masih menerapkan dua pola yang berbeda, yaitu pola bagi hasil revenue sharing dan profit
sharing. Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134), revenue sharing merupakan pola bagi
hasil yang menggunakan laba bruto atau laba kotor sebagai dasar pembagian hasil usaha.
Sedangkan profit sharing merupakan perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih
dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
menerapkan Teseng (bagi hasil) dengan pola profit sharing, dimana yang menjadi dasar
penentuan bagi hasil adalah laba bersih atau pendapatan bruto yang telah dikurangkan
dengan biaya-biaya. Adapun biaya-biaya yang lazim diperkurangkan yaitu biaya pembelian
bibit/benih, biaya tanam, biaya pembelian pupuk, biaya pembelian obat-obatan, biaya
pengolahan traktor, serta biaya pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Biaya-biaya
tersebut biasanya menjadi tanggungan bersama kedua belah pihak, yaitu pemilik tanah serta
penggarap tanah.
Kendati demikian, Indrawati (2016:33) menemukan bahwa salah satu daerah di Jawa Barat,
masih menggunakan pola bagi hasil revenue sharing. Dasar pengenaan bagi hasil yang
digunakan adalah laba bruto atau laba kotor, sehingga secara tidak langsung seluruh biaya
produksi ditanggung oleh petani penggarap. Hal ini menyebabkan pendapatan yang diterima
oleh petani penggarap menjadi lebih kecil dibanding dengan kontribusi yang dikeluarkan oleh
petani penggarap.
Hasil penelitian tersebut didukung oleh Irmayanti (2010:64), yang juga menemukan bahwa
sistem bagi hasil yang diterapkan berdasarkan hukum adat di suatu daerah masih belum
proporsional, dimana petani penggarap memperoleh bagian hasil yang lebih kecil
dibandingkan dengan biaya yang dikorbankan dalam pengelolaan usahatani pada setiap
musim tanam. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan salah satu indikator keadian pada bagi
hasil yang mensyaratkan adanya nisbah bagi hasil yang proporsional, yaitu sesuai dengan
Rilau, Kabupaten Barru. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, sistem
pertanian di Desa Garessi masih berpedoman pada adat istiadat yang telah berlaku turun
temurun. Penyediaan bibit pada pelaksanaan kerja sama bagi hasil pertanian di daerah ini
dilakukan oleh penggarap sawah, sehingga akadnya disebut akad mukhabarah. Sawah di
daerah tersebut merupakan jenis sawah tadah hujan yang sama sekali tidak menggunakan
pengairan (irigasi). Hal ini menyebabkan petani hanya dapat mengandalkan air hujan dalam
mengairi sawah mereka. Tentunya ini sangat berisiko terjadinya gagal panen ketika musim
kemarau sehingga hanya bisa dilakukan satu kali panen setiap tahunnya.
Beberapa tahun terakhir, petani di daerah tersebut mentaktisi hal ini dengan
menggunakan bibit varietas unggul, yang ditanam ketika musim kemarau sedang berlangsung.
Keunggulan bibit ini yang dapat bertahan dalam kondisi kekurangan air ini akhirnya sangat
membantu petani sehingga dalam setahun petani dapat melakukan dua kali panen.
Dalam penggunaan bibit biasa dengan bibit varietas unggul terdapat sistem bagi hasil
yang berbeda. Jika menggunakan bibit rendengan (biasa) maka proporsi bagi hasilnya adalah
1 : 1, dengan ketentuan pupuk ditanggung oleh pemilik sedangkan seluruh kebutuhan lain
seperti bibit, obat-obatan tanaman, dan kebutuhan lainnya ditanggung oleh penggarap.
Berbeda halnya ketika menggunakan bibit varietas unggul, jika menggunakan bibit varietas
unggul maka proporsi bagi hasilnya adalah 2 : 1, dengan ketentuan seluruh biaya penanaman,
mulai dari pupuk, obat-obatan tanaman, bibit, dan sebagainya, ditanggung oleh penggarap.
Dengan sistem bagi hasil tersebut baik ketika menggunakan bibit rendengan maupun
ketika menggunakan bibit varietas unggul, petani penggarap tentunya memikul beban yang
lebih besar karena harus menanggung seluruh biaya penanaman sedangkan hasil yang
diperoleh nantinya tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Tidak ada
perhitungan baku yang digunakan untuk menghitung pembagian hasil secara adil. Begitu pula
jika terjadi kerugian atau gagal panen, maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh
penggarap tetap menjadi tanggungan penggarap tersebut. Hal inilah yang menjadi
permasalahan utama bagi penggarap sawah di daerah tersebut, dimana hasil yang diperoleh
seringkali tidak sebanding dengan tenaga serta biaya yang telah dikeluarkan, terutama jia
Selain itu, dalam perjanjian kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap juga tidak
ditetapkan berapa lama perjanjian tersebut akan berlangsung. Padahal, syarat yang
menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad ini
mengandung makna akad al-ijarah (sewa menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan
sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. (Ghazaly et al., 2010:117)
Kata transparansi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sifat tembus
cahaya, nyata, dan jelas. Transparansi secara kontekstual dapat diartikan sebagai sesuatu
yang mudah dimengerti secara jelas sehingga kebenaran dibaliknya mudah kelihatan, sesuatu
yang tidak mengandung kesalahan dan keraguan atau keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan
relevan.
