Anda di halaman 1dari 35

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu juga diketahui bahwa sistem bagi hasil di Indonesia

masih menerapkan dua pola yang berbeda, yaitu pola bagi hasil revenue sharing dan profit

sharing. Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134), revenue sharing merupakan pola bagi

hasil yang menggunakan laba bruto atau laba kotor sebagai dasar pembagian hasil usaha.

Sedangkan profit sharing merupakan perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih

dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh pendapatan tersebut.

Mustara (1993:61), mengemukakan bahwa beberapa daerah di Sulawesi Selatan telah

menerapkan Teseng (bagi hasil) dengan pola profit sharing, dimana yang menjadi dasar

penentuan bagi hasil adalah laba bersih atau pendapatan bruto yang telah dikurangkan

dengan biaya-biaya. Adapun biaya-biaya yang lazim diperkurangkan yaitu biaya pembelian

bibit/benih, biaya tanam, biaya pembelian pupuk, biaya pembelian obat-obatan, biaya

pengolahan traktor, serta biaya pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Biaya-biaya

tersebut biasanya menjadi tanggungan bersama kedua belah pihak, yaitu pemilik tanah serta

penggarap tanah.

Kendati demikian, Indrawati (2016:33) menemukan bahwa salah satu daerah di Jawa Barat,

masih menggunakan pola bagi hasil revenue sharing. Dasar pengenaan bagi hasil yang

digunakan adalah laba bruto atau laba kotor, sehingga secara tidak langsung seluruh biaya

produksi ditanggung oleh petani penggarap. Hal ini menyebabkan pendapatan yang diterima

oleh petani penggarap menjadi lebih kecil dibanding dengan kontribusi yang dikeluarkan oleh

petani penggarap.

Hasil penelitian tersebut didukung oleh Irmayanti (2010:64), yang juga menemukan bahwa

sistem bagi hasil yang diterapkan berdasarkan hukum adat di suatu daerah masih belum

proporsional, dimana petani penggarap memperoleh bagian hasil yang lebih kecil

dibandingkan dengan biaya yang dikorbankan dalam pengelolaan usahatani pada setiap

musim tanam. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan salah satu indikator keadian pada bagi

hasil yang mensyaratkan adanya nisbah bagi hasil yang proporsional, yaitu sesuai dengan

besarnya kontribusi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak (Handayani, 2013:64)


Hal ini terjadi pada sistem bagi hasil yang dilaksanakan di Desa Garessi, Kecamatan Tanete

Rilau, Kabupaten Barru. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, sistem

pertanian di Desa Garessi masih berpedoman pada adat istiadat yang telah berlaku turun

temurun. Penyediaan bibit pada pelaksanaan kerja sama bagi hasil pertanian di daerah ini

dilakukan oleh penggarap sawah, sehingga akadnya disebut akad mukhabarah. Sawah di
daerah tersebut merupakan jenis sawah tadah hujan yang sama sekali tidak menggunakan

pengairan (irigasi). Hal ini menyebabkan petani hanya dapat mengandalkan air hujan dalam

mengairi sawah mereka. Tentunya ini sangat berisiko terjadinya gagal panen ketika musim

kemarau sehingga hanya bisa dilakukan satu kali panen setiap tahunnya.

Beberapa tahun terakhir, petani di daerah tersebut mentaktisi hal ini dengan

menggunakan bibit varietas unggul, yang ditanam ketika musim kemarau sedang berlangsung.

Keunggulan bibit ini yang dapat bertahan dalam kondisi kekurangan air ini akhirnya sangat

membantu petani sehingga dalam setahun petani dapat melakukan dua kali panen.

Dalam penggunaan bibit biasa dengan bibit varietas unggul terdapat sistem bagi hasil

yang berbeda. Jika menggunakan bibit rendengan (biasa) maka proporsi bagi hasilnya adalah

1 : 1, dengan ketentuan pupuk ditanggung oleh pemilik sedangkan seluruh kebutuhan lain

seperti bibit, obat-obatan tanaman, dan kebutuhan lainnya ditanggung oleh penggarap.

Berbeda halnya ketika menggunakan bibit varietas unggul, jika menggunakan bibit varietas

unggul maka proporsi bagi hasilnya adalah 2 : 1, dengan ketentuan seluruh biaya penanaman,

mulai dari pupuk, obat-obatan tanaman, bibit, dan sebagainya, ditanggung oleh penggarap.

Dengan sistem bagi hasil tersebut baik ketika menggunakan bibit rendengan maupun

ketika menggunakan bibit varietas unggul, petani penggarap tentunya memikul beban yang

lebih besar karena harus menanggung seluruh biaya penanaman sedangkan hasil yang

diperoleh nantinya tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Tidak ada

perhitungan baku yang digunakan untuk menghitung pembagian hasil secara adil. Begitu pula

jika terjadi kerugian atau gagal panen, maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh

penggarap tetap menjadi tanggungan penggarap tersebut. Hal inilah yang menjadi

permasalahan utama bagi penggarap sawah di daerah tersebut, dimana hasil yang diperoleh

seringkali tidak sebanding dengan tenaga serta biaya yang telah dikeluarkan, terutama jia

terjadi kenaikan biaya dan gagal panen

Selain itu, dalam perjanjian kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap juga tidak

ditetapkan berapa lama perjanjian tersebut akan berlangsung. Padahal, syarat yang

menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad ini
mengandung makna akad al-ijarah (sewa menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan

sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. (Ghazaly et al., 2010:117)
Kata transparansi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sifat tembus

cahaya, nyata, dan jelas. Transparansi secara kontekstual dapat diartikan sebagai sesuatu

yang mudah dimengerti secara jelas sehingga kebenaran dibaliknya mudah kelihatan, sesuatu

yang tidak mengandung kesalahan dan keraguan atau keterbukaan dalam melaksanakan

proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan

relevan.

Menurut Agoes dan Ardana (2009:104) transparansi dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Transparansi artinya kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan

dalam proses keputusan dan penyampaian informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan

informasi juga mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan

tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. Tidak boleh ada hal-hal yang

dirahasiakan, disembunykan, ditutup-tutupi, atau ditunda-tunda pengungkapannya”

Sedangkan, menurut Mardiasmo (2006:18) definisi transparansi adalah sebagai berikut :

“Transparansi berarti keterbukaan (opennesses) pemerintah dalam memberikan informasi

yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang

membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan

informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan”

Selain itu, Hasan (2011:93) mengungkapkan bahwa transparansi adalah penyampaian laporan

kepada semua pihak secara terbuka, terkait pengoperasian suatu pengelolaan dengan

mengikutsertakan semua unsur sebagai landasan pengambil keputusan dan proses

pelaksanaan kegiatan

Selanjutnya basel committee mendefiniskan transparansi sebagai suatu kegiatan untuk

menyampaikan informasi yang dapat dipercaya dan tepat waktu kepada publik, sehingga

memungkinkan bagi para pengguna informasi untuk memanfaatkannya sesuai dengan

kebutuhan. Transparansi dapat diraih jika salah satu atau kedua pihak mampu menyediakan
informasi yang relevan, akurat, tepat waktu dan sesuai dengan definisi sebagaimana yang

telah disebutkan (Chapra, 2008:87)

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan maka secara umum tranparansi dapat diartikan

sebagai keterbukaan atas informasi yang benar dan jujur dari satu pihak ke pihak lain

berdasarkan pertimbangan bahwa pihak tersebut memiliki hak untuk mengetahui secara

terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban dalam mengelola sumber daya yang

dipercayakan.

