Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa
kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa
kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun
konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah dendam masa
lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter berdampak pada
kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan beberapa daerah telah
jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula pengusiran
dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain.
Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama”
berbagai media di tanah air.

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini
penulis mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan
beberapa perumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah :
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah penegakan hukum itu?
2. Apakah itu aparatur penegak hukum?
3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4. Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5. Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penegakan Hukum


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum
itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai
upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.
Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek
hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu,
penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum
berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu,
apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut
objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga
mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum
itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan
perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan
perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan
istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas
aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya
ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya

2
istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of
law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man
by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula
nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan
istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of
man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan
suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang.
Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti
materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum,
baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-
undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,
pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-
batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi
penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita
batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah
aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk
memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan
tema penegakan hukum itu.

B. Aparatur Penegak Hukum


Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir

3
pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-
pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan
kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan
kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga
elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum
beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme
kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang
mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi
hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum
acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan
itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja
penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan
analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu
elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang
mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu
sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan
dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau
pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the
legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation
of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

4
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the
administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh
pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu,
pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai
agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda
tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup
pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu
sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan
sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang
ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-
peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings),
ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan
pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses
masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat
terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat
dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’
yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga
perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat
(social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak
boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis dan bersengaja.

C. Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok
dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya, yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

5
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan
peradilan di Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang
mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi
suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah,
sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap
ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan
modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence),
terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu
pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini
bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara
yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan
berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti
dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil
putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar
melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau
pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi
Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak
keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan

6
hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan,
penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
e. Faktor Objektif
1) Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim.
Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang
berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu
permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
2) Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan)
danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan
dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim
mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan
dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi
tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan.

D. Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia


Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah
kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang
terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat
hukumny, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun
perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut adalah adanya
inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa,
hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu
sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan
hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke hari.
Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat
berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan

7
aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan
polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan
terkadang polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya
berpangkat lebih tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi
terhadap masyarakat awam tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak
menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan
masyarakat tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan
beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam baik melalui
pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa lain yang bisa diikuti
melalui media cetak dan media elektronik.
a. Tingkat kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang
melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang
bisa mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau
jika perlu pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa
tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang
yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar pengacara semampunya atau
tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan hakim. Padahal
jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran
rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
b. Tingkat Jabatan Seseorang
Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi
banding keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI
Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari
anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT. Pembangunan Jaya
Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang
Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai
tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan

8
media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi
banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar
dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa
ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai
rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut
kasus ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang
sebagai komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan
tinggi mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa
penyebabnya sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut
sebagai ketidakadilan hukum dimana karna jabatan seseorang yang tinggi
hukuman yang didapat ketika melakukan pelanggaran hukumannya pun lebih
ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah walaupun pada kasus
yang sama.
c. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah
militer dari empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu,
terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil
menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini
terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang
terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum
militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan
adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
d. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan
cepat. Tekanan Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak
dengan melucuti pesenjataan milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas
anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggungjawab. Apabila
dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di bagian lain di

9
Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus
yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam
bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti
dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat
perhatian dari Internasional, namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih
menekan pemerintah Indonesia untuk dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional menentukan kecepatan aparat
melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan
oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan
bermasyarakat. Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum.
Hal ini membuat masyarakat tidak mempercayai huktm sebagai sarana
penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan permasalahannya diluar jalur
hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang
demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang tidak
mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan
ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di
Indonesia harus terus diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral
aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam
wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa adanya perbaikan tersebut segala bentuk
KKN akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki, peran DPR
sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan
perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih
tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci
dalam penegakan hukum secara konsisten.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor
integritas aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta
tidak diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan,
nilai musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum
oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil

10
penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah,
apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan
masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila penegakan
hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik. Dalam rangka
pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi sistem hukum
Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan
standar hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal
opinion (Kesatuan pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu
dibentuk Undang-Undang sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas
penegakan hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka
dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas baik, aturan hukum
yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya
diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak
hukum.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
pemasyarakatan.

12
MAKALAH

PENEGAKAN HUKUM YANG ADA DI INDONESIA

Guru Pembimbing : Peni, S.Pd.I

Nama : M. Agus Muhtadi Rohim

Kelas : XII MIA 1

SMAN 10 MUARO JAMBI

T.A 2018/2019

13
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam
menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dengan ini penulis mengangkat judul
“Penegakan Hukum yang ada di Indonesia”. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara
penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, November 2019

Penulis,

14
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Penegakan Hukum .............................................................. 2
B. Pengertian Aparatur Penegak Hukum ................................................... 3
C. Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum ................................... 5
D. Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia .................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA

ii
15

Anda mungkin juga menyukai