TINJAUAN PUSTAKA
6
7
objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek
inilah akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin
banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan menumbuhkan sikap makin
positif terhadap objek tersebut (Riyanto, 2013).
2.1.5.2 Informasi/Media Massa
Informasi adalah adalah suatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang
menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu, informasi juga dapat
didefinisikan sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan informasi dengan
tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi Informasi). Informasi yang diperoleh baik
dari pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek
(immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacam-macam media massa yang
dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sehingga sarana
komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah,
dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan
orang. Penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa juga membawa
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Riyanto, 2013).
2.1.5.3 Pekerjaan
Seseorang yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik,
terhadap berbagai informasi, termasuk kesehatan (Riyanto, 2013).
2.1.5.4 Sosial, budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan orang-orang tidak melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian, seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang
(Riyanto, 2013).
11
2.1.5.5 Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan
fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi
karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan direspon sebagai
pengetahuan oleh setiap individu (Riyanto, 2013).
2.1.5.6 Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh
dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam
bekerja yang dikembangkan akan memberikan pengetahuan dan keterampilan
profesional, serta dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang
merupakan manisfestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak
dari masalah nyata dalam bidang kerja (Riyanto, 2013).
2.1.5.7 Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,
individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih
banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia
tua. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan
hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya
perkembangan selama hidup adalah sebagai berikut:
1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai sema
2) kin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan.
3) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena
telah mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat diperkirakan IQ
akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa
kemampuan yang lain, seperti kosa kata dan pengetahuan umum.
4) Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat
sejalan dengan bertambahnya usia (Riyanto, 2013).
12
tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup
Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat
pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah
masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya (supartini, 2012).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2012).
2.2.2 Tahapan-Tahapan Balita
Menurut Kurniasih (2012) balita dibagi menjadi beberapa tahapan
perkembangan dan setiap perkembangan balita mempunyai beberapa masalah yaitu :
2.2.2.1 Balita (1-3 tahun)
Sulit makan mulai setelah balita mengenal dan mempelajari makanan baru atau
orang tua yang terburu-buru mengharapkan balita bisa makan sesuai yang diharapkan.
Adanya ganguan perhatian dari lingkungan menjadi penyabab utama balita malas
makan, pada usia ini anak mulai menaruh minat yang besar terhadap lingkungannya,
apalagi secara fisiologis anak sudah berjalan dan cepat mengembangkan kemampuan
motoriknya yaitu lebih menyukai jalan-jalan diri pada disuruh berhenti dulu untuk
makan. Sedangkan anak pada usia dua tahun lebih menyukai bermain dengan balok
kayunya daripada disuruh benhenti dulu untuk makan
2.2.2.2 Pra sekolah (3-5 tahun)
Mengembangkan keterampilan sosial menjadi ciri khas pada anak usia pra
sekolah karena umumnya anak sudah masuk taman bermain atau taman kanak-kanak.
Akibat pergaulan dan ditambah dengan lemampuan menyerap informasi yang cepat,
membuat anak mulai mengenal jajanan seperti cemilan dikantin. Akibatnya anak akan
kehilangan selera pada saat makanan utama sehingga anak menjadi sulit makan dan
pemilih.
2.2.3 Perkembangan Balita
Frankenburg (2013) dikutip dari Soetjiningsih 1987 melalui DDST (Denver
Developmental Screening Test) mengemukakan 4 parameter perkembangan yang
dipakai dalam menilai perkembangan balita yaitu:
14
zat gizi yang diperlukan tubuh dan faktor yang menentukan besarnya kebutuhan,
penyerapan, dan penggunaan zat-zat tersebut.
Kebutuhan bahan makanan pada setiap individu berbeda karena adanya variasi
genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses metabolisme. Sasaran yang
dituju yaitu pertumbuhan yang optimal tanpa disertai oleh keadaan defisiensi gizi.
Status gizi yang baik akan turut berperan dalam pencegahan terjadinya berbagai
penyakit, khususnya penyakit infeksi dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak
yang optimal. (Triaswulan, 2012).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi
makanan dan pengguanan zat-zat gizi dalam tubuh. Tubuh yang memperoleh cukup
zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan mencapai status gizi yang optimal.
Defisiensi zat mikro seperti vitamin dan mineral memberi dampak pada penurunan
status gizi dalam waktu yang lama (Soekirman, 2012).
