Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Pengetahuan


2.1.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang atau overt behavior (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu/mengetahui dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagian besar
pengetahuan masyarakat atau manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Berdasarkan
pengalaman dan penelitian bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Maryam, 2015).
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang (Riyanto, 2013).
2.1.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), Kholid (2012) dan Maryam (2015), tingkat
pengetahuan seseorang terdiri dari enam tingkatan, yaitu:
2.1.2.1 Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, terasuk mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsang yang diterima (Kholid, 2012). Oleh sebab
itu, tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan dan menyatakan (Maryam, 2015).
2.1.2.2 Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan dan menyebutkan (Notoatmodjo, 2007).

6
7

2.1.2.3 Aplikasi (Application)


Aplikasi diartikan sebagai pengetahuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam kontak atau
situasi yang lain (Maryam, 2015).
2.1.2.4 Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek
di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu dengan yang lainnya.
Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggunakan, menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya (Kholid, 2012).
2.1.2.5 Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
kata lain sintesis ini suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang telah ada. Sintesis dapat digunakan untuk merencanakan, meringkas,
menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2.6 Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang telah
ada (Kholid, 2012).
2.1.3 Jenis Pengetahuan
Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks kesehatan sangat
beraneka-ragam. Pengetahuan merupakan bagian perilaku kesehatan. Jenis
pengetahuan diantaranya sebagai berikut:
2.1.3.1 Pengetahuan implisit
Pengetahuan implisit adalan pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk
pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata, seperti
keyakinan pribadi, persfektif, dan prinsip. Biasanya pengalaman seseorang sulit untuk
ditransfer ke orang lain baik secara tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering
kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak disadari. Contoh seseorang
mengetahui tentang bahaya merokok bagi kesehatan, namun ternyata ia merokok.
8

2.1.3.2 Pengetahuan eksplisit


Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan atau
tersimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan
nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Contoh seseorang yang telah mengetahui bahaya merokok bagi kesehatan dan ia tidak
merokok (Riyanto, 2013).
2.1.4 Cara-Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Kholid (2012), dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu:
2.1.4.1 Cara tradisional atau non ilmiah
Cara tradisional atau non ilmiah dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum ditemukannya metode penemuan secara statistik dan logis.
Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain:
1. Cara coba salah (trial and error)
Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan dan
apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, maka akan dicoba dengan
kemungkinan yang lain (Kholid, 2012). Dan cara coba salah ini dilakukan dengan
menggunakan berbagai kemungkinan dalam memecahkan masalah hingga
masalah tersebut dapat dipecahkan (Maryam, 2015).
2. Cara kekuasaan atau otoritas
Prinsip dari cara ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh
orang yang mempunyai aktivitas tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan
kebenaran, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri
(Kholid, 2012). Sumber pengetahuan dengan cara ini didapat dari pemimpin.
Prinsip cara ini adalah orang lain atau rakyat menerima pendapat yang
dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji
atau membuktikan kebenarannya (Maryam, 2015).
9

3. Berdasarkan pengalaman pribadi


Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau merupakan suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang
kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan pada masa
yang lalu. Tetapi tidak semua pengalaman pribadi dapat menentukan seseorang
untuk menarik kesimpulan dari pengalaman dengan benar diperlukan berpikir
kritis dan logis (Kholid, 2012).
4. Melalui jalan pikiran
Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan
pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi adalah proses
pembuatan kesimpulan melalui pernyataan-pernyataan khusus pada umum.
Deduksi adalah proses pembuatan kesimpulaan dari pernyataan umum ke khusus
(Kholid, 2012).
2.1.4.2 Cara modern atau ilmiah
Cara modern atau ilmiah dalam memperoleh pengetahuan pada saat ini lebih
sistematik, logis, dan ilmiah. Dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan cara
mengadakan observasi langsung dan membuat pencatatan terhadap semua fakta
sehubungan dengan objek penelitiannya (Kholid, 2012).
2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sebagai berikut:
2.1.5.1 Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam dan diluar sekolah (baik formal maupun non formal), berlangsung
seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi
pendidian seseorang semakin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan
pendidikan tinggi, maka seseorang akan semakin cenderung untuk mendapatkan
informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi
yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat mengenai kesehatan.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga
dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu
10

objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek
inilah akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin
banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan menumbuhkan sikap makin
positif terhadap objek tersebut (Riyanto, 2013).
2.1.5.2 Informasi/Media Massa
Informasi adalah adalah suatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang
menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu, informasi juga dapat
didefinisikan sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan informasi dengan
tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi Informasi). Informasi yang diperoleh baik
dari pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek
(immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacam-macam media massa yang
dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sehingga sarana
komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah,
dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan
orang. Penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa juga membawa
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Riyanto, 2013).
2.1.5.3 Pekerjaan
Seseorang yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik,
terhadap berbagai informasi, termasuk kesehatan (Riyanto, 2013).
2.1.5.4 Sosial, budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan orang-orang tidak melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian, seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang
(Riyanto, 2013).
11

2.1.5.5 Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan
fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi
karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan direspon sebagai
pengetahuan oleh setiap individu (Riyanto, 2013).
2.1.5.6 Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh
dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam
bekerja yang dikembangkan akan memberikan pengetahuan dan keterampilan
profesional, serta dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang
merupakan manisfestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak
dari masalah nyata dalam bidang kerja (Riyanto, 2013).
2.1.5.7 Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,
individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih
banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia
tua. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan
hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya
perkembangan selama hidup adalah sebagai berikut:
1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai sema
2) kin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan.
3) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena
telah mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat diperkirakan IQ
akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa
kemampuan yang lain, seperti kosa kata dan pengetahuan umum.
4) Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat
sejalan dengan bertambahnya usia (Riyanto, 2013).
12