Menurut Agoes dan Ardana (2009:104) transparansi dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Transparansi artinya kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan
informasi juga mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan
tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. Tidak boleh ada hal-hal yang
yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang
informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan”
Selain itu, Hasan (2011:93) mengungkapkan bahwa transparansi adalah penyampaian laporan
kepada semua pihak secara terbuka, terkait pengoperasian suatu pengelolaan dengan
pelaksanaan kegiatan
menyampaikan informasi yang dapat dipercaya dan tepat waktu kepada publik, sehingga
kebutuhan. Transparansi dapat diraih jika salah satu atau kedua pihak mampu menyediakan
informasi yang relevan, akurat, tepat waktu dan sesuai dengan definisi sebagaimana yang
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan maka secara umum tranparansi dapat diartikan
sebagai keterbukaan atas informasi yang benar dan jujur dari satu pihak ke pihak lain
berdasarkan pertimbangan bahwa pihak tersebut memiliki hak untuk mengetahui secara
terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban dalam mengelola sumber daya yang
dipercayakan.
Dalam islam, konsep transparansi erat kaitannya dengan kejujuran. Menurut Abdussalam
Mohammed Abu Tapanjeh sebagaimana dikutip oleh Khaerany et.al (20xx:31), transparansi
dalam perspektif Islam mencakup tiga hal yaitu, 1) adanya keterbukaan informasi dari kedua
belah pihak, 2) pengungkapan infomasi secara jujur, lengkap dan meliputi segala hal yang
terkait dengan informasi yang diberikan, serta 3) pemberian informasi yang dilakukan secara
Nilai transparansi sangat menuntut nilai-nilai kejujuran atas setiap informasi yang diberikan
dari satu pihak ke pihak lain. Sehubungan dengan kejujuran, dalam Al Qur’an surah Al Isra’
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Penekanan akan pentingnya sikap transparan dalam Islam juga terdapat dalam surah Al
“kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Yang dimaksud dengan orang-orang
yang curang disini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang”
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi sikap jujur dan
menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Secara tidak langsung
ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berlaku jujur dalam segala.
Selanjutnya ditegaskan kembai pada ayat kedua bahwa orang melaknat orang yang bersikap
tidak jujur dan curang dan menggolongkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang
celaka.
Pentingnya penerapan sikap transparan dalam Islam juga dapat dilihat melalui penerapannya
dalam ilmu akuntansi syariah. Dalam akuntansi syariah, kaidah transparansi diartikan sebagai
penggambaran data-data akuntansi secara amanah, tanpa menyembunyikan satu bagian pun
darinya serta tidak menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya, atau yang
menibmulkan kesan yang melebihi makna data-data akuntansi tersebut. Kaidah transparansi
ini dipandang sebagai salah satu kaidah dasar yang harus dipegang dalam seluruh muamalat,
baik sesama kaum muslimin sendiri maupun antara kaum muslimin dan kaum non muslim.
Tujuan dari kaidah ini adalah mengikatkan diri dengan syari’at Islam dalam hal menjauhi
menggambarkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataannya, atau dengan cara
yang dapat menimbulkan kesan yang melebihi maknanya akan menyebabkan pengambilan
keputusan yang keliru oleh pihak yang hendak mengambil manfaat dari data akuntansi
tersebut.Kaidah transparansi punya andil dalam mewujudkan prinsip legitimasi muamalat dan
prinsip kontinuitas, di damping juga punya andil dalam penerapan praktis prinsip muqabalah.
Sebeb, adanya penyembunyian dan penipuan dalam informasi keuangan akan berakibat tidak
Dalam perspektif Islam menegakkan transparansi adalah kewajiban agama yang mulia.
Transparansi memungkinkan seluruh pihak memperoleh informasi yang sempurna dan dapat
menggunakan informasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan., sehingga tidak akan
ada pihak yang terzalimi karena adanya sikap tidak jujur dan tidak terbuka dari salah satu
pihak. Dengan demikian, dalam bermuamalah sikap transparan tidak saja menghantarkan
manusia kepada berbagai kebajikan, tetapi juga menghantarkan pada terwujudnya keadilan
dalam menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan atas suatau aktivitas
pengelolaan sumber daya publik. Definisi dapat digunakan dalam memahami transparansi
pada kad bagi hasil pertanian. Dalam konteks bagi hasil pertanian, pemerintah dalam hal ini
adalah petani penggarap yang menyampaikan informasi pengelolaannnya baik itu keuangan
dan lainnya kepada pemilik tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah
informasi mengenai setiap hal terkait kerja sama bagi hasil, baik itu mengenai kondisi objek
bagi hasil maupun penerimaan serta pengeluaran yang terjadi dalam proses bagi hasil.
Handayani (2013:60) mengungkapkan bahwa dalam sistem bagi hasil, khususnya bagi
hasil pertanian, kejujuran dimulai saat petani penggarap sebagai pekerja aktif dan tuan tanah
Membangun transparansi dalam pengelolaan bagi hasil akan menciptakan sistem kontrol yang
baik antara dua pihak yaitu pemilik tanah dan petani penggarap. Hal inilah yang seharusnya
dijadikan pemilik tanah untuk mengurangi rasa curiga dan ketidakpercayaan terhadap petani
penggarap dapat diminimalisasi. Transparansi ini akan sangat mempengaruhi akad, baik
sebelum proses dan setelah perikatan berakhir. Tentu saja, transparansi menjadi indicator
nomor satu dalam mengidentifikasi apakah transaksi bagi hasil itu adil atau zhalim
Dalam menyampaikan informasi, petani penggarap harus bersikap jujur, tidak ada
satupun hal yang ditutup-tutupi dari pengetahuan penerima informasi dalam hal ini, pemilik
tanah. Terciptanya transparansi akan mampu memberikan dampak yang baik bagi
Pada konteks pembahasan transparansi dalam akad bagi hasil pertanian, tranparansi dapat
diartikan sebagai adanya keterbukaan informasi baik dari pemilik tanah maupun penggarap
sawah mengenai hal-hal terkait akad bagi hasil pertanian tersebut, baik itu mengenai kondisi
objek bagi hasil, proses pengelolaan sumber daya, dsb. Dari sisi pemilik tanah, pemilik tanah
wajib memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada petani penggarap terkait kondisi
tanah yang akan digarap oleh petani penggarap. Sedangkan dari sisi petani penggarap, petani
penggarap wajib memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada pemilik tanah terkait
proses penggarapan tanah, misalnya biaya yang dikeluarkan selama proses penggarapan.
Dengan demikian proses bagi hasil dapat berjalan dengan sehat dan tidak merugikan salah
satu pihak.
Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Menurut Moleong (2014:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan bagian dari penelitian
kualitatif. Menurut Sugiyono (2008:15), penelitian kualitatif deskriptif adalah metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada
kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci.
Alasan pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk
memperoleh gambaran secara sistematis dan tepat mengenai penerapan bagi hasil
berkeadilan antara petani penggarap dan pemilik sawah pada usaha pertanian. Selain itu,
untuk merumuskan konsep bagi hasil berkeadilan pada usaha pertanian, peneliti akan
melakukan studi pustaka berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang didukung oleh
pengamatan lapangan agar diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci mengenai
Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti akan bertindak sebagai instrument pengamat sekaligus
pengumpul data. Kehadiran peneliti sebagai pengamat lapangan akan diinformasikan kepada
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu daerah di Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa
Garessi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru. Pemilihan daerah ini sebagai lokasi
penelitian dikarenakan besarnya potensi yang dimiliki kabupaten Barru sebagai kabupaten
penyangga dan pendukung surplus beras di Sulawesi Selatan dimana masyarakatnya juga
sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Selain itu, sistem bagi hasil juga sudah
sangat melekat pada masyarakat Barru dan telah menjadi bagian dari adat istiadat.
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Menurut Putra
(2014:47) data kualitatif adalah data yang memaparkan dan memberikan gambaran
penjelasan teoritis yang didasarkan pada masalah yang diteliti serta mengeksplorasi ke dalam
bentuk laporan
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama berupa laporan tertulis
yang diambil dari petani penggarap yang ada di Desa Garessi, Kecamatan Tanete
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan mempelajari berbagai literatur
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan dan
1. Wawancara
tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan itu. Pada penelitian ini pihak yang akan menjadi pewawancara adalah
peneliti, sedangkan pihak yang menjadi terwawancara adalah petani yang bekerja
adalah meakukan interview dengan membawa pedoman yang hanya merupakan garis
tersebut diperdalam.
2. Observasi
Observasi dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan daerah penelitian, dan untuk
melihat secara langsung aktivitas maupun kondisi ekonomi dari petani penggarap itu
sendiri. Selain itu, observasi juga dilakukan untuk meminimalisir adanya data yang
keliru atau bias saat dilakukan pengumpulan data melalui teknik wawancara
3. Penelitian Pustaka
Metode penelitian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan
Qur’an, Sunnah Rasulullah saw, fiqh, publikasi-publikasi serta referensi ainnya yang
berkaitan dengan konsep keadilan maupun bagi hasil usaha pertanian dalam Islam
Peneliti menggunakan teknik analisis data yang dikenal dengan teknik analisis
model Miles dan Hubermen. Miles dan Hubermen dalam Qadir (1994:7) menyebutkan
bahwa teknik analisis data penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu :
2. Data reduction (pemilihan data), yaitu melakukan pemilihan terhadap data yang
relevan serta tidak relevan dalam penelitian. Dalam melakukan pemilihan data,
peneliti merangkum, mengambil data yang pokok dan penting, serta membuat
nantinya.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan data reduction (pemiihan data) dengan cara
abstraksi, yaitu dengan membuat ringkasan, dimana inti, proses, dan persyaratan
3. Data display (penampilan data), yaitu peneliti menyajikan data dalam bentuk
hubungan, sehingga akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi.