2.3.2 Zat Gizi yang Diperlukan Anak Balita
2.3.2.1 Energi
Energi dalam makanan berasal dari nutrisi karbohidrat, protein, dan lemak.
Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori dan 13 karbohidrat 4 kalori.
Distribusi kalori dalam makanan anak yang dalam keseimbangan diet (balanced diet)
ialah 15% berasal dari protein, 35% dari lemak dan 50% dari karbohidrat. Kelebihan
energi yang tetap setiap hari sebanyak 500 kalori, dapat menyebabkan kenaikan berat
badan 500 gram dalam seminggu (Soekirman, 2012).
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi Untuk Anak Balita
mempunyai nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan protein nabati. Protein
telur dan protein susu biasanya dipakai sebagai standar untuk nilai gizi protein.
Nilai gizi protein nabati ditentukan oleh asam amino yang kurang (asam amino
pembatas), misalnya protein kacang-kacangan. Nilai protein dalam makanan orang
Indonesia sehari-hari umumnya diperkirakan 60% dari pada nilai gizi protein telur
(Soekirman, 2012).
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Protein Anak Balita (gr/kgBB sehari)
Umur (tahun) Gram / hari
1 1,27
2 1,19
3 1,12
4 1,06
5 1,01
Sumber: Soekirman (2012)
2.3.2.3 Lemak
Lemak merupakan komponen struktural dari semua sel-sel tubuh, yang
dibutuhkan oleh ratusan bahkan ribuan fungsi fisiologis tubuh (McGuire & Beerman,
2011). Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid dan sterol yang masing-masing
mempunyai fungsi khusus bagi kesehatan manusia. Sebagian besar (99%) lemak tubuh
adalah trigliserida. Trigliserida terdiri dari gliserol dan asam-asam lemak. Disamping
mensuplai energi, lemak terutama trigliserida, berfungsi menyediakan cadangan energi
tubuh, isolator, pelindung organ dan menyediakan asam-asam lemak esensial
(Soekirman, 2012).
Tabel 2.3. Tingkat Kecukupan Lemak Anak Balita
Umur Gram
0-5 bulan 31
6-11 bulan 36
1-3 tahun 44
4-6 tahun 62
Sumber : Hardinsyah, 2012
2.3.2.4 Vitamin dan Mineral
Pada dasarnya dalam ilmu gizi, nutrisi atau yang lebih dikenal dengan zat gizi
dibagi menjadi 2 macam, yaitu makronutrisi dan mikronutrisi. Makronutrisi terdiri dari
protein, lemak, karbohidrat dan beberapa mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah
yang besar. Sedangkan mikronutrisi (mikronutrient) adalah nutrisi yang diperlukan
17
tubuh dalam jumlah sangat sedikit (dalam ukuran miligram sampai mikrogram), seperti
vitamin dan mineral.
Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sangat kecil. Vitamin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu vitamin yang larut dalam air
(vitamin B dan C) dan vitamin yang tidak larut dalam air (vitamin A, D, E dan K).
Satuan untuk vitamin yang larut dalam lemak dikenal dengan Satuan Internasional (S.I)
atau I.U (International Unit). Sedangkan yang larut dalam air maka berbagai vitamin
dapat diukur dengan satuan milligram atau mikrogram.
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam
pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh
secara keseluruhan, berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai
kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim (Soekirman, 2012).
Tabel 2.4. Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Anak Balita
Umur Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin A Vitamin C
(mg) (mg) (mg) (RE) (mg)
0-5 bulan 200 100 0,5 375 40
6-11 bulan 400 225 7 400 40
1-3 tahun 500 500 400 8 400 40
4-6 tahun 500 400 9 450 45
Sumber : Hardinsyah, 2012
2.3.3 Angka Kecukupan Gizi
Angka kecukupan gizi (AKG) adalah jumlah zat-zat gizi yang hendaknya
dikonsumsi setiap hari untuk jangka waktu tertentu sebagai bagian dari diet normal
rata-rata orang sehat (Soekirman, 2012). Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran
apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas, berat badan dan
tinggi badan, genetika serta keadaan hamil dan menyusui. Anjuran kecukupan gizi
adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada
umumnya. Kecukupan energi bayi dan balita relatif lebih besar dibandingkan dengan
orang dewasa sebab pada usia tersebut pertumbuhan masih sangat pesat. Disini juga
tampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perempuan dan laki-laki
dalam hal kebutuhan energi dan proteinnya. Kegunaan angka kecukupan gizi adalah
untuk:
18
1. Menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi makanan bagi
penduduk atau golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survey
gizi atau makanan.
2. Perencanaan pemberian makanan tambahan balita maupun perencanaan makanan
institusi.
3. Perencanaan penyediaan pangan tingkat nasional. Kekurangan salah satu zat gizi
dapat menimbulkan konsekuensi berupa penyakit ataupun bila kekurangan hanya
marginal atau ringan dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau
menurunnya kemampuan fungsi. Bila kekurangan tersebut hanya marginal saja,
tidak dijumpai penyakit defisiensi yang nyata, tetapi akan timbul konsekuensi
fungsional yang lebih ringan dan kadang-kadang tidak disadari kalau hal tersebut
karena faktor gizi (Soekirman, 2012).
2.3.4 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita
Faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi status gizi adalah
asupan makanan dan penyakit infeksi. Berbagai faktor yang melatarbelakangi kedua
faktor tersebut misalnya faktor ekonomi dan keluarga (Soekirman, 2012).
1. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara perorangan merupakan
cara pengamatan langsung yang dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk
menurut daerah, golongan sosial ekonomi dan sosial budaya. Konsumsi pangan
lebih sering digunakan sebagai salah satu teknik untuk memajukan tingkat keadaan
gizi.
Penyebab masalah gizi yang pokok di tempat paling sedikit dua pertiga dunia
adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan, dan
kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan
dalam keluarga. Tidak tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi terus
menerus akan menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi (Winarto, 2002).
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat karena tidak cukup makan dalam
jangka waktu tertentu. Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara
kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak yang makanannya
tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan mudah terserang infeksi
(Winarto, 2010).
19
2. Infeksi
Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling
mempengaruhi. Dengan infeksi, nafsu makan anak mulai menurun dan
mengurangi konsumsi makanannya, sehingga berakibat berkurangnya zat gizi ke
dalam tubuh anak. Dampak infeksi yang lain adalah muntah dan mengakibatkan
kehilangan zat gizi. Infeksi yang menyebabkan diare pada anak mengakibatkan
cairan dan zat gizi di dalam tubuh berkurang. Kadang-kadang orang tua juga
melakukan pembatasan makan akibat infeksi yang diderita dan menyebabkan
asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila berlanjut lama mengakibatkan
terjadinya gizi buruk.
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di
negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi
pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah
dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare
menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya
anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit dari pada
biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal
kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap
episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya
berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat.
Diare secara epidemiologik didefinisikan sebagai keluarnya tinja yang lunak atau
cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinik ada tiga macam sindroma
diare.
Selain diare, Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) juga merupakan salah
satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala
penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas,
tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari
300 jenis bakteri, virus dan rickettsia. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai
salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang
signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan
(Depkes RI, 2010).
20
3. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan tentang gizi adalah kepandaian memilih makanan yang
merupakan sumber zat-zat gizi dan kepandaian dalam mengolah bahan makanan.
Status gizi yang baik penting bagi kesehatan setiap orang, termasuk ibu hamil, ibu
menyusui dan anaknya. Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting
dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik sehingga dapat
mencapai keadaan gizi yang seimbang.
4. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan yang akan dibeli.
Pendapatan merupakan faktor yang penting untuk menetukan kualitas dan
kuantitas makanan, maka erat hubungannya dengan gizi. Keluarga dengan
pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan
makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anggota keluarganya.
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor
yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin
tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk
membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Parsiki, 2013).
Pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama dalam dalam diet dan
status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan dan
kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan
pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2013).
Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka
yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan
sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber
karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani
dan produk sayuran (Soekirman, 2010).
Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan
kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi
warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan
anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan. Besarnya pendapatan
yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari.
Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam
21
kejadian buta senja epidemik, cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap
(Soekirman, 2012).
2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
(1) Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
(2) Statistik vital merupakan pengukuran dengan menganalisis data beberapa
statistik kesehatan seperti angka kematian bedasarkan umur, angka kesakitan
dan kematian akibat penyebab tertentu.
(3) Faktor ekologi digunakan untuk mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan
masalah ekologi sebagai hasil interkasi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya.
2.3.6 Status Gizi Bedasarkan Antropometri
Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah
antropometri gizi. Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi
anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi.
Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran
tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di
bawah kulit.
Keunggulan antropometri antara lain alat yang digunakan mudah didapatkan dan
digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif,
biaya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, dan secara ilmiah diakui
keberadaannya (Soekirman, 2012).
1. Parameter Antropometri
Menurut Soekirman (2012) menyatakan bahwa antropometri sebagai
indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter.
Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain:
1) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penetuan status gizi. Kesalahan penentuan
umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil
24
pengukuran inggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila
tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.
2) Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering
digunakan pada bayi baru lahir (neonates). Pada masa bayi-balita, berat badan
dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi.
Berat badan merupakan pilihan utama karena parameter yang paling baik,
mudah dipakai, mudah dimengerti, memberikan gambaran konsumsi energi
terutama dari karbohidrat dan lemak. Alat yang dapat memenuhi persyaratan
dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan
anak balita adalah dacin (Supariasa, 2012).
3) Tinggi badan
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu
dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu
tinggi badan merupakan ukuran kedua terpenting, karena dengan
menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan, faktor umur dapat
dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat
berdiri dilakukan dengan alat pengukuran tinggi mikrotoa (microtoise) yang
mempunyai ketelitian 0,1.
2. Indeks Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB).
1) Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan
merupakan parameter antopometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
25
Tabel 2.5. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
kontinu setiap bulan sesuai lengkungan grafik pada KMS dan berada pada pita
warna hijau, maka anak tersebut pasti sehat. Lebih-lebih kalau anak tersebut
menunjukkan perkembangan mental yang normal. Untuk diagnosis obesitas harus
ditemukan gejala klinis obesitas dan disokong dengan pemeriksaan antropometri
yang jauh di atas normal. Pemeriksaan ini yang sering digunakan adalah BB
terhadap tinggi badan, BB terhadap umur dan tebalnya lipatan kulit. Bentuk muka
anak yang status gizi lebih atau obesitas tidak proporsional, yaitu hidung dan mulut
relatif kecil, dagu ganda, dan biasanya anak lebih cepat mencapai masa pubertas
(Supariasa, 2013).
2. Status Gizi Baik
Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai dengan adanya
penggunaan untuk aktivitas tubuh. Hal ini diwujudkan dengan adanya keselarasan
antara, tinggi badan terhadap umur, Berat badan terhadap umur dan tinggi badan
terhadap berat badan. Menurut Achmad Djaeni S (2000) menyatakan tingkat gizi
sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan tercapainya kesehatan gizi
sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan tercapainya kesehatan
tersebut. Tingkat kesehatan gizi yang baik ialah kesehatan gizi optimum. Dalam
kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat gizi tersebut. Tubuh terbebas dari
penyakit dan mempunyai daya tahan setinggi-tingginya. Anak yang status gizi baik
dapat tumbuh dan kembang secara normal dengan bertambahnya usia. Tumbuh
atau pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam hal besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan
ukuran berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Sedangkan
perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam stuktur dan fungsi tubuh
yang komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari
proses pematangan (Soetjiningsih, 2008).
3. Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk
Status gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa
macam zat gizi yang diperlukan. Hal yang menyebabkan status gizi kurang karena
kekurangan zat gizi yang dikonsumsi atau mungkin mutunya rendah. Gizi kurang
pada dasarnya adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang
29
diperoleh dari makanan. Kurang gizi banyak menimpa anak khususnya anak balita
yang berusia di bawah lima tahun karena merupakan golongan yang rentan serta
pada fase ini kebutuhan tubuh akan zat gizi meningkat karena selain untuk tumbuh
juga untuk perkembangan sehingga apabila anak kurang gizi dapat menimbulkan
berbagai penyakit. Akibat status gizi kurang adalah Kekurangan Energi Protein
(KEP), Anemia Defisiensi Zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY) dan Kekurangan Vitamin A (KVA).
aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun minyak.
Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah mereka hirup sehari-hari, sehingga
banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari
bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon,
Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes
RI, 2010).
2.4.5 Faktor Risiko ISPA
Faktor risiko timbulnya ISPA Menurut Marni (2014) sebagai berikut:
1. Faktor Demografi Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :
1) Jenis Kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki - lakilah yang
banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan
perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi
udara.
2) Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit ISPA.
Hal ini disebabkan banyaknya ibu rumah tangga yang memasak sambil
menggendong anaknya.
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan yang kurang di masyarakat terhadap gejala dan upaya
penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang ke pelayanan
kesehatan sudah dalam keadaan berat. Hal tersebut disebabkan oleh kurang
mengerti cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA.
2. Faktor Biologis
Menurut Marni (2014) faktor biologis terdiri dari 4 aspek yaitu:
1) Status Gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau
terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Misal dengan mengkonsumsi
makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak minum air putih, olah raga
yang teratur serta istirahat yang cukup. Tubuh yang sehat maka kekebalan
32
tubuh akan semakin menigkat, sehingga dapat mencegah virus ( bakteri) yang
akan masuk dalam tubuh.
2) Berat Badan Lahir
Riwayat Berat Badan Lahir merupakan keadaan berat badan ketika lahir,
yang diukur sesaat setelah dilahirkan. Berdasarkan Suyami dam Sunyoto
(2004), Riwayat Berat Badan Lahir merupakan faktor yang mempengaruhi
system kekebalan tubuh. Pada balita dengan riwayat BBLR yaitu berat badan
kurang dari 2500 gram pada saat lahir, menyebabkan system kekebalan tubuh
belum sempurna, sehingga daya tahan tubuhnya rendah. Hal ini menyebabkan
anak rentan dan mudah terserang penyakit infeksi. Sesuai dengan penelitian
Sugihartono dan Nurjazuli (2012), bahwa bayi lahir dengan berat badan rendah
mempunyai resiko menderita ISPA lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang lahir dengan berat badan normal.
3) Pemberian Air Susu Ibu
Berbagai penelitian telah mengkaji manfaat pemberian Air Susu Ibu
(ASI) ekslusif dalam hal menurunkan mortalitas bayi, menurunkan morbiditas
melalui imunitas alami bayi, mengoptimalkan pertumbuhan bayi, membantu
perkembangan kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang jarak
kehamilan bagi ibu (Fikawati et al, 2010).
4) Status Imunisasi
Imunisasi adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dilemahkan
atau dihilangkan virulensinya. Vaksin imunisasi merangsang kekebalan,
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Status
Imunisasi balita menggambarkan riwayat pemberian vaksin imunisasi pada
balita sesuai dengan usia balita dan waktu pemberian. Berdasarkan Depkes
(2008), jadwal imunisasi ditabulasikan sebagai berikut:
33
2) Keberadaan Perokok
Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat menimbulkan asap yang
tidak hanya dihisap oleh perokok, taetapi juga dihisap oleh orang yang ada
disekitarnya termasuk anak-anak. Satu batang rokok yang dibakar anak
mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon
monoksida, nitrogen oksida, hydrogen cianida, ammonia, akrolein, acetilen,
benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol,
ortcresorperyline dan lainnya, sehingga paparan asap rokok dapat
mengingkatkan risiko kesakitan pernafasan khususnya pada anak berusia
kurang dari 2 tahun. Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap
mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap
slidestrea. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap slidestream dan asap
mainstream yang sudah teekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap
tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan
perokok pasif atau perokok terpaksa. Terdapat seorang perokok atau lebih
dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit,
seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit
angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan
ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang oran tuanya perokok lebih
mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan
penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok
merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di
jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di
paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara.
2.4.6 Tanda dan Gejala ISPA
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa,
kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare
(Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut
cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan
35
bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan
dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan
mengakibatkan kematian. (Nelson, 2013). Sedangkan tanda gejala ISPA menurut
Depkes RI (2012) adalah:
1. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Batuk
2) Serak
3) Pilek
4) Panas
2. Gejala dari ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun
atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah
tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.
2) Suhu lebih dari 390C
3) Tenggorokan berwarna merah
4) Timbul bercak-bercak merah di kulit menyerupai bercak campak
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur
7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut
3. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
1) Bibir atau kulit kebiruan
2) Lubang hidung kembang kempis pada waktu bernafas
3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
4) Pernafasan berbunyi dana anak tampak gelisah
36
untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju
anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop
penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklassifikasi.
2) Pengobatan
(1) Klasifikasi ISPA dibagi menjadi 3 kategori dan intervensi dari ketiga
kategori ISPA berbeda-beda yaitu salah satunya ISPA berat.
Penatalaksanaan ISPA berat yaitu dirawat di rumah sakit, diberikan
antibiotik parenteral, oksigen dan sebagainya.