2.1.6 Pengukuran Pengetahuan


Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden
(Notoatmodjo, 2007). Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan
kalimat pertanyaan menurut tahapan pengetahuan (Riyanto, 2013). Penilaian tingkat
pengetahuan adalah sebagai berikut:
1. Penilai
Jika benar diberi nilai 1
Jika salah diberi nilai 0
𝑆𝑝
𝑁= 𝑥100%
𝑆𝑚
Keterangan
N : Nilai pengetahuan
Sp : Jumlah nilai yang diperoleh (jawaban benar x 1)
Sm : Jumlah nilai maksimal
2. Kategori tingkat pengetahuan
1) Baik = 76 – 100%
2) Cukup = 56 – 75%
3) Kurang < 56% (Nursalam, 2008).
Menurut Skinner (2007) didalam buku Riyanto (2013) pengukuran tingkat
pengetahuan dilakukan bila seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik
secara lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang
tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut dinamakan pengetahuan.

2.2 Konsep Dasar Balita


2.2.1 Pengertian Balita
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik
pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan BB
naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun.
Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB kurang lebih 2 kg/
tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir (Soetjiningsih, 2015).
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun.
Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan kelompok usia
13

tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup
Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat
pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah
masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya (supartini, 2012).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2012).
2.2.2 Tahapan-Tahapan Balita
Menurut Kurniasih (2012) balita dibagi menjadi beberapa tahapan
perkembangan dan setiap perkembangan balita mempunyai beberapa masalah yaitu :
2.2.2.1 Balita (1-3 tahun)
Sulit makan mulai setelah balita mengenal dan mempelajari makanan baru atau
orang tua yang terburu-buru mengharapkan balita bisa makan sesuai yang diharapkan.
Adanya ganguan perhatian dari lingkungan menjadi penyabab utama balita malas
makan, pada usia ini anak mulai menaruh minat yang besar terhadap lingkungannya,
apalagi secara fisiologis anak sudah berjalan dan cepat mengembangkan kemampuan
motoriknya yaitu lebih menyukai jalan-jalan diri pada disuruh berhenti dulu untuk
makan. Sedangkan anak pada usia dua tahun lebih menyukai bermain dengan balok
kayunya daripada disuruh benhenti dulu untuk makan
2.2.2.2 Pra sekolah (3-5 tahun)
Mengembangkan keterampilan sosial menjadi ciri khas pada anak usia pra
sekolah karena umumnya anak sudah masuk taman bermain atau taman kanak-kanak.
Akibat pergaulan dan ditambah dengan lemampuan menyerap informasi yang cepat,
membuat anak mulai mengenal jajanan seperti cemilan dikantin. Akibatnya anak akan
kehilangan selera pada saat makanan utama sehingga anak menjadi sulit makan dan
pemilih.
2.2.3 Perkembangan Balita
Frankenburg (2013) dikutip dari Soetjiningsih 1987 melalui DDST (Denver
Developmental Screening Test) mengemukakan 4 parameter perkembangan yang
dipakai dalam menilai perkembangan balita yaitu:
14

2.2.3.1 Personal social (kepribadian atau tingkah laku sosial)


Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungan.
2.2.3.2 Fine Motor Adaptif (Gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan otot-
otot kecil.
2.2.3.3 Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah
dan berbicara spontan.
2.2.3.4 Gross motor (Perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
2.2.4 Tumbuh Kembang Balita
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya
senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:
1) Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha
menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2) Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak
akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam,
sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
3) Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi
keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-
lain.

2.3 Konsep Dasar Status Gizi Balita


2.3.1 Pengertian Status Gizi Balita
Status gizi diartikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan zat gizi. Status gizi sangat ditentukan oleh ketersediaan
zat gizi dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi waktu yang tepat di tingkat sel tubuh
agar berkembang dan berfungsi secara normal. Status gizi ditentukan oleh sepenuhnya
15

zat gizi yang diperlukan tubuh dan faktor yang menentukan besarnya kebutuhan,
penyerapan, dan penggunaan zat-zat tersebut.
Kebutuhan bahan makanan pada setiap individu berbeda karena adanya variasi
genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses metabolisme. Sasaran yang
dituju yaitu pertumbuhan yang optimal tanpa disertai oleh keadaan defisiensi gizi.
Status gizi yang baik akan turut berperan dalam pencegahan terjadinya berbagai
penyakit, khususnya penyakit infeksi dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak
yang optimal. (Triaswulan, 2012).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi
makanan dan pengguanan zat-zat gizi dalam tubuh. Tubuh yang memperoleh cukup
zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan mencapai status gizi yang optimal.
Defisiensi zat mikro seperti vitamin dan mineral memberi dampak pada penurunan
status gizi dalam waktu yang lama (Soekirman, 2012).
2.3.2 Zat Gizi yang Diperlukan Anak Balita
2.3.2.1 Energi
Energi dalam makanan berasal dari nutrisi karbohidrat, protein, dan lemak.
Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori dan 13 karbohidrat 4 kalori.
Distribusi kalori dalam makanan anak yang dalam keseimbangan diet (balanced diet)
ialah 15% berasal dari protein, 35% dari lemak dan 50% dari karbohidrat. Kelebihan
energi yang tetap setiap hari sebanyak 500 kalori, dapat menyebabkan kenaikan berat
badan 500 gram dalam seminggu (Soekirman, 2012).
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi Untuk Anak Balita

