Arfi Hidayat
Arfi Hidayat
5 Gempa Bumi terjadi sebagai peringatan terhadap masyarakat Suku Sasak karena
akhlak manusia yang telah rusak, kerusakan yang terjadi di Gunung Rinjani dan
pelanggaran tradisi yang ada di Gunung Rinjani.
Gempa Bumi yang terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2018 telah menimbulkan
perbedaan persepsi di tengah masyarakat Suku Sasak. Pandangan tersebut beragam, sebagian
masyarakat memandang bahwa gempa terjadi karena sebagai bentuk peringatan dari Allah
SWT karena telah terjadi kerusakan dimana-mana dan akhlak manusia telah rusak. Kemudian
masyarakat juga berpandangan bahwa gempa bumi terjadi karena pelanggaran norma-norma
dan tradisi budaya yang dilakukan oleh para pendaki di Gunung Rinjani. Dengan demikian
gempa bumi yang terjadi di Pulau Lombok dapat ditinjau berdasarkan kaca mata agama dan
budaya. Masyarakat yang memandang gempa bumi berdasarkan kaca mata agama menganggap
bahwa itu adalah bentuk teguran kepada manusia yang sudah lupa dan lalai dari perintah Allah
sehingga diberikan teguran berupa gempa bumi yang cukup dahsyat. Sementara dalam kaca
mata budaya, masyarakat menganggap bahwa gempa bumi terjadi disebabkan karena
pelanggaran etika dan adat istiadat para pendaki di Gunung Rinjani yang akhirnya
menyebabkan Dewi Anjani sebagai penunggu marah dan berdoa kepada Allah agar diberikan
peringatan melalui gempa bumi Allah sangat cepat menerima doa Dewi Anjani karena
dipersepsikan sebagai Waliyullah (orang yang dekat dengan Allah).
Berikut temuan dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa gempa bumi terjadi karena
kerusakan dan akhlak manusia telah rusak di kemukakan oleh tokoh adat, tokoh agama dan
masyarakat yaitu PKM, HLS, MHR, HLP, SN, SBN, HSN, AS, DW, JLD, AA, AD dan ATP,
Pernyataan dikemukakan oleh PKM/S1W1 tokoh adat Suku Sasak:
Sekarang semua hancur semua dimana-mana tempat tidurkotoran banyak di Gunung
Rinjani.Tahun saya terakhir naik tahun 2016 sampai puncak lagi, saya lihat disana sudah
kotor akhirnya saya berhenti, sehingga di tahun 2017 sudah tidak naik lagi. Penguasa
Gunung Rinjani yaitu Dewi Anjani itu sudah tidak terima lagi dengan hal itu, melihat
kelakuan ataupun cara cara kita itu tidak baik diatas gunung karena disana tempat yang suci.
Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh MHR/S1W3 tokoh adat Suku Sasak:
Lalu akibat terjadinya gempa ini, tertuduhlah pariwisata penyebabnya kan. Bisa jadi itu
terjadi karena kemurkaan Dewi Anjani karena ulah kita seperti kerusakan, perpecahan,
berbunuh-bunuhan, merusak lingkungan hidup.
Saya dengarkemarahannya (Dewi Anjani) ini, karena Gunungnya sudah dirusak, maksudnya
kan oleh para Touris yang datang mendaki Gunung Rinjani itu semena-mena mengkotori dan
berbuat itu-itu (maksiat)di sana, bukan hanya orang bule saja, tapi orang lokal juga seperti itu.
Waktu saya kesana memang benar kalau Gunung Rinjani sudah kotor dengan banyak sampah
dan itu yang dibahas dalam kesurupan itu, kalau Gunung Rinjani itu sudah kotor, tercemar
kata Jin itu. Apalagi kalau naik lewat jalur Senaru banyak sampah sampah.
Pernyataan yang sama juga di tuturkan oleh ATP/S3W7 masyarakat Desa Rempek
Lombok Utara:
Doktor Kamaludin juga pernah meneliti kesana bersama istrinya ditemukan banyak kotoran-
kotoran yang limbah-limbah. Para tamu kan ndak tau kita, dan gimanalah terjadi kerusakan
segala jenis kekotoran banyak ditemukan seperti pembalut, kondom, dll. Cerita betul ndaknya
kita cuman banyak masukan yang kita terima.