TRANSPARANSI DALAM ISLAM

Dalam islam, konsep transparansi erat kaitannya dengan kejujuran. Menurut Abdussalam

Mohammed Abu Tapanjeh sebagaimana dikutip oleh Khaerany et.al (20xx:31), transparansi

dalam perspektif Islam mencakup tiga hal yaitu, 1) adanya keterbukaan informasi dari kedua

belah pihak, 2) pengungkapan infomasi secara jujur, lengkap dan meliputi segala hal yang

terkait dengan informasi yang diberikan, serta 3) pemberian informasi yang dilakukan secara

adil kepada pihak yang mebutuhkan informasi.

Nilai transparansi sangat menuntut nilai-nilai kejujuran atas setiap informasi yang diberikan

dari satu pihak ke pihak lain. Sehubungan dengan kejujuran, dalam Al Qur’an surah Al Isra’

ayat 35 Allah berfirman :

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang

benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”

Penekanan akan pentingnya sikap transparan dalam Islam juga terdapat dalam surah Al

Muthaffifin yang berbunyi :

“kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila

menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar

atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Yang dimaksud dengan orang-orang

yang curang disini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang”
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi sikap jujur dan

menentang perbuatan curang. Pada ayat pertama Allah memerintahkan untuk

menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Secara tidak langsung

ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berlaku jujur dalam segala.

Selanjutnya ditegaskan kembai pada ayat kedua bahwa orang melaknat orang yang bersikap

tidak jujur dan curang dan menggolongkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang

celaka.

Pentingnya penerapan sikap transparan dalam Islam juga dapat dilihat melalui penerapannya

dalam ilmu akuntansi syariah. Dalam akuntansi syariah, kaidah transparansi diartikan sebagai

penggambaran data-data akuntansi secara amanah, tanpa menyembunyikan satu bagian pun

darinya serta tidak menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya, atau yang

menibmulkan kesan yang melebihi makna data-data akuntansi tersebut. Kaidah transparansi

ini dipandang sebagai salah satu kaidah dasar yang harus dipegang dalam seluruh muamalat,

baik sesama kaum muslimin sendiri maupun antara kaum muslimin dan kaum non muslim.

Tujuan dari kaidah ini adalah mengikatkan diri dengan syari’at Islam dalam hal menjauhi

oengelabuan dan kecurangan. Sebab, menyembunyikan sebagain informasi, atau

menggambarkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataannya, atau dengan cara

yang dapat menimbulkan kesan yang melebihi maknanya akan menyebabkan pengambilan

keputusan yang keliru oleh pihak yang hendak mengambil manfaat dari data akuntansi

tersebut.Kaidah transparansi punya andil dalam mewujudkan prinsip legitimasi muamalat dan

prinsip kontinuitas, di damping juga punya andil dalam penerapan praktis prinsip muqabalah.

Sebeb, adanya penyembunyian dan penipuan dalam informasi keuangan akan berakibat tidak

terwujudnya prisnip muqabalah.

Dalam perspektif Islam menegakkan transparansi adalah kewajiban agama yang mulia.

Transparansi memungkinkan seluruh pihak memperoleh informasi yang sempurna dan dapat

menggunakan informasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan., sehingga tidak akan

ada pihak yang terzalimi karena adanya sikap tidak jujur dan tidak terbuka dari salah satu

pihak. Dengan demikian, dalam bermuamalah sikap transparan tidak saja menghantarkan
manusia kepada berbagai kebajikan, tetapi juga menghantarkan pada terwujudnya keadilan

bagi seluruh umat manusia

TRANSPARANSI DALAM AKAD BAGI HASIL

Menurut Mardiasmo (2006:18), transparansi mengandung arti keterbukaan pemerintah

dalam menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan atas suatau aktivitas

pengelolaan sumber daya publik. Definisi dapat digunakan dalam memahami transparansi

pada kad bagi hasil pertanian. Dalam konteks bagi hasil pertanian, pemerintah dalam hal ini

adalah petani penggarap yang menyampaikan informasi pengelolaannnya baik itu keuangan

dan lainnya kepada pemilik tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah

informasi mengenai setiap hal terkait kerja sama bagi hasil, baik itu mengenai kondisi objek

bagi hasil maupun penerimaan serta pengeluaran yang terjadi dalam proses bagi hasil.

Handayani (2013:60) mengungkapkan bahwa dalam sistem bagi hasil, khususnya bagi

hasil pertanian, kejujuran dimulai saat petani penggarap sebagai pekerja aktif dan tuan tanah

sebagai pemilik tanah saling menyampaikan kekurangan dan kelebihan masing-masing

sehingga dalam proses penggarapan kedua-duanya dapat saling menerima kekurangan

karena telah dibicarakan lebih awal.

Membangun transparansi dalam pengelolaan bagi hasil akan menciptakan sistem kontrol yang

baik antara dua pihak yaitu pemilik tanah dan petani penggarap. Hal inilah yang seharusnya

dijadikan pemilik tanah untuk mengurangi rasa curiga dan ketidakpercayaan terhadap petani

penggarap dapat diminimalisasi. Transparansi ini akan sangat mempengaruhi akad, baik

sebelum proses dan setelah perikatan berakhir. Tentu saja, transparansi menjadi indicator

nomor satu dalam mengidentifikasi apakah transaksi bagi hasil itu adil atau zhalim

Dalam menyampaikan informasi, petani penggarap harus bersikap jujur, tidak ada

satupun hal yang ditutup-tutupi dari pengetahuan penerima informasi dalam hal ini, pemilik

tanah. Terciptanya transparansi akan mampu memberikan dampak yang baik bagi

pengawasan oleh pemilik tanah terhadap petani penggarap.

Pada konteks pembahasan transparansi dalam akad bagi hasil pertanian, tranparansi dapat

diartikan sebagai adanya keterbukaan informasi baik dari pemilik tanah maupun penggarap
sawah mengenai hal-hal terkait akad bagi hasil pertanian tersebut, baik itu mengenai kondisi

objek bagi hasil, proses pengelolaan sumber daya, dsb. Dari sisi pemilik tanah, pemilik tanah

wajib memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada petani penggarap terkait kondisi

tanah yang akan digarap oleh petani penggarap. Sedangkan dari sisi petani penggarap, petani

penggarap wajib memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada pemilik tanah terkait

proses penggarapan tanah, misalnya biaya yang dikeluarkan selama proses penggarapan.

