Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen
juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses
aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi
dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut
(Salmn 2000). Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan
oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme
(Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7
ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 %
(Huet, 1970). Kadar oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung pada
temperatur dan tekanan atmosfir. Menurut Srikandi (1992), pada temperatur 200C
dengan tekanan satu atmosfir, kadar oksigen terlarut dalam keadaanjenuh adalah 9,2
ppm, sedangkan pada temperatur 300C dengan tekanan yang sama kadar jenuhnya
hanya 7,6 ppm. Semakin tinggi temperatur air semakin rendah pula tingkat
kejenuhan oksigen terlarut. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut
adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous 2004).
Kurangnya kadar oksigen dalam air disebabkan oleh bakteri, protozoa, cacing, dan
pencemaran detergen serta air limbah penduduk terhadap organisme perairan,
terutama pengaruhnya terhadap ikan. Akibat yang ditimbulkan antara lain dapat
menyebabkan kelumpuhan ikan, karena otak tidak mendapat suplai oksigen serta
kematian karena kekurangan oksigen (anoxia) yang disebabkan jaringan tubuh ikan
tidak dapat mengikat oksigen yang terlarut dalam darah (JONES, 1964). Maka
banyak makhluk hidup dalam air mati dan menyebabkan pergeseran kehidupan air
dari aerobik menjadi anaerobik . Hasil penguraian zat – zat organik oleh
mimkroorgaanisme anaerobik adalah gas yang berbau dan beracun, misalnya H2S,
CH4, dan NH3.
Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk
menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri.
Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den NaOH -
KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka
endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium
(I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya
dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator
larutan amilum (kanji). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan :
2. Metoda elektrokimia
Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara langsung untuk
menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip kerjanya adalah
menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalam
larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan katoda perak
(Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran
plastik yang bersifat semi permeable terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi
adalah
Katoda : O2 + 2 H2O + 4e ==> 4 HO-
Anoda : Pb + 2 HO- ==> PbO + H2O + 2e
Kriteria batas ambang nilai oksigen terlarut (Lee et al., 1978 dalam muhammad irham
dkk)
COD
COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen (O2) yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter air, dimana pengoksidasi
K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). angka COD merupakan
ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat
dioksidasikan melalui proses mikroorganisme dan mengakibatkan berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air. Penentuan angka COD menggunakan K2Cr2O7 yang
berfungsi sebagai pengoksidasi untuk sumber oksigen, untuk mempercepat reaksi maka
ditambahkan AgSO4 sebagai katalisator dipanaskan dalam thermoreaktor selama 120
menit. Reaksinya:
CaHbOc + Cr2O72- → CO2 + H2O + Cr3+
Sebagian besar zat organik dalam sampel dioksidasi oleh Cr2O72- selama pemanasan
dan akan menghasilkan Cr3+. Setelah pemanasan (refluk) dalam thermoreaktor selama
120 menit, terdapat kelebihan kalium dikromat (K2Cr2O7) yang tidak tereduksi dan
digunakan untuk menentukan beberapa oksigen yang telah terpakai. Kelebihan kalium
dikromat tersebut dititrasi dengan larutan feroammonium sulfat (FAS), sebelumnya
telah ditetesi indikator feroin. Reaksinya:
6Fe2+ (aq) + Cr2O72-(aq) + 14H+(aq) → 6Fe3+(aq) + 2Cr3+(aq) + 7H2O (1)
indikator feroin digunakan untuk menandai titik akhir titrasi. Warna larutan yang terjadi
saat titrasi adalah hijau-biru-coklat-merah. Perlakuan yang serupa juga dilakukan pada
larutan blangko. Sisa K2Cr2O7 dalam larutan blanko adalah K2Cr2O7 awal, karena
diharapkan blanko tidak mengandung zat organik yang dioksidasi oleh K2Cr2O7
(Alaerts dan Santika, 1984). Larutan FAS merupakan larutan baku sekunder sehingga
harus dilakukan standarisasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk titrasi.
Standarisasi larutan FAS dilakukan dengan menitrasi digestion vessel yang ditambahkan
dengan air suling dengan larutan FAS sampai terjadi perubahan warna dari hijau
menjadi coklat kemerahan. Hasil titrasi dan hasil pengujian pada standarisasi larutan
FAS dapat dilihat:
Menurut Standar Nasional Indonesia 6989 72 tahun 2009 tentang uji kebutuhan oksigen
kimiawi (COD) dan 73 tahun 2009 tentang uji kebutuhan oksigen biologi (BOD)
menyebutkan bahwa rata- rata angka COD dalam limbah maksimal sekitar 90 mg/L.
Pada sampel 437 masing-masing memiliki angka COD sebesar 193,936 mg/L dan pada
sampel 477 memiliki angka COD sebesar 413,28 mg/L. Angka COD ini relatif tinggi
dari pada angka maksimal yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu rata-rata sekitar 100
mg/L. Sehingga dapat disimpulkan bahwa angka COD pada sampel 437 dan 477 telah
melewati batas yang ditetapkan pemerintah, limbah ini tidak bisa langsung dibuang ke
perairan, karena akan menurunkan kualitas perairan itu sendiri.
Cara perhitungan COD yakni: