Anda di halaman 1dari 2

Kata Fasisme seringkali dikaitkan dengan ideologi-ideologi kontroversial seperti ekstrimise, marxisme,

sosialisme, atau komunisme. Fasisme memang sangat sulit untuk didefinisikan atau ditaruh dalam
suatu sekat-sekat pemahaman tertentu. Fasisme “menentang definisi, penuh kontradiksi, dan adalah
sebuah enigma” (Griffin, 2012). Fasisme sendiri berawal dengan tujuan untuk merekonsiliasi kaum
pekerja dengan negara dengan cara menciptakan semangat nasionalisme dari kaum pekerja (Por, 1923).
Namun sekarang, fasisme diindikasi mempunyai tujuan teroganisir dimana pemerintah fokus untuk
mempersiapkan negara dari serangan konflik bersenjata dengan memegang kontrol pada kehidupan
ekonomi suatu bangsa karena selalu membayangkan adanya musuh (Por, 1923).

Fasisme adalah bentuk ideologi sayap kanan ekstrem yang merayakan bangsa atau ras sebagai
komunitas organik yang melampaui semua loyalitas lainnya (Griffin, 2012). Komunitas organik yang
dimaksud adalah komunitas yang dibuat karena keinginan akan mempunyai budaya yang spesifik dan
tidak suka jika budaya tersebut terganggu. Fasisme ingin melawan tanda-tanda pembusukan moral
seperti individualisme dan materialisme, dan berupaya membersihkan kekuatan dan kelompok “asing”
yang mengancam komunitas organiknya (Griffin, 2012). Interpretasi mengenai fasisme sangat
beragam, namun seringkali fasisme diasosiasikan dengan benang yang sama dari pemerintahan yang
otoriter yang mempromosikan nasionalisme ekstrim (Payne, 1996). Robert Paxton, seorang professor
yang dianggap sebagai bapak dari studi tentang fasisme mendefinisikan fasisme sebagai “suatu bentuk
praktik politik yang khas pada abad ke-20 yang membangkitkan antusiasme populer dengan teknik-
teknik propaganda yang canggih untuk agenda nasionalis ekspansionis, anti-liberal, anti-sosialis, dan
ekslusif yang menggunakan kekerasan” (Szalay, 2017).

Banyak sejarawan yang menulis tentang fasisme itu sendiri seperti George Mosse, Stanley Payne, dan
Stein Larsen (Griffin, 2012). Ada juga yang menulis mengenai sejarah fasisme di negara-negara
tertentu seperti Richard Thurlow mengenai fasisme di Inggris, James Gregor mengenai fasisme di
Italia, dan Zeev Sternhell mengenai fasisme pada jaman perang Perancis (Griffin, 2012). Namun
Paxton berhasil menulis mengenai karakteristik-karakteristik dari fasisme. Di tulisannya “The Five
Stages of Fascism”, Paxton percaya bahwa fasisme muncul dari 7 perasaan yang menjadi faktor
pendorong, bukan dari ide-ide filsafat. Pertama, ada keunggulan kelompok yang dipertahankan
sehingga hak individu atau universal dilihat tidak lebih penting (Szalay, 2017). Kedua, komunitas
organik ini dilihat sebagai korban sehingga dapat membenarkan perilaku apa pun terhadap musuh
(Szalay, 2017). Ketiga, fasisme percaya bahwa individualisme dan liberalisme membahayakan
komunitas (Szalay, 2017). Keempat, ada persaudaraan yang kuat dari keyakinan yang sama atau dari
kepercayaan mengenai kekerasan yang ekslusif digunakan jika diperlukan (Szalay, 2017). Kelima,
harga diri individu didasari oleh identitas dan kepemilikan yang tinggi akan keagungan kelompok
(Szalay, 2017). Keenam, adanya pemimpin alami laki-laki yang berperan sebagai penyelamat nasional
dengan dukungan ekstrim (Szalay, 2017). Ketujuh, kekerasan dan keinginan yang dikhususkan untuk
keberhasilan kelompok diindahkan seperti dalam hal gagasan tentang kelompok yang unggul dari
kasus Hitler, rasisme biologis (Szalay, 2017).
Mussolini dan Hitler

Ide-ide dari fasisme sendiri pernah muncul dalam elemen-elemen negara-negara, namun lebih dikenal
setelah Perang Dunia ke-I dari rezim Benito Mussolini di Italia dan Adolf Hitler di Jerman (Szalay,
2017). Semua didasari dari kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak mampu untuk meningkatkan
situasi nasional. Italia mulai menganut fasisme setelah tahun 1922, lalu nazisme muncul di Jerman satu
dekade kemudian dan mulai menjalar ke bagian timur dan tengah Eropa serta Spanyol (Payne, 1980).
Pada tahun 1920an dan 1930an, para pemimpin fasis ingin membuat jalan tengah dari kaum borjuis,
kapitalisme, dan marxisme untuk menghilangkan ruang pribadi (Payne, 1980). Namun keadaan
berubah karena rezim para pemimpin tersebut didukung oleh kaum-kaum borjuis sehingga walaupun
pemerintah memegang kendali terhadap perdagangan, keuangan, pertanian dan manufaktur, dan
keputusan negara lainnya, mereka mengizinkan kaum elit untuk tetap memiliki properti dan
meningkatkan kekayaan mereka (Payne, 1980). Lalu fasisme berkembang dalam elemen-elemen
tertentu untuk mengikuti waktu dan tempatnya sendiri seperti di Jepang, Uni Soviet, dan bahkan
Amerika Serikat (Szalay, 2017). Contohnya, di Amerika Serikat, gerakan fasisme didasari oleh
kepercayaan atau agama. Setelah Perang Dunia ke-II, gerakan fasisme mulai menurun namun banyak
yang berpikir bahwa retorik dari fasisme sendiri masih bermunculan lewat gerakan-gerakan populis.

Anda mungkin juga menyukai