CHF NYHA IV
Pembimbing:
dr. I Gede Arinton , Sp. PD (K) GEH
Oleh:
Faqih Alam Ruqmana G4A017017
1
I. KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 52 tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Banyumas
B. Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak Napas
Keluhan Penyerta
Cepat lelah, jari kebiruan, jari seperti alat penabuh, denyutan di ulu hati,
bengkak di kaki, perut membesar, mual dan cepat kenyang
RPS
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 tahun yang lalu dan
dirasakan memberat sejak 4 hari yang lalu. Sesak napas dirasakan seperti tertindih
beban berat dan berlangsung terus menerus. Sesak napas semakin memberat
sampai dalam keadaan tidak beraktivitas di tempat tidur pun pasien sudah
merasakan sesak. Sesak napas berkurang bila pasien beristirahat dengan posisi
setengah duduk. Pasien menggunakan 3-4 bantal saat tidur dan pada malam hari
pasien sering terbangun dari tidur kareana sesak yang sebelumnya didahului
mimpi buruk dan rasa cemas. Pasien mengatakan sesak napas tidak disertai bunyi
”ngik-ngik” dan tidak terasa berat saat menghembuskan napas.
Sesak napas yang dirasakan pasien tidak dipengaruhi oleh debu/asap,
udara dingin maupun stress dan jenis makanan tertentu. Pasien tidak mengeluhkan
batuk yang disertai dahak berbuih dan berwarna merah jambu.
Sejak 2,5 tahun yang lalu pasien mengeluhkan cepat Lelah, badan terasa lemah
dan ujung jari kebiruan serta ujung jari tengah berubah bentuk seperti alat
penabuh selain itu bibir pasien berwarna kebiruan. Pasien tidak mengeluhkan air
kencing berkurang, sehari kurang lebih 4 gelas belimbing. Pasien juga tidak
mengeluhkan dada berdebar-debar.
Sejak 1 tahun yang lalu pasien mengeluhkan adanya denyutan di ulu hati,
denyutan bertambah saat pasien melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat.
Sejak 9 bulan yang lalu pasien mengeluhkan bengkak di kedua kaki yang
bertambah berat saat berjalan dan membaik saat posisi kaki ditinggikan missal
saat diganjal bantal saat berbaring.
2
Pasien mengeluhkan perut bertambah besar sejak 8 bulan yang lalu,
keluhan tersebut dirasakan pasien secara perlahan yang semakin lama semakin
membesar seperti ada cairan di dalam perutnya. Jika pasien berbaring, pasien
merasa perutnya melebar ke samping seperti perut kodok dan jika pasien duduk
atau berdiri, maka pasien merasa perutnya turun ke bawah. Pasien tidak
mengeluhkan guratan biru di sekitar perut dan pusar yang menonjol.
Pasien mengeluhkan perut kanan atas merongkol sejak 5 bulan yang lalu,
keluhan ini disertai rasa cepat kenyang walaupun makan sedikit, nafsu makan
turun serta mual.
Pasien tidak mengeluhkan napas berat di salah satu dada dan menyangkal
lebih nyaman saat tidur miring ke sisi tertentu.
Pasien tidak merasakan adanya sesuatu yang menonjol seperti urat di
leher sebelah kanan dan menyangkal adanya guratan di kepala ataupun pelipis.
