun
pertama setelah melahirkan. Penyakit ini memberikan gejala tirotoksikosis transien yang
diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya terjadi pada 8-10% wanita setelah bersalin. 3-4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin saat akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar
tiroid terletak pada bagian bawah leher yang terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh
ismus yang menutupi cincin trakea dua dan tiga. Kapsul Fibrosa menggantungkan kelenjar ini
pada fasia paratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan akan selalu diikuti oleh
terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas dari kelenjar tiroid. Sifat
inilah yang digunakan diklinik untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher
berhubungan dengan kelenjar tiroid. Berat tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan
yodium, beratnya berkisar 10-20 gram5.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dimana kedua lobus tersebut
dihubungkan oleh istmus. Kelenjar ini terdapat pada bagian inferior trakea dan beratnya
diperkirakan 6-20 gram. Lobus kanan bisasanya lebih besar dan lebih vascular dibandingkan
lobus kiri. Kelenjar ini kaya akan pembuluh darah dengan aliran darah 4-6 ml/menit/gram.
Pada keadaaan hipertiroid, aliran darah dapat meningkat sampai 1 liter/menit/gram sehingga

3
dapat didengar menggunakan stetoskop yang disebut bruit. Kelenjar tiroid mendapatkan
persarafan adrenergik dan kolinergik yang berasal dari ganglia servikal dan saraf vagus.
Kedua system saraf ini mempengaruhi aliran darah pada kelenjar tiroid yang akan
mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid seperti TSH dan iodid. Selain itu, serabut saraf
adrenergik mencapai daerah folikel sehingga persarafan adrenergik diduga mempengaruhi
fungsi kelenjar tiroid secara langsung.

Folikel atau acini yang berisi koloid merupakan unit fungsional kelenjar tiroid.
Dinding folikel dilapisi oleh sel kuboid yang merupakan sel tiroid dengan ukuran bervariasi
tergantung dari tingkat stimulasi pada kelenjar. Sel akan berbentuk kolumner bila dalam
keadaaan aktif, dan berbentuk kuboid bila dalam keadaan tidak aktif. Setiap 20-40 folikel
dibatasi oleh jaringan ikat yang disebut septa yang akan membentuk lobulus. Di sekitar
folikel terdapat sel parafolikuler atau sel C yang menghasilkan hormon kalsitonin. Di dalam
lumen folikel, terdapat koloid dimana tiroglobulin yang merupakan suatu glikoprotein yang
dihasilkan oleh sel tiroid yang akan disimpan6.

4
2.2 Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan

Hormon tiroid tetraiodotironin (T4) atau tiroksin dan triiodotironin (T3) disintesis di
dalam folikeltiroid. Thyroid-Stimulating Hormone (TSH) merangsang sintesis dan pelepasan
T3 danT4, yang sebelumnya didahului dengan pengambilan iodide yang penting untuk
sintesishormon tiroid. Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di
jaringan perifer T4 dikonversi menjadi T3 yang lebih poten melalui proses deiodinasi. Selama
kehamilan normal kadar Thyroid Binding Globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat
sehingga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat2.

Hormon tiroid penting untuk perkembangan otak bayi dan sistem saraf. Selama
trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid
melalui plasenta karena fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai
trimester kedua. Pada minggu ke-10 sampai 12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun
fetus tetap membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. TSH dapat
dideteksi dalam serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang
rendah sampai usia kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan
kemudian turun sampai 7 uU per ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis
yang mulai terjadi pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama
trimester kedua dan ketiga, hormon tiroid disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak
oleh ibu1,3.

Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya
T4 yang mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam
cairan amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat.
Tetraiodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk reverse T3
(rT3), hal ini dapat disebabkan karena sistem enzim belum matang. Reverse T3 meningkat
terus dan mencapai kadar puncak pada usia kehamilan 17 sampai 20 minggu. Kadar rT3
didalam cairan amnion dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan faal
kelenjar tiroid janin. Selama kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada tiga
faktor independen namun saling terikat, yaitu (a) peningkatan konsentrasi hCG yang
merangsang kelenjar tiroid, (b) peningkatan ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga
menurunkan konsentrasi iodin plasma, dan (c) peningkatan Thyroxine-BindingGlobulin
(TBG) selama trimester pertama, menyebabkan peningkatan ikatan hormone tiroksin. Pada

5
akhirnya, faktor-faktor di bawah ini bertanggung jawab terhadap peningkatan kebutuhan
tiroid1,2.

a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)


Seperti yang disebutkan di atas, Human Chorionic Gonadotropin (hCG) merupakan
hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi progesteron dalam konsentrasi yang
adekuat pada awal kehamilan, sampai produksi progesteron diambil alih oleh plasenta yang
sedang berkembang. Konsentrasi hCG meningkat secara dramatis selama trimester pertama
kehamilan dan menurun secara bertahap setelahnya. Secara struktural, peptide hCG terdiri
atas dua rantai, sebuah rantai α dan rantai β, dimana rantai α dari hCG identik dengan struktur
yang membentuk TSH. Struktur yang homolog ini menjadikan hCG mampu merangsang
kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid, namun tidak sekuat TSH.

Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding dengan


peningkatan hCG. Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid, konsentrasi hormon tiroid
bebas (tidak terikat) pada umumnya dalam batas normal atau hanya sedikit di atas normal
selama trimester pertama. Efek perangsangan dari hCG pada kehamilan normal tidak
signifikan dan normalnya ditemukan pada pertengahan awal kehamilan. Pada awal minggu
ke-12 atau pada kondisi patologis tertentu, termasuk hiperemesis gravidarum dan tumor
trofoblastik, konsentrasi hCG mencapai kadar maksimal yang akan menginduksi keadaan
hipertiroid dimana kadar tiroksin bebas meningkat dan kadar TSH ditekan7.

b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan


Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan, akibat
peningkatan Glomerular Filtration Rate (GFR). Peningkatan GFR menyebabkan
meningkatnya pengeluaran iodine lewat ginjal yang berlangsung pada awal kehamilan. Ini
merupakan faktor penyebab turunnya konsentrasi iodine dalam plasma selama kehamilan.
Kompensasi dari kelenjar tiroid dengan pembesaran dan peningkatan klirens iodin plasma
menghasilkan hormon tiroid yang cukup untuk mempertahankan keadaan eutiorid. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa pembesaran kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis,
merupakan kompensasi adaptasi terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan
dengan kehamilan.

6
c. Thyroxine Binding Globulin
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG menyebabkan
peningkatan ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi fungsi tiroid
selama kehamilan. Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu
ThyroxineBinding Globulin (TBG), albumin, dan Thyroxine Binding Prealbumin (TBPA)
atau transtiretin. Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang lebih tinggi
terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon tiroksin diikat oleh TBG.
Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari konsentrasi TBG sekitar dua kali lipat dari
normal selama kehamilan sampai 6-12 bulan setelah bersalin. Hal ini menggambarkan
peningkatan kadar hormon tiroksin total (TT4) pada semua wanita hamil, namun kadar
tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI) normal. Untuk menjamin kestabilan kadar
hormon bebas, mekanisme umpan balik merangsang pelepasan TSH yang bekerja untuk
meningkatkan pengeluaran hormon dan menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon bebas.
Peningkatan konsentrasi TBG merupakan efek langsung dari meningkatnya kadar estrogen
selama kehamilan. Estrogen merangsang peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu
paruh dalam sirkulasi, dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga
merangsang hati untuk mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas TBPA. Pada
akhirnya, proporsi hormon tiroksin dalam sirkulasi yang berikatan dengan TBG meningkat
selama kehamilan, dan dapat mencapai 75%. Kadangkala perubahan hormonal ini dapat
membuat pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan sulit diinterpretasikan.

Gambar 1. Perubahan Hormon pada Kehamilan

7
2.3 Epidemiologi

Prevalensi hipertiroid di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1%. Penyebab


tersering adalah penyakit Grave, yang 5-10 kali lebih sering dialami wanita dengan
puncaknya pada usia reproduktif. Prevalensi hipertiroid dalam kehamilan 0,1-0,4%, 85%
dalam bentuk penyakit Grave. Sama halnya seperti penyakit autoimun lain, tingkat aktivitas
penyakit Grave dapat berfluktuasi saat trimester pertama dan membaik perlahan setelahnya;
dapat mengalami eksaserbasi tidak lama setelah melahirkan. Walaupun jarang, persalinan,
seksio sesarea, dan infeksi dapat memicu hipertiroid atau bahkan badai tiroid (thyroid
storm)8.

2.3 Etiologi

Hipertiroid dalam kehamilan dapat berupa penyakit Graves, hiperemesis gravidarum,


tirotoksikosis gestasional sementara, dan kehamilan mola. Di antara keempat penyebab
hipertiroid dalam kehamilan, penyakit graves paling sering terjadi, sekitar 1 dari 500
kehamilan.4 Penyakit graves merupakan kelainan autoimun kompleks dengan tanda
tirotoksikosis, oftalmopati (lid lag, lid retraction, dan eksoftalmus), dan dermopati
(miksedema pretibial). Hal ini dimediasi oleh immunoglobulin yang merangsang tiroid.
Pasien dengan riwayat penyakit graves dimana cenderung terjadi remisi pada kehamilan dan
relaps kembali setelah bersalin. Selain penyakit graves, hipertiroid dalam kehamilan juga
dapat disebabkan oleh hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai dengan
ditemukannya gejala muntah berlebihan pada awal kehamilan yang menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi. Pemeriksaan biokimia pada pasien ini
menunjukkan hipertiroksinemia, dengan peningkatan konsentrasi T4 serum dan penurunan
konsentrasi TSH serum yang ditemukan pada sebagian besar wanita hamil. Pemeriksaan TSH
serum membantu untuk membedakan hiperemesis yang berhubungan dengan
hipertiroksinemia dan kemungkinan penyebab lainnya. Hipertiroksinemia ringan biasanya
bersifat sementara, menurun pada kehamilan minggu ke-18 tanpa terapi antitiroid. Namun,
hipertiroksinemia yang signifikan disertai dengan peningkatan T4 bebas dan TSH yang
rendah, dan penemuan klinik hipertiroid, memerlukan terapi obat antitiroid. 1,3

8
2.4 Gejala Klinis

Wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan tiroid atau penyakit
autoimun memiliki resiko yang lebih tinggi mengidap penyakit hipertiroid. Gejala yang
sering timbul biasa adalah intoleransi terhadap panas, berkeringat lebih banyak, takikardi,
dada berdebar, mudah lelah namun sulit untuk tidur, gangguan saluran cerna, berat badan
menurun meskipun asupan makan cukup, mudah tersinggung, merasa cemas dan gelisah.
Selain itu dapat juga timbul tanda-tanda penyakit graves, seperti perubahan mata, tremor pada
tangan, miksedema pretibial dan pembesaran kelenjar tiroid1.

2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis hipertiroid pada wanita hamil biasanya sulit ditegakkan. Hal ini
dikarenakan wanita dengan hipertiroid memiliki beberapa tanda-tanda sistem hiperdinamik
seperti peningkatan curah jantung dengan bising sistolik dan takikardi, kulit hangat, dan
intoleransi terhadap panas. Tanda hipertiroid seperti berat badan turun, dapat menjadi tidak
jelas oleh kenaikan berat badan karena kehamilan. Mengingat kebanyakan kasus disebabkan
oleh penyakit Grave, dicari tanda-tanda oftalmopati Grave (tatapan melotot, kelopak
tertinggal saat menutup mata, eksoftalmos) dan bengkak tungkai bawah (pretibial
myxedema). Adanya onkilosis atau pemisahan kuku distal dari nailbed, dapat juga membantu
dalam menegakkan diagnosis klinis hipertiroid4.

Peningkatan kadar T3 serum dapat meningkatkan densitas reseptor β-adrenergik sel


miokardium sehingga curah jantung meningkat walaupun saat istirahatdan terjadi aritmia
(fibrilasi atrium). Denyut nadi saat istirahat biasanya di atas 100 kali per menit dan jika
denyut nadi tetap atau tidak menjadi lambat selama melakukan manuver Valsava, diagnosis
tirotoksikosis menjadi lebih mungkin1.

Diagnosis hipertiroid dalam kehamilan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik


dan laboratorium, terutama pemeriksaan fungsi tiroid. Pada kehamilan, kadar T3 total dan T4
total meningkat seiring meningkatnya konsentrasi TBG. Kadar FT3 dan FT4 dalam batas
normal tinggi pada kehamilan trimester pertamadan kembali normal pada trimester kedua.
Nilai T4 total tidak bermanfaat pada wanita hamil karena nilainya yang tinggi merupakan
respon terhadap estrogen yang meningkatkan konsentrasi TBG. FT3 sebaiknya diperiksa
ketika nilai TSH rendah tetapi kadar FT4 normal. Peningkatan kadar T3 menunjukkan
toksikosis T3. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak dijadikan acuan dalam mendiagnosis

9
hipertiroid dalam kehamilan. Pasien dengan penyakit graves hampir selalu memiliki hasil
pemeriksaan TSIs yang positif. Pemeriksaan TSI ini sebaiknya diukur pada trimester ketiga.
Nilai TSI yang tinggi sering dihubungkan dengan tirotoksikosis fetus. Antibodi
antimikrosomal jika memungkinkan perlu juga diperiksa karena wanita yang memiliki hasil
positif pada kehamilan atau sesaat setelah persalinan memiliki resiko berlanjut ke penyakit
tiroiditis postpartum1.

Pemeriksaan laboratorium mencakup kadar keton urin, BUN, kreatinin, alanin


aminotransferase, aspartat aminotransferase, elektrolit, dan tirotropin (termasuk tiroksin T4
bebas jika tirotropin rendah). Biasanya tirotropin tertekan pada pasien-pasien hamil karena
hCG bereaksi silang dengan tirotropin dan menstimulasi kelenjar tiroid. Kondisi hipertiroid
ini biasanya hilang spontan dan tidak membutuhkan pengobatan. Kadar T4 dan tirotroponin
pada hiperemesis dapat mirip dengan pasien Grave, akan tetapi pasien hiperemesis tidak
memiliki gejala penyakit Grave ataupun antibodi tiroid. Jika kadar fT4 meningkat tanpa tanda
dan gejala penyakit Grave, pemeriksaan sebaiknya diulang setelah usia kehamilan 20
minggu. Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi kehamilan multipel atau
mola hidatodosa8.

Tabel 1. Hipertiroid Gestasional

HIPERTIROID GESTASIONAL
Penyebab Gejala Tanda Laboratorium Keterangan
Penyakit  Intoleran  Takikardi >  ↑↑ T4, FT4  Remisi
Graves pada panas 100  ↓↓ TSH selama
 ↓ Berat  ↑ Curah  (+) anti-tiroid kehamilan
badan jantung antibody  Postpartum
 Palpitasi  ↑ Tekanan flare
 ↑ Berkeringat nadi
 Bising sistolik
 Oftalmopati-
dermopati
Hiperemesi  Mual /  Keadaan  T4, FT4  Sembuh
s muntah yang eutiroid normal atau dalam 18
Gravidaru berlebihan  Dehidrasi sedikit ↑ minggu
m  ↓ Berat  Tidak jelas tanpa terapi
badan peningkatan T4
kecuali hCG >
50.000 IU/L

10
 ↓ TSH minimal
 ↑ hCG
 Ketonuria,
elektrolit tidak
seimbang,
kelainan hati
dan ginjal
Kehamilan  Mual /  Toksemia  ↑ T4, FT4  Evakuasi
Mola muntah  Tidak ada  ↓ TSH  Hipertiroid
 Perdarahan perkembangan (ditekan) menghilang
trimester bayi  ↑↑↑ bhCG sejalan
pertama dengan
normalnya
bhCG

(Sumber :Prawirohardjo, S. 2011)