Golongan Umur Kecukupan Energi Kal/kg BB/hari


1 tahun 990 110
1-3 tahun 1200 100
4-5 tahun 1620 90
Sumber: Soekirman (2012)
2.3.2.2 Protein
Nilai gizi protein ditentukan oleh kadar asam amino esensial. Akan tetapi dalam
praktek sehari-hari umumnya dapat ditentukan dari asalnya. Protein hewani biasanya
16

mempunyai nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan protein nabati. Protein
telur dan protein susu biasanya dipakai sebagai standar untuk nilai gizi protein.
Nilai gizi protein nabati ditentukan oleh asam amino yang kurang (asam amino
pembatas), misalnya protein kacang-kacangan. Nilai protein dalam makanan orang
Indonesia sehari-hari umumnya diperkirakan 60% dari pada nilai gizi protein telur
(Soekirman, 2012).
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Protein Anak Balita (gr/kgBB sehari)
Umur (tahun) Gram / hari
1 1,27
2 1,19
3 1,12
4 1,06
5 1,01
Sumber: Soekirman (2012)
2.3.2.3 Lemak
Lemak merupakan komponen struktural dari semua sel-sel tubuh, yang
dibutuhkan oleh ratusan bahkan ribuan fungsi fisiologis tubuh (McGuire & Beerman,
2011). Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid dan sterol yang masing-masing
mempunyai fungsi khusus bagi kesehatan manusia. Sebagian besar (99%) lemak tubuh
adalah trigliserida. Trigliserida terdiri dari gliserol dan asam-asam lemak. Disamping
mensuplai energi, lemak terutama trigliserida, berfungsi menyediakan cadangan energi
tubuh, isolator, pelindung organ dan menyediakan asam-asam lemak esensial
(Soekirman, 2012).
Tabel 2.3. Tingkat Kecukupan Lemak Anak Balita
Umur Gram
0-5 bulan 31
6-11 bulan 36
1-3 tahun 44
4-6 tahun 62
Sumber : Hardinsyah, 2012
2.3.2.4 Vitamin dan Mineral
Pada dasarnya dalam ilmu gizi, nutrisi atau yang lebih dikenal dengan zat gizi
dibagi menjadi 2 macam, yaitu makronutrisi dan mikronutrisi. Makronutrisi terdiri dari
protein, lemak, karbohidrat dan beberapa mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah
yang besar. Sedangkan mikronutrisi (mikronutrient) adalah nutrisi yang diperlukan
17

tubuh dalam jumlah sangat sedikit (dalam ukuran miligram sampai mikrogram), seperti
vitamin dan mineral.
Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sangat kecil. Vitamin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu vitamin yang larut dalam air
(vitamin B dan C) dan vitamin yang tidak larut dalam air (vitamin A, D, E dan K).
Satuan untuk vitamin yang larut dalam lemak dikenal dengan Satuan Internasional (S.I)
atau I.U (International Unit). Sedangkan yang larut dalam air maka berbagai vitamin
dapat diukur dengan satuan milligram atau mikrogram.
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam
pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh
secara keseluruhan, berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai
kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim (Soekirman, 2012).
Tabel 2.4. Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Anak Balita
Umur Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin A Vitamin C
(mg) (mg) (mg) (RE) (mg)
0-5 bulan 200 100 0,5 375 40
6-11 bulan 400 225 7 400 40
1-3 tahun 500 500 400 8 400 40
4-6 tahun 500 400 9 450 45
Sumber : Hardinsyah, 2012
2.3.3 Angka Kecukupan Gizi
Angka kecukupan gizi (AKG) adalah jumlah zat-zat gizi yang hendaknya
dikonsumsi setiap hari untuk jangka waktu tertentu sebagai bagian dari diet normal
rata-rata orang sehat (Soekirman, 2012). Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran
apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas, berat badan dan
tinggi badan, genetika serta keadaan hamil dan menyusui. Anjuran kecukupan gizi
adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada
umumnya. Kecukupan energi bayi dan balita relatif lebih besar dibandingkan dengan
orang dewasa sebab pada usia tersebut pertumbuhan masih sangat pesat. Disini juga
tampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perempuan dan laki-laki
dalam hal kebutuhan energi dan proteinnya. Kegunaan angka kecukupan gizi adalah
untuk:
18

1. Menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi makanan bagi
penduduk atau golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survey
gizi atau makanan.
2. Perencanaan pemberian makanan tambahan balita maupun perencanaan makanan
institusi.
3. Perencanaan penyediaan pangan tingkat nasional. Kekurangan salah satu zat gizi
dapat menimbulkan konsekuensi berupa penyakit ataupun bila kekurangan hanya
marginal atau ringan dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau
menurunnya kemampuan fungsi. Bila kekurangan tersebut hanya marginal saja,
tidak dijumpai penyakit defisiensi yang nyata, tetapi akan timbul konsekuensi
fungsional yang lebih ringan dan kadang-kadang tidak disadari kalau hal tersebut
karena faktor gizi (Soekirman, 2012).
2.3.4 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita
Faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi status gizi adalah
asupan makanan dan penyakit infeksi. Berbagai faktor yang melatarbelakangi kedua
faktor tersebut misalnya faktor ekonomi dan keluarga (Soekirman, 2012).
1. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara perorangan merupakan
cara pengamatan langsung yang dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk
menurut daerah, golongan sosial ekonomi dan sosial budaya. Konsumsi pangan
lebih sering digunakan sebagai salah satu teknik untuk memajukan tingkat keadaan
gizi.
Penyebab masalah gizi yang pokok di tempat paling sedikit dua pertiga dunia
adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan, dan
kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan
dalam keluarga. Tidak tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi terus
menerus akan menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi (Winarto, 2002).
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat karena tidak cukup makan dalam
jangka waktu tertentu. Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara
kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak yang makanannya
tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan mudah terserang infeksi
(Winarto, 2010).
19