Dengan demikian proses bagi hasil dapat berjalan dengan sehat dan tidak merugikan salah

satu pihak.
Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Menurut Moleong (2014:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-

kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan bagian dari penelitian

kualitatif. Menurut Sugiyono (2008:15), penelitian kualitatif deskriptif adalah metode penelitian

yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada

kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci.

Alasan pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk

memperoleh gambaran secara sistematis dan tepat mengenai penerapan bagi hasil

berkeadilan antara petani penggarap dan pemilik sawah pada usaha pertanian. Selain itu,

untuk merumuskan konsep bagi hasil berkeadilan pada usaha pertanian, peneliti akan

melakukan studi pustaka berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang didukung oleh

pengamatan lapangan agar diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci mengenai

pelaksanaan bagi hasil usaha pertanian.

Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti akan bertindak sebagai instrument pengamat sekaligus

pengumpul data. Kehadiran peneliti sebagai pengamat lapangan akan diinformasikan kepada

subjek sebelum diadakan penelitian.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu daerah di Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa

Garessi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru. Pemilihan daerah ini sebagai lokasi
penelitian dikarenakan besarnya potensi yang dimiliki kabupaten Barru sebagai kabupaten

penyangga dan pendukung surplus beras di Sulawesi Selatan dimana masyarakatnya juga

sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Selain itu, sistem bagi hasil juga sudah

sangat melekat pada masyarakat Barru dan telah menjadi bagian dari adat istiadat.

Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Menurut Putra

(2014:47) data kualitatif adalah data yang memaparkan dan memberikan gambaran

penjelasan teoritis yang didasarkan pada masalah yang diteliti serta mengeksplorasi ke dalam

bentuk laporan

Adapun sumber data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama berupa laporan tertulis

yang diambil dari petani penggarap yang ada di Desa Garessi, Kecamatan Tanete

Rilau, Kabupaten Barru

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan mempelajari berbagai literatur

terkait konsep bagi hasil berkeadilan menurut Islam. Sekaran (2016:97)

mengungkapkan bahwa survei literatur merupakan dokumentasi dari tinjauan

menyeluruh terhadap karya publikasi dan nonpublikasi dari sumber sekunder

dalam bidang khusus yang peneliti minati.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan dan

mengelola data adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu, dimana percakapan

tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan, dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu. Pada penelitian ini pihak yang akan menjadi pewawancara adalah

peneliti, sedangkan pihak yang menjadi terwawancara adalah petani yang bekerja

sebagai petani penggarap di lokasi penelitian yang telah disebutkan sebelumnya.


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode interview dalam bentuk

interview bebas terpimpin. Menurut Arikunto (2002:132), interview bebas terpimpin

adalah meakukan interview dengan membawa pedoman yang hanya merupakan garis

besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan untuk selanjutnya pertanyaan-pertanyaan

tersebut diperdalam.

2. Observasi

Menurut Sekaran (2016:127) observasi menyangkut pengamatan yang direncanakan,

merekam, menganalisa, dan menginterpretasi tingkah laku, tindakan, serta kejadian.

Observasi dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan daerah penelitian, dan untuk

melihat secara langsung aktivitas maupun kondisi ekonomi dari petani penggarap itu

sendiri. Selain itu, observasi juga dilakukan untuk meminimalisir adanya data yang

keliru atau bias saat dilakukan pengumpulan data melalui teknik wawancara

3. Penelitian Pustaka

Metode penelitian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan

peninjauan pada berbagai pustaka dengan membaca berbagai referensi seperti Al

Qur’an, Sunnah Rasulullah saw, fiqh, publikasi-publikasi serta referensi ainnya yang

berkaitan dengan konsep keadilan maupun bagi hasil usaha pertanian dalam Islam

Teknik Analisis Data

Peneliti menggunakan teknik analisis data yang dikenal dengan teknik analisis

model Miles dan Hubermen. Miles dan Hubermen dalam Qadir (1994:7) menyebutkan

bahwa teknik analisis data penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui beberapa

tahapan, yaitu :

1. Collecting data (pengumpulan data), yaitu peneliti melakukan pengumpulan data-

data yang diperlukan melalui observasi, wawancara, serta studi pustaka

2. Data reduction (pemilihan data), yaitu melakukan pemilihan terhadap data yang

relevan serta tidak relevan dalam penelitian. Dalam melakukan pemilihan data,

peneliti merangkum, mengambil data yang pokok dan penting, serta membuat

kategorisasi. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan


gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti dalam menarik kesimpulan

nantinya.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan data reduction (pemiihan data) dengan cara

abstraksi, yaitu dengan membuat ringkasan, dimana inti, proses, dan persyaratan

yang berasal dari responden tetap dijaga

3. Data display (penampilan data), yaitu peneliti menyajikan data dalam bentuk

laporan secara sistematis yang mudah dibaca serta dipahami. Dengan

mendisplaykan data, maka data akan terorganisasi, tersusun dalam pola

hubungan, sehingga akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi.

Dalam penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel,

grafik, pictogram, dan sejenisnya. Namun, Miles dan Hubermen (1984) menyatakan

bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian

kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari penelitian di lapangan akan

ditafsirkan secara kualitatif, yaitu data-data dihubungkan dengan permasalahan

yang ada menurut kualitas serta kebenaran yang logis. Data akan disajikan secara

deksriptif yaitu dengan menjelaskan atau menggambarkan sesuatu yang diperoleh

dari hasil penelitian secara teliti dan logis untuk menjawab masalah penelitian

4. Conclusion (menarik kesimpulan), berdasarkan data relevan yang dikumpukan dan

ditampilkan tersebut, kemudian ditarik satu kesimpulan untuk memperoleh hasil

akhir penelitian. Selain menarik kesimpulan, dalam penelitian ini peneliti juga

melakukan interpretasi data sebagai upaya dalam memperoleh arti dan makna

yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil dari penelitian yang sedang

dilakukan. Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil

penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang

diperoleh di lapangan
Tinjauan Umum Bagi Hasil Usaha Pertanian

Pertanian sebagai bidang yang bergerak di sektor riil, tak luput dari adanya prinsip

kerjasama bagi hasil. Di satu sisi, ada sebagian orang yang mempunyai tanah, tetapi

tidak mampu untuk mengolahnya. Di sisi lain, ada orang yang mampu untuk bertani

dan berkebun, tapi tidak mempunyai lahan pertanian. Sehingga dengan adanya

kerjasama bagi hasil, kedua belah pihak dapat melakukan sebuah sistem kerjasama

yang saling menguntungkan dengan memberdayakan lahan pertanian dan tersebut.