2.6 Penatalaksanaan

Hipertiroid yang ringan (peningkatan kadar hormon tiroid dengan gejala minimal)
sebaiknya diawasi sesering mungkin tanpa terapi sepanjang ibu dan bayi dalam keadaan baik.
Pada hipertiroid yang berat, membutuhkan terapi, obat anti-tiroid adalah pilihan terapi,
dengan PTU sebagai pilihan pertama. Tujuan dari terapi adalah menjaga kadar T4 dan T3
bebas dari ibu dalam batas normal-tinggi dengan dosis terendah terapi anti-tiroid. Target
batas kadar hormon bebas ini akan mengurangi resiko terjadinya hipotiroid pada bayi.
Hipotiroid pada ibu sebaiknya dihindari. Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering
mungkin selama kehamilan dengan melakukan tes fungsi tiroid setiap bulannya. Obat-obat
yang terpenting digunakan untuk mengobati hipertiroid (propiltiourasil dan metimazol)
menghambat sintesis hormon tiroid. Laporan sebelumnya mengenai hubungan terapi
metimazol dengan aplasia kutis, atresiaoesophagus, dan atresia khoana pada fetus tidak
diperkuat pada penelitian selanjutnya, dan tidak terdapat bukti lain menyangkut obat lain
yang berefek abnormalitas kongenital. Oleh karena itu, PTU sebaiknya dipertimbangkan
sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid selama kehamilan dan metimazol
sebagai pilihan kedua yang digunakan jika pasien tidak cocok, alergi, atau gagal mencapai
eutiroid dengan terapi PTU. Kedua obat tersebut jarang menyebabkan neutropenia dan
agranulositosis. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada terhadap gejala-gejala infeksi,

11
terutama sakit tenggorokan, dapat dihubungkan dengan supresi sumsum tulang dan harus
diperiksa jumlah neutrofil segera setelah menderita1,2,3.

Tabel 2. Terapi Hipertiroid di dalam kehamilan

(Sumber : Marx, Helen, et al. 2012)

Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta. Namun, PTU


menjadi pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena kadar transplasentalnya jauh lebih
kecil dibandingkan dengan metimazol. TSH reseptor stimulating antibodi juga melalui
plasenta dan dapat mempengaruhi status tiroid fetus dan neonatus2.

Wanita yang sedang dalam terapi antitiroid sebaiknya tidak berhenti menyusui
bayinya karena kedua obat anti tiroid tersebut aman. Keduanya ada dalam air susu ibu
(metimazole kadarnya lebih besar dibandingkan PTU), tetapi hanya dalam konsentrasi yang
lebih rendah. Jika pasien mengkonsumsi lebih dari 15 mg karbimazol atau 150 mg
propiltiourasil sehari, bayi sebaiknya diperiksa dan mereka sebaiknya tidak disusui sebelum
ibunya mendapatkan terapi dengan dosis terbagi4.

Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama kehamilan untuk


membantu mengobati palpitasi yang signifikan dan tremor akibat hipertiroid. Untuk
mengendalikan tirotoksikosis, propanolol 20 – 40 mg setiap 6 jam, atau atenolol 50 -100
mg/hari selalu dapat mengontrol denyut jantung ibu antara 80-90 kali permenit. Esmolol, β-
blocker kardio seleketif, efektif pada wanita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak berespon
pada propanolol. Obat-obat ini hanya digunakan sampai hipertiroid terkontrol dengan obat
anti tiroid7.

12
Pada pasien yang tidak adekuat diterapi dengan pengobatan anti-tiroid seperti pada
pasien yang alergi terhadap obat-obat, pembedahan merupakan alternative yang dapat
diterima. Pembedahan pengangkatan kelenjar tiroid sangat jarangdisarankan pada wanita
hamil mengingat resiko pembedahan dan anestesi terhadap ibu dan bayi. Jika tiroidektomi
subtotal direncanakan, pembedahan sering ditunda setelah kehamilan trimester pertama atau
selama trimester kedua. Alasan dari penundaan ini adalah untuk mengurangi resiko abortus
spontan dan juga dapat memunculkan resiko tambahan lainnya1,3.

Pembedahan dapat dipikirkan pada pasien hipertiroid apabila ditemukan satu dari
kriteria berikut ini 2 :

a. Dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan tinggi (PTU > 300 mg, MMI > 20 mg)
b. Hipertiroid secara klinis tidak dapat dikontrol
c. Hipotiroid fetus terjadi pada dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan untuk
mengandalikan hipertiroid pada ibu
d. Pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid
e. Pasien yang menolak mengkonsumsi obat anti tiroid
f. Jika dicurigai ganas
Terapi radioiodin menjadi kontraindikasi dalam pengobatan hipertiroid selama
kehamilan sejak diketahui bahwa zat tersebut dapat melewati plasenta dan ditangkap oleh
kelenjar tiroid fetus. Hal ini dapat menyebabkan kehancuran kelenjar dan akhirnya berakibat
pada hipotiroid yang menetap1.