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Tafsir dari ayat di atas adalah: “Telah terlihat kerusakan di daratan dan di lautan
seperti kekeringan, minimnya hujan, banyaknya penyakit dan wabah, yang semua itu
disebabkan kemaksiatan-kemaksiaan yang dilakukan oleh manusia, agar mereka mendapatkan
hukuman dari sebagian perbuatan mereka di dunia, supaya mereka bertaubat kepada Allah dan
kembali kepadaNya dengan meninggalkan kemaksiatan, selanjutnya keadaan mereka akan
membaik dan urusan mereka menjadi lurus.
Surah Ar-Rum Ayat 41-42 dapat dimaknai memaknai bahwa kerusakan yang terjadi
di Gunung Rinjani akibat ulah tangan manusia yang akhirnya menyebabkan diturunkan
bencana berupa gempa sebagai bentuk teguran atas apa yang dilakukan oleh manusia itu
sendiri. Pernyataan-pernyataan partisipan di atas menggambarkan bahwa di Gunung Rinjani
secara khusus dan Pulau Lombok secara umum telah terjadi kerusakan di mana-mana,
penebangan pohon secara liar, pembuangan sampah dimana-mana, dan perbuatan maksiat,
akhlak dan etika tidak lagi dikedepankan dan ritual-ritual adat yang dapat menolak bencana
sudah tidak dihiraukan lagi. Sehingga dalam temuan penelitian ini masyarakat Suku Sasak
sepakat bahwa gempa terjadi akibat kerusakan akhlak manusia dan kerusakan di Gunung
Rinjani. Pernyataan tersebut sependapat dengan anthroposentrisme yang menjelaskan bahwa
bencana adalah fenomena alam yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia yang merusak alam
sehingga terjadi sebuah ketidak seimbangan alam dan terjadi bencana.1
Gambar 4.10
Wawancara bersama tokoh adatSuku Sasak di Desa Sembalun Lombok Timur
PKM merupakan tokoh adat Suku Sasak, menjelaskan bahwa beliau menggunakan
sebuah analogi untuk memaknai penghormatan terhadap alam dan pemimpin di alam tersebut.
Analoginya adalah seorang ibu untuk melambangkan sosok Dewi Anjani yang berada di
Gunung Rinjani. Dewi Anjani selama ini telah memberikan penjagaan dan kesejahteraan di
Pulau Lombok. Dewi Anjani ini akan marah dan berdoa kepada Tuhan agar kita diberikan
ganjaran jika melakukan kerusakan. Pandangan PKM sejalan dengan teori inklusivisme yang
menganggap bahwa bencana adalah fenomena alam yang terjadi akibat keterikatan antara alam
itu sendiri dengan manusia yang tidak terpisahkan satu sama lain.2 Dalam hal ini, keterikatan
antara Dewi Anjani dan Gunung Rinjani merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.
1
Priambodo, S.A. (2009). Panduan Praktis Mengatasi Bencana. Yogyakarta: Kanisius.
2
Priambodo, S.A. (2009). Panduan Praktis Mengatasi Bencana. Yogyakarta: Kanisius.
Selanjutnya, Gempa terjadi karena pelanggaran tradisi yang ada di Gunung Rinjani. Hal
ini sesuai dengan pandangan partisipan PKM, MHR, HLP, HSN, AS, DW, AA, HQ, JLD, dan
SDN yang menganggap bahwa gempa bumi terjadi akibat pelanggaran tradisi yang ada di
Gunung Rinjani.
Jauh sangat berbeda dengan Rinjani zaman dahulu. Saya dari umur 15 tahun masih muda
sudah mendaki Gunung Rinjani. Pak haji Pur memang yang mengajar saya sehingga tau
wataknya gunung. Kalau kita bandingkan cara nya orang orang dulu dengan sekarang itu jauh
sangat berbeda jika mendaki dulu kita itu punya pemangku (ketua) atau juru kunci Gunung
Rinjani itu masih ada artinya setiap tahun itu kita perintah dia naik gunung untuk membuktikan
apakah Rinjani masih baik atau tidak itu tetap tiap tahun ada pemangku nya.