Mustara (1993:82) menyebutkan bahwa pengelolaan sawah dengan sistem bagi hasil

telah lama dikenal di Indonesia, dan bahkan telah menjadi pranata hukum adat

tersendiri. Wignjodipuro (1983:211) membenarkan hal itu dengan mengemukakan

bahwa bagi hasil telah dikenal di Indonesia dengan berbagai istilah adat yang

berbeda-beda seperti Memperduai (Minangkabau), Maro dan Martelu (Jawa), Toyo

(Minahasa), Teseng (Sulawesi Selatan), serta Nengah dan Jejuron (Priangan). Hingga
kini sistem bagi hasil masih banyak diterapkan di berbagai daerah di Indonesia

meskipun dengan nama dan sistem pelaksanaan yang berbeda-beda

PENGANTAR KEADILAN

Haroen (2000:…) menyatakan bahwa dalam Islam, sistem bagi hasil pertanian

baik itu muzara’ah maupun mukhabarah dapat menjadi haram ketika bentuk kesepakatannya

tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam

akad kerja sama bagi hasil pertanian. Prinsip keadilan menjamin adanya persamaan hak dan

kewajiban antara pemilik tanah dan penggarap sawah, sehingga dengan diterapkannya prinsip

keadilan, tidak akan ada pihak yang merasa terpaksa dan dirugikan selama perjanjian bagi

hasil berlangsung. Untuk menerapkan prinsip keadilan yang sesuai dalam penerapan bagi

hasil, tentunya diperlukan pemahaman terhadap konsep keadilan itu sendiri. Berikut ini akan

dijabarkan konsep keadilan secara umum maupun dari sudut pandang Islam

PENGANTAR TRANSPARANSI

Mosher (1986:19) medefinisikan pertanian sebagai proses produksi khas yang

didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman maupun hewan. Kegiatan-kegiatan

produksi di dalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha, dimana biaya dan

pendapatan merupakan dua unsur yang paling penting. Dalam perjanjian bagi hasil

pada umumnya, di awal akad (perjanjian) diadakan kesepakatan terlebih dahulu

mengenai pembagian tanggung jawab terhadab biaya yang dikeluarkan maupun

pembagian proporsi pendapatan (nisbah) bagi hasil yang akan diterima masing-

masing pihak nantinya.

Perjanjian bagi hasil usaha pertanian dapat dimaknai sebagai proses penyerahan

tanggung jawab atas tanah yang menjadi objek bagi hasil dari pemilik tanah kepada

petani penggarap. Untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemilik tanah

dan petani penggarap tentunya keterbukaan (transparansi) dari satu pihak ke pihak

lainnya sangat dibutuhkan dalam perjanjian bagi hasil. Keterbukaan atau tranparansi
yang dimaksud disini, tidak hanya terbatas pada biaya maupun pendapatan yang

terjadi selama proses pertanian, melainkan seluruh informasi yang wajib diungkapkan

oleh masing-masing pihak seperti kondisi tanah yang akan digunakan sebagai objek

bagi hasil, keterbatasan yang dimiiki oleh petani penggarap, dsb.

PENGANTAR BAB II

Pertanian merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki oleh Indonesia. Salah

satu sistem pengolahan sawah yang telah lama diterapkan di Indonesia dan masih

digunakan hingga saat ini adalah sistem bagi hasil

Sistem bagi hasil merupakan sistem pengolahan sawah yang telah lama dikenal dan

diterapkan di Indonesia. Sistem bagi hasil lahir dari adanya persamaan kebutuhan

antara pemilik tanah dan petani penggarap. Jika dilaksanakan dengan jujur dan adil,

kerjasama bagi hasil pertanian ini dapat menjadi kerjasama yang menguntungkan

kedua belah pihak. Namun jika di dalamnya terdapat ketidakadilan dan ketidakjujuran,

tentunya kerja sama yang terjadi hanya akan menguntungkan salah satu pihak dan

merugikan pihak yang lain. Oleh karena itu penerapan keadilan dan kejujuran dalam

proses perjanjian bagi hasil sangat penting…….

Pada bab ini akan disajikan mengenai tinjauan pustaka tentang kerangka konsep dan

studi literatur yang berhubungan dengan penelitian. Pembahasan yang ada akan

menjadi landasan dasar untuk memahami permasalahan yang ada. Penelitian

mengenai bagi hasil berkeadilan pada usaha pertanian akan didasari dengan

pemahaman mengenai tinjauan pertanian secara umum, konsep bagi hasil pertanian,

konsep keadilan, serta konsep transparansi dalam bagi hasil.


Kerangka Pemikiran

Peneliti ingin mengetahui dan menilai penerapan sistem bagi hasil usaha pertanian di

salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Penilaiaan tersebut didasarkan pada

syariat Isam yaitu Al Qur’an dan As-Sunnah.

Penelitian ini terlebih dahulu menggambarkan mengenai konsep bagi hasil dan konsep

keadian secara umum. Kemudian, penerapan bagi hasil yang akan diteliti selanjutnya

terfokus pada prinsip bagi hasil berdasarkan syariat Islam.

Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha menggambarkan dan

menginterpretasikan kondisi hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh,

proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi, atau kecendurungan

yang sedang berkembang (arikunto, 126-127)

Menurut Meilitasari dalam Poerwandari, penelitian post-positivis mendasarkan pada

pandangan positivis terkait dengan masalah peramalan dan pengendalian, tetapi

mencoba mengembangkan pemahaman berbeda tentang hal-hal lain untuk menjawab

kritik-kritik yang dilontarkan terhadap kelompok positivis. Post-positivis menggunakan

berbagai metode dalam penelitiannya, sambil tetap menekankan penemuan

(discovery) dan pembuktian teori (theory verification). Meskipun mengambil posisi

objektif, akan ada interaksi peneliti dan partisipan yang akan mempengaruhi data post-

positivitis digunakan untuk mendapatkan hukum-hukum umum pendekatan yang dipilih

(poerwandari, 2007:37)
Dalam penelitian ini, keadilan yang diterapkan dalam sistem bagi hasil diukur melalui

lima indikator yakni, proses transparansi di antara kedua belah pihak, penetapan

nisbah bagi hasil yang proporsional, konsistensi dari setiap pihak yang terlibat dalam

perjanjian bagi hasil, keseimbangan bargaining power, serta adanya ganti rugi jika

terjadi pemberhentian kerja sama di tengah akad. Analisis terhadap kelima indikator ini

dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Transparansi

Proses transparansi di antara pihak yang terlibat dalam bagi hasil dianalisis

berdasarkan ada atau tidaknya kejujuran serta keterbukaan di antara kedua belah

pihak mengenai hal-hal yang terkait dengan perjanjian bagi hasil tersebut. Adapun

transparansi yang dijadikan indikator dalam hal ini yaitu transparansi mengenai

biaya-biaya yang dikeluarkan, transparansi pendapatan yang diperoleh dari hasil

pertanian, serta transparansi mengenai kondisi tanah atau sawah yang akan

dijadikan sebagai objek bagi hasil

2. Proporsionalitas

Pengukuran proporsionalitas pada akad bagi hasil usaha pertanian didasarkan

pada penetapan besaran nisbah bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap.

Nisbah bagi hasil dapat dikatakan proporsional jika nisbah yang ditetapkan sesuai

dengan besarnya kontribusi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak.

Pengukuran nisbah bagi hasil yang ditetapkan dengan kontribusi yang dikeluarkan

dilakukan dengan metode persentase

3. Konsistensi

Konsistensi dalam sistem bagi hasil diukur melalui ada atau tidaknya sikap

konsisten di atara pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil mengenai hal-hal

yang telah disepakati di awal akad. Hal-hal seperti penetapan nisbah bagi hasil,

pembagian tanggung jawab jika terjadi kerugian, serta segala hal yang menyangkut

hak dan kewajiban setiap pihak selama akad berlangsung harus sesuai dengan

apa yang telah disepakati di awal akad

4. Keseimbangan bargaining power


Salah satu hal yang memicu terjadinya tindakan zhalim dalam suatu akad kerja

sama yaitu ketika salah satu pihak berada di posisi yang lemah. Oleh karenanya

kedua pihak harus saling membutuhkan serta memiliki kekuatan posisi tawar yang

setara. Keseimbangan bargaining power ini dapat diukur berdasarkan tingkat

wawasan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian

bagi hasil

5. Adanya ganti rugi

Dalam akad bagi hasil, terdapat kemungkinan terjadi pemberhentian kerja sama di

tengah berlangsungnya akad. Jika terjadi hal seperti ini, maka pihak yang

melakukan pemberhentian harus bertanggung jawab atas pemberhentian yang

terjadi, terutama jika pemberhentian tersebut terjadi secara sepihak. Keadilan

dalam hal ini dapat diukur melalui besarnya ganti rugi yang dikeluarkan oleh pihak

yang melakukan pemberhentian, dimana ganti rugi yang dikeluarkan harus sesuai

dengan besarnya biaya maupun tenaga yang telah dikeluarkan oleh pihak lain

selama akad bagi hasil berlangsung.


Berdasarkan tujuan penelitian, pada skripsi ini akan dibahas mengenai

penerapan nilai keadilan pada akad bagi hasil pertanian di Kelurahan

Takkalasi Kecamatan Balusu Kabupaten Barru. Tujuan penelitian tersebut

didasarkan pada pentingnya sikap adil dalam pelaksanaan akad bagi hasil

usaha pertanian.

Prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam ekonomi

Islam yang juga menjadi prinsip dasar dan utama dalam setiap aktivitas

ekonomi yang dilakukan, termasuk dalam suatu akad atau perjanjian bagi

hasil. Hal tersebut didukung oleh pendapat Haroen (2000:279) yang

menyatakan bahwa akad bagi hasil pertanian atau yang dikenal dengan

nama muzara’ah dan mukhabarah dapat menjadi haram dalam Islam ketika

bentuk kesepakatannya tidak adil. Keadilan menjadi hal utama yang perlu

diperhatikan karena keadilan menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban pada

setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil tersebut

Dalam bab ini akan dibahas mengenai gambaran umum objek penelitian

serta gambaran proses pertanian dan bagi hasil pertanian yang diterapkan di

Kelurahan Takkalasi Kecamatan Balusu Kabupaten Barru. Gambaran tersebut

diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan informan yang merupakan petani

penggarap serta pemilik tanah di daerah tersebut. Selanjutnya gambaran tersebut

akan menjadi dasar untuk menilai penerapan keadilan pada akad bagi hasil usaha

pertanian di Kelurahan Takkalasi Kecamatan Balusu Kabupaten Barru berdasarkan

indikator keadilan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini.


4.2 Identitas Informan

Rangkuman keadaan yang menunjukkan latar belakang atau karakteristik demografis

dan status sosial ekonomi para informan atau objek penelitian yang terpilih merupakan bagian

dari rangkuman deskriptif dinyatakan sebagai salah satu bagian terpenting dari laporan setiap

hasil penelitian (Agung, 2011:158).

Dalam penelitian ini, jumlah informan adalah sebanyak tujuh orang yang terdiri dari lima

orang petani penggarap, dan dua orang pemilik tanah. Identitas informan yang akan diuraikan

berikut hanyalah identitas informan yang berprofesi sebagai petani penggarap. Hal ini

dikarenakan petani penggarap merupakan pihak yang paling banyak mempengaruhi indikator

dalam penentuan keadilan pada akad bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi.

Penguraian indentitas informan ditujukan untuk menggambarkan keberagaman petani

penggarap dari berbagai aspek yaitu umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga,

lokasi sawah yang digarap dan lama bertani. Identitas seorang informan akan sangat

membantu dalam proses penelitian karena dapat memberikan informasi tentang usahatani yang

digarap terutama dalam peningkatan produksi, keadaan lokasi dari tempat tinggal, dan

kemungkinan menerapkan konsep bagi hasil berkeadilan.

4.2.1 Jarak Lokasi Sawah dengan Tempat Tinggal

Jarak lokasi sawah yang digarap dengan rumah petani mengindikasikan besarnya biaya

yang dikeluarkan untuk transpoortasi. Semakin jauh jarak antara rumah dengan sawah, maka

akan semakin besar biaya transportasi yang dikeluarkan petani dan begitu pun sebaliknya.

Berdasarkan hasil penelitian, dari lima orang informan petani penggarap, sebanyak tiga

orang atau 60% informan menyebutkan jarak antara rumah dengan sawah adalah sekitar 1,5

km, dan sebanyak dua orang atau 40% informan menyebutkan jarak antara rumah dengan

sawah adalah sekitar 2 km. Hal ini menunjukkan jarak lokasi sawah dengan rumah petani
penggarap umumnya relatif cukup dekat, sehingga biaya transportasi yang dikeluarkan juga

tidak cukup material.

4.2.2 Umur

Irmayanti (2010:43) menjelaskan bahwa umur merupakan salah satu aspek yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas termasuk

dalam hal ini menggarap usahatani di lahan sawah. Pada umumnya petani penggarap yang

memiliki umur yang lebih muda dan masih sehat jasmaninya lebih berpotensi untuk bekerja

lebih kuat dan lebih cepat menerima inovasi dalam sistem bagi hasil dibandingkan dengan

petani penggarap yang telah berusia lanjut.

Umur petani informan bervariasi antara petani penggarap yang satu dengan yang lainnya.

Jumlah informan petani penggarap menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1 Jumlah Petani Informan menurut Kelompok Umur di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan

Balusu, Kabupaten Barru, 2018.

No Kelompok Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase


1 ≤35 1 20%
2 36-49 3 60%
3 ≥50 1 20%
Sumber: Diolah Sendiri

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa 60% informan petani penggarap berada pada kategori

kelompok berumur sedang (36-49 tahun), sementara kelompok muda dan tua sebanyak 20%.

Hal ini berarti petani informan yang berada pada usia produktif dan memiliki tingkat

produktivitas yang tinggi jauh lebih mendominasi.

4.2.3 Tingkat Pendidikan

Irmayanti (2010:45) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan petani yang relatif memadai

akan mempengaruhi cara berpikir dan pengambilan keputusan petani penggarap dalam
melaksanakan aktivitas usahataninya. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah tingkat

pendidikan formal yang pernah diikuti oleh informan. Dalam hal bagi hasil usaha pertanian,

petani yang menempuh tingkat pendidikan yang lebih tinggi tentunya akan lebih kritis dalam

menyepakati perjanjian bagi hasil dan lebih mampu melakukan manajemen keuangan yang

baik. Di samping itu, petani yang memiliki taraf pendidikan yang mumpuni juga memiliki

kemampuan untuk bertani dengan lebih efektif dan efisien. Jumlah informan petani penggarap

menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Petani Informan di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan Balusu,
Kabupaten Barru, 2018.