Tabel 3. Resiko dan komplikasi terapi hipertiroid di dalam kehamilan

(Sumber :Garry, Dimitry. 2013)

13
2.7 Komplikasi

Hipertiroid yang tidak terkontrol, terutama pada pertengahan masa hamil, dapat
memicu beberapa komplikasi. Komplikasi maternal di antaranya keguguran, infeksi,
preeklamsia, persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid, dan lepasnya plasenta.
Komplikasi fetus dan neonatus di antaranya prematur, kecil untuk masa kehamilan, kematian
janin dalam rahim, dan goiter pada fetus atau neonatus dan atau tirotoksikosis. Pengobatan
yang belebihan juga dapat menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus1.

Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati untuk penyakit graves
sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat melewati plasenta sehingga
masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit
graves sedang diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena
obat-obatan tersebut juga dapat melintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan
pembedahan atau radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan
seluruh tiroid, namun pasien masih dapat memiliki antibodi dalam darahnya9.

Pada kebanyakan kasus, bayi tetap eutiroid. Namun, pada sebagian dapat terjadi
hiper- atau hipotiroidisme dengan atau tanpa gondok. Hipertiroidisme klinis terjadi pada
sekitar 1% neonatus yang lahir dari wanita dengan penyakit Graves. Jika dicurigai terjadi
penyakit tiroid pada janin maka tersedia sonogram untuk mengukur volume tiroid secara
sonogravis. Neonatus yang terpajan ke tiroksin ibu secara berlebihan memperlihatkan
gambaran klinis berikut1:

1. Janin atau neonatus dapat memperlihatkan tirotoksikosis gaitrosa akibat penyaluran


thyroid stimulating immunoglobulin melalui plasenta. Hidrops non imun dan kematian
janin pernah dilaporkan pada tirotoksikosis janin.
2. Terpajannya janin ke tionamid yang diberikan kepada ibu dapat menyebabkan
hipotiroidisme graitosa. Jika dijumpai hipotiroidisme maka janin dapat diobati dengan
mengurangi obat antitiroid ibu dan penyuntikan tiroksin intra-amnion jika diperlukan.
3. Janin dapat mengalami hipotiroidisme non-goitrosa akibat penyaluran antibodi
penghambat reseptor tirotropin ibu melalui plasenta.
4. Bahkan setelah ablasi kelenjar tiroid ibu, biasanya dengan iodium radioaktif, tetap
dapat terjadi tirotoksikosis janin akibat penyaluran antibodi perangsang tiroid melalui
plasenta.

14
Krisis tirotoksik, yang juga disebut badai tiroid, merupakan sebuah
kegawatdaruratan medis yang dapat timbul akibat hipermetabolik yang berlebihan.
Kondisi ini jarang terjadi, hanya 1% dari wanita hamil dengan hipertiroid, tetapi
memiliki resiko gagal jantung. Badai tiroid didiagnosis melalui kombinasi gejala dan
tanda seperti hiperpireksia, takikardi yang tidak berhubungan dengan demamnya,
gagal jantung kongestif, disaritmia, muntah, diare, dan perubahan mental termasuk
cemas, bingung, dan gelisah. Badai tiroid ini dapat muncul akibat infeksi, penghentian
terapi yang tiba-tiba, pembedahan, dan persalinan1.

Pengobatannya meliputi pemberian cairan intravena, hidrokortison,


propanolol, iodin oral, dan karbimazol atau propiltiourasil dalam dosis tinggi. Terapi
badai tiroid terdiri dari rangkaian pengobatan berupa1 :