Lalu ketika orang naik ke Rinjani dulu ada ritual yang kita lakukan, ritual yang kita lakukan
itu adalah dengan cara yang amat sederhana sesuai dengan ilmu pengetahuan agama kala itu
dengan melakukan pemujaan-pemujaan terhadap Allah yang maha esa. Seperti membuat
perlambang-perlambang itu dengan membuat perlambang tertentu lalu dengan
mengungkapkan kalimat-kalimat sastra klasik salah satunya ya. Bissmillahirrohmanirrohim
sambil duduk khusyuk kan. Itu kalimat bismilah kan. Itu di ganti dengan Dening Hangijeng
Dening Haneput Asmaning Allah Subhanahu WataAlaaaa ingkang mahing sese nah itu kan.
Bahkan kalau kita naik dulu juga, etika kita sangat kita jaga, seperti suara kita, tidak boleh
bicara porno-porno, kita harus bicara tentang kebesaran Tuhan, kekuasaan Allah tentang alam,
itu ayok, ayok. Tapi yang sekarang yang hura-hura, nyanyi, kadang kadang iyaa main-main
lah. Itu yang dilarang kalau dulu, tapi sekarang iya, tidak bisa juga memang zamannya,
menurut kami disini kalau saja itu terjaga, kerifan lokal dijaga kita tertib jaga gunung, kenapa
tidak? Gunung itu memang untuk kita. Tapi kalau gunung itu kita tempati untuk maksiat maka
kita juga akan kena batunya.
Pernyaataan yang sama juga di kemukakan oleh AA/S3W5 masyarakat Desa Terara
Lombok Timur:
Ada perbuatan yang tidak elok yang terjadi di Gunung Rinjani bahwasanya gunug Rinjani
seperti yang saya katakan tadi di Gunung Rinjani itu adalah bahasa Lombok nya itu mali’
disana tidak boleh kita berkata kotor, berbuat apaya berbuat yang lain seagainya yang tidak
kita inginkan seperti contohnya, menghina yang intinya bertolak belakang dari segi agama.
Pernyataan dari HQ/S3W9 masyarakat Desa Sajang Lombok Timur:
Jadi saya kerucutkan saja langsung bahwa gempa ini memang merupakan peringatan bagi kita
semua karena adat sudah tidak ditradisikan kembali, kita sudah banyak maksiat, kita sudah
banyak melakukan kesalahan dan pengrusakan.
V PENUTUP
5.1 Simpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian tentang gempa bumi dan Mitos Dewi Anjani pada
masyarakat Suku Sasak adalah sebagai berikut. 1) Masyarakat Suku Sasak memaknai Dewi
Anjani sebagai Wali Kutub dan Khalifah di Lombok yang memiliki karomah (kesaktian)
dikarenakan Dewi Anjani termasuk orang yang sholehah, memiliki tingkat kealiman yang
tinggi, dan memegang teguh ketauhidan. 2) Masyarakat Suku Sasak memaknai Dewi Anjani
sebagai Menusia yang berpindah ke Alam Jin dan sebagai penunggu Gunung Rinjani yang
mampu hidup di dua alam yakni alam manusia dan alam gaib (jin) karena atas dasar kekuatan
yang dimiliki Dewi Anjani kemudian Allah menjadikannya sebagai penjaga di Gunung
Rinjani. 3)Masyarakat Suku Sasak memandang mulia Dewi Anjani maka perlu ritual khusus
untuk mendaki Gunung Rinjani sebagai bentuk penghormatan. Masyarakat Suku Sasak
menjadikan Dewi Anjani sebagai perantara untuk meminta keselamatan kepada Allah ketika
ingin mendaki Gunung Rinjani. 4) Gempa bumi Lombok terjadi karena keberadaan Dewi
Anjani dan juga karena kehendak Tuhan yang Maha Esa. 5) Gempa bumi terjadi sebagai
peringatan terhadap masyarakat Suku Sasak karena akhlak manusia yang telah rusak, hal ini
juga disebabkan karena kerusakan yang terjadi di Gunung Rinjani dan pelanggaran terhadap
tradisi-tardisi budaya yang dianggap sakral.
5.2 Implikasi
Cakupan implikasi dari hasil penelitian yaitu: pertama, Dewi Anjani merupakan sebuah
representasi kultur sosial budaya masyarakat Suku Sasak yang tidak dapat terlepas dari
pengaruh ajaran Islam yang mencakup nilai sosial, adat istiadat, budaya dan tata karma. Wujud
nilai sosial dalam ajaran Islam dapat dilihat dari pemaknaan isi cerita Dewi Anjani oleh
masyarakat Suku Sasak yang sangat kental dengan ajaran-ajaran agama. Hal ini dapat diketahui
dari gelar yang diberikan kepada Dewi Anjani banyak menggunakan istilah-istilah islami.