Pasien sejak 6 tahun yang lalu merasakan sakit kepala dan kaku pada
tengkuk, keluhan tersebut terutama dirasakan saat bangun tidur, kelelahan dan saat
stress atau emosi. Sakit kepala dan kaku tengkuk akan berkurang jika pasien
menggerakkan leher dan beraktivitas
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak mengluhkan pandangan berkunang-kunang, pucat dan pusing
saat bangun dari jongkok ke berdiri
- Pasien tidak mengeluhkan nafsu makan meningkat yang disertai dengan
berat badan menurun secara drastis, sering buang air besar, tidak tahan panas,
keringan banyak, tangan gmetar dan benjolan di leher
- Pasien gemas makanan asin dan berlemak
- Pasien tidak mengontrol tekanan daran secara rutin
Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga pasien ada yang mengeluh tengkuk terasa kaku dan nyeri kepala
terutama saat bangun tidur, kelelahan, stress dan emosi yaitu ayah dan ibu
pasien
C. Status Presentalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign
TD : 150/90 mmHg
Nadi : 100x/menit
RR : 26x/menit
Suhu : 36,7 C
Kulit : DBN
Kelenjar Getah Bening : DBN
3
Kepala
Venektasi temporal (-)
Mata
Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Telinga
DBN
Mulut
Bibir : Sianois (+)
Lidah : Sianosis (-)
Leher
Trakea : Deviasi trakea ke kanan
JVP (-)
HJR (-)
Kelenjar tiroid tidak teraba
Dada
Bentuk dada : Dada kiri lebih cembung
Ketinggalan gerak (+) dada kiri
Paru-paru
Inspeksi : Hemithorax sinistra leibh cembuh dari hemithorax dextra
Experium diperpanjang (-), Pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Vocal Fremitus apex & basal sinistra < dextra
Perkusi : Batas paru hepas SIC V LMCD
Auskultasi : Suara Vesikuler (+/+), RBK (-/-) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak, pulsasi parasternal
sinistra (-)
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung Kanan atas SIC II LPSD
Kanan bawah SIC IV 2 jari lateral LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : M2 > M1, Murmur (-), Gallop (-)
T1 > T2
A1 > A2
Pembuluh darah : DBN
Perut
Inspeksi : Cembung, Pulsasi Epigastrium (+),
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Undulasi (+)
Perkusi : Pekak alih pekak sisi (+)
Limpa shufnerr 0
Hati teraba 3 jari BACD, tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal
Alat Kelamin : Tidak dilakukan
Anggota Gerak : Edema tungkai bawah (+), sianosis (+), Clubbing finger (+)
Refleks : DBN
Colok Dubur : Tidak dilakukan
4
D. Pemeriksaan Penunjang
Hematokrit 45 40–52 %
Eritrosit 5,5 4,4–5,9 ^6/uL
Trombosit 272000 150.000– 440.000 /uL
MCV 81,5 80 – 100 fL
MCH 28,2 26 – 34 Pg/cell
MCHC 34,5 32 – 36 %
RDW 12,7 11,5 – 14,5 %
MPV 9,5 9,4 – 12,4fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,4 0–1%
Eosinofil 1,6 2–4%
Batang 0,7 3–5%
Segmen 72,9 50 – 70 %
Limfosit 17 25 – 40 %
Monosit 7,4 2–8%
Kimia
Klinik
Glukosa 101 <= 200 mg/dL
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 137 134-146
5
Kalium 3,8 3,4-4,5
Klorida 98 96-108
E. Ringkasan
1. Anamnesis
Ortopneu
PND
Sesak napas
Lemas dan cepat Lelah
Sianosis bibir dan ekstremitas
Denyutan ulu hati
Kaki dan tangan bengkak
Perut terasa membesar
Cepat kenyang
RPD : Riwayat hipertensi
RPK : Riwayat hipertensi
2. Pemeriksaan Fisik
RR : 26x/menit
TD : 150/90 mmHg
Sianosis bibir dan ekstremitas
Deviasi trakea ke kanan
Kardiomegali LVH, RVH
Clubbing Finger
Pulsasi epigastrium
Hepatomegali
Sianosis
Edema ekstremitas
F. Dasar Diagnosis
Kriteria Major
Kardiomegali
PND
Ortopnea
Krtiteria Minor
Edem tungkai
Dysneu d’effort
Hepatomegali
6
G. Diagnosis
Diagnosis Kerja : Congertive Heart Failure NYHA IV
Diagnosis Etiologi : Hipertensi
Diagnosis Anatomis : LVH, RVH
Diagnosis Fungsional : NYHA IV
H. Diagnosis Diferensial
a. Penyakit Jantung Anemia
- Gejala anemia
- Pemeriksaan Hb
b. Penyakit Jantung Tiroid
- Palpitasi, tremor, BB turun drastic walau makan banyak
- Index wayne terpenuhi
- Pembesaran kelenjar tiroid
I. Anjuran Pemeriksaan
Rontgen Thorax : PA, LAO, RAO
EKG
Laboratorium :
SGOT, SGPT
CK, CKMB, LDH, Troponin
Elektrolit darah
Ureum kreatinin
Kolestrol
J. Tatalaksana
Infus D5
Furosemid amp mg 20 2x1
Spironolakton tab mg 25 1x1
Captopril tab mg 25 1x1
Digoxin tab mg 0,25 2x1
K. Pencegahan
Edukasi pasien
Kurangi aktivitas fisik
Istirahat cukup
Pengelolaan stress
L. Prognosis
1. Quo ad visam
dubia ad malam
2. Quo ad sanam
dubia ad malam
3. Quo ad vitam
dubia ad malam
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
8
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan. 2, 3
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan
meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan
gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. 2
B. Definisi
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan
dari pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat
dibedakan dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan
kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi
lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai
gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam
gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe
restriktif.