2. Infeksi
Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling
mempengaruhi. Dengan infeksi, nafsu makan anak mulai menurun dan
mengurangi konsumsi makanannya, sehingga berakibat berkurangnya zat gizi ke
dalam tubuh anak. Dampak infeksi yang lain adalah muntah dan mengakibatkan
kehilangan zat gizi. Infeksi yang menyebabkan diare pada anak mengakibatkan
cairan dan zat gizi di dalam tubuh berkurang. Kadang-kadang orang tua juga
melakukan pembatasan makan akibat infeksi yang diderita dan menyebabkan
asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila berlanjut lama mengakibatkan
terjadinya gizi buruk.
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di
negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi
pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah
dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare
menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya
anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit dari pada
biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal
kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap
episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya
berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat.
Diare secara epidemiologik didefinisikan sebagai keluarnya tinja yang lunak atau
cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinik ada tiga macam sindroma
diare.
Selain diare, Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) juga merupakan salah
satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala
penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas,
tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari
300 jenis bakteri, virus dan rickettsia. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai
salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang
signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan
(Depkes RI, 2010).
20

3. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan tentang gizi adalah kepandaian memilih makanan yang
merupakan sumber zat-zat gizi dan kepandaian dalam mengolah bahan makanan.
Status gizi yang baik penting bagi kesehatan setiap orang, termasuk ibu hamil, ibu
menyusui dan anaknya. Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting
dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik sehingga dapat
mencapai keadaan gizi yang seimbang.
4. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan yang akan dibeli.
Pendapatan merupakan faktor yang penting untuk menetukan kualitas dan
kuantitas makanan, maka erat hubungannya dengan gizi. Keluarga dengan
pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan
makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anggota keluarganya.
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor
yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin
tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk
membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Parsiki, 2013).
Pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama dalam dalam diet dan
status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan dan
kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan
pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2013).
Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka
yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan
sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber
karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani
dan produk sayuran (Soekirman, 2010).
Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan
kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi
warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan
anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan. Besarnya pendapatan
yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari.
Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam
21

pemenuhan kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga


termasuk dalam perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2014).
5. Besar Keluarga
Besar keluarga atau banyaknya anggota keluarga berhubungan erat dengan
distribusi dalam jumlah ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga.
Keberhasilan penyelenggaraan pangan dalam satu keluarga akan mempengaruhi
status gizi keluarga tersebut. Besarnya keluarga akan menentukan besar jumlah
makanan yang dikonsumsi untuk tiap anggota keluarga. Semakin besar jumlah
anggota keluarga maka semakin sedikit jumlah konsumsi gizi atau makanan yang
didapatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam jumlah penyediaa
makanan yang sama (Supariasa, 2012).
6. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Dasar
Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap pelayanan
kesehatan dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh berbgai kegiatan perbaikan gizi
dan kesehatan lainnya karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang
ditentukan tanpa diantar (Sediaoetama, 2016). Beberapa aspek pelayanan
kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi anak antara lain: imunisasi,
pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak, serta
sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek bidan dan
dokter. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan
dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi kurang.
7. Higiene Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah
terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi
(Poedjiadi, 1994). Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air
bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan
pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan seharihari, makin
kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi, selain faktor tersebut di atas adalah
faktor pengasuhan anak (Soekirman, 2012).
2.3.5 Penilaian Status Gizi
Menurut Soekirman (2012) pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua
yaitu secara langsung dan tidak langsung.
22

1. Penilaian status gizi secara langsung


Penilaian status gizi secara lansung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Secara umum antropometri
artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan
protein dan energi. Ketidakseimbanagan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh
(Soekirman, 2012).
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk melihat status
gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (sipervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan
mukosa oral ataupada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid (Soekirman, 2012).
Metode klinis umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical
suveys). Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan
fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan
tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
struktur dan jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti
23

kejadian buta senja epidemik, cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap
(Soekirman, 2012).
2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
(1) Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
(2) Statistik vital merupakan pengukuran dengan menganalisis data beberapa
statistik kesehatan seperti angka kematian bedasarkan umur, angka kesakitan
dan kematian akibat penyebab tertentu.
(3) Faktor ekologi digunakan untuk mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan
masalah ekologi sebagai hasil interkasi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya.
2.3.6 Status Gizi Bedasarkan Antropometri
Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah
antropometri gizi. Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi
anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi.
Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran
tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di
bawah kulit.
Keunggulan antropometri antara lain alat yang digunakan mudah didapatkan dan
digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif,
biaya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, dan secara ilmiah diakui
keberadaannya (Soekirman, 2012).
1. Parameter Antropometri
Menurut Soekirman (2012) menyatakan bahwa antropometri sebagai
indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter.
Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain:
1) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penetuan status gizi. Kesalahan penentuan
umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil
24

pengukuran inggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila
tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.
2) Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering
digunakan pada bayi baru lahir (neonates). Pada masa bayi-balita, berat badan
dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi.
Berat badan merupakan pilihan utama karena parameter yang paling baik,
mudah dipakai, mudah dimengerti, memberikan gambaran konsumsi energi
terutama dari karbohidrat dan lemak. Alat yang dapat memenuhi persyaratan
dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan
anak balita adalah dacin (Supariasa, 2012).
3) Tinggi badan
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu
dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu
tinggi badan merupakan ukuran kedua terpenting, karena dengan
menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan, faktor umur dapat
dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat
berdiri dilakukan dengan alat pengukuran tinggi mikrotoa (microtoise) yang
mempunyai ketelitian 0,1.
2. Indeks Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB).
1) Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan
merupakan parameter antopometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
25

kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti


pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2
kemungkinan perkembanagan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau
lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini,
maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current
nutrional status).
Kelebihan Indeks BB/U antara lain lebih mudah dan lebih cepat
dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau
kronis, sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan dapat
mendeteksi kegemukan. Kelemahan Indeks BB/U adalah dapat mengakibatkan
interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun acites,
memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia 5 tahun,
sering terjadi kesalahan pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan
anak pada saat penimbangan (Supariasa, 2012).
2) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat
badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu
yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak
dalam waktu yang relatif lama. Bedasarkan karakteristik tersebut di atas, maka
indeks ini menggambarkan konsumsi protein masa lalu (Supariasa, 2012).
Kelebihan indeks TB/U:
(1) Baik untuk menilai status gizi masa lampau
(2) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa.
Kekurangan indeks TB/U:
(1) Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun
(2) Pengukuran relatif lebih sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak
sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya (Soekirman, 2012).
26

3) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)


Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB adalah merupakan indeks
yang independent terhadap umur. Keuntungan Indeks BB/TB adalah tidak
memerlukan data umur, dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal,
dan kurus). Kelemahan Indeks BB/TB adalah tidak dapat memberikan
gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan, atau kelebihan
tinggi badan menurut umurnya. Dalam praktek sering mengalami kesulitan
dalam melakukan pengukuran panjang/tinggi badan pada kelompok balita.
Dengan metode ini membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif
lebih lama. Membutuhkan dua orang untuk melakukannya.
4) Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
Faktor umur sangat penting dalam menentukan status gizi. Hasil
pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti
bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Pengukuran status gizi
balita dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan menggunakan Indeks
Massa Tubuh (IMT) (Kemenkes, 2011).
27

Tabel 2.5. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (z-Score)


Berat badan menurut Gizi buruk < -3 SD
Umur (BB/U) Anak Umur Gizi kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
0-60 bulan Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Tinggi badan menurut Sangat pendek < -3 SD
umur (TB/U) Anak Umur Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
0-60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Berat badan menurut Sangat kurus < -3 SD
Tinggi badan (BB/TB) Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Anak Umur 0-60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Massa Tubuh Sangat kurus < -3 SD
menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Anak Umur 0-60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Massa Tubuh Sangat kurus < -3 SD
menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Anak Umur 5-18 tahun Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD

2.3.7 Jenis Status Gizi Anak Balita


Status gizi anak balita dibedakan menjadi empat yaitu status gizi lebih status gizi
baik, status gizi kurang dan buruk.
1. Status Gizi Lebih
Penyakit ini bersangkutan dengan energi di dalam hidangan yang
dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan atau penggunaannya. Orang yang kelebihan
berat badan biasanya dikarenakan kelebihan jaringan lemak yang tidak aktif
tersebut. Kategori berat badan lebih (gizi lebih) menurut WHO NCHS yaitu >+2
SD. Tetapi masih banyak pendapat di masyarakat yang mengira bahwa anak yang
gemuk adalah sehat, sehingga banyak ibu yang merasa bangga kalau anaknya
gemuk, dan di satu pihak ada ibu yang kecewa kalau melihat anaknya tidak
segemuk anak tetangganya. Sebenarnya kekecewaan tersebut tidak beralasan,
asalkan grafik pertumbuhan anak pada KMS sudah menunjukkan kenaikan yang
28

kontinu setiap bulan sesuai lengkungan grafik pada KMS dan berada pada pita
warna hijau, maka anak tersebut pasti sehat. Lebih-lebih kalau anak tersebut
menunjukkan perkembangan mental yang normal. Untuk diagnosis obesitas harus
ditemukan gejala klinis obesitas dan disokong dengan pemeriksaan antropometri
yang jauh di atas normal. Pemeriksaan ini yang sering digunakan adalah BB
terhadap tinggi badan, BB terhadap umur dan tebalnya lipatan kulit. Bentuk muka
anak yang status gizi lebih atau obesitas tidak proporsional, yaitu hidung dan mulut
relatif kecil, dagu ganda, dan biasanya anak lebih cepat mencapai masa pubertas
(Supariasa, 2013).
2. Status Gizi Baik
Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai dengan adanya
penggunaan untuk aktivitas tubuh. Hal ini diwujudkan dengan adanya keselarasan
antara, tinggi badan terhadap umur, Berat badan terhadap umur dan tinggi badan
terhadap berat badan. Menurut Achmad Djaeni S (2000) menyatakan tingkat gizi
sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan tercapainya kesehatan gizi
sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan tercapainya kesehatan
tersebut. Tingkat kesehatan gizi yang baik ialah kesehatan gizi optimum. Dalam
kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat gizi tersebut. Tubuh terbebas dari
penyakit dan mempunyai daya tahan setinggi-tingginya. Anak yang status gizi baik
dapat tumbuh dan kembang secara normal dengan bertambahnya usia. Tumbuh
atau pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam hal besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan
ukuran berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Sedangkan
perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam stuktur dan fungsi tubuh
yang komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari
proses pematangan (Soetjiningsih, 2008).
3. Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk
Status gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa
macam zat gizi yang diperlukan. Hal yang menyebabkan status gizi kurang karena
kekurangan zat gizi yang dikonsumsi atau mungkin mutunya rendah. Gizi kurang
pada dasarnya adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang
29

diperoleh dari makanan. Kurang gizi banyak menimpa anak khususnya anak balita
yang berusia di bawah lima tahun karena merupakan golongan yang rentan serta
pada fase ini kebutuhan tubuh akan zat gizi meningkat karena selain untuk tumbuh
juga untuk perkembangan sehingga apabila anak kurang gizi dapat menimbulkan
berbagai penyakit. Akibat status gizi kurang adalah Kekurangan Energi Protein
(KEP), Anemia Defisiensi Zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY) dan Kekurangan Vitamin A (KVA).

2.4 Konsep Dasar ISPA


2.4.1 Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut
yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14
hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini
mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (R.Hartono,
2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (R. Hartono, 2012). ISPA adalah suatu
tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau
struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14
hari.
2.4.2 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (R.Hartono, 2013).
2.4.3 Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan
dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2012):
30

1. Golongan Umur Kurang 2 Bulan


1) ISPA Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau
napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 6
kali per menit atau lebih.
2) ISPA Ringan
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas
cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu: a) Kurang
bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari ½ volume
yang biasa diminum) b) Kejang c) Kesadaran umum d) Stridor e) Wheezing f)
Demam / dingin
2. Golongan Umur 2 bukan sampai 5 tahum
1) ISPA Berat Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa
anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) ISPA Sedang Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah: a) Untuk usia
2 bulan sampai 12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih b) Untuk usia 1
sampai 4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
3) ISPA Ringan Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan
tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan sampai 5
tahun yaitu:
(1) Tidak bisa minum
(2) Kejang
(3) Kesadaran umum
(4) Stridor
(5) Gizi buruk
2.4.4 Penyebab ISPA
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah satu
penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya
digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang lingkungan
masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu melakukan
31

aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun minyak.
Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah mereka hirup sehari-hari, sehingga
banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari
bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon,
Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes
RI, 2010).
2.4.5 Faktor Risiko ISPA
Faktor risiko timbulnya ISPA Menurut Marni (2014) sebagai berikut:
1. Faktor Demografi Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :
1) Jenis Kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki - lakilah yang
banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan
perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi
udara.
2) Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit ISPA.
Hal ini disebabkan banyaknya ibu rumah tangga yang memasak sambil
menggendong anaknya.
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan yang kurang di masyarakat terhadap gejala dan upaya
penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang ke pelayanan
kesehatan sudah dalam keadaan berat. Hal tersebut disebabkan oleh kurang
mengerti cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA.
2. Faktor Biologis
Menurut Marni (2014) faktor biologis terdiri dari 4 aspek yaitu:
1) Status Gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau
terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Misal dengan mengkonsumsi
makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak minum air putih, olah raga
yang teratur serta istirahat yang cukup. Tubuh yang sehat maka kekebalan
32

tubuh akan semakin menigkat, sehingga dapat mencegah virus ( bakteri) yang
akan masuk dalam tubuh.
2) Berat Badan Lahir
Riwayat Berat Badan Lahir merupakan keadaan berat badan ketika lahir,
yang diukur sesaat setelah dilahirkan. Berdasarkan Suyami dam Sunyoto
(2004), Riwayat Berat Badan Lahir merupakan faktor yang mempengaruhi
system kekebalan tubuh. Pada balita dengan riwayat BBLR yaitu berat badan
kurang dari 2500 gram pada saat lahir, menyebabkan system kekebalan tubuh
belum sempurna, sehingga daya tahan tubuhnya rendah. Hal ini menyebabkan
anak rentan dan mudah terserang penyakit infeksi. Sesuai dengan penelitian
Sugihartono dan Nurjazuli (2012), bahwa bayi lahir dengan berat badan rendah
mempunyai resiko menderita ISPA lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang lahir dengan berat badan normal.
3) Pemberian Air Susu Ibu
Berbagai penelitian telah mengkaji manfaat pemberian Air Susu Ibu
(ASI) ekslusif dalam hal menurunkan mortalitas bayi, menurunkan morbiditas
melalui imunitas alami bayi, mengoptimalkan pertumbuhan bayi, membantu
perkembangan kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang jarak
kehamilan bagi ibu (Fikawati et al, 2010).
4) Status Imunisasi
Imunisasi adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dilemahkan
atau dihilangkan virulensinya. Vaksin imunisasi merangsang kekebalan,
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Status
Imunisasi balita menggambarkan riwayat pemberian vaksin imunisasi pada
balita sesuai dengan usia balita dan waktu pemberian. Berdasarkan Depkes
(2008), jadwal imunisasi ditabulasikan sebagai berikut:
33

Tabel 2.6 Jadwal Imunisasi


Vaksinasi Jadwal Booster/Ulangan Imunisasi
Pemberian Usia Untuk
Melawan
BCG Waktu lahir - Tuberkulosis
Hepatitis B Waktu lahir-dosis I 1 tahun – pada bayi Hepatitis B
1 bulan dosis 2 yang lahir dari ibu
6 bulan dosis 3 dengan Hep. B
DPT dan 3 bulan-dosis 1 18 bulan Booster 1 Dipteria,
Polio 4 bulan-dosis 2 6 tahun-Booster 2 pertusis, tetanus
6 bulan-dosis 3 12 tahun-Booster 3 dan folio
Campak 9 bulan - Campak
Sumber : Depkes (2008)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (Depkes, 2008). Dalam penurunan angka
kejadian ISPA dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak. Imunisasi
terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang penting. Sebelum
anak berusia di atas dua tahun kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi.
Anak balita dikatakan status imunisasinya lengkap apabila telah mendapat
imunisasi secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.
3. Faktor Polusi
Menurut Marni (2014) Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri dari 2 aspek
yaitu:
1) Keberadaan Asap Dapur
Pencemaran udara di dalam rumah banyak terjadi di Negara-negara
berkembang. Diperkirakan setengah dari rumah tangga di dunia, memasak
dengan bahan bakar yang belum diproses seperti kayu, sisa tanaman dan
batubara sehingga akan melepaskan emisi sisa pembakaran di dalam ruangan
tersebut. Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan
pencemaran udara di dalam rumah adalah asap dapur. Asap dari bahan bakar
kayu merupakan faktor resiko dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian
Keman (2012) menunjukan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis
bahan bakar yang digunakan adalah kayu memiliki resiko terkena ISPA
sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah
dengan jenis bahan bakar yang digunakan minyak/gas.
34

2) Keberadaan Perokok
Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat menimbulkan asap yang
tidak hanya dihisap oleh perokok, taetapi juga dihisap oleh orang yang ada
disekitarnya termasuk anak-anak. Satu batang rokok yang dibakar anak
mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon
monoksida, nitrogen oksida, hydrogen cianida, ammonia, akrolein, acetilen,
benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol,
ortcresorperyline dan lainnya, sehingga paparan asap rokok dapat
mengingkatkan risiko kesakitan pernafasan khususnya pada anak berusia
kurang dari 2 tahun. Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap
mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap
slidestrea. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap slidestream dan asap
mainstream yang sudah teekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap
tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan
perokok pasif atau perokok terpaksa. Terdapat seorang perokok atau lebih
dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit,
seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit
angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan
ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang oran tuanya perokok lebih
mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan
penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok
merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di
jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di
paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara.
2.4.6 Tanda dan Gejala ISPA
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa,
kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare
(Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut
cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan
35

bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan
dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan
mengakibatkan kematian. (Nelson, 2013). Sedangkan tanda gejala ISPA menurut
Depkes RI (2012) adalah:
1. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Batuk
2) Serak
3) Pilek
4) Panas
2. Gejala dari ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun
atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah
tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.
2) Suhu lebih dari 390C
3) Tenggorokan berwarna merah
4) Timbul bercak-bercak merah di kulit menyerupai bercak campak
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur
7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut
3. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
1) Bibir atau kulit kebiruan
2) Lubang hidung kembang kempis pada waktu bernafas
3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
4) Pernafasan berbunyi dana anak tampak gelisah
36

5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas


6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit
7) Tenggorokan berwarna merah
2.4.7 Penatalaksanaan kasus ISPA
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar
merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian
karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang
tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan
memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak
mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta
mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai
bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan
ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut:
1. Penanganan Pertama di Rumah
Penanganan ISPA tidak harus di tempat pelayanan kesehatan saja, tetapi
penangan ISPA sebelum berobat ke pelayanan kesehatan harus ditangani. Menurut
Simanjutak (2007) penanganan demam sebelum ke tempat pelayanan kesehatan
yaitu meliputi mengatasi panas (demam), pemberian makanan yang cukup gizi,
pemberian cairan, memberikan kenyamanan dan memperhatikan tanda-tanda
bahaya ISPA ringan atau berat yang memerlukan bantuan khusus petugas
kesehatan.
2. Penatalaksanaan oleh Tenaga Kesehatan
Menurut R. Hartono (2012) penatalaksanaan oleh tenaga kesehatan adalah
sebagai berikut:
1) Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan
anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila
menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak
tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa
membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit
37

untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju
anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop
penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklassifikasi.
2) Pengobatan
(1) Klasifikasi ISPA dibagi menjadi 3 kategori dan intervensi dari ketiga
kategori ISPA berbeda-beda yaitu salah satunya ISPA berat.
Penatalaksanaan ISPA berat yaitu dirawat di rumah sakit, diberikan
antibiotik parenteral, oksigen dan sebagainya.
(2) Selain ISPA berat ISPA sedang pun memiliki penatalaksanaan tersendiri.
Penatalaksanaan ISPA sedang yaitu diberi obat antibiotik kotrimoksasol
peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata
dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat
dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin
prokain.
(3) Menurut Depkes RI tahun 2012 Penatalaksanaan ISPA ringan yaitu tanpa
pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk
dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan
antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan
didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah
bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
3) Istirahat yang Cukup
Anak yang mempunyai penyakit febrile akut seharusnya mendapat
tempat tidur istirahat. Ini biasanya tidak sulit untuk suhu yang ditinggikan
tetapi menjadi sulit ketika anak merasa baik. Sering anak banyak mengeluh
dengan tempat istirahat ketika mereka diijinkan untuk berbohong untuk
sesuatu agar mereka dapat menonton TV atau aktifitas lain secara diam-diam.
Jika anak protes, diijinkan mereka untuk bermain secara diam-diam untuk
mencapai istirahat lebih baik dari pada membuat mereka menangis melampui
batas tempat tidur.
38

4) Mengembangkan Kenyamanan
Anak yang lebih tua biasanya mampu untuk mengatur keluarnya bunyi
sengau dengan kesulitan yang kecil. Orang tua memerintahkan untuk
membenarkan mengelola obat tetes hidung dan irigasi kerongkongan jika
dipesan. Untuk setiap anak muda, yang normalnya melewati hidung, pengisap
sengau bayi atau alat pembersih telinga berbentuk syringe yang menolong
berpindahnya keluaran sengau sebelum memberinya. Praktek ini diijinkan
dengan membangkitkan obat tetes hidung yang dapat membersihkan sengau
dan mendukung pemberiannya. Obat tetes hidung dapat disiapkan di rumah
dengan membuat 1 sendok teh garam kedalam 1 takaran air panas.
5) Menurunkan Suhu
Jika anak mempunyai suhu tinggi yang signifikan, mengatur demam
sangat tinggi. Orang tua mengetahui cara merawat suhu anak dan membaca
thermometer dengan akurat.
6) Pencegahan Penyebaran Infeksi
Berhati-hati dalam mencuci tangan dengan melakukan ketika merawat
anak yang terinfeksi pernafasan. Anak dan keluargamengajarkan untuk
menggunakan tisu atau tangannya untuk menutup hidung dan mulutnya ketika
mereka batuk/bersin dan mengatur tisu dengan pantas seperti sebaiknya
mencuci tangannya. Penggunaan tisu dapat saja dibuang ke bak sampah dan
tisu dianjurkan mengakumulasi ke tumpukan, anak yang terinfeksi pernafasan
tidak berbagi cangkir minuman, baju cuci/handuk.
7) Mengembangkan Hidrasi
Dehidrasi terutama ketika muntah atau diare. Cukupnya cairan yang
diterima mendorong yang berlebihan jumlah cairan pada frekuensi. Cairan
tinggi kalori seperti colas, jus buah air pewarna dan pemanis pada jagung
mencegah katabolisme dan dehidrasi terapi akan mencegah diare yang muncul.
8) Pemenuhan Nutrisi
Hilangnya nafsu makan adalah karakter anak yang terinfeksi akut dan
pada banyak kasus anak diijinkan untuk menentukan miliknya yang
dibutuhkan untuk makan.
39

9) Dukungan Keluarga dan Rumah Asuh


Orang tua memberi anak antibiotik oral yang membutuhkan untuk
pemahaman begitu penting untuk mengelola secara teratur dan selanjutnya
obat untuk mengukur jarak pada waktu anaknya sakit. Orang tua juga secara
kontinyu memberi banyak pengobatan pada anak yang tidak diterima oleh
praktekkesehatan. Ketidakcocokan efek telah diterangkan pada anak yang
menerima bekal persiapan untuk dewasa (seperti aktifitas panjang obat tetes
hidung (Neo-synephrine II), Dextromethorphan, batuk squares (kehilangan
untuk anak). Mereka juga berkelanjutan untuk memberi gambaran antibiotik
yang tertimbun pada penyakit sebelumnya.
2.4.8 Pencegahan ISPA
Menurut Depkes RI (2012) pencegahan ISPA antara lain:
1. Menjaga kesehatan gizi
Menjaga kesehatan gizi yang baik akan mencegah atau terhindar dari
penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA. Misalnya dengan
mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih,
olah raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup. Kesemuanya itu akan
menjaga badan tetap sehat. Dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh
akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus atau bakteri penyakit
yang akan masuk ke tubuh.
2. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun
orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh supaya
tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh
virus/bakteri.
3. Menjaga Kebersihan Perorangan dan Lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan
mengurangi polusi asap dapur atau asap rokok yang ada di dalam rumah. Hal
tersebut dapat mencegah seseorang menghirup asap yang bisa menyebabkan
terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi
udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.
40

4. Mencegah Anak Berhubungan dengan Penderita ISPA


Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/bakteri
yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara
yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa
virus/bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (suspensi yang
melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari
sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan
melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit penyakit).
46

2.6 Penelitian Terkait


Tabel 2.7 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2015
Nama Peneliti Judul Desain Penelitian Populasi dan Teknik Hasil Penelitian
Penelitian dan Teknik Analisa Sampel Sampling
Data
Yurika Erliani Hubungan Desain penelitian ini Populasi semua balita Teknik Berdasarkan uji hubungan
Status Gizi adalah kuantitatif yang berobat ke Balai Pengambilan didapatkan nilai p statistik =
dengan Kejadian non-eksperimental Pengobatan Anak sampel secara 0,000 <0,05 yang berarti
ISPA Pada yang bersifat Puskesmas Sekip total bahwa Ho di tolak atau
Balita di deskritif korelasional Palembang selama sampling terdapat hubungan antara
Puskesmas dengan pendekatan bulan Desember status gizi dengan kejadian
Sekip Cross sectional. 2014. ISPA. Koefisien korelasi
Palembang Sampel yang diteliti yang dibentuk adalah 0,666
berjumlah 258. Data yang berarti hubungan antar
dikumpulkan dengan variabel kuat. Kesimpulan:
kuesioerdan menggu terdapat hubungan yang
nakan metode Chi- signifikan antara status gizi
square. dengan kejadian ISPA Pada
Balita di Puskesmas Sekip
Palembang.

6
47

2.7 Kerangka Konseptual


Menurut Nursalam (2015) Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu
realitas agar dapat di komunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan
keterkaitan antara variable, baik yang diteliti maupun yang tidak diteliti.
Kerangka konseptual pada penelitian ini adalah:
Variabel Independen Variabel Dependen

Kejadian ISPA:
1. Faktor Demografi Faktor demografi
Tingkat Pengetahuan Ibu Balita:
terdiri dari 3 aspek yaitu :
1. Tahu
1) Jenis Kelamin
2. Memahami tentang Status
2) Usia
Gizi Balita:
3) Pendidikan
1) Status Gizi Lebih
2. Faktor Biologis
2) Status Gizi Baik
1) Status Gizi
3) Status Gizi Kurang
2) Berat Badan Lahir
4) Status Gizi Buruk
3) Pemberian Air Susu Ibu
4) Status Imunisasi
3. Aplikasi 3. Faktor Polusi
4. Analisis 1) Keberadaan Asap Dapur
5. Sintesis 2) Keberadaan Perokok
6. Evaluasi

Keterangan:
: Diteliti
: Tidak Diteliti
: Berpengaruh
: Hubungan

Bagan 2.1 Kerangka konseptual Hubungan Tingkat Ibu Balita tentang Status
Gizi Balita dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja UPT Puskesmas
Kayon Palangka Raya
48

2.8 Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah suatu penyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau
lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam penelitian.
Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari suatu permesalahan
Nursalam (2015:191).
Menurut Nursalam (2015: 191), untuk mengetahui nilai signifikansi (p) dari
suatu hasil statistik, maka dapat di tentukan dengan menggunakan tingkat
signifikansi level 0,05. Tingkat signifikansi ditentukan apakah hipotesisnya akan
diterima atau di tolak (jika <0,05). Hipotesis yang diajukan akan dilakukan
perhitungan uji statistik untuk memutuskan apakah hipotesis diterima atau ditolak.
Ketentuan uji statistik yang berlaku adalah sebagai berikut:
1) Jika nilai p ≤ α, maka keputusan H0 ditolak, H1 diterima artinya ada hubungan
antara variabel dependen dan independen.
2) Jika nilai p ≥ α, maka keputusan adalah H0 ditolak, H1 ditolak artinya tidak ada
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
Dengan :
p: nilai signifikansi dari suatu hasil statistik
α: tingkat signifikansi level 0,05
Berdasarkan variabel yang diambil, peneliti menentukan hipotesis (H1) sebagai
hipotesis alternatif pada penelitian ini yaitu:
Ha: Ada Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Balita tentang Status Gizi Pada
Balita dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Kayon
Palangka Raya.

Anda mungkin juga menyukai