Disisilain, makna lain yang bisa diambil dari isi cerita Dewi Anjani yang dianggap sebagai
waliyullah dan khalifah di gumi Sasak yakni masyarakat Suku Sasak sangat menghormati
orang-orang yang alim dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Seorang yang alim dan dekat
dengan Allah lebih dihormati oleh orang masyarakat Suku Sasak, sehingga setiap kali memiliki
masalah maka sering meminta solusi kepada orang Alim. Kedua, implikasi yang berhubungan
dengan tata krama masyarakat Suku Sasak, terimplementasi dalam temuan yang menyatakan
masyarakat Suku Sasak senantiasa menjaga lisan dan perilaku di Gunung Rinjani. Hal ini
meggambarkan sebuah kultur sosial budaya masyarakat Suku Sasak sejak zaman dahulu dan
hingga akhir zaman agar senantiasa menjaga lisan dan berperilaku sopan dan santun.
Selanjutnya implimentasi yang ketiga yaitu dari segi adat, pengaruh Islam terwujud dalam
ritual nyambang yang merupakan salah satu cara meminta izin kepada Allah SWT melalui
perantara Dewi Anjani ketika ingin mendaki Gunung Rinjani. Ritual nyambang bertujuan
untuk meminta doa melalui perantara Dewi Anjani agar selamat ketika mendaki dengan cara
duduk bersila dengan khusyuk dan melakukan pemujaan kepada Allah yang Maha Esa dengan
melantunkan kalimat-kalimat sastra klasik.
Dari uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa masyarakat Suku Sasak sangat erat
menghubungkan kehidupan sehari-harinya dengan nilai agama dan budaya. Mereka meyakini
bahwa agama akan mengarahkan budaya dan budaya akan mengindahkan agama. Sosok
kehidupan Dewi Anjani merupakan sebuah representasi kultur sosial budaya masyarakat Suku
Sasak yang tidak dapat terlepas dari pengaruh ajaran Islam. Oleh sebab itu, fakta dilapangan
menunjukkan bahwa mayoritas Suku Sasak di Lombok memeluk ajaran Islam.
5.3 Saran-Saran
Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan saran-
saran yang ditujukan kepada:
1) Pemerintah
Pemerintah dipandang perlu mengembangkan daerah wisata yang mampu
memadukan wisata syariah dan berbasis kearifan lokal di Lombok, khususnya di kawasan
wisata Taman Nasional Gunung Rinjani karena orang Sasak yang mendiami Pulau Lombok
tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai budaya dan ajaran agama Islam.
2) Pengelola Taman Wisata Gunung Rinjani
Saran untuk pengelola wisata Gunung Rinjani yaitu agar lebih ketat dalam
memberikan izin kepada para pendaki agar mereka mematuhi aturan atau adat istiadat dalam
mendaki Gunung Rinjani. Selanjutnya pihak pengelola tidak segan-segan memberikan
sangsi kepada pengunjung yang melanggar aturan adat.
3) Wisatawan Pendaki Gunung Rinjani
Para wisatawan yang akan mendaki Gunung Rinjani hendaknya mematuhi dan
mempelajari adat istiadat atau aturan dalam mendaki Gunung Rinjani serta tidak melakukan
perusakan di Gunung Rinjani. Selain itu, para pendaki hendaknya menjaga lisan, tingkah
laku, tidak berbuat maksiat dan tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran
agama dan budaya Suku Sasak.
4) Masyarakat Suku Sasak
Penghuni Pulau Lombok khususnya masyarakat Suku Sasak hendaknya menjaga dan
mentradisikan budaya, adat istiadat dan keasrian di Gunung Rinjani. Jangan mudah
terpengaruh oleh budaya luar yang bertentangan dengan adat istiadat. Hal ini dilakukan
dalam rangka mencegah bencana yang lebih besar lagi.