9
2. Low Output dan High Output Heart Failure
10
peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung. 5
C. Etiologi
D. Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya
akan timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di
vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 5,6,7
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut
mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal
akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel.
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada
tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan
pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah
11
jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung,
kompensasi menjadi semakin kurang efektif. 1,5,6,7
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari
saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya
rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung
dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi
kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai
dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat
pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin
bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk
mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin
akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 1, 4, 6
12
Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung. 8
3. Hipertrofi ventrikel :
13
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban
akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja
jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi
miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung. 1, 4,6,7
14
Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon
terhadap hemodinamik berlebih. 8
E. Manifestasi Klinis
15
merangsang pusat pernapasan. Pada awalnya frekuensi pernapasan
meaingkat selama latihan dan selanjutnya bahkan pada saat istirahat.
Napas pendek pada aktivitas fisik (dispnea pada aktivitas fisik) adalah
gejala umum dan relatif dini. Individu ini dapat mengeluh sesak napas
bila berjalan atau setelah makan banyak. Ketidakmampuan bernapas
dalam posisi telentang disebut ortopnea. Pada gagaljantung kiri kronis,
edema pulmonal interstisial dan alveolar mungkin ada setiap waktu;
posisi duduk tegak dipilih sehingga cairan turun ke dasar paru, yang
membuat bernapas lebih mudah.
F. Diagnosis
16
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala
yang ada dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang
antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium
rutin, dan pemeriksaan biomarker. 2, 10
Kriteria Diagnosis : 11
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif 1, 9
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif
berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain: 1
17
NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih
banyak dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu
istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa
sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
tersebut di atas.
NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik
apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka
melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
b. Pemeriksaan Penunjang
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q
wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV. 11, 12
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai
ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi
aorta, dan kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien. . 11, 12, 13
4. Penilaian fungsi LV :
18
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada
katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada
LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler
juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold
standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan
pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload.
Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%),
fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara
bermakna (<30-40%). 11
G. Penatalaksanaan
19
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. 13
Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
-
Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala
dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar
dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan
kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari
penerbangan panjang.
-
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada
gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung
berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung
berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-
30 g/hari pada yang lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5
kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda
statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan
beban 70-80% denyut jantung maksimal pada
gagal jantung ringan dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat
dan eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE,
Antagonis Angiotensin II, diuretik, Antagonis
aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat
inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia. 14, 15
20
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung
membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis
rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik
atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis
diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik
intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan
tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton,
dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung
sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan
aktivitas neurohormonal, dan pada gagal jantung
yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi
selama beberapa minggu sampai dosis yang
efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti
penghambat ACE. Pemberian dimulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu
dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil.
Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan
bila ada intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik
dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel
kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,
21
digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor,
beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin
diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral
pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan
fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun
dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient
Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan
aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien
yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang
menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia
klas III terutama amiodaron dapat digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat
digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan
kalsium antagonis untuk mengobati angina atau
hipertensi pada gagal jantung.
22
kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik <
90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah
menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok
kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel)
atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari
akut maupun defek septum ventrikel pasca infark. 13
23
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin
penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat
karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress,
serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga
menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta
udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat
diulang sesuai kebutuhan. 13
24
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung,
meningkatkan stroke volume karena berkurangnya
afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam
1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada
gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi
perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan
pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah
85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan.
Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup
memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 13
25
digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut
dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat
beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone
intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus
0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25– 0,75 μg/kg
bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13
26
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah
Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu jantung,
implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist
device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai
regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan
sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada
penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok
atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter
device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan
pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi
ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik
yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik. 13
H. Prognosis
27
stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi
paliatif yang sangat cermat. 11
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J20.
2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
4. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ
2000;320:104-7.
5. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH.ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.
7. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure.
In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and
treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36.
8. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation.
BMJ 2000;320:297-300
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in
general practice. BMJ 2000;320:626-9.
10. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart
failure – full text the task force on acute heart failure of the european
society of cardiology. Eur Heart J 2005.
11. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey
KR, Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in
incidence and survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29-
34.
12. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features
and complications. BMJ 2000;320:236-9.
29
13. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in
the older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
14. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart
failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49.
15. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker;2005.p.449-65.
16. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug
management. BMJ 2000;320:366-9.
17. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH.ABC of heart failure: acute
and chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.
18. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management:
diuretics, ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31.
19. Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure Management:
digoxin and other inotropes, _ blockers, and antiarrhythmic and
antithrombotic treatment. BMJ 2000;320:495-8.
30