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase


1 SD 3 60%
2 SMP 1 20%
3 SMA 1 20%
4 Pendidikan Tinggi - 0%
Sumber: Diolah Sendiri

Data yang disajikan pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebagian

besar petani informan memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah, yaitu hanya sampai

tingkat Sekolah Dasar. Hal ini mengindikasikan bahwa petani penggarap di Kelurahan Takkalasi

cenderung memiliki latar belakang pendidikan formal yang kurang memadai sehingga terdapat

kemungkinan belum mampu memanajemen usaha tani dengan efektif dan efisien

4.2.4 Jumlah Tanggungan Keluarga

Setiap kepala keluarga harus melakukan usaha-usaha memperoleh pendapatan agar

mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki petani

penggarap dapat dijadikan salah satu indikator dalam menilai apakah pendapatan yang diterima

oleh petani penggarap telah layak dan mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari petani.

Berikut jumlah tanggungan yang dimiliki masing-masing petani penggarap yang menjadi

informan dalam penelitian ini.


Tabel 4.3 Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Informan di Kelurahan Takkalasi,
Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, 2018.

No Jumlah Tanggungan Keluarga (orang) Jumlah (orang) Persentase


1 <3 2 40%
2 3-5 3 60%

Sumber: Diolah Sendiri

Data yang tersaji pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) informan

memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-5 orang, dan sisanya sebesar 40%

memiliki tanggungan di bawah dari 3 orang

Umumnya petani yang memiliki banyak tanggungan keluarga mungkin merasakan

beban yang berat karena terkait dengan besarnya biaya rumah tangga yang harus

dikeluarkan oleh petani sebagai kepala keluarga (Irmayanti, 2010:48). Petani dengan jumlah

tanggungan keluarga yang banyak lebih cenderung menerima dengan pasrah persyaratan

yang diajukan oleh tuan tanah karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi. Dengan kata

lain, bargaining power petani penggarap dengan tanggungan keluarga yang banyak lebih

kecil dibandingkan yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih sedikit.

Ketika memasuki musim panen, petani penggarap akan memanggil pemilik tanah untuk

menyaksikan proses panen secara langsung. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga

kepercayaan dari pemilik tanah serta mencegah adanya kecurigaan dan kesalahpahaman di

antara pemilik tanah dan penggarap.


Data monografi Kelurahan Takkalasi Kecamatan Balusu Kabupaten Barru menyebutkan

luas wilayah di kelurahan ini adalah 1380 Ha dimana 322,6 Ha di antaranya merupakan tanah

pertanian. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa luasnya lahan pertanian di Kelurahan

Takkalasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mayoritas masyarakat di kelurahan

tersebut bekerja sebagai petani. Meskipun lahan pertanian yang dimiliki cukup luas, tidak

seluruh petani di kelurahan Takkalasi memiliki lahan pertanian sendiri. Petani yang tidak

memiliki lahan sendiri biasanya menggarap tanah milik orang lain, atau lebih dikenal dengan

sebutan petani penggarap. Ada pula beberapa pemilik tanah yang memiliki tanah yang luas

namun tidak mampu menggarap sendiri seluruh sawahnya. Adanya hubungan saling

membutuhkan antara pemilik tanah dan petani penggarap akhirnya memunculkan perjanjian

bagi hasil atau dalam bahasa daerah setempat dikenal dengan nama teseng di Kelurahan

Takkalasi Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru

4.2.1 Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian di Kelurahan Takkalasi

Selain itu, dari hasil wawancara juga diketahui bahwa pada perjanjian bagi hasil yang

dilakukan di Kelurahan Takkalasi, pemilik tanah biasanya mempercayakan pengerjaan

sawahnya kepada orang-orang terdekat atau sanak keluarga. Berdasarkan hasil wawancara

dengan informan yang merupakan pemilik tanah, hal tersebut dikarenakan pemilik tanah

merasa lebih percaya jika mempekerjakan petani penggarap yang masih memiliki ikatan

keluarga dengan mereka. Selain itu, beberapa pemilik tanah juga mempekerjakan sanak

keluarga mereka sendiri untuk memberikan pekerjaan kepada sanak keluarga mereka yang

belum bekerja, seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan bernama Nurmang yang

merupakan pemilik tanah.

“Saya lebih suka memberikan tanah saya kepada keluarga sendiri karena lebih bisa
dipercaya. Selain itu kan keluarga juga banyak yang butuh pekerjaan, jadi saya kasih
saja sawah saya untuk digarap daripada mereka tidak bekerja” (04 Maret 2018)
Proses bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi dimulai dengan adanya

perjanjian antara pemilik tanah dan petani penggarap untuk menggarap sawah yang dimiliki

oleh pemilik tanah. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, perjanjian bagi hasil antara pemilik

tanah dan petani penggarap di Kelurahan Takkalasi hanya dilakukan secara lisan. Hal tersebut

dikarenakan adanya rasa saling percaya antara pemilik tanah dan petani penggarap serta

dikarenakan kebiasaan yang pada umumnya terjadi di kelurahan tersebut.

Perjanjian bagi hasil di Kelurahan Takkalasi juga tidak disertai dengan adanya

kesepakatan di awal perjanjian mengenai jangka waktu berlangsungnya perjanjian bagi hasil.

Berakhirnya perjanjian bagi hasil umumnya ditentukan sepihak oleh pemilik tanah ketika pemilik

tanah merasa petani penggarap tidak jujur atau ketika pemilik tanah merasa tidak puas dengan

hasil kerja petani penggarap tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudirman, salah

satu informan yang berprofesi sebagai petani penggarap.

“Biasanya pemilik tanah memindahkan sawahnya ke penggarap lain kalau mereka


merasa curiga dengan penggarap yang mengerjakan sawahnya atau mereka merasa kuang
puas dengan hasil kerja kita. Makanya kita selalu berusaha jujur daripada kehilangan
pekerjaan. Apalagi disini banyak yang mau menggarap sawah sedangkan sawah semakin
sedikit” (04 Maret 2018)

Dari pernyataan informan tersebut, juga dapat dilihat bahwa hal tersebut ternyata membuat

petani penggarap mengedepankan sikap jujur dalam melakukan perjanjian bagi hasil, meskipun

faktor utama yang mendasari sikap jujur itu adalah adanya ketakutan kehilangan pekerjaan.
4.4 Proses Transparansi pada Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian di Kelurahan

Takkalasi

Dalam penelitian ini, transparansi dalam perjanjian bagi hasil usaha pertanian ditinjau dari tiga

hal, yaitu adanya transparansi mengenai kondisi objek bagi hasil, transparansi mengenai biaya-

biaya yang dikeluarkan, serta transparansi mengenai pendapatan yang diperoleh. Berikut

gambaran proses transparansi dalam proses bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi

yang diperoleh peneliti dari proses wawancara bersama beberapa informan petani penggarap :

