BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah.
Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku
seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau
bagian dari aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu : menolak (denial), marah
(anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan menerima (acceptance).
Pekerjaan duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika
seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya.
Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Namun,
bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau mengalami kematian
secara tiba-tiba.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kehilangan dan dampaknya ?
2. Apa pengertian berduka dan dampaknya ?
3. Apa pengertian kematian dan dampaknya ?
C. Tujuan
1. Agar pembaca dapat memahami arti kehilangan dan dampaknya.
2. Agar pembaca dapat memahami arti berduka dan dampaknya.
3. Agar pembaca dapat memahami arti kematian dan dampaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang
berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau
mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna
kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima
bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan.
Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis.
Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang
dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.
a. Bentuk-bentuk kehilangan
1.Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
b. Sifat kehilangan
1. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan
dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan,
bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2. Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan
mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang
ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai
kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri
mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan
situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan
mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas
kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal
tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang
dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.
c. Tipe kehilangan
1. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu
yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan
secara jelas.
3. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu memperlihatkan perilaku
kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi
pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin
tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.
Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda.kematian
seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan
kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan
peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang
sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual
atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi,
misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan
kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
C. KEMATIAN
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Namun,
bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau mengalami kematian
secara tiba-tiba. Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku
seseorang terhadap kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep kematian juga
dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya. Kebudayaan Jawa
yang menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting untuk diperhatikan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak usia sekolah dan praremaja tentang
kematian dengan mengacu pada tujuh subkonsep kematian, yakni irreversibility, cessation,
inevitability, universability, causality, unpredictability, dan personal mortality dari Slaughter
(2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode wawancara yang
dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4 praremaja (10-11 tahun).
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang berbeda-beda
pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum memahami subkonsep
unpredictability dan causality, sedangkan kelima subkonsep lainnya sudah dipahami oleh
anak. Satu subjek lainnya hanya memahami subkonsep inevitability, universality, dan
personal mortality, sedangkan empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali.
Secara umum ketiga subjek belum memahami kematian sebagai fenomena biologis.
Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep kematian
walaupun belum bisa mendeskripsikannya secara utuh. Hasil penelitian ini disoroti dari
teori kematian, teori perkembangan dan budaya Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi
pada teori perkembangan konsep kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh budaya
Jawa memberikan kesempatan pada anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang
kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang
kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian
dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam
euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.
Berikut ini beberapa konsep tentang mati yaitu :
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP No. 18
tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.
Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, teknologi
resusitasi telah memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat
dipulihkan kembali.
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi yang
berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu yang
mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil
keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial,
makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena
itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social
telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem
tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama
yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-
organ lain akan mati kemudian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan suatu yang sebelumnya
ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek
atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam
batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau keslahan/kekacauan.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka,
mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan meberikan dukungan dalam bentuk
empati.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe : aktual atau nyata dan persepsi. Terdapat 5 kategori
kehilangan, yaitu : kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat
dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan
kehilangan kehidupan/meninggal.
Elizabeth Kubler-rose, 1969.h.51, membagi respon duka dalam lima fase, yaitu :
pengikaran, marah, tawar-menawarn, depresi dan penerimaan.
sikap empati terhadap kehilangan kematian duka cita saat melakukan tindakan
keperawatan (kdm 4)
A. Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang
berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau
mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
a. Bentuk-bentuk kehilangan
1.Kehilangan orang yang berarti
2. Kehilangan kesejahteraan
3. Kehilangan milik pribadi
b. Sifat kehilangan
1. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)
2. Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
c. Tipe kehilangan
1. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu
yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan
secara jelas.
3. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu memperlihatkan perilaku
kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi
pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.