Dalam penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel,
grafik, pictogram, dan sejenisnya. Namun, Miles dan Hubermen (1984) menyatakan
bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari penelitian di lapangan akan
yang ada menurut kualitas serta kebenaran yang logis. Data akan disajikan secara
dari hasil penelitian secara teliti dan logis untuk menjawab masalah penelitian
akhir penelitian. Selain menarik kesimpulan, dalam penelitian ini peneliti juga
melakukan interpretasi data sebagai upaya dalam memperoleh arti dan makna
yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil dari penelitian yang sedang
penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang
diperoleh di lapangan
Tinjauan Umum Bagi Hasil Usaha Pertanian
Pertanian sebagai bidang yang bergerak di sektor riil, tak luput dari adanya prinsip
kerjasama bagi hasil. Di satu sisi, ada sebagian orang yang mempunyai tanah, tetapi
tidak mampu untuk mengolahnya. Di sisi lain, ada orang yang mampu untuk bertani
dan berkebun, tapi tidak mempunyai lahan pertanian. Sehingga dengan adanya
kerjasama bagi hasil, kedua belah pihak dapat melakukan sebuah sistem kerjasama
Mustara (1993:82) menyebutkan bahwa pengelolaan sawah dengan sistem bagi hasil
telah lama dikenal di Indonesia, dan bahkan telah menjadi pranata hukum adat
bahwa bagi hasil telah dikenal di Indonesia dengan berbagai istilah adat yang
(Minahasa), Teseng (Sulawesi Selatan), serta Nengah dan Jejuron (Priangan). Hingga
kini sistem bagi hasil masih banyak diterapkan di berbagai daerah di Indonesia
PENGANTAR KEADILAN
Haroen (2000:…) menyatakan bahwa dalam Islam, sistem bagi hasil pertanian
baik itu muzara’ah maupun mukhabarah dapat menjadi haram ketika bentuk kesepakatannya
tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam
akad kerja sama bagi hasil pertanian. Prinsip keadilan menjamin adanya persamaan hak dan
kewajiban antara pemilik tanah dan penggarap sawah, sehingga dengan diterapkannya prinsip
keadilan, tidak akan ada pihak yang merasa terpaksa dan dirugikan selama perjanjian bagi
hasil berlangsung. Untuk menerapkan prinsip keadilan yang sesuai dalam penerapan bagi
hasil, tentunya diperlukan pemahaman terhadap konsep keadilan itu sendiri. Berikut ini akan
dijabarkan konsep keadilan secara umum maupun dari sudut pandang Islam
PENGANTAR TRANSPARANSI
produksi di dalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha, dimana biaya dan
pendapatan merupakan dua unsur yang paling penting. Dalam perjanjian bagi hasil
pembagian proporsi pendapatan (nisbah) bagi hasil yang akan diterima masing-
Perjanjian bagi hasil usaha pertanian dapat dimaknai sebagai proses penyerahan
tanggung jawab atas tanah yang menjadi objek bagi hasil dari pemilik tanah kepada
petani penggarap. Untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemilik tanah
dan petani penggarap tentunya keterbukaan (transparansi) dari satu pihak ke pihak
lainnya sangat dibutuhkan dalam perjanjian bagi hasil. Keterbukaan atau tranparansi
yang dimaksud disini, tidak hanya terbatas pada biaya maupun pendapatan yang
terjadi selama proses pertanian, melainkan seluruh informasi yang wajib diungkapkan
oleh masing-masing pihak seperti kondisi tanah yang akan digunakan sebagai objek
PENGANTAR BAB II
Pertanian merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki oleh Indonesia. Salah
satu sistem pengolahan sawah yang telah lama diterapkan di Indonesia dan masih
Sistem bagi hasil merupakan sistem pengolahan sawah yang telah lama dikenal dan
diterapkan di Indonesia. Sistem bagi hasil lahir dari adanya persamaan kebutuhan
antara pemilik tanah dan petani penggarap. Jika dilaksanakan dengan jujur dan adil,
kerjasama bagi hasil pertanian ini dapat menjadi kerjasama yang menguntungkan
kedua belah pihak. Namun jika di dalamnya terdapat ketidakadilan dan ketidakjujuran,
tentunya kerja sama yang terjadi hanya akan menguntungkan salah satu pihak dan
merugikan pihak yang lain. Oleh karena itu penerapan keadilan dan kejujuran dalam
Pada bab ini akan disajikan mengenai tinjauan pustaka tentang kerangka konsep dan
studi literatur yang berhubungan dengan penelitian. Pembahasan yang ada akan
mengenai bagi hasil berkeadilan pada usaha pertanian akan didasari dengan
pemahaman mengenai tinjauan pertanian secara umum, konsep bagi hasil pertanian,
Peneliti ingin mengetahui dan menilai penerapan sistem bagi hasil usaha pertanian di
Penelitian ini terlebih dahulu menggambarkan mengenai konsep bagi hasil dan konsep
keadian secara umum. Kemudian, penerapan bagi hasil yang akan diteliti selanjutnya
proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi, atau kecendurungan
objektif, akan ada interaksi peneliti dan partisipan yang akan mempengaruhi data post-
(poerwandari, 2007:37)
Dalam penelitian ini, keadilan yang diterapkan dalam sistem bagi hasil diukur melalui
lima indikator yakni, proses transparansi di antara kedua belah pihak, penetapan
nisbah bagi hasil yang proporsional, konsistensi dari setiap pihak yang terlibat dalam
perjanjian bagi hasil, keseimbangan bargaining power, serta adanya ganti rugi jika
terjadi pemberhentian kerja sama di tengah akad. Analisis terhadap kelima indikator ini
1. Transparansi
Proses transparansi di antara pihak yang terlibat dalam bagi hasil dianalisis
berdasarkan ada atau tidaknya kejujuran serta keterbukaan di antara kedua belah
pihak mengenai hal-hal yang terkait dengan perjanjian bagi hasil tersebut. Adapun
transparansi yang dijadikan indikator dalam hal ini yaitu transparansi mengenai
pertanian, serta transparansi mengenai kondisi tanah atau sawah yang akan
2. Proporsionalitas
pada penetapan besaran nisbah bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap.
Nisbah bagi hasil dapat dikatakan proporsional jika nisbah yang ditetapkan sesuai
Pengukuran nisbah bagi hasil yang ditetapkan dengan kontribusi yang dikeluarkan
3. Konsistensi
Konsistensi dalam sistem bagi hasil diukur melalui ada atau tidaknya sikap
konsisten di atara pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil mengenai hal-hal
yang telah disepakati di awal akad. Hal-hal seperti penetapan nisbah bagi hasil,
pembagian tanggung jawab jika terjadi kerugian, serta segala hal yang menyangkut
hak dan kewajiban setiap pihak selama akad berlangsung harus sesuai dengan
sama yaitu ketika salah satu pihak berada di posisi yang lemah. Oleh karenanya
kedua pihak harus saling membutuhkan serta memiliki kekuatan posisi tawar yang
wawasan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian
bagi hasil
Dalam akad bagi hasil, terdapat kemungkinan terjadi pemberhentian kerja sama di
tengah berlangsungnya akad. Jika terjadi hal seperti ini, maka pihak yang
dalam hal ini dapat diukur melalui besarnya ganti rugi yang dikeluarkan oleh pihak
yang melakukan pemberhentian, dimana ganti rugi yang dikeluarkan harus sesuai
dengan besarnya biaya maupun tenaga yang telah dikeluarkan oleh pihak lain
didasarkan pada pentingnya sikap adil dalam pelaksanaan akad bagi hasil
usaha pertanian.
Islam yang juga menjadi prinsip dasar dan utama dalam setiap aktivitas
ekonomi yang dilakukan, termasuk dalam suatu akad atau perjanjian bagi
menyatakan bahwa akad bagi hasil pertanian atau yang dikenal dengan
nama muzara’ah dan mukhabarah dapat menjadi haram dalam Islam ketika
bentuk kesepakatannya tidak adil. Keadilan menjadi hal utama yang perlu
diperhatikan karena keadilan menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban pada
Dalam bab ini akan dibahas mengenai gambaran umum objek penelitian
serta gambaran proses pertanian dan bagi hasil pertanian yang diterapkan di
diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan informan yang merupakan petani
akan menjadi dasar untuk menilai penerapan keadilan pada akad bagi hasil usaha
dan status sosial ekonomi para informan atau objek penelitian yang terpilih merupakan bagian
dari rangkuman deskriptif dinyatakan sebagai salah satu bagian terpenting dari laporan setiap
Dalam penelitian ini, jumlah informan adalah sebanyak tujuh orang yang terdiri dari lima
orang petani penggarap, dan dua orang pemilik tanah. Identitas informan yang akan diuraikan
berikut hanyalah identitas informan yang berprofesi sebagai petani penggarap. Hal ini
dikarenakan petani penggarap merupakan pihak yang paling banyak mempengaruhi indikator
dalam penentuan keadilan pada akad bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi.
penggarap dari berbagai aspek yaitu umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga,
lokasi sawah yang digarap dan lama bertani. Identitas seorang informan akan sangat
membantu dalam proses penelitian karena dapat memberikan informasi tentang usahatani yang
digarap terutama dalam peningkatan produksi, keadaan lokasi dari tempat tinggal, dan
Jarak lokasi sawah yang digarap dengan rumah petani mengindikasikan besarnya biaya
yang dikeluarkan untuk transpoortasi. Semakin jauh jarak antara rumah dengan sawah, maka
akan semakin besar biaya transportasi yang dikeluarkan petani dan begitu pun sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian, dari lima orang informan petani penggarap, sebanyak tiga
orang atau 60% informan menyebutkan jarak antara rumah dengan sawah adalah sekitar 1,5
km, dan sebanyak dua orang atau 40% informan menyebutkan jarak antara rumah dengan
sawah adalah sekitar 2 km. Hal ini menunjukkan jarak lokasi sawah dengan rumah petani
penggarap umumnya relatif cukup dekat, sehingga biaya transportasi yang dikeluarkan juga
4.2.2 Umur
Irmayanti (2010:43) menjelaskan bahwa umur merupakan salah satu aspek yang
dalam hal ini menggarap usahatani di lahan sawah. Pada umumnya petani penggarap yang
memiliki umur yang lebih muda dan masih sehat jasmaninya lebih berpotensi untuk bekerja
lebih kuat dan lebih cepat menerima inovasi dalam sistem bagi hasil dibandingkan dengan
Umur petani informan bervariasi antara petani penggarap yang satu dengan yang lainnya.
Jumlah informan petani penggarap menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Jumlah Petani Informan menurut Kelompok Umur di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa 60% informan petani penggarap berada pada kategori
kelompok berumur sedang (36-49 tahun), sementara kelompok muda dan tua sebanyak 20%.
Hal ini berarti petani informan yang berada pada usia produktif dan memiliki tingkat
Irmayanti (2010:45) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan petani yang relatif memadai
akan mempengaruhi cara berpikir dan pengambilan keputusan petani penggarap dalam
melaksanakan aktivitas usahataninya. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah tingkat
pendidikan formal yang pernah diikuti oleh informan. Dalam hal bagi hasil usaha pertanian,
petani yang menempuh tingkat pendidikan yang lebih tinggi tentunya akan lebih kritis dalam
menyepakati perjanjian bagi hasil dan lebih mampu melakukan manajemen keuangan yang
baik. Di samping itu, petani yang memiliki taraf pendidikan yang mumpuni juga memiliki
kemampuan untuk bertani dengan lebih efektif dan efisien. Jumlah informan petani penggarap
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Petani Informan di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan Balusu,
Kabupaten Barru, 2018.
Data yang disajikan pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebagian
besar petani informan memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah, yaitu hanya sampai
tingkat Sekolah Dasar. Hal ini mengindikasikan bahwa petani penggarap di Kelurahan Takkalasi
cenderung memiliki latar belakang pendidikan formal yang kurang memadai sehingga terdapat
kemungkinan belum mampu memanajemen usaha tani dengan efektif dan efisien
mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki petani
penggarap dapat dijadikan salah satu indikator dalam menilai apakah pendapatan yang diterima
oleh petani penggarap telah layak dan mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari petani.
Berikut jumlah tanggungan yang dimiliki masing-masing petani penggarap yang menjadi
Data yang tersaji pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) informan
memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-5 orang, dan sisanya sebesar 40%
beban yang berat karena terkait dengan besarnya biaya rumah tangga yang harus
dikeluarkan oleh petani sebagai kepala keluarga (Irmayanti, 2010:48). Petani dengan jumlah
tanggungan keluarga yang banyak lebih cenderung menerima dengan pasrah persyaratan
yang diajukan oleh tuan tanah karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi. Dengan kata
lain, bargaining power petani penggarap dengan tanggungan keluarga yang banyak lebih
Ketika memasuki musim panen, petani penggarap akan memanggil pemilik tanah untuk
menyaksikan proses panen secara langsung. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga
kepercayaan dari pemilik tanah serta mencegah adanya kecurigaan dan kesalahpahaman di
luas wilayah di kelurahan ini adalah 1380 Ha dimana 322,6 Ha di antaranya merupakan tanah
pertanian. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa luasnya lahan pertanian di Kelurahan
Takkalasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mayoritas masyarakat di kelurahan
tersebut bekerja sebagai petani. Meskipun lahan pertanian yang dimiliki cukup luas, tidak
seluruh petani di kelurahan Takkalasi memiliki lahan pertanian sendiri. Petani yang tidak
memiliki lahan sendiri biasanya menggarap tanah milik orang lain, atau lebih dikenal dengan
sebutan petani penggarap. Ada pula beberapa pemilik tanah yang memiliki tanah yang luas
namun tidak mampu menggarap sendiri seluruh sawahnya. Adanya hubungan saling
membutuhkan antara pemilik tanah dan petani penggarap akhirnya memunculkan perjanjian
bagi hasil atau dalam bahasa daerah setempat dikenal dengan nama teseng di Kelurahan
Selain itu, dari hasil wawancara juga diketahui bahwa pada perjanjian bagi hasil yang
sawahnya kepada orang-orang terdekat atau sanak keluarga. Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan yang merupakan pemilik tanah, hal tersebut dikarenakan pemilik tanah
merasa lebih percaya jika mempekerjakan petani penggarap yang masih memiliki ikatan
keluarga dengan mereka. Selain itu, beberapa pemilik tanah juga mempekerjakan sanak
keluarga mereka sendiri untuk memberikan pekerjaan kepada sanak keluarga mereka yang
belum bekerja, seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan bernama Nurmang yang
“Saya lebih suka memberikan tanah saya kepada keluarga sendiri karena lebih bisa
dipercaya. Selain itu kan keluarga juga banyak yang butuh pekerjaan, jadi saya kasih
saja sawah saya untuk digarap daripada mereka tidak bekerja” (04 Maret 2018)
Proses bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi dimulai dengan adanya
perjanjian antara pemilik tanah dan petani penggarap untuk menggarap sawah yang dimiliki
oleh pemilik tanah. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, perjanjian bagi hasil antara pemilik
tanah dan petani penggarap di Kelurahan Takkalasi hanya dilakukan secara lisan. Hal tersebut
dikarenakan adanya rasa saling percaya antara pemilik tanah dan petani penggarap serta
Perjanjian bagi hasil di Kelurahan Takkalasi juga tidak disertai dengan adanya
kesepakatan di awal perjanjian mengenai jangka waktu berlangsungnya perjanjian bagi hasil.
Berakhirnya perjanjian bagi hasil umumnya ditentukan sepihak oleh pemilik tanah ketika pemilik
tanah merasa petani penggarap tidak jujur atau ketika pemilik tanah merasa tidak puas dengan
hasil kerja petani penggarap tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudirman, salah
Dari pernyataan informan tersebut, juga dapat dilihat bahwa hal tersebut ternyata membuat
petani penggarap mengedepankan sikap jujur dalam melakukan perjanjian bagi hasil, meskipun
faktor utama yang mendasari sikap jujur itu adalah adanya ketakutan kehilangan pekerjaan.
4.4 Proses Transparansi pada Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian di Kelurahan
Takkalasi
Dalam penelitian ini, transparansi dalam perjanjian bagi hasil usaha pertanian ditinjau dari tiga
hal, yaitu adanya transparansi mengenai kondisi objek bagi hasil, transparansi mengenai biaya-
biaya yang dikeluarkan, serta transparansi mengenai pendapatan yang diperoleh. Berikut
gambaran proses transparansi dalam proses bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi
yang diperoleh peneliti dari proses wawancara bersama beberapa informan petani penggarap :
objek bagi hasil, dalam hal ini tanah yang akan digarap, informan menyatakan tidak pernah
memperoleh informasi dari pemilik tanah mengenai kondisi tanah yang akan digarap di awal
akad atau perjanjian bagi hasil. Hal ini menyebabkan petani penggarap beberapa kali
memperoleh tanah garapan yang tidak subur dan akhirnya merugikan informan tersebut
karena biaya yang dikeluarkan lebih banyak, sedangkan hasil yang diperoleh akan lebih
sedikit. Tidak adanya transparansi dari pemilik tanah mengenai kondisi tanah miliknya
kemungkinan disebabkan karena pemilik tanah takut jika tidak ada penggarap tanah yang
mau menggarap tanah miliknya tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudirman,
informan yang berprofesi sebagai petani penggarap, “saya pernah dapat tanah garapan
yang tidak subur. Jadi kalau dapat tidak subur hasil panen yang biasanya 6 ton per hektar
bisa turun menjadi 4 ton per hektar. Tidak pernah ada pemberitahuan dari pemilik tanah
sebelumnya kalau tanahnya tidak subur karena kalau dia memberi tahu di awal pasti tidak
2. Transparansi Biaya
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dalam perjanjian bagi hasil yang
bersama oleh pemilik tanah dan petani penggarap, seperti biaya bibit, biaya pupuk, serta
biaya racun hama. Total biaya yang ditanggung bersama tersebut sangat penting untuk
diketahui oleh pemilik tanah, karena biaya tersebut akan mempengaruhi jumlah hasil tani
atau gabah yang akan dibagihasilkan. Oleh karenanya transparansi di antara kedua belah
Namun, perjanjian bagi hasil yang diterapkan oleh masyarakat di Kelurahan Takkalasi
merupakan perjanjian bagi hasil yang masih terpengaruh adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat. Bagi hasil yang dilakukan hanya didasarkan atas rasa percaya
antara pihak pemilik tanah dan pihak petani penggarap, sehingga proses transparansi
mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses bertani sangat jarang dilakukan. Hal
ini ditunjukkan dengan tidak adanya penyampaian bukti fisik berupa nota pembelian dari
3. Transparansi Pendapatan
perjanjian bagi hasil usaha pertanian di Kelurahan Takkalasi umumnya berupa hasil tani atau
gabah. Pada saat proses panen, petani penggarap biasanya akan memanggil pemilik tanah
untuk menyaksikan langsung proses panen dan pembagian hasil panen yang diperoleh.
Dengan demikian pemilik tanah bisa langsung mengetahui berapa jumlah gabah yang
dipanen serta berapa jumlah gabah yang akan ia peroleh dari proses bagi hasil. Jika pemilik
tinggal di luar daerah dan tidak sempat menyaksikan langsung proses panen serta proses
bagi hasil, maka biasanya pemilik tanah mempercayakan penuh hasil panennya kepada
penggarap. Penggarap biasanya hanya memperlihatkan catatan yang ditulis oleh penggarap
sendiri mengenai total hasil panen yang diperoleh serta dibagihasilkan, sebagaimana yang
diungkapkan Hamzah, salah seorang informan yang bekerja sebagai petani penggarap,
“Kami juga biasanya memanggil mereka saat akan panen agar pemilik bisa melihat langsung
hasil taninya karena jangan sampai ada kesalahpahaman antara pemilik dan penggarap jika
hasil tani berkurang. Kalau pemiliknya tinggal di luar daerah kami menghubungi mereka
untuk menyaksikan langsung proses pembagian hasil tani, dan biasanya mereka yang
tinggal di kota datang ke sini untuk melihat hasil panen. Biasa juga ada pemilik yang
mempercayakan penuh tanahnya kepada penggarap. Kalau yang seperti itu biasanya tidak
Jumlah jam kerja petani penggarap dalam satu musim (4,5 bulan) 252 jam
Jumlah jam kerja petani penggarap dalam satu musim (4,5 bulan) 252 jam
Jumlah jam kerja menurut standar UMP dalam 4,5 bulan 720 jam
Dari perhitungan di atas, terlihat bahwa laba bersih yang diperoleh petani penggarap pada
musim hujan ternyata telah melebihi standar UMP yang ditetapkan pemerintah, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada saat musim hujan, petani telah memperoleh pendapatan yang layak.
Namun hal ini berbanding terbalik ketika musim kemarau, dimana laba bersih yang diterima
sebagai suatu sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya
keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Pentingnya prinsip
keadilan dalam Islam terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang
keadilan. Berdasarkan muatan makna adil dalam Al-Qur’an, dapat diturunkan berbagai
nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan itu sendiri yaitu adanya persamaan
2008:61).
Terkhusus pada perjanjian bagi hasil pertanian, Handayani (2013:92) dalam hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat lima elemen yang dapat menjadi ukuran
Selain itu, kebiasaan untuk bersikap jujur dan kesadaran petani penggarap juga nampaknya telah
Selain itu, pemilik tanah juga tidak pernah menuntut adanya penyampaian laporan pengeluaran
biaya dari petani penggarap. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Samsidar,
“saya tidak pernah minta catatan-catatan seperti begitu kepada penggarap karena merasa sudah
percaya. Biasanya saya hanya mengawasi penggarap ketika proses panen saja”.
Namun bagaimanapun, tujuan dari adanya pencatatan dan pelaporan biaya adalah untuk
tanah dan petani penggarap. Dengan demikian, kemungkinan adanya perselisihan atau kesalahpahaman
antara pemilik tanah dan petani penggarap dapat diminimalisir. Salah satu informan bernama Hamzah
menyatakan’
“Biasa juga terjadi itu pemilik sawah tiba-tiba “memindahkan” sawahnya ke penggrap lain.
Biasanya “dipindahkan” karena pemilik tanah tidak puas dengan hasil kerja petani atau curiga
kalau petani tidak jujur soal biaya-biaya yang dikeluarkan” (04 Maret 2018)
Pernyataan Hamzah mengindikasikan bahwa salah satu penyebab pemilik tanah menghentikan
perjanjian bagi hasi dengan petani penggarap adalah karena adanya kecurigaan dan rasa tidak percaya
terhadap petani penggarap. Petani penggarap juga tentunya tidak memiliki kemampuan untuk
meluruskan kecurigaan pemilik tanah karena tidak memiliki pencatatan serta bukti yang kuat.
Hal inilah yang disebut oleh Darwis (2016:17) sebagai penyebab utama terjadinya perselisihan
antara pemilik tanah dan petani penggarap. Darwis (2016:18) mengungkapkan, terjadinya perselisihan
pada kegiatan pertanian khususnya bagi petani penggarap dan pemilik tanah, pada umumnya
disebabkan atas adanya mosi tidak percaya pada petani penggarap terutama berkenaan dengan biaya
yang dibutuhkan dalam pengurusan kebun serta hasil produksi pertanian yang diperoleh dalam setiap
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang dipaparkan oleh Handayani
(2013:93) terkait tidak adanya transparansi biaya yang dilakukan oleh petani penggarap kepada pemilik
tanah di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan perjanjian antara tuan tanah dan
petani penggarap hanya dilandasi sistem kepercayaan sehingga keperluan pencatatan dan pelaporan
tidak dilaksanakan yang berakibat pada sikap tuan tanah yang menerima begitu saja nilai nominal biaya
yang dilaporkan petani penggarap secara lisan dan mengandalkan ingatan semata.
Petani penggarap di Kelurahan Takkalasi sesungguhnya merasakan bahwa biaya yang
dikeluarkan cenderung lebih besar dari pendapatan yang mereka terima sebagai petani
penggarap. Hal ini tergambar dari pernyataan yang diungkapkan oleh Sudirman
“Kalau dihitung-hitung sebenarnya tidak banyak penghasilan yang bisa didapat dari
menggarap sawah karena kebanyakan biayanya penggarap yang tanggung. Apalagi
biasanya kalau habis panen, uangnya langsung dipakai membayar utang yang
digunakan untuk membeli bibit, pupuk, dan racun”
Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan perhitungan laba bersih yang diterima oleh
penggarap setiap bulan untuk mengetahui berapa hasil bersih yang dapat diperoleh petani
juga menganalisis lebih lanjut pendapatan yang diterima oleh pemilik tanah dari bagi hasil
usaha pertanian. Ketika pemilik tanah memutuskan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil
dengan petani penggarap, berarti pemilik tanah telah berinvestasi sebesar harga tanah saat itu,
dengan menerima return berupa pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil usaha pertanian.
Dalam menilai pendapatan bagi hasil pemilik tanah, peneliti melakukan analisis perbandingan
antara pendapatan yang diperoleh pemilik tanah jika pemilik tanah memilih untuk menginvestasikan
uangnya dalam sistem bagi hasil usaha pertanian, dengan pendapatan yang bisa diperoleh pemilik tanah
jika pemiik tanah memilih untuk menginvestasikan uangnya di salah satu produkinvestasi berbasis
syariah.
Dalam analisis ini, peneliti menggunakan instrumen sukuk ritel. Sukuk ritel merupakan surat
berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap Aset Surat Berharga Syariah Negara, yang dijual kepada individu (ritel) atau perseorangan
warga negara Indonesia melalui agen penjual, dengan volume minimum yang ditentukan. Pada tanggal
22 Februari 2018, pemerintah kembali mengeluarkan Sukuk Ritel seri SR-10 tahun 2018 sebagai salah
satu produk investasi syariah, dengan imbalan sebesar 5,9% per tahun (kemenkeu.go.id, diakses tanggal
17 April 2018)
Alasan peneliti memilih sukuk ritel sebagai instrumen investasi pembanding dikarenakan sukuk
ritel merupakan salah satu produk investasi syariah yang terjangkau dengan investasi minimum sebesar
Rp5.000.000,-, selain itu prosedur berinvestasi melalui sukuk ritel juga sangat mudah sehingga sangat
memungkinkan masyarakat umum untuk turut berpartisipasi dalam investasi melalui sukuk ritel. Berikut
perbandingan pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika berinvestasi pada bagi hasil usaha
pertanian, dengan pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika berinvestasi pada sukuk ritel.
Salah satu informan bernama Nurmang yang merupakan pemilik tanah, menyebutkan,
“Harga tanah kalau di daerah ini umumnya sekitar Rp500.000.000 per hektar. Saya baru-baru
beli tanah, kurang lebih harganya segitu” (04 Maret 2018)
Dari pernyataan tersebut, diketahui bahwa pemilik tanah menginvestikan dana sebesar Rp500.000.000,-
untuk berinvestasi dalam sistem bagi hasil usaha pertanian. Dengan investasi sebesar Rp500.000.000,
pemilik tanah dapat memperoleh return sebesar Rp12.790.000, per tahun dengan rincian sebagai
berikut.
Ketika musim hujan jumlah bersih hasil tani yang diperoleh petani penggarap setelah dikurangi
dengan biaya jasa oto passangki dan biaya-biaya yang ditanggung bersama dengan petani penggarap
adalah sebanyak 26 karung atau 2600 kg. Jika dijual, maka pemilik tanah dapat memperoleh pendapatan
sebesar:
Jadi total laba bersih yang diperoleh petani adalah sebagai berikut :
Dikurangi :
Dari hasil perbandingan investasi pada bagi hasil usaha pertanian dengan investasi pada sukuk
ritel, diperoleh hasil bahwa tingkat pengembalian investasi pada sukuk ritel lebih besar dibandingkan
dengan tingkat pengembalian pada bagi hasil usaha pertanian. Dari hasil tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa investasi pada bagi hasil usaha pertanian rupanya masih kurang menguntungkan