1. Transparansi Objek Bagi Hasil

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani penggarap mengenai transparansi kondisi

objek bagi hasil, dalam hal ini tanah yang akan digarap, informan menyatakan tidak pernah

memperoleh informasi dari pemilik tanah mengenai kondisi tanah yang akan digarap di awal

akad atau perjanjian bagi hasil. Hal ini menyebabkan petani penggarap beberapa kali

memperoleh tanah garapan yang tidak subur dan akhirnya merugikan informan tersebut

karena biaya yang dikeluarkan lebih banyak, sedangkan hasil yang diperoleh akan lebih

sedikit. Tidak adanya transparansi dari pemilik tanah mengenai kondisi tanah miliknya

kemungkinan disebabkan karena pemilik tanah takut jika tidak ada penggarap tanah yang

mau menggarap tanah miliknya tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudirman,

informan yang berprofesi sebagai petani penggarap, “saya pernah dapat tanah garapan

yang tidak subur. Jadi kalau dapat tidak subur hasil panen yang biasanya 6 ton per hektar

bisa turun menjadi 4 ton per hektar. Tidak pernah ada pemberitahuan dari pemilik tanah

sebelumnya kalau tanahnya tidak subur karena kalau dia memberi tahu di awal pasti tidak

ada orang yang mau menggarap sawahnya”

2. Transparansi Biaya
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dalam perjanjian bagi hasil yang

diterapkan oleh masyarakat Kelurahan Takkalasi terdapat biaya-biaya yang ditanggung

bersama oleh pemilik tanah dan petani penggarap, seperti biaya bibit, biaya pupuk, serta

biaya racun hama. Total biaya yang ditanggung bersama tersebut sangat penting untuk

diketahui oleh pemilik tanah, karena biaya tersebut akan mempengaruhi jumlah hasil tani

atau gabah yang akan dibagihasilkan. Oleh karenanya transparansi di antara kedua belah

pihak mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut sangat dibutuhkan

Namun, perjanjian bagi hasil yang diterapkan oleh masyarakat di Kelurahan Takkalasi

merupakan perjanjian bagi hasil yang masih terpengaruh adat istiadat dan kebiasaan

masyarakat setempat. Bagi hasil yang dilakukan hanya didasarkan atas rasa percaya

antara pihak pemilik tanah dan pihak petani penggarap, sehingga proses transparansi

mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses bertani sangat jarang dilakukan. Hal

ini ditunjukkan dengan tidak adanya penyampaian bukti fisik berupa nota pembelian dari

petani penggarap kepada pemilik sawah.

3. Transparansi Pendapatan

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa pendapatan yang dibagihasilkan dalam

perjanjian bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi umumnya berupa hasil tani atau

gabah. Pada saat proses panen, petani penggarap biasanya akan memanggil pemilik tanah

untuk menyaksikan langsung proses panen dan pembagian hasil panen yang diperoleh.

Dengan demikian pemilik tanah bisa langsung mengetahui berapa jumlah gabah yang

dipanen serta berapa jumlah gabah yang akan ia peroleh dari proses bagi hasil. Jika pemilik

tinggal di luar daerah dan tidak sempat menyaksikan langsung proses panen serta proses

bagi hasil, maka biasanya pemilik tanah mempercayakan penuh hasil panennya kepada

penggarap. Penggarap biasanya hanya memperlihatkan catatan yang ditulis oleh penggarap

sendiri mengenai total hasil panen yang diperoleh serta dibagihasilkan, sebagaimana yang

diungkapkan Hamzah, salah seorang informan yang bekerja sebagai petani penggarap,
“Kami juga biasanya memanggil mereka saat akan panen agar pemilik bisa melihat langsung

hasil taninya karena jangan sampai ada kesalahpahaman antara pemilik dan penggarap jika

hasil tani berkurang. Kalau pemiliknya tinggal di luar daerah kami menghubungi mereka

untuk menyaksikan langsung proses pembagian hasil tani, dan biasanya mereka yang

tinggal di kota datang ke sini untuk melihat hasil panen. Biasa juga ada pemilik yang

mempercayakan penuh tanahnya kepada penggarap. Kalau yang seperti itu biasanya tidak

saya kerja sawahnya ketika musim kemarau karena besar resikonya”


Ketika Musim Hujan :

Laba bersih petani penggarap ketika musim hujan Rp7.070.000,-

Jumlah jam kerja petani penggarap dalam satu musim (4,5 bulan) 252 jam

Laba bersih/jam Rp 28.055,-

Ketika Musim Kemarau :

Laba bersih petani penggarap ketika musim hujan Rp2.270.000,-

Jumlah jam kerja petani penggarap dalam satu musim (4,5 bulan) 252 jam

Laba bersih/jam Rp 9.007,-

Sedangkan Upah Minimum Provinsi (UMP) per jam adalah :

UMP untuk 4,5 bulan Rp11.915.000,-

Jumlah jam kerja menurut standar UMP dalam 4,5 bulan 720 jam

UMP/ jam Rp 16.549,-

Dari perhitungan di atas, terlihat bahwa laba bersih yang diperoleh petani penggarap pada

musim hujan ternyata telah melebihi standar UMP yang ditetapkan pemerintah, sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada saat musim hujan, petani telah memperoleh pendapatan yang layak.

Namun hal ini berbanding terbalik ketika musim kemarau, dimana laba bersih yang diterima

petani sangat jauh di bawah UMP.


Keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dari Islam. Allah menurunkan Islam

sebagai suatu sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya

keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Pentingnya prinsip

keadilan dalam Islam terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang

keadilan. Berdasarkan muatan makna adil dalam Al-Qur’an, dapat diturunkan berbagai

nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan itu sendiri yaitu adanya persamaan

kompensasi, persamaan hukum, moderat, dan proporsional (P3EI UII Yogyakarta,

2008:61).

Terkhusus pada perjanjian bagi hasil pertanian, Handayani (2013:92) dalam hasil

penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat lima elemen yang dapat menjadi ukuran

tercapainya keadilan dalam sistem bagi hasil.

Selain itu, kebiasaan untuk bersikap jujur dan kesadaran petani penggarap juga nampaknya telah

tertanam dalam diri petani penggarap sehingga

Selain itu, pemilik tanah juga tidak pernah menuntut adanya penyampaian laporan pengeluaran

biaya dari petani penggarap. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Samsidar,

“saya tidak pernah minta catatan-catatan seperti begitu kepada penggarap karena merasa sudah
percaya. Biasanya saya hanya mengawasi penggarap ketika proses panen saja”.

Namun bagaimanapun, tujuan dari adanya pencatatan dan pelaporan biaya adalah untuk

mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa ekonomi sehingga transparansi dapat terwujud antara tuan

tanah dan petani penggarap. Dengan demikian, kemungkinan adanya perselisihan atau kesalahpahaman

antara pemilik tanah dan petani penggarap dapat diminimalisir. Salah satu informan bernama Hamzah

menyatakan’
“Biasa juga terjadi itu pemilik sawah tiba-tiba “memindahkan” sawahnya ke penggrap lain.
Biasanya “dipindahkan” karena pemilik tanah tidak puas dengan hasil kerja petani atau curiga
kalau petani tidak jujur soal biaya-biaya yang dikeluarkan” (04 Maret 2018)

Pernyataan Hamzah mengindikasikan bahwa salah satu penyebab pemilik tanah menghentikan

perjanjian bagi hasi dengan petani penggarap adalah karena adanya kecurigaan dan rasa tidak percaya

terhadap petani penggarap. Petani penggarap juga tentunya tidak memiliki kemampuan untuk

meluruskan kecurigaan pemilik tanah karena tidak memiliki pencatatan serta bukti yang kuat.

Hal inilah yang disebut oleh Darwis (2016:17) sebagai penyebab utama terjadinya perselisihan

antara pemilik tanah dan petani penggarap. Darwis (2016:18) mengungkapkan, terjadinya perselisihan

pada kegiatan pertanian khususnya bagi petani penggarap dan pemilik tanah, pada umumnya

disebabkan atas adanya mosi tidak percaya pada petani penggarap terutama berkenaan dengan biaya

yang dibutuhkan dalam pengurusan kebun serta hasil produksi pertanian yang diperoleh dalam setiap

kali panen sehingga timbul kecurigaan pada diri petani penggarap

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang dipaparkan oleh Handayani

(2013:93) terkait tidak adanya transparansi biaya yang dilakukan oleh petani penggarap kepada pemilik

tanah di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan perjanjian antara tuan tanah dan

petani penggarap hanya dilandasi sistem kepercayaan sehingga keperluan pencatatan dan pelaporan

tidak dilaksanakan yang berakibat pada sikap tuan tanah yang menerima begitu saja nilai nominal biaya

yang dilaporkan petani penggarap secara lisan dan mengandalkan ingatan semata.
Petani penggarap di Kelurahan Takkalasi sesungguhnya merasakan bahwa biaya yang

dikeluarkan cenderung lebih besar dari pendapatan yang mereka terima sebagai petani

penggarap. Hal ini tergambar dari pernyataan yang diungkapkan oleh Sudirman

“Kalau dihitung-hitung sebenarnya tidak banyak penghasilan yang bisa didapat dari
menggarap sawah karena kebanyakan biayanya penggarap yang tanggung. Apalagi
biasanya kalau habis panen, uangnya langsung dipakai membayar utang yang
digunakan untuk membeli bibit, pupuk, dan racun”

Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan perhitungan laba bersih yang diterima oleh

penggarap setiap bulan untuk mengetahui berapa hasil bersih yang dapat diperoleh petani

penggarap dari pekerjaannya sebagai petani penggarap.

Selain menganalisis proporsionalitas pendapatan dari sisi petani penggarap, peneliti

juga menganalisis lebih lanjut pendapatan yang diterima oleh pemilik tanah dari bagi hasil

usaha pertanian. Ketika pemilik tanah memutuskan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil

dengan petani penggarap, berarti pemilik tanah telah berinvestasi sebesar harga tanah saat itu,

dengan menerima return berupa pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil usaha pertanian.

Dalam menilai pendapatan bagi hasil pemilik tanah, peneliti melakukan analisis perbandingan

antara pendapatan yang diperoleh pemilik tanah jika pemilik tanah memilih untuk menginvestasikan

uangnya dalam sistem bagi hasil usaha pertanian, dengan pendapatan yang bisa diperoleh pemilik tanah

jika pemiik tanah memilih untuk menginvestasikan uangnya di salah satu produkinvestasi berbasis

syariah.

Dalam analisis ini, peneliti menggunakan instrumen sukuk ritel. Sukuk ritel merupakan surat

berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan

terhadap Aset Surat Berharga Syariah Negara, yang dijual kepada individu (ritel) atau perseorangan
warga negara Indonesia melalui agen penjual, dengan volume minimum yang ditentukan. Pada tanggal

22 Februari 2018, pemerintah kembali mengeluarkan Sukuk Ritel seri SR-10 tahun 2018 sebagai salah

satu produk investasi syariah, dengan imbalan sebesar 5,9% per tahun (kemenkeu.go.id, diakses tanggal

17 April 2018)

Alasan peneliti memilih sukuk ritel sebagai instrumen investasi pembanding dikarenakan sukuk

ritel merupakan salah satu produk investasi syariah yang terjangkau dengan investasi minimum sebesar

Rp5.000.000,-, selain itu prosedur berinvestasi melalui sukuk ritel juga sangat mudah sehingga sangat

memungkinkan masyarakat umum untuk turut berpartisipasi dalam investasi melalui sukuk ritel. Berikut

perbandingan pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika berinvestasi pada bagi hasil usaha

pertanian, dengan pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika berinvestasi pada sukuk ritel.

1. Berinvestasi pada bagi hasil usaha pertanian

Salah satu informan bernama Nurmang yang merupakan pemilik tanah, menyebutkan,

“Harga tanah kalau di daerah ini umumnya sekitar Rp500.000.000 per hektar. Saya baru-baru
beli tanah, kurang lebih harganya segitu” (04 Maret 2018)

Dari pernyataan tersebut, diketahui bahwa pemilik tanah menginvestikan dana sebesar Rp500.000.000,-

untuk berinvestasi dalam sistem bagi hasil usaha pertanian. Dengan investasi sebesar Rp500.000.000,

pemilik tanah dapat memperoleh return sebesar Rp12.790.000, per tahun dengan rincian sebagai

berikut.

Laba Bersih yang Diperoleh Pemilik Tanah ketika Musim Hujan :

Ketika musim hujan jumlah bersih hasil tani yang diperoleh petani penggarap setelah dikurangi

dengan biaya jasa oto passangki dan biaya-biaya yang ditanggung bersama dengan petani penggarap
adalah sebanyak 26 karung atau 2600 kg. Jika dijual, maka pemilik tanah dapat memperoleh pendapatan

sebesar:

2600 kg x Rp 4000/kg = Rp10.400.000,-

Jadi total laba bersih yang diperoleh petani adalah sebagai berikut :

Pendapatan Pemilik Tanah Rp10.400.000,-

Dikurangi :

Biaya ojek (tassi) (26 karung x Rp10.000,-) (Rp 260.000,-)

Laba Bersih dalam Sekali Masa Panen (4,5 bulan) Rp10.140.000,-

Dari hasil perbandingan investasi pada bagi hasil usaha pertanian dengan investasi pada sukuk

ritel, diperoleh hasil bahwa tingkat pengembalian investasi pada sukuk ritel lebih besar dibandingkan

dengan tingkat pengembalian pada bagi hasil usaha pertanian. Dari hasil tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa investasi pada bagi hasil usaha pertanian rupanya masih kurang menguntungkan

bagi pemilik tanah.

Anda mungkin juga menyukai