a. Terapi suportif secara umum sebaiknya dilakukan


b. Terapi spesifik :
1. PTU 1000 mg per oral atau melalui nasogastric tube. Dilanjutkan dengan 200
mg per oral setiap 6 jam. Jika pemberian melalui oral tidak memungkinkan,
dapat digunakan metimazol suppositoria.
2. 1jam setelah pemberian PTU, diberikan yodium untuk menghambat pelepasan
hormone tiroid. Dapat diberikan dalam bentuk sodium iodide 500–1000 mg
secara intravena setiap 8 jam, atau saturated solution of potassiumiodide
(SSKI) 5 tetes per oral setiap 8 jam, atau larutan lugol 10 tetes setiap 8 jam.
3. Dexamethasone 2 mg secara intravena setiap 6 jam untuk 4 dosis, untuk
mencegah konversi dari T4 menjadi T3 di jaringan perifer.
4. Propanolol 20-80 mg per oral setiap 4-6 jam.
5. Phenobarbital 30-60 mg per oral setiap 6-8 jam, diperlukan pada gelisah yang
berlebihan.
6. Fetus sebaiknya dievaluasi dengan tepat dengan USG atau pemeriksaan
nonstress tergantung umur kehamilan.

15
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad funtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.9 Kesimpulan

Kehamilan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap regulasi fungsitiroid pada
wanita sehat dan pada pasien dengan kelainan tiroid. Pengaruh ini perlu dikenali dengan
seksama, didiagnosis dengan jelas, dan diterapi dengan tepat. Kelainan fungsi tiroid terjadi
dalam 1-2% kehamilan, namun kelainan fungsi tiroid subklinik baik itu hipertiroid mungkin
lebih banyak yang tidak terdiagnosis jika tidakdiskrining lebih awal.Kehamilan
meningkatkan kecepatan metabolisme, aliran darah, denyut jantung, curah jantung, dan
beberapa gejala subjektif seperti kelelahan, dan intoleran terhadap panas yang dapat
menunjukkan kemungkinan adanya tirotoksikosis. Perubahan metabolik lain yang juga
berefek pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroidadalah rangsangan langsung hCG terhadap
tiroid ibu yang kemudian berakibat peningkatan metabolisme tiroksin. Penyebab utama
tirotoksikosis dalam kehamilan diantaranya penyakit Graves dan hipertiroid gestasional non-
autoimun. Perjalanan penyakit Graves selama kehamilan berubahubah, dengan
kecenderungan membaik pada trimester kedua danketiga, dan mengalami eksaserbasi selama
masa postpartum. Perubahan ini merupakan akibat dari supresi sistem imun selama
kehamilan. Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko preeklamsia
yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
pada pasien dengan pengendalian kondisi yang rendah. Wanita hamil dengan hasil TSI positif
atau yang sedang menggunakan obat anti tiroid sebaiknya diperiksa juga kemungkinan
terjadinya kelainan fungsi tiroid pada fetus. Perlu diingat dalam mengobati pasien hipertiroid
bahwa semua obat-obat anti tiroid dapat melewati plasenta dan dapat berefek terhadap fungsi
tiroid fetus.

16
Daftar Pustaka

1. Cunningham, F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Hauth, John C., Rouse,
Dwight J. & Spong, Catherine Y. eds. (2010) Williams Obstetrics. 23rd. United States :
The McGraw Hill Companies, Inc.
2. Artak L, Gregory AB, Jerome MH, Angela ML. 2014 Tyrotoxicosis of pregnancy. Journal
of Clinical and Translational Endocrinology, 31 (140-144)
3. Girling, Joanna. (2008) Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician &
Gynaecologist, 10, pp. 237-243.
4. Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya. (2011) Hyperthyroidism during
Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55 July, pp. 701-703.
5. Garry, Dimitry. (2013) Penyakit Tiroid pada Kehamilan. CDK-206/ vol. 40 no. 7, th.
6. Aru W. Sudowo et all. (2011). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 3, Jakarta : Interna
Publishing.
7. Dumont, J.E., Opitz, R., Christophe, D., Vassart, G., Roger, P.P. & Maenhaut, C. (2010)
The Phylogeny, Ontogeny, Anatomy and Regulation of the Iodine MetabolizingThyroid.
Belgium: IRIBHM, School of Medicine, University of Brussels. Germany: Leibniz-
Institute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries, University of Berlin.
8. Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2012) Hyperthyroidism and Pregnancy.
British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.
9. Prawirohardjo, S. (2011). Kehamilan dan Gangguan Endokrin dalam ilmu kandungan
Edisi Ketiga. Jakarta Pusat: Yayasan Bina Pustaka hl; 201-208

17

Anda mungkin juga menyukai