(2) Selain ISPA berat ISPA sedang pun memiliki penatalaksanaan tersendiri.
Penatalaksanaan ISPA sedang yaitu diberi obat antibiotik kotrimoksasol
peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata
dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat
dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin
prokain.
(3) Menurut Depkes RI tahun 2012 Penatalaksanaan ISPA ringan yaitu tanpa
pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk
dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan
antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan
didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah
bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
3) Istirahat yang Cukup
Anak yang mempunyai penyakit febrile akut seharusnya mendapat
tempat tidur istirahat. Ini biasanya tidak sulit untuk suhu yang ditinggikan
tetapi menjadi sulit ketika anak merasa baik. Sering anak banyak mengeluh
dengan tempat istirahat ketika mereka diijinkan untuk berbohong untuk
sesuatu agar mereka dapat menonton TV atau aktifitas lain secara diam-diam.
Jika anak protes, diijinkan mereka untuk bermain secara diam-diam untuk
mencapai istirahat lebih baik dari pada membuat mereka menangis melampui
batas tempat tidur.
38
4) Mengembangkan Kenyamanan
Anak yang lebih tua biasanya mampu untuk mengatur keluarnya bunyi
sengau dengan kesulitan yang kecil. Orang tua memerintahkan untuk
membenarkan mengelola obat tetes hidung dan irigasi kerongkongan jika
dipesan. Untuk setiap anak muda, yang normalnya melewati hidung, pengisap
sengau bayi atau alat pembersih telinga berbentuk syringe yang menolong
berpindahnya keluaran sengau sebelum memberinya. Praktek ini diijinkan
dengan membangkitkan obat tetes hidung yang dapat membersihkan sengau
dan mendukung pemberiannya. Obat tetes hidung dapat disiapkan di rumah
dengan membuat 1 sendok teh garam kedalam 1 takaran air panas.
5) Menurunkan Suhu
Jika anak mempunyai suhu tinggi yang signifikan, mengatur demam
sangat tinggi. Orang tua mengetahui cara merawat suhu anak dan membaca
thermometer dengan akurat.
6) Pencegahan Penyebaran Infeksi
Berhati-hati dalam mencuci tangan dengan melakukan ketika merawat
anak yang terinfeksi pernafasan. Anak dan keluargamengajarkan untuk
menggunakan tisu atau tangannya untuk menutup hidung dan mulutnya ketika
mereka batuk/bersin dan mengatur tisu dengan pantas seperti sebaiknya
mencuci tangannya. Penggunaan tisu dapat saja dibuang ke bak sampah dan
tisu dianjurkan mengakumulasi ke tumpukan, anak yang terinfeksi pernafasan
tidak berbagi cangkir minuman, baju cuci/handuk.
7) Mengembangkan Hidrasi
Dehidrasi terutama ketika muntah atau diare. Cukupnya cairan yang
diterima mendorong yang berlebihan jumlah cairan pada frekuensi. Cairan
tinggi kalori seperti colas, jus buah air pewarna dan pemanis pada jagung
mencegah katabolisme dan dehidrasi terapi akan mencegah diare yang muncul.
8) Pemenuhan Nutrisi
Hilangnya nafsu makan adalah karakter anak yang terinfeksi akut dan
pada banyak kasus anak diijinkan untuk menentukan miliknya yang
dibutuhkan untuk makan.
39
6
47
Kejadian ISPA:
1. Faktor Demografi Faktor demografi
Tingkat Pengetahuan Ibu Balita:
terdiri dari 3 aspek yaitu :
1. Tahu
1) Jenis Kelamin
2. Memahami tentang Status
2) Usia
Gizi Balita:
3) Pendidikan
1) Status Gizi Lebih
2. Faktor Biologis
2) Status Gizi Baik
1) Status Gizi
3) Status Gizi Kurang
2) Berat Badan Lahir
4) Status Gizi Buruk
3) Pemberian Air Susu Ibu
4) Status Imunisasi
3. Aplikasi 3. Faktor Polusi
4. Analisis 1) Keberadaan Asap Dapur
5. Sintesis 2) Keberadaan Perokok
6. Evaluasi
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak Diteliti
: Berpengaruh
: Hubungan
Bagan 2.1 Kerangka konseptual Hubungan Tingkat Ibu Balita tentang Status
Gizi Balita dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja UPT Puskesmas
Kayon Palangka Raya
48