5) Tokoh Agama/Penceramah Agama
Para tokoh agama agar senantiasa memberikan materi ceramah yang relevan dengan
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Suku Sasak dan harus menyentuh nilai-nilai
kearifan lokal yang dimiliki agar mudah dipahami dan diresapi dalam kehidupan sehari-
hari. Tidak mengenyampingkan bentuk-bentuk ajaran leluhur masyarakat Suku Sasak yang
dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam menjaga keselamatan.
6) Budayawan Suku Sasak
Para budayawan Suku Sasak hendaknya memberikan sosialisasi baik dari media
cetak maupun elektronik mengenai etika dan ritual-ritual yang harus dijalankan sebelum
naik ke Rinjani agar para pendaki memiliki pemahaman sebelum mendaki sehingga tercipta
kemanan dan kenyamanan dalam proses pendakian.
7) Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, diharapakan agar dapat melakukan penelitian lanjutan
tentang bentuk kearifan lokal masyarakat Suku Sasak yang dapat menjadi mitigasi bencana
guna mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai teknik dan metode masyarakat Suku
Sasak menghindarkan diri dari bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Cetakan pertama. Yogyakarta: Kepel Press.
Audifax. 2006. Imagining Lara Croft: Psikosemiotika, Hiperealitas, dan Simbol- Simbol
Ketaksadaran. Yogyakarta: Jalasutra.
Argawa, I N. 2007. Fungsi dan Makna Mitos Dewi Anjani dalam Kehidupan Masyarakat
Sasak, Denpasar: Tesis Program Pascasarjana. Universitas Udayana.
Bimo Walgito. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta. 2010
Danandjaja, James. 2007. Folkklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain lain, Jakarta:
PT. Temprint
Danandjaja, James (2002). Folklor Indonesia: Ilmu gossip, dongen, dan lain lain. Jakarta:
Grafiti.
Danandjaja, James. 1986. Foklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan lain lain.
Jakarta: Grafiti Press
Fauzan, Ahmad. 2013. MITOLOGI ASAL USUL ORANG SASAK (Analisis Struktural
Pemikiran Orang Sasak dalam Tembang Doyan Neda). Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Fathurramhan Agus. 2017. Kosmologi Suku Sasak Risalah Inen Paer. Mataram:Genius.
Hartuti, Rine Evi. 2009. Buku Pintar Gempa. Yogyakarta: DIVA Press.
Hasibuan, Indah Susanti. 2013. Pengaruh Mitos Terhadap Historigrafi Indonesia (Studi
Kasus Kisah Puteri Hijau Melayu Deli). Medan: Fakultas Ilmu Sosial. Universitas
Negeri Medan.
L. Sandra, Dinamika Psikologis Interaksi, Konsep Diri, Dan Identitas Online, Disertasi,
(Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2012).
Astria Rini, M. 2012. Mitos Di Gunung Slamet Di Dusun Bambangan, Desa Kutabawa,
Kecamatan Karang Reja, Kabupaten Purbalingga. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan
Seni. Universitas Negeri Yogyakarta.
Moleong, Lexy J. (2007) Metodologi Penilitian Kualitati, Penerbit PT Remaja Rosdakarya
Offset, Bandung
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra; Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama.
Sudirman H dan Bahri, Studi Sejarah dan Budaya Lombok, Puskanda, Mataram, 2014.
Supermini. Styawati S dan Dyah Respati Sumunur S, 2013, Mitigasi Bencana Berbasis
Kearifan Lokal Masyarakat Baduy. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, Metodologi Penilitian Bisnis. (Jakarta, PT. Gramedia, 2007)
Swardi Endaswara, Metodelogi Penelitian Folklor Setiadi Sopandi, Sejarah Sebuah Pengantar,
Gramedia, Jakarta, 2013
Website:
https://www.ayobandung.com/read/2019/03/17/47263/bmkg-jelaskan-penyebab-gempa-
Lombok-utara#. Dinunduh tanggal 25 Mei 2019.
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/657/jbptunikompp-gdl-nursarinim-32838-10-unikom_n-
2.pdf. Diunduh tanggal 25 Mei 2019
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23857/Chapter%20II.pdf?sequence=4
&isAllowed=y. Di lihat tanggal 22 Agustus 2019.
https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=gempa bumi-tektonik-m62-mengguncang-pulau-
lombok-tidak-berpotensi-tsunami&tag=press-release&lang=ID. Di lihat tanggal 